Dzunnun al-Mishri ialah seorang sufi yang hdup di pertengahan abad ke-3 H.
Nama lengkapnya Abu al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Dilahirkan di Ikhmim, dataran
tinggi Mesir, pada tahun 156 H. Dan meninggal pada tahun 245 H.1 Menurut literatur
lain, disebutkan bahwa Dzunnun lahir pada tahun 180 H/796 M dan meninggal pada
tahun 246 H/856 M.2 Sebagai sufi yang menonjolkan konsep ma’rifah, ia cukup tidak
dikenal dikalangan masyarakat muslim terlebih lagi kalangan akademik. Jika
berbicara ma’rifah dan mahabbah maka nama yang terlintas ialah Rabiah al
Adawiyah. Beberapa versi beredar tentang sebutan nama Dzunnun.
Adapun versi pertama mengatakan bahwa nama “nun” diambil dari nama ikan
yang bernama ikan “nun”. Suatu ketika Dzunnun menumpang sebuah kapal saudagar
kaya dan tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga lalu
Dzunnun dituduh mencurinya. Karena peristiwa pencurian tersebut, Dzunnun disiksa
dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata itu. Dalam keadaan tersiksa
dan teraniaya, Dzunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru “Wahai
Tuhanku Engkaulah yang maha tahu.” Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun ke
permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulutnya masing-
masing. Dzunnun lalu mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada
saudagar tadi. Sejak peristiwa itu ia digelari “Dzunnun” artinya yang empunya ikan
nun.3
Kedua, terkait dengan simbol. Kaum sufi juga memaknai simbol ini sebagai
simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzunnun Mishri, dia
mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama
dari dirinya. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta
mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada Allah. Dia
sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan berujung kepada sebuah
titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf nun tersebut, dan titik sentral itu
dimaknai sebagai Allah SWT, yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan
yang akhir.
1
Usmain Said, Pengantar Ilmu Tasawuf (Jakarta: Direktur Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam
Departemen Agama RI, 1983), hlm. 71.
2
M.Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.151.
3
5 Bahdar, “Dzunnun Al-Mishri (riwayat hidup dan konsep ma’rifahnya)” dalam Jurnal Hunafa, Volume 3 No.
02.2006, hlm. 207.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS.Al-Hadid:3).
Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan
huruf nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik
sentral tersebut adalah sesuatu yang yang awal dan yang akhir.
Sebelum Dzunnun, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi yang sudah konsen
terhadap isyarat tasawuf. Tetapi ialah orang pertama di Mesir yang berbicara tentang
ahwal dan maqomat para wali dan memberikan definisi tauhid dengan pengertian
yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya
sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
4
M. Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf , (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.151.
Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan.
Kedudukannya sebagai wali diakui sebelum ia meninggal.
Selama hidupnya, cukup banyak pujian yang dilontarkan kepada Dzunnun Mishri,
antara lain seperti ungkapan Imam Qusyairi dalam kitab risalahnya mengatakan
Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (tasawuf) dan tidak ada
bandingannya. Ia sempurna dalam wara’, hal, dan adab. Tak kurang Abu Abdillah
Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan: “Saya telah menemui enam ratus guru dan
aku tidak pernah menemukan seperti ke empat orang ini: Dzunnun alMishri, ayahku,
Abu Turob, dan Abu Abid al-Bashry. Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan
ternama Syaihk Muhiddin Ibnu Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan
“Dzunnun telah menjadi imam, bahkan imam kita.”
6
Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm.88
pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung
dan berpikir keras melalui cara-cara berpikir logis. Tetapi ma’rifah tidak bisa
sepenuhnya diusahakan oleh manusia. Pada tahap akhir semuanya tergantung
pada kemurahan Tuhan.7
7
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 13.
8
Bahdar, Zunnun al-Misri: Riwayat Hidup dan Konsep Ma’rifahnya”, Hunafa, Vol. 3 No. 2, Juni 2006. 211.
bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya,
bagaimana Allah telah memastikannya, dengan merenungkan makhluk, serta
bagaimana Allah menjadikannya.
11
Nasrul, Akhlak Tasawuf (Yogyakarta: Aswaja Peressindo, 2015), hlm. 193.
senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apapun, dan semakin dekat serta
menyatu kepadanya.
Ilmu ahli pikir bermula dari akal, sedangkan ilmu kaum sufi berasal
dari mahabbah menuju kepada ma’rifah. Ma’rifah yang benar kepada Allah
adalah membawa sinar-Nya dalam hati terang dan jelas sebagaimana matahari
membawa sinar hingga terang benderang, membuat orang selalu mendekat
kepada Allah hingga menjadi fana dalam keesaan-Nya. Dalam kondisi
demikian maka orang berbicara dengan ilmu yang diberikan-Nya dan berbuat
dengan perbuatanNya. Dengan demikian, ma’rifah adalah sesuatu yang halus
yang terbit dalam hati terdalam diberikan oleh Tuhan, terbuka hijab dan
jelaslah penyaksian.
12
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 211.
Dafrat Pustaka
Bahdar, “Dzunnun Al-Mishri (riwayat hidup dan konsep ma’rifahnya)” dalam Jurnal Hunafa, Volume
3 No. 02.2006
M.Solihin dan Rosihin Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. 2014.
Said, Usmain. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Direktur Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam Departemen Agama RI. 1983