Anda di halaman 1dari 6

Perceraian Pasangan Kawin Campur

yang Berdomisili di Luar Negeri


Rohana Amelia Putri Handayani, S.H.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/perceraian-pasangan-kawin-campur-yang-berdomisili-di-luar-
negeri-lt5dccf3c032dff

Ada seorang perempuan Indonesia menikah dengan seorang pria asing


berkewarganegaraan Prancis di Kantor Urusan Agama Bali. Setelah
menikah mereka berdua tinggal di Prancis. Bila si perempuan ingin
mengajukan gugatan perceraian, bagaimanakah cara mengurus gugatan
perceraian perkawinan campuran tersebut? Apakah bisa menggugat
melalui Pengadilan Agama Semarang? Berkas apa saja yang harus
dipenuhi? Kemudian apakah diperlukan penerjemahan gugatan? Apakah
gugatan juga harus diterjemahkan ke dalam bahasa prancis, atau bahasa
inggris saja tidak apa-apa?
Perceraian
Sebelumnya, dikarenakan Anda tidak memberikan penjelasan mengenai di mana pasangan tersebut
bertempat tinggal saat ini, kami asumsikan bahwa pasangan tersebut masih bertempat tinggal di luar negeri.
 
Perceraian hanya dapat terjadi apabila terdapat cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak dapat hidup
rukun lagi. Hal tersebut tercantum pada Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”), yang menyatakan bahwa:
 
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami isteri.
 
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:[1]
1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar

disembuhkan;
2. salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan

tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah

perkawinan berlangsung;
4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak

yang lain;

5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan

kewajibannya sebagai suami/istri;


6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan

hidup rukun lagi dalam rumah tangga.


Namun demikian, sekalipun terdapat alasan untuk mengajukan perceraian, pengadilan harus terlebih dahulu
berusaha mendamaikan suami istri. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) UU
Perkawinan, yang menyatakan bahwa:
 
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
 
Yang dimaksud dengan pengadilan dalam ketentuan tersebut adalah pengadilan agama bagi mereka yang
beragama Islam dan pengadilan umum bagi lainnya.[2] Perlu dicatat bahwa walaupun salah satu atau para
pihak sudah berpindah agama, proses perceraian tetap harus mengikuti hukum peradilan agama Islam,
sebagaimana perkawinan tersebut sebelumnya tercatat.
 
Perceraian Para Pihak yang Tinggal di Luar Negeri
Sehubungan dengan tempat kedudukan suami atau istri di luar negeri, maka Pasal 73 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”), mengatur bahwa:
 
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan
atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Berdasarkan cerita Anda, pernikahan dilangsungkan dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) di
Bali. Dengan demikian, gugatan cerai diajukan kepada pengadilan agama di kabupaten tempat pernikahan
pasangan tersebut dicatat atau di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Gugatannya sendiri dibuat dalam bahasa
indonesia. Tidak ada kewajiban untuk menerjemahkannya dalam bahasa asing.
 
Alat Bukti Perceraian
Alat bukti yang harus disiapkan dalam mengajukan gugatan perceraian, termasuk perceraian untuk
perkawinan campuran, mengikuti ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Alat bukti menurut hukum
acara perdata Indonesia, berdasarkan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) dan Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), adalah bukti tertulis, bukti saksi,
persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Namun, alat bukti yang diajukan harus terkait kuat dengan
permasalahan hukum tersebut. Dalam hal mengajukan perceraian, pasangan yang hendak bercerai di
antaranya harus menyiapkan surat gugatan cerai dan alat bukti terkait, antara lain buku nikah (asli dan
salinan), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Kartu Keluarga (KK).
 
Pemeliharaan Anak
Lebih lanjut, Pasal 86 ayat (1) Peradilan Agama menyatakan bahwa:
 
Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan
bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Terkait pemeliharaan dan pendidikan anak, Pasal 41 huruf a UU Perkawinan mengatur bahwa:
 
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
 
Ketentuan UU Perkawinan menggunakan istilah “penguasaan anak”. Artinya, hubungan orang tua (baik ayah
maupun ibu) dengan anak tidak putus karena terjadinya perceraian. Pengadilan akan memberi keputusan
apabila ada perselisihan mengenai penguasaan anak.
 
Bapak adalah pihak yang bertanggung-jawab memenuhi semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu. Namun, apabila bapak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.[3]
 
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 105 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), menyatakan bahwa:
 
Dalam hal terjadinya perceraian:
a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau

ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;

c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya


Bisakah WNA Dipidana Dengan
Hukum Indonesia?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.

https://www.hukumonline.com/klinik/a/bisakah-wna-dipidana-dengan-hukum-indonesia-lt52849fabe5a87

Dalam hal kedua Warga Negara Asing (“WNA”) tersebut berkelahi hingga salah
satu atau keduanya terluka, maka WNA yang bersangkutan telah melakukan
tindak pidana perkelahian satu lawan satu yang diatur dalam Pasal 184 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

Pasal 184 KUHP

(1)  Seseorang diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan


bulan, jika ia dalam perkelahian satu lawan satu itu tidak melukai
tubuh pihak lawannya.

(2)  Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan empat
bulan, barang siapa melukai tubuh lawannya.

(3)  Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang


siapa melukai berat tubuh lawannya.

(4)  Barang siapa yang merampas nyawa lawannya, diancam dengan


pidana penjara paling lama tujuh tahun, atau jika perkelahian satu
lawan satu itu dilakukan dengan perjanjian hidup atau mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(5)  Percobaan perkelahian satu lawan satu tidak dipidana.

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (merujuk pada
Penjelasan Pasal 182 KUHP) menjelaskan bahwa undang-undang tidak
memberikan definisi apa yang dinamakan “berkelahi satu lawan satu” itu.
Menurut pengertian umum, lanjut Soesilo, maka “berkelahi satu lawan satu” itu
adalah perkelahian dua orang dengan teratur, dengan tantangan lebih
dahulu, sedangkan tempat, waktu, senjata yang dipakai, siapa saksi-
saksinya ditetapkan pula. Perkelahian ini biasanya disebut “duel”. Perkelahian
meskipun antara dua orang, apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, tidak
masuk dalam pasal ini.

Selanjutnya, kami akan berfokus pada poin lain yang juga penting dijelaskan
terkait keberlakuan hukum pidana Indonesia yang bersumber pada tulisan Prof.
Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia: (hal. 51-57)

1.    Prinsip Teritorialitas

Prinsip teritorialitas adalah prinsip yang menganggap hukum pidana Indonesia


berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, siapapun yang melakukan
tindak pidana. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP.

2.    Prinsip Nasional Aktif

Prinsip ini dianut dalam Pasal 5 KUHP yang mengatakan bahwa ketentuan-


ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia
yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Indonesia. Prinsip ini
dinamakan nasional aktif karena berhubungan dengan keaktifan berupa
kejahatan dari seorang warga negara.

3.    Prinsip Nasional Pasif

Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-letentuan hukum pidana


Indonesia di luar wilayah Indonesia berdasar atas kerugian nasional amat
besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja
termasuk orang asing yang melakukannya dimana saja pantas dihukum oleh
pengadilan negara Indonesia

4.    Prinsip Universalitas

Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat
kepentingan bersama dari semua negara di dunia. Maka, kalau ada suatu
tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara ini,
adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan dihukum oleh
pengadilan setiap negara, dengan tidak dipedulikan, siapa saja yang
melakukannya dan di mana saja.
Prinsip ini dianut dalam Pasal 4 sub 4 KUHP yang pada intinya menentukan
bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja,
termasuk orang-orang asing yang di luar wilayah Indonesia yang melakukan
kejahatan yang melibatkan kepentingan bersama negara di dunia.

Prinsip yang diterapkan pada kasus yang Anda tanyakan adalah prinsip
teritorialitas. Wirjono (Ibid, hal 51) menjelaskan prinsip ini ditegaskan
dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum
pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam
wilayah negara Indonesia.

Masih mengenai Pasal 2 KUHP, R Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal” (hal. 29), menyatakan bahwa tiap orang berarti siapa
juga, baik WNI sendiri, maupun WNA, dengan tidak membedakan kelamin atau
agama, kedudukan atau pangkat, yang berbuat peristiwa pidana dalam wilayah
Republik Indonesia.

Jadi, dua WNA yang berkelahi hingga menyebabkan luka (perbuatan tindak
pidana penganiayaan) di wilayah Indonesia berlaku dan tunduk pada hukum
Indonesia. Artinya, kedua WNA tersebut bisa diadili sesuai hukum negara
Indonesia.

Sekedar tambahan informasi untuk Anda, menurut Wirjono, prinsip teritorialitas


ini diperluas oleh Pasal 3 KUHP sampai kapal-kapal Indonesia, meskipun berada
di luar wilayah Indonesia. Maka, dengan demikian siapa saja, juga orang-orang
asing, dalam kapal-kapal laut Indonesia, meskipun sedang berada atau berlayar
dalam wilayah negara lain, takluk pada hukum pidana Indonesia (hal. 51).

Sebagai contoh dapat kita jumpai dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1569
K/Pid/2008. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa yang menjadi terdakwa
adalah seseorang berkewarganegaraan Perancis yang didakwa atas dasar tindak
pidana perbuatan tidak menyenangkan yang terdapat dalam Pasal 335 ayat (1)
ke 1 KUHP subsidair Pasal 336 ayat (1) KUHP. Walaupun pada akhirnya
terdakwa diputus bebas dari segala dakwaaan, akan tetapi dari kasus ini jelas
bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh WNA bisa diproses dan diadili sesuai
hukum Indonesia.

Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, dua orang WNA yang berkelahi di
Indonesia dapat dituntut berdasarkan hukum Indonesia dan jika terbukti
bersalah, dapat dikenai hukum pidana.

Anda mungkin juga menyukai