Anda di halaman 1dari 9

RESUME MATERI

Tugas ke 03

Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan

Dosen Pengampu: Drs. H Agus Marsidi, M.Si

OLEH

Ivana Ameylia Likoelangi

(210405501041)

KELAS C

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR


2021
A. Hakikat Manusia

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal dan pikiran. Manusia
merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki derajat paling tinggi di antara
citaannya yang lain. Hal yang paling penting dalam membedakan manusia dengan
makhluk lainnya adalah bahwa manusia dilengkapi dengan akal, pikiran, perasaan, dan
keyakinan untuk mempertinggi kualitas hidupnya di dunia. Manusia adalah makhluk
bertanya, ia mempunyai hasrat untuk mengetahui segala sesuatu. Atas dorongan hasrat
ingin tahunya, manusia tidak hanya bertanya tentang berbagai hal yang ada di luar
dirinya, tetapi juga bertanya tentang dirinya sendiri. Dalam rentang ruang dan waktu,
manusia telah dan selalu berupaya mengetahui dirinya sendiri. Hakikat manusia dipelajari
melalui berbagai pendekatan (common sense, ilmiah, filosofis, religi) dan melalui
berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi, antropobiologi, psikologi, politik). Berbagai
kesamaan yang menjadi karakteristik esensial setiap manusia ini disebut pula sebagai
hakikat manusia, sebab dengan karakteristik esensialnya itulah manusia mempunyai
martabat khusus sebagai manusia yang berbeda dari yang lainnya. Contoh: manusia
adalah animal rasional (hewan yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-
simbol untuk menyatakan pikiran sebagai milik manusia yang unik) , animal
symbolicum(manusia seutuhnya),animal sociale (hewan yang menpunyai kemampuan
untuk mengunakan simbol-simbol untuk menkomunikasikan pikiranya) homo feber, homo
sapiens, homo sicius, dan sebagainya. Pengertian hakikat manusia adalah seperangkat
gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistensi manusia di
dunia. Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya” (principe de’etre)
manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan
tentang “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik khas yang memiliki
sesuatu martabat khusus” (Louis Leahy, 1985). Aspek-aspek hakikat manusia, antara lain
berkenaan dengan asal-usulnya (contoh: manusia sebagai makhluk Tuhan), struktur
metafisikanya (contoh: manusia sebagai kesatuan badan-ruh), serta karakteristik dan
makna eksistensi manusia di dunia (contoh: manusia sebagai makhluk individual, sebagai
makhluk sosial, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk susila, dan sebagai
makhluk beragama).

Wujud sifat hakikat manusia:


1. Kemampuan menyadari diri: Manusia sadar bahwa dia berbeda dari makhluk lain,
manusia dapat mengembangkan aspek individualnya.
2. Kemampuan bereksistensi: Manusia memiliki kemampuan menempatkan diri dan
menembus inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena mampu
bereksistensi inilah, maka dalam dirinya terdapat unsur kebebasan.
3. Kata hati (geweten atau conscience yang artinya pengertian yang ikut serta): Kata hati
adalah kemampuan membuat keputusan atau pertimbangan tentang yang baik dan yang
buruk bagi manusia sebagai manusia.
4. Tanggung jawab: Kesediaan untuk menanggung akibat dari perbuatan yang menuntut
jawab.
5. Rasa kebebasan: Perasaan yang dimiliki oleh manusia untuk tidak terikat oleh sesuatu,
selain terikat (sesuai) dengan tuntutan kodrat manusia. Manusia bebas berbuat sepanjang
tidak bertentangan (sesuai) dengan tuntutan kodratnya sebagai manusia.
6. Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk social. Keduanya tidak bisa dilepaskan satu sama lain, karena
yang satu mengandaikan yang lain. Hak tak ada tanpa kewajiban, dan sebaliknya.
7. Kemampuan menghayati kebahagiaan: Kesanggupannya atau kemampuannya
menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut
dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu: usaha, norma-norma dan takdir.

B. Tugas dan fungsi manusia


 Manusia sebagai makhluk Tuhan: Kita sebagai makhluk yang diciptakan sesuai
gambaran-Nya kita harus melaksanakan tugas dan perintah-Nya dan, hal tersebut dapat
menimbulkan kejelasan akan tujuan hidup kita, menimbulkan sikap positif dan
familiaritas akan masa depan, menimbulkan rasa dekat dengan sang pencipta.
 Manusia sebagai makhluk individu: Setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga
bersifat unik. Perbedaan ini baik berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan
berpikirnya, minat dan bakatnya, dunianya, serta cita-citanya. Setiap manusia mampu
menempati posisi, berhadapan, menghadapi, memasuki, memikirkan, bebas mengambil
sikap, dan bebas mengambil tindakan atas tanggung jawabnya sendiri (otonom). Oleh
karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai objek.
 Manusia sebagai makhluk sosial: Dalam hidup bersama dengan sesamanya
(bermasyarakat) setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu. Di samping itu,
setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga
mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Selain adanya
kesadaran diri, terdapat pula kesadaran sosial pada manusia. Melalui hidup dengan
sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Hubungan sosial manusia
juga harus timbal balik atau saling menguntungkan.
 Manusia sebagai makhluk berbudaya: Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam
menciptakan kebudayaan, hidup berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan memiliki
fungsi positif bagi kemungkinan eksistensi manusia, namun demikian apabila manusia
kurang bijaksana dalam mengembangkannya, kebudayaanpun dapat menimbulkan
kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia. Contoh: dalam perkembangan
kebudayaan yang begitu cepat, sejak abad yang lalu kebudayaan disinyalir telah
menimbulkan krisis antropologis.
 Manusia sebagai makhluk susila: Adapun kebebasan berbuat juga selalu berhubungan
dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Oleh karena
manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom
maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung-jawaban atas perbuatannya.
 Manusia sebagai makhluk beragama: Percaya pada Tuhan, melakukan ritual, Ibadah dan
upacara-upacara. Hubungan pribadi manusia dengan Tuhan yang bersifat transendefal
(melibatkan rohani manusia bersifat perorangan).

C. Pengembangan Sumber daya manusia dalam perspektif filosofi


Pengembangan sumber daya manusia berkaitan erat dengan kuantitas dan kualitas
pengetahuan yang dimiliki. Keadaan ini menjadi sangat penting karena dari
pengetahuanlah manusia mempunyai dasar untuk bertindak, dan dari pengetahuanlah
manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Pengembangan sumber daya manusia
terkadang terhambat oleh pemikiran epistemologi tertentu yang sering dikaitkan dengan
ajaran agama. Peranan Filsafat Ilmu dengan pengembangan sumber daya manusia.
Manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap karena
manusia mampu berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu, manusia mampu
mekomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan masyarakat akan menentukan perkembangan
kehidupan masyarakat yang bersangkutan, artinya masyrakat dengan ilmu pengetahuan
yang masih sederhana tingkat perkembangannya tidak akan secepat dan sebaik dengan
masyarakat yang tingkat perkembangannya ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia
yang lebih maju. Pengembangan ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia ternyata
merupakan kekuatan yang sangat dominan dalam menentukan perkembangan
masyarakat. Kegiatan manusia untuk mengembangkan dirinya dan menemukan
pengetahuan yang benar adalah sesuatu yang mutlak dilakukan karena manusia selalu
berpikir. Namun setiap manusia berbeda cara berpikirnya untuk menemukan suatu
kebanaran yang hakiki. Manusia pada hakekatnya merupakan mahluk yang berpikir,
merasa bersikap dan bertindak, sikap dan tindakannya bersumber dari pengetahuan yang
didapatkan lewat kegiatan berpikir dan dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini merupakan sumber bagi setiap orang atau diri seseorang. Dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi cara bepikir seseorang maka otomatis pengembangan yang ada pada diri
seseorang semakin tinggi pula dengan kata lain peranan ilmu atau filsafat ilmu terhadap
pemgembangan sumber daya manusia sangat erat kaitannya atau saling ketergantungan.
Manusia mengembangkan pengetahuan, dari pengetahuannya itu muncul daya pikir
bagaimana mengatasi kebutuhan dan kelangsungan hidup. Jadi potensi yang dimiliki
seseorang menjadi penentu kehidupan pada dirinya. Sehingga peranan filsafat ilmu
terhadap pengembangan sumber daya manusia saling berkaitan satu sama lain.

D. Hakikat Pendidikan
Pendidikan itu bisa dikatakan sangat kompleks, terkait dengan berbagai aspek kehidupan
dan kepentingan-kepentingan. Ia berada dalam suatu lingkaran tarik-menarik beragam
kepentingan ideologi, politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, kemanusiaan dan lain
sebagainya. Secara politis, pemerintah menginginkan pendidikan atau kurikulum yang
dapat menopang dan mendukung ideologi-ideologi politiknya. Pendidikan pada
hakikatnya merupakan pencerminan dari kondisi negara, juga pencerminan dari ambisi-
ambisi para pemimpin dan kekuatan-kekuatan sosial-politik yang sedang berkuasa.
Dengan sendirinya pendidikan juga merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada.
Dalam fenomena yang lain, kita juga menjumpai adanya kepentingan sementara orang
untuk meletakkan pendidikan itu pada dunia pasar, dunia ekonomi dan ketenagakerjaan.
Kurikulumnya didesain sedemikian rupa sehingga dapat menjanjikan murid-murid
terampil dan masuk dalam dunia kerja secara profesional, tetapi dengan biaya pendidikan
yang relatif mahal. Di samping hal-hal kepentingan tersebut, wujud pendidikan itu bisa
dipahami sebagai lembaga atau institusi, sistem, administrasi dan birokrasi, perilaku dan
proses belajar-mengajar, bangunan keilmuan, dan lain sebagainya. Ini semua
mengindikasikan bahwa pendidikan itu tidak bisa berdiri sendiri, dan mengandung makna
yang bias secara fenomenal. Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah proses
pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan.
Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Hakikat pendidikan
dapat dirumuskan sebagi berikut :
1. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan
antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik;

2. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang


mengalami perubahan yang semakin pesat;

3. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;

4. Pendidikan berlangsung seumur hidup;Pendidikan merupakan kiat dalam


menerapkan prinsip-prinsip ilmu.

E. Eksistensi pendidikan dalam pengembangan fitrah manusia


 Hakikat Fitrah Manusia
Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara ( ‫ ) فطر‬yang berarti menjadikan.
Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr ( ‫ ) الفطر‬yang berarti belahan atau
pecahan. Selanjutnya bila makna kata fitrah dikaitkan pada manusia dapat dipahami
dengan merujuk firman Allah surat al-Ruum ayat 30 sebagai berikut: "Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui". Secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai
potensi (kecenderungan) manusia untuk beragama (tauhid ila Allah). Fitrah
diartikan sebagai kemampuan dasar untuk berkembang dalam pola dasar keislaman
(fitrah islamiah) karena faktor kelemahan diri manusia sebagai ciptaan tuhan yang
berkecenderungan asli untuk berserah diri kepada kekuatan-Nya (M. Arifin:1994).
 Konsep Aliran Pendidikan Agama (Islam) dalam Perspektif Fitrah
a. Fatalis-Pasif: Setiap individu telah terikat dengan ketetapan Allah, sehingga
faktor-faktor eksternal seperti pendidikan dan lingkungan tidak memiliki
pengaruh terhadap penentuan nasib dan pembentukan kepribadian. Karena
segala yang dimiliki oleh manusia telah ditentukan terlebih dahulu oleh Allah
sebelum manusia itu lahir ke dunia. Lingkungan dan pendidikan tidak memiliki
pengaruh apapun terhadap pembentukan kepribadian manusia.
b. Netral-Pasif: Manusia berpotensi menjadi baik bila orang tuanya mengajarkan
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, sebaliknya manusia akan menjadi buruk
ketika orang tuanya mengabaikan nilai-nilai kebenaran dan justru mengajarkan
keburukan dan kejahatan. Prinsip dari pandangan ini adalah bahwa mana yang
lebih dominan dan intensif mempengaruhi manusia, hal itulah yang akan
membentuk kepribadiannya, apakah ia cerdas atau bodoh, kreatif atau jumud,
dan lain sebagainya (Maragustam:2010). Menurut pandangan netral, kebaikan
yang akan mengarah pada iman atau keburukan yang akan mengarah pada kufur
itu hanya akan berwujud ketika anak tersebut telah mencapai pada kedewasaan.
Karena setelah anak mencapai kedewasaan, seseorang akan memiliki rasa
tanggung jawab atas perbuatannya.
c. Positif-Aktif: Semua anak lahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam keadaan
kebajikan, dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan individu
menyimpang dari keadaan ini. Ibnu taimiyah memberikan tanggapan atas
pandangan Ibnu Abd al-Barr dan mengaskan bahwa fitrah bukanlah semata-
mata sebagai potensi pasif yang harus dibentuk dari luar, tetapi merupakan
sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri yang ada dalam individu
tersebut.
d. Dualis-Aktif: Manusia merupakan makhluk berdimensi ganda, dengan sifat
dasar ganda yang keduanya saling berlawanan. Al-Jamaly mengatakan bahwa
fitrah adalah kemampuan-kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan
yang murni bagi setiap individu yang kemudian saling mempengaruhi dengan
lingkungan sehingga tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik atau lebih
buruk. Implikasi pengembangannya bahwa pendidikan bisa memperbaiki
manusia dan menumbuh kembangkan potensi baik dalam diri manusia.
 Implikasi Pengembangan Fitrah Manusia
Dalam rangka mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani
maupun rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Hal ini berarti
bahwa pendidikan merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan fitrah
manusia tersebut. Dengan proses pendidikan, manusiamampu membentuk
kepribadiannya, mentransfer kebudayaannya dari suatu komunitas kepada
komunitas lainnya, mengetahui nilai baik dan buruk, dan lain sebagainya. Merujuk
kepada makna manusia yang ditunjukkan oleh Allah dalam Al-Quran, secara teknis
upaya pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan dengan cara memformat
interaksi pendidikan yang proporsional dan ideal. Dalam hal ini setidaknya ada
dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
Pertama, pendekatan per kata. Ketika Allah menggunakan terma al-basyar dalam
menunjuk manusia sebagai makhluk biologis, maka interaksi pendidikan yang
ditawarkan harus pula mampu menyentuh perkembangan potensi biologis
(fisik) peserta didik. Ketika Allah menggunakan terma al-insan, maka interaksi
pendidikan harus pula mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik.
Demikian pula ketika Allah menggunakan terma al-nas, maka interaksi pendidikan
harus pula mampu menyentuh aspek kehidupan sosial peserta didik. Ketiga terma
tersebut harus diformulasikan secara integral dan harmonis dalam setiap interaksi
pendidikan yang ditawarkan.
Kedua, pendekatan makna substansial. Ketika Allah menunjuk ketiga terma tersebut
dalam memaknai manusia, Allah SWT secara implisit telah melakukan serangkaian
interaksi edukatif pada manusia secara proporsional. Allah telah memberikan
kelebihan pada manusia dengan berbagai potensinya yang bersifat dinamis, di
samping berbagai kelemahan dan keterbatasan manusia dalam menjalankan
kehidupannya di muka bumi. Dengan berbagai potensi tersebut, manusia lebih
unggul dan sempurna sesuai dengan tujuan penciptaannya,
dibanding dengan makhluk Allah yang lain.

Anda mungkin juga menyukai