Anda di halaman 1dari 11

A.

Biografi Dzunnun al-Mihsri

Dzunnun al-Mishri ialah seorang sufi yang hdup di pertengahan abad ke-3 H.
Nama lengkapnya Abu al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Dilahirkan di Ikhmim, dataran
tinggi Mesir, pada tahun 156 H. Dan meninggal pada tahun 245 H.1 Menurut literatur
lain, disebutkan bahwa Dzunnun lahir pada tahun 180 H/796 M dan meninggal pada
tahun 246 H/856 M.2 Sebagai sufi yang menonjolkan konsep ma’rifah, ia cukup tidak
dikenal dikalangan masyarakat muslim terlebih lagi kalangan akademik. Jika
berbicara ma’rifah dan mahabbah maka nama yang terlintas ialah Rabiah al
Adawiyah. Beberapa versi beredar tentang sebutan nama Dzunnun.

Adapun versi pertama mengatakan bahwa nama “nun” diambil dari nama ikan
yang bernama ikan “nun”. Suatu ketika Dzunnun menumpang sebuah kapal saudagar
kaya dan tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga lalu
Dzunnun dituduh mencurinya. Karena peristiwa pencurian tersebut, Dzunnun disiksa
dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata itu. Dalam keadaan tersiksa
dan teraniaya, Dzunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru “Wahai
Tuhanku Engkaulah yang maha tahu.” Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun ke
permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulutnya masing-
masing. Dzunnun lalu mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada
saudagar tadi. Sejak peristiwa itu ia digelari “Dzunnun” artinya yang empunya ikan
nun.3

Kedua, terkait dengan simbol. Kaum sufi juga memaknai simbol ini sebagai
simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzunnun Mishri, dia
mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama
dari dirinya. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta
mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada Allah. Dia
sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan berujung kepada sebuah
titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf nun tersebut, dan titik sentral itu
dimaknai sebagai Allah SWT, yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan
yang akhir.
1
Usmain Said, Pengantar Ilmu Tasawuf (Jakarta: Direktur Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam
Departemen Agama RI, 1983), hlm. 71.
2
M.Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.151.
3
5 Bahdar, “Dzunnun Al-Mishri (riwayat hidup dan konsep ma’rifahnya)” dalam Jurnal Hunafa, Volume 3 No.
02.2006, hlm. 207.
Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS.Al-Hadid:3).

Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan
huruf nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik
sentral tersebut adalah sesuatu yang yang awal dan yang akhir.

Dzunnun, hidup di abad ke 3 H berarti sama dengan hidup di masa bidang


keagamaan mulai digandrungi seperti ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga ia
dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti
pengajian Ahmad bin Hanbal juga mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan
lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain al-Hasan
bin Mush’ib anNakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran al-‘Abd atau
Israfil al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang yang alim, baik dalam ilmu
syariat maupun dalam ilmu tasawuf.4 Dzunnun al-Mishri juga termasuk salah seorang
murid Imam Malik bin Anas di Madinah. Selain berguru kepada Imam Malik bin
Anas, ia juga sering bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal, Ma’ruf alKarkhi, Sarri
al-Saqathi dan Bisyr al-Hafi. Diperjalanan hidupnya, Dzunnun pernah berpindah-
pindah kota. Seperti Mesir, mengunjungi Bait al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz,
Syiria, pegunungan Libanon, Anthokiah, dan lembah Kan’an. Hal ini menyebabkan ia
memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam.

Sebelum Dzunnun, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi yang sudah konsen
terhadap isyarat tasawuf. Tetapi ialah orang pertama di Mesir yang berbicara tentang
ahwal dan maqomat para wali dan memberikan definisi tauhid dengan pengertian
yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya
sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.

Pendapat tersebut cukup logis, mengingat bahwa Dzunnun hidup di awal


perkembangan tasawuf. Selain itu, pengembaraan dan keberaniannya dalam
memunculkan gagasan-gagasan baru dalam dunia tasawuf menyebabkannya
menerima tuduhan zindiq sehingga harus menghadap Khalifah al-Mutawakkil.

4
M. Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf , (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.151.
Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan.
Kedudukannya sebagai wali diakui sebelum ia meninggal.

Selama hidupnya, cukup banyak pujian yang dilontarkan kepada Dzunnun Mishri,
antara lain seperti ungkapan Imam Qusyairi dalam kitab risalahnya mengatakan
Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (tasawuf) dan tidak ada
bandingannya. Ia sempurna dalam wara’, hal, dan adab. Tak kurang Abu Abdillah
Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan: “Saya telah menemui enam ratus guru dan
aku tidak pernah menemukan seperti ke empat orang ini: Dzunnun alMishri, ayahku,
Abu Turob, dan Abu Abid al-Bashry. Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan
ternama Syaihk Muhiddin Ibnu Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan
“Dzunnun telah menjadi imam, bahkan imam kita.”

B. Konsep Ma’rifah Menurut Dzunnun al-Mishri


1. Definisi Ma’rifat
Secara etimologi, kata ma’rifah berasal bahasa Arab yaitu“al-
ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Apabila
dihubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah ma’rifah berarti
mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Orang
yang mencapai maqam ma’rifah disebut ‘Arif billah. Beberapa hal yang perlu
diketahui dari orang yang arif ialah bangga dalam kepapaannya. Apabila nama
Allah disebut, dia bangga. Apabila disebut nama dirinya, dia merasa miskin. 5
Selain itu, ia bersungguh-sungguh menuntut dunia, meringankan urusan
akhirat, lekas marah di waktu mesti memaafkan, takabur di waktu mesti
tawadu’, dan bukan orang yang kehilangan taqwa karena labanya, bukan orang
yang marah mendengar dia diperkatakan orang dengan benar, bukan orang
yang zuhud pada perkara yang disukai orang yang berakal, bukan orang yang
meminta supaya orang lain mementingkannya, bukan orang yang lupa akan
Allah di tempat taatnya dan ingat kepada Allah hanya di waktu hajat kepada-
Nya, bukan pula orang yang mengumpulkan berbagai ilmu gunanya untuk
mengenal Tuhan, tetapi bahwa nafsunya lebih didahulukannya dari ilmu itu,
bukan pula orang yang sedikit malunya daripada Allah, padahal Allah tetap
menutup auratnya, dan bukan orang yang lemah melawan musuhnya (setan),
dan bukan pula orang yang tak sanggup membuat muruah menjadi pakaian
5
Hamka, Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf (Jakarta: Republika, 2016), hlm. 123.
dan adab menjadi perisai dan takwa menjadi perhiasan, dan bukan pula orang
mengambil ilmu pengetahuannya hanya semata-mata buat
membanggabanggakan dan menyombong-nyombongkan dalam majelisnya.
Secara teoritis tekstualis, istilah ma’rifah berawal dari penafsiran ayat
alQur’an surat al-Dzariyat: 56
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.”
Kalimat “supaya mereka mengabdi kepada-Ku” menurut Ibnu Abbas
berarti agar mereka mengenal-Ku (Allah), yaitu ma’rifah. Sumber lain yang
dirujuk untuk memaknai istilah ini adalah dua buah hadits Qudsi dari Abu
Hurairah yang diriwayatkan al-Bukhari yang artinya:
“Dan hamba-Ku senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Ku
dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.”
2. Pembagian Ma’rifah dan Tahapan-tahapannya

Setelah beberapa definisi tentang ma’rifah, jika berbicara ma’rifah


maka setiap manusia memiliki potensi untuk mencapainya. Hanya saja yang
menjadi titik persoalannya adalah apakah ia telah memenuhi prasarana atau
prasyaratnya? Salah satu prasyaratnya, antara lain adalah kesucian jiwa dan
hati. Jika totalits jiwanya telah suci, dan hatinya telah dipenuhi dengan dzikir
kepada Tuhan, tidak mustahil hidupnya dipenuhi dengan kearifan dan
bimbingan-Nya. Pada intinya, tahapan pertama ialah penyucian jiwa.

Syarat untuk memperoleh kearifan atau ma’rifah, hati (qalb)


mempunyai fungsi esensial, sebagaimana diungkapkan Ibnu Arabi dalam
Fushus AlHikamnya:

“Qolb dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedantangan kasyf


dan ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk ma’rifah dan menjadi cermin
yang memantulkan makna-makna kegaiban.”

Dalam dunia tasawuf, qalb Merupakan pengetahuan tentang hakikat-


hakikat, termasuk didalamnya adalah hakikat ma’rifah. Qalb yang dapat
memperoleh ma’rifah adalah yang telah tersucikan dari berbagai noda atau
akhlak jelek yang sering dilakukan oleh manusia. Dan karena qalb merupakan
bagian dari jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan qalb
dalam menerima ilmu. Qalb yang telah tersucikan akan mampu menembus
alam malaikat. Sebab, alGhazali dalam Kimiya’ as-Sa’adahnya memasukkan.
Qalb sebagai sesuatu yang sejenis dengan malaikat. Ketika berada dialam
malaikat inilah, qalb dapat memperoleh ilmu pengetahuan dari Tuhan.

Qalb berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan. Hanya dengan sarana


qalb itulah ilmu ma’rifah dapat diperoleh manusia. Qalb-lah yang akan
mampu mengetahui hakikat pengetahuan, karena qalb telah dibekali potensi
untuk berdialog dengan Tuhan. Hal ini mengisyaratkan bahwa ma’rifah tidak
spontanitas dimiliki sembarang orang, melainkan hanya dimiliki orangorang
yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya,6 yaitu upaya
melalui maqamat-maqamat.

Ma’rifah adalah sejenis pengetahuan yang mana para sufi menangkap


hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Ma’rifah berbeda dengan
jenis pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara langsung,
tidak melalui representasi, image atau simbol dari objek-objek penelitiannya
itu. Seperti indra menangkap objeknya secara langsung, begitu juga dengan
hati atau intuisi yang menangkap objeknya secara langsung. Perbedaanya
terletak pada jenis objeknya. Kalau objek indra adalah benda-benda indrawi,
objek intuisi adalah entitas-entitas spiritual. Dengan demikian, ma’rifah
bersifat pengalaman batiniah sehingga tidak dapat diraih melalui jalan indrawi,
karena menurut Rumi, itu seperti mencari-cari mutiara yang berada didasar
laut. Ma’rifah juga tidak dapat diperoleh lewat penggalian nalar, karena itu
akan sama seperti orang yang menimba laut untuk mendapatkan mutiara
sehingga membutuhkan mursyid yang berpengalaman. Selain itu, ma’rifah
tidak bisa dipelajari dari buku, bahkan dari buku para sufi sekalipun. Ketika
kita datang pada seorang mursyid, maka ia akan mengajak kita melakukan
disiplin-disiplin spiritual yang keras, agar kita mengalami pengalaman-
pengalaman mistik atau keagamaan sendiri, dan dengan begitu bisa
mencicipinya sendiri.

Dari uraian di atas, dikatakan bahwa ma’rifah berbeda dengan


pengetahuan lain. Perbedaan itu terletak pada cara memperolehnya. Jenis

6
Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm.88
pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung
dan berpikir keras melalui cara-cara berpikir logis. Tetapi ma’rifah tidak bisa
sepenuhnya diusahakan oleh manusia. Pada tahap akhir semuanya tergantung
pada kemurahan Tuhan.7

Menurut Dzunnun al-Mishri ada tiga macam pengetahuan tentang


Allah:

a. Pengetahuan orang awam, yaitu Allah adalah satu dengan perantaraan


ucapan syahadat.
b. Pengetahuan ulama, yaitu Allah itu satu dengan perantaraan logika
atau akal.
c. Pengetahuan sufi, yaitu Allah itu satu dengan perantaraan hati
sanubari.

Menurut Dzunnun al-Misri ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan


hati sanubari. Ia menempatkan ma’rifah sebagai suatu maqam (tingkatan) dan
juga hal (keadaan) yang harus dicapai dalam dunia sufistik, dalam hal ini, ia
menyatakan bahwa ma’rifah merupakan tingkat tertinggi dalam tasawuf,
setelah melewati tingkat tobat, tawakal, sabar, ridha dan cinta atau mahabbah.
Sebagaimana dikutip oleh Bahdar bahwa Abu Bakar al Kalabazi (w. 380
H/990 M) dalam bukunya at-Ta’aruf li Mazahib ahl at-Tasawuf (Pengenalan
terhadap Mazhab mazhab Tasawuf) juga menyebutkan jika suatu hari
Dzunnun ditanya tentang bagaimana ma’rifah itu diperoleh? Dzunnun
menjawab “Araftu Rabbi bi Rabbi walau la Rabbi lamma Araftu Rabbi” (Aku
mengetahui Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak
akan mengetahui Tuhan).

Ungkapannya itu menunjukkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu


saja, tetapi merupakan pemberian Tuhan, rahmat, dan nikmat-Nya. Kata-kata
Dzunnun ini juga sangat populer dalam ilmu tasawuf dan dinilai sebagai tanda
bahwa ia telah mencapai ma’rifah.8 Lebih jauh tentang ma’rifah ia
memaparkan: “Orang yang paling tahu akan Allah ialah yang paling bingung
tentang-Nya.” Ma’rifah bisa didapat dengan tiga cara: Dengan pada sesuatu

7
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 13.
8
Bahdar, Zunnun al-Misri: Riwayat Hidup dan Konsep Ma’rifahnya”, Hunafa, Vol. 3 No. 2, Juni 2006. 211.
bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya,
bagaimana Allah telah memastikannya, dengan merenungkan makhluk, serta
bagaimana Allah menjadikannya.

Pandangan-pandangan Dzunnun tentang ma’rifah adalah :

a. Sesungguhnya ma’rifah yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan


Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula
ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli
balaghah, akan tetapi ma’rifah terhadap keesaan Tuhan yang khusus
dimiliki oleh para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang yang
menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa
yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
b. Ma’rifah yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu
dengan cahaya ma’rifah yang murni seperti matahari tak dapat dilihat,
kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat
kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-
Nya, mereka merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan
Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah,
dan mereka berbuat dengan perbuatan Allah.

Kedua pandangan Dzunnun tersebut menjelaskan bahwa ma’rifah


kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan
pembuktianpembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifah batin, yakni Tuhan
menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua
yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-
sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya
menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya, ia
sepenuhnya hidup didalam-Nya dan lewat diri-Nya.9

Selanjutnya, pembagian ma’rifah. Ma’rifah terbagai atas tiga macam


yaitu ma’rifah mu’min dan umum, ma’rifah mutakallimin dan hukama’ serta
ma’rifah auliya’ dan muqarrabin. 10 Pertama, ma’rifah mu’min yang diperoleh
orang muslim awam. Hal ini diperoleh melalui perantara syahadat, tanpa
9
Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 154.
10
Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf (Jakarta: Direktur Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam
Departemen Agama RI, 1983), hlm. 71
disertai dengan argumentasi karena orang awam mudah mempercayai kabar
berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya dengan tanpa difikirkan
secara mendalam. Orang awam biasa mengenal Allah karena memang
demikian ajaran yang diterimanya.

Kedua, Orang filosof dan mutakallimin yaitu cara memperoleh


ma’rifah melalui pemikiran dan pembuktian akal. Mencari Allah dengan
perjalanan akalnya Oleh perhitungan akal dan logika. Jadi mereka bisa
mengetahui adanya Allah, tapi belum tentu merasakan keberadaannya karena
pemahaman yang bersifat rasional melalui berpikir spekulatif. Ma’rifah jenis
kedua ini banyak dimiliki oleh kaum ilmuan, filosof, sastrawan, dan termasuk
dalam golongan orang-orang khas. Golongan ini memiliki ketajaman
intelektual, sehingga akan meneliti, memerikasa membandingkan dengan
segenap kekuatan akalnya.

Jenis ketiga, orang-orang muqarrabin yang mencari Allah dengan


pedoman cinta dan mengutamakan ilham atau Faidh (limpah karunia Allah)
atau kasyaf (tersingkapnya hijab kebathinan dalam alam kerohanian). Di
waktu itu akal tak berjalan lagi, melainkan tiba di derajat yang mustawa.

Menurut keterangan Dzunnun al-Mishri yang mengatakan ada


beberapa tanda yang dimiliki oleh sufi apabila sudah sampai kepada tingkatan
ma’rifah, antara lain:11

a. Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan


perilaku, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak selalu menjadikan sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata dalam ajaran tasawuf belum tentu
benar.
c. Tidak menginginkan nikmat yang banyak kepada dirinya, karena hal
itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Paparan Dzunnun di atas menunjukkan bahwa seorang yang ‘arif yang


sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya,

11
Nasrul, Akhlak Tasawuf (Yogyakarta: Aswaja Peressindo, 2015), hlm. 193.
senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apapun, dan semakin dekat serta
menyatu kepadanya.

Dalam perjalanan rohani, Dzunnun mempunyai sistematika sendiri


tentang jalan menuju tingkat ma’rifah. Dari teks-teks ajarannya, Abdul Halim
Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Dzunnun sebagai berikut:

a. Ketika ditanya siapa sebenarnya orang bodoh itu, Dzunnun menjawab,


“Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha
untuk mengenal-Nya.”
b. Dzunnun mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam: Thariq al-
inabah, jalan ini harus dimulai dengan meminta dengan cara ikhlas dan
benar, dan thariq al-ihtiba’, jalan ini tidak mensyaratkan apa-apa pada
seseorang. Ini urusan Allah semata.
c. Di sisi lain Dzunnun menyatakan bahwa manusia iu ada dua macam:
Darij dan Wasil, Darij adalah orang yang berjalan menuju iman,
sedangkan wasil adalah yang berjalan di atas kekuatan ma’rifat.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam al-Ma’rifah,
Dzunnun melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang
terdapat di alam semesta.
d. Relasi antara Mahabbah dan Ma’rifah Dzunnun al-Misri
menggolongkan tasawuf kepada ilmu batin pada tataran tertinggi yang
hanya dapat dipahami oleh kalangan tertentu saja. Hal ini berkaitan
dengan proses ibadah yang dilakukan secara terus menerus sehingga
mampu menembus ruang sehingga dapat menciptakkan
ajaranajarannya. Dzunnun al-Mishri bertitik tolak kepada ma’rifah.
Ma’rifah menjadi ujung pengembaraan aktifitas tasawuf yang dapat
dilalui dengan maqamat. Salah satu maqamat yang penting
adalah”mahabbah.”

Jika ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan


melalui mata hati (al-Qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan
dengan Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan
cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan
kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dillihat dan
dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.12

Ilmu ahli pikir bermula dari akal, sedangkan ilmu kaum sufi berasal
dari mahabbah menuju kepada ma’rifah. Ma’rifah yang benar kepada Allah
adalah membawa sinar-Nya dalam hati terang dan jelas sebagaimana matahari
membawa sinar hingga terang benderang, membuat orang selalu mendekat
kepada Allah hingga menjadi fana dalam keesaan-Nya. Dalam kondisi
demikian maka orang berbicara dengan ilmu yang diberikan-Nya dan berbuat
dengan perbuatanNya. Dengan demikian, ma’rifah adalah sesuatu yang halus
yang terbit dalam hati terdalam diberikan oleh Tuhan, terbuka hijab dan
jelaslah penyaksian.

12
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 211.
Dafrat Pustaka

Nasrul. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Aswaja Peressindo. 2015.

Bahdar, “Dzunnun Al-Mishri (riwayat hidup dan konsep ma’rifahnya)” dalam Jurnal Hunafa, Volume
3 No. 02.2006

Hamka. Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf. Jakarta: Republika. 2016.

Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga. 2006.

M.Solihin dan Rosihin Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. 2014.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008.

Said, Usmain. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Direktur Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam Departemen Agama RI. 1983

Anda mungkin juga menyukai