Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PERNIKAHAN DAN HIKMAH DISYARI’ATKAN NYA


Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “Sistem Pembelajaran Fiqh”

Dosen Pengampu:
Dr. H. Oking Setia Priyatna Drs., M.Ag

Disusun Oleh:
KELOMPOK 4
Febrina Askolani (191105010227)
Hervina Maulidia (191105010231)
Siti Sumiati (191105010251)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Rabbul Izzati yang telah menganugerahkan
nikmat-Nya kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Pernikahan
dan disyari’atkan nya”
Tak lupa pula kita haturkan salam serta shalawat atas junjungan kita Nabi Muhammad
SAW. Yang telah menuntun kita kejalan benar, beserta keluarga dan sahabatnya sebagai sumber
ilmu pengetahuan dan hikmat.
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Sistem Pembelajaran Fiqh
yang dibimbing oleh dosen Dr. H. Oking Setia Priyatna Drs., M.Ag di Universitas Ibn Khaldun,
pada program studi Pendidikan Agama Islam. Maka harapan penyusun kiranya makalah ini,
sesuai dengan harapanBapak Dosen pada mata kuliah yang dimaksud.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, sekali pun penyusun berusaha dengan keras untuk menyempurnakannya, namum
penyusun tetap berkeyakinan masih banyak juga kekurangan-kekurangannya. Oleh karena itu
dengan ini pula kami menantikan masukan berupa saran, usulan kritik dan sebagainya dari para
pembaca untuk dijadikan bahan penyempurnaan pada masa-masa mendatang. Dan akhirnya
hanya kepada Allah SWT, jualah penulis memohon semoga tulisan ini memberikan manfa’at
yang baik guna kemajuan ilmu pengetahuan, baik bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................3
B. Permasalahan.........................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................4
PEMBAHASAN....................................................................................................................4
A. Pengertian Nikah....................................................................................................4
B. Dalil tentang Pernikahan........................................................................................5
C. Rukun Pernikahan dan Syaratnya...........................................................................6
D. Macam- macam pernikahan yang tidak sah menurut ulama Syafi’iah...................9
E. Sunnah-Sunnah yang Dianjurkan didalam Akad Nikah.........................................10
F. Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi...................................................................11
G. Kafa’ah (Kesetaraan) dalam Pernikahan...............................................................12
H. Hal-hal yang Berkaitan dengan Pernikahan..........................................................13
I. Hikmah Pernikaha .…………………………………………………………………………………………. 16

BAB III...............................................................................................................................17
PENUTUP..........................................................................................................................17
A. Kesimpulan...........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................18

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya hukum Islam sudah mengatur tentang pernikahan sesuai dengan ketentuan
syari’at Islam. secara garis besar hukum Islam terbagi menjadi dua yaitu fiqih ibadah dan fiqih
muamalat. Dalam fiqih ibadah meliputi aturan tentang shalat, puasa, zakat, haji, nazar dan
sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Sedangkan fiqih muamalah ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya seperti
perikatan, sanksi hukum dan aturan lain agar terwujud ketertiban dan keadilan baik secara
perorangan maupun kemasyarakatan.
Dalam ilmu fiqih membahas tentang pernikahan. yang dimaksud dengan nikah menurut
bahasa berasal dari bahasa arab yaitu nakaha- yankihu-nikahan yang berarti kawin. Dalam istilah
nikah adalah ikatan suami istri yang sah menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban
bagi suami istri. Dalam hukum kekeluargaan harus disertai dengan kuat agama yang disyariatkan
Islam. Beberapa hukum tersebut dapat dipelajari dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua
keluarga. Faedah terbesar pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang
bersifat lemah itu dari kebinasaan sebab seorang perempuan apabila ia sudah menikah maka
biaya hidupnya wajib ditanggung oleh suaminya. Demikianlah maksud pernikahan sejati dalam
Islam. Selanjutnya akan dibahas dibab pembahasan.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pernikahan?
2. Apa saja rukun pernikahan dan syaratnya?
3. Apa saja hal yang berkaitan dengan pernikahan?
4. Siapa saja wanita yang haram dinikahi?
5. Apa yang dimaksud dengan kafa’ah?
6. Apa saja sunnah-sunnah yang dianjurkan dalam pernikahan?
7. Apa saja macam-macam pernikahan?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Kata nikah atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam Bahasa Indonesia, sebagai
padanan kata perkawinan. Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya hingga menimbulkan hak
dan kewajiban diantara keduanya, dengan menggunakan lafadz inkah atau tazwij atau
terjemahannya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang
dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk
hidup bersama dalam satu rumah tangga guna mendapatkan keturunan.

B. Dalil tentang Pernikahan


1. Q.S An Nur ayat 32.

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

2. Hadits Nabi Muhammad SAW.


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita demikian, sebagaimana diriwayat-
kan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami

5
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu
beliau bersabda kepada kami:

َ َ‫ فَِإنَّهُ َأ َغضُّ لِ ْلب‬، ْ‫ َم ِن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوج‬،‫ب‬


‫ص ِر‬ ِ ‫يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬
‫ فَِإنَّهُ لَهُ ِو َجاء‬،‫ َو َم ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَ ْي ِه ِبالص َّْو ِم‬،‫ج‬ِ ْ‫ص ُن لِ ْلفَر‬
َ ْ‫وَأح‬.َ
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah, maka
menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan.
Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan
syahwatnya (sebagai tameng).”

C. Rukun Pernikahan dan Syaratnya


1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
a. Syarat-syarat seorang calon suami yaitu:
 Perempuan yang hendak dinikahi bukan mahram.
 Tidak terpaksa (atas kemauan sendiri).
 Jelas orangnya.
 Tidak sedang ihram haji
 Mengetahui wali yang sebenernya bagi akad nikah tersebut.
b. Syarat-syarat seorang calon istri yaitu:
 Tidak bersuami
 Calon suami bukan mahram
 Tidak dalam masa iddah
 Merdeka (atas kemauan sendiri)
 Jelas orangnya
 Tidak sedang ihram haji

2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.


Syarat-syarat wali yaitu:
 Laki-laki

6
 Dewasa
 Waras akalnya
 Tidak dipaksa
 Adil
 Tidak sedang ihram haji

Susunan wali
1. Bapaknya.
2. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan).
3. Saudara laki laki.
4. Saudara laki laki yang sebapak.
5. Anak laki laki dari saudara laki laki yang seibu sebapak dengannya (keponakan laki-laki).
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
7. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak).
8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya (sepupu laki-laki).
9. Orang yang memerdekakanya.
10. Hakim

3) Adanya dua orang saksi


Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kedudukan saksi dalam pernikahan,
apakah termasuk rukun ataukah termasuk syarat dalam pernikahan. Ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa saksi itu adalah termasuk rukun dari pernikahan. Sedangkan
menurut Hanafiyah dan Zahiriyah, saksi merupakan salah satu dari dari syarat-syarat pernikahan
yang ada.
Tidak semua orang boleh menjadi saksi, khususnya dalam pernikahan. Ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi agar dia bisa menjadi saksi yang sah, yaitu:
 Saksi berjumlah minimal dua orang. Pendapat inilah yang dipegang oleh jumhur ulama.
Sedangkan hanafiyah berpendapat lain, menurutnya, saksi itu boleh terdiri dari satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan.
 Kedua saksi itu merdeka (bukan budak).

7
 Saksi bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan
dosa kecil dan tetap menjaga muruah.
 Saksi harus beragama Islam.
 Saksi harus bisa mendengar dan melihat.
 Kedua saksi adalah laki-laki.

4) Sighat akad nikah (ijab kabul)


Ijab adalah sesuatu yang diucapkan oleh wali, sedangkan kabul ialah sesuatu yang
diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya dan disaksikan oleh dua orang saksi.
Dalam hukum Islam, akad pernikahan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat
keperdataan. Akad dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat, yang mana perjanjian itu bukan
hanya disaksikan oleh dua orang saksi atau kehadiran orang banyak pada waktu berlangsungnya
pernikahan, akan tetapi juga disaksikan langsung oleh Allah SWT. Oleh karena itu perjanjian
pada akad pernikahan ini sangatlah bersifat agung dan sakral. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi agar akad ijab kabul itu bisa menjadi sah, yaitu:
 Akad dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Ijab berarti penyerahan dari pihak
pertama, sedangkan Kabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Contoh penyebutan ijab,
saya nikahkan anak saya yang bernama Khotibah dengan mahar uang satu juta rupiah dibayar
tunai‛. Lalu kabulnya, saya terima menikahi anak bapak yang bernama Khotibah dengan
mahar uang sebesar satu juta rupiah. Materi dari ijab dan kabul tidak boleh berbeda, seperti
nama si perempuan dan bentuk mahar yang sudah ditentukan.
 Ijab dan kabul harus menggunakan lafadz yang jelas dan terang sehingga dapat dipahami
oleh kedua belah pihak secara tegas. Dalam akad tidak boleh menggunakan kata sindiran
karena masih dibutuhkan sebuah niat, sedangkan saksi dalam pernikahan itu tidak akan dapat
mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang. Lafadz yang sharih (terang) yang disepakati
oleh ulama ialah kata nakaha atau zawaja, atau terjemahan dari keduanya.
 Ijab dan kabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa
berlangsungnya pernikahan, karena adanya pernikahan itu bertujuan untuk selama hidupnya,
bukan sesaat saja.
 Ijab dan kabul harus diucapkan secara berkesinambungan tanpa terputus walau sesaat.

8
D. Macam- macam pernikahan yang tidak sah menurut ulama Syafi’iah
1. Nikah Syighar
Nikah syigrar adalah seorang laki-laki menikahkan wanita yang ada dalam perwalianya kepada
seseorang dengan syarat orang tersebut menikahkan wanita yang ada dalam perwalianya
kepadanya tanpa disertai mas kawin, misalkan “aku menikahkan kamu dengan putriku, dengan
syarat kamu menikahkanku dengan putrimu”.
Rasulullah secara tegas melarang jenis pernikahan ini. Dalam salah satu hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau bersabda:

)‫اَل ِشغَا َر فِ ْي اِإْل ْساَل ِم (رواه مسلم‬


“Tidak sah nikah syigar dalam Islam.” (HR. Muslim)

2. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah nikah yang dibatasi dengan waktu tertentu. Jika seseorang lelaki menikah
dengan waku seminggu, atau sebulan itu nikahnya tidak sah.
Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Salamah bin al-Akwa’ ia berkata

ٍ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم عَا َم اَوْ ِطا‬


‫س فِى‬ َ ‫ض َي هللا َع ْنهُ قَا َل َر َّخ‬
َ ‫ص َرسُوْ ُل هللا‬ ِ ‫ِع ْن َسلَ َمةَ ْب ِن ااْل َ ْك َو‬
ِ ‫ع َر‬
)‫ْال ُم ْت َع ِة ثَاَل ثَةَ اَي ٍَّام ثُ َّم نَهَى َع ْنهَا (رواه مسلم‬
“Dari Salamah bin al-Akwa’ r.a ia berkata “pernah Rasulullah SAW membolehkan perkawinan
mut’ah pada hari peperangan authas selama tiga hari. kemudian sesudah itu ia dilarang.” (HR.
Muslim)

3. Nikah Tahlil
Nikah tahlil adalah seorang suami yang menthalaq istrinya yang suka ia jima’ agar bisa dinikahi
lagi oleh suami pertamanya yang pernah menjatuhkan thalaq tiga (thalaq ba’in) kepadanya.
Nikah tahlil merupakan kerjasama negative antara muhallil (suami pertama) dan
muhallal (suami kedua). Nikah tahlil ini masuk dalam kategori nikah muaqqat (nikah dalam
waktu tertentu) yang terlarang sebagai nikah mut’ah. Dikatakan demikian karena suami kedua

9
telah bersepakat dengan suami pertama untuk menikahi wanita yang telah ia thalaq tiga,
kemudian suami kedua melakukan hubungan seksual secara formalitas dengan wanita tersebut
untuk kemudian ia thalaq, agar bisa kembali dinikahi suami pertamanya. Tentang pengharaman
nikah tahlil Rasulullah telah menegaskan dalam banyak sabda beliau. Diantaranya hadits yang
diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata:

‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال ُم َحلِّ َل َو ْال ُم َحلَّ َل‬


َ ‫ لَ َعنَ َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ض َي هللا َع ْنهُ قَال‬
ِ ‫ع َِن اب ِْن َم ْسعُوْ ٍد َر‬
)‫لَهُ (رواه الترمذي و النساء‬
“Dari Ibnu Mas’ud r.a berkata: Rasulullah telah mengutuki orang laki-laki yang menghalalkan
dan yang dihalalkan” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)

4. Nikah orang yang sedang berihram.


Pernikahan tidaklah sah ketika salah satu dari pelaku akad sedang dalam keadaan ihram haji atau
umrah atau dua duanya.

5. Pernikahan mu’taddah adalah pernikahan dengan perempuan yang sedang iddah.

6. Nikah beda agama.

‫ت َحتّى يُْؤ ِم َّن َوَأَل َمةُ ُمْؤ ِمنَةُ خَ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ َأ ْع َجبَ ْت ُك ْم َواَل تُ ْن ِكحُوْ ا‬ ِ ‫َواَل تُ ْن ِكحُوْ ا ْال ُم ْش ِر َكا‬
‫ك َولَوْ َأ ْع َجبَ ُك ْم‬
ٍ ‫ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َحتّى يُْؤ ِمنُوْ ا َولَ َع ْب ٌد ُمْؤ ِم ُن َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر‬
“Jangan nikahi perempuan-perempuan musyrik (kafir) sehingga mereka beriman, sesungguhnya
hamba sahaya yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menarik hatimu
(karena kecantikan) janganlah kamu nikahkan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik
sehingga ia beriman.” (QS. Al-Baqarah/2 : 221).

E. Sunnah-Sunnah yang Dianjurkan didalam Akad Nikah


a. Hendaknya suami berkhotbah sebelum akad nikah dilaksanakan.
b. Hal ini dimulai dengan tahmid dan bersyahadat, shalawat atas Rasulullah SAW dengan
dibarengi membaca ayat tentang perintah bertakwa dan menyebutkan maksudnya.
c. Hendaknya mendoakan kedua mempelai setelah akad nikah.
d. Hendaknya melangsungkan akad nikah dilakukan pada hari jumat sore.

10
e. Mengumumkan pernikahan dan memukul rebana.
f. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Umumkanlah pernikahan dan
pukullah rebana”.
g. Menyebutkan Mahar, yaitu menentukannya ketika akad, karena hal itu dapat
menenangkan jiwa dan mencegah perselisihan dikemudian hari. Disunnahkan juga mahar
dibayar kontan tanpa harus ditunda sebagainnya.

F. Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi


1. Mahram karena garis keturunan
Mereka adalah ibu,anak perempuan,saudara perempuan,bibi,keponakan laki-laki atau
perempuan.
2. Mahram karena garis besanan
Mereka adalah Ibu istri(mertua perempuan),Nenek istri dari pihak ibunya,dan nenek istri
dari pihak ayahnya dan seterusnya. Anak tiri yang telah dicampuri,istri
anak(menantu),istri cucu laki-laki dan istri cucu perempuan dan ibu tiri.
3. Mahram karena sepersusuan
Pertama, Ibu seseorang dari susuan dan nasab keatasnya, yaitu ibu susuan dan para
nenek
Kedua, Keturunan dari dari susuan dan nasab dibawahnya. Mereka adalah Anak
perempuan susuan dan anak perempuanya,cucu perempuan anak laki laki susuan, dan
anak perempuanya meskipun turun.
Ketiga, Keturunan kedua orang tua dari susuan yaitu saudara perempuan dari susuan, dan
keponakan perempuan dari anak laki-laki susuan serta anak perempuanya meskipun
turun.
Keempat, Keturunan langsung kakek dan nenek dari susuan . yaitu bibi dari pihak
bapak , dan bibi dari pihak ibu susuan.
Kelima, Ibu mertua dan neneknya dari susuan dan nasab keatasnya. Meskipun telah
terjadi persetubuhan dengan istri ataupun tidak.
Keenam, istri bapak dan istri kakek dari susuan dan nasab keatasnya.
Ketujuh, istri anak, istri cucu, dari anak laki –laki dan anak perempuan susuan, dan
nasab dibawahnya.

11
G. Kafa’ah (Kesetaraan) dalam Pernikahan
1. Pengertian
Al-Kafa’ah berarti kesetaraan atau kesepadanan. Al-Kuhfu, Al-Kafa dan Al-Kahfu berarti orang
yang sebanding dan sepadan dalam pernikahan. Istilah ini berarti suami setara dengan istri atau
setara dalam kedudukan,status sosial,moral dan kekayaan. Tidak diragukan lagi semakin dekat
kesetaraan antara suami dan istri, semakin kuat pula faktor penunjang kesuksesan kehidupan
bekeluarga dan akan lebih terjaga dari kegagalan.
2. Hukum
Jumhur ulama’  termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad
berpendapat bahwa kafa’ah  itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara
orang yang tidak se-kufu  akan tetap dianggap memilki legalitas hukum. Kafa’ah  dipandang hanya
merupakan segi afdholiyah saja.  Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “ Inna akromakum ‘inda
Allahi atqookum.
Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi kafa’ah,
menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja. Kafa’ah  bukan
karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak
bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan
pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin
boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh
menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama
kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan
dengan persetujuan si perempuan. Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan
Syafi’iah. Mereka mengakui adanya kafa’ah  dengan dasar-dasar yang akan kami sampaikan nanti
meskipun kafa’ah  masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat
yang menentukan keabsahan nikah.
3. Kesetaraan akhlak dapat dipertimbangkan
Beberapa ulama berpendapat kesetaraan suami istri dipertimbangkan, tapi sebatas
konsistensi kesolihan, terutama akhlaknya. ini berarti garis keturunan, profesi, kekayaan dan
faktor lainya tidak menjadi bahan pertimbangan. Seseorang laki-laki sholeh yang tidak memiliki
garis keturunan terpandang sekalipun boleh menikah dengan wanita dari keluarga terpandang.

12
Seorang lelaki berprofesi rendah boleh menikah dengan wanita berstatus sosial tinggi. Seorang
lelaki yang tidak terkenal boleh menikah dengan wanita yang terkenal dan terhormat. Seorang
lelaki miskin boleh menikah dengan wanita kaya. Selama lelaki itu muslim dan menjaga
kehormatan diri. Wali perempuan tidak berhak menghalangi ataupun menuntut mereka berpisah.
Dan, sekalipun lelaki tersebut tidak sederajat dengan wali yang melangsungkan akad, selama
sang wanita bersedia dinikahi olehnya.
Akan tetap, jika lelaki tersebut tidak istiqomah dalam kebaikan, maka dia tidak
setara dengan wanita yang sholehah, sehingga wanita tersebut berhak menuntut pembatalan
akad, jika statusnnya masih perawan, ketika ayahnya memberitahu dia telah dinikahkan dengan
lelaki yang fasik.

H. Hal-hal yang Berkaitan dengan Pernikahan


1. Mahar
Mahar adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang harus diberikan oleh
sang suami. Hikmah diwajibkannya mahar menunjukan pentingnya dan posisi pada akad
pernikahan serta mengormati dan memuliakan perempuan. Juga memberikan dalil bagi bagi
pembinaan kehidupan perkawinan yang mulya bersamanya, memberikan niat yang baik bagi
maksud menggaulinya secara baik, dan keberlangsungannya perkawinan. Dengan adanya mahar
seorang perempuan dapat mempersiapkan semua perangkat perkawinannya yang terdiri dari
pakaian dan nafkah.
a. Dalil diwajibkanya mahar.
Allah Swt berfirman dalam surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:

ً‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَة‬


َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa :4)

Allah Swt berfirman dalam surat An-Nisa ayat 24:


ً ‫ضة‬ َ ‫فَ َما ا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ِه ِم ْنه َُّن فَآتُوهُ َّن ُأج‬
َ ‫ُورهُ َّن فَ ِري‬
Artinya: “Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah
maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa :24)

13
Ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam hendak menikahkan seorang shahabat dengan
perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, ia bersabda,

‫اِ ْلتَ ِمسْ َولَ ْو َخاتَ ًما ِم ْن َح ِد ْي ٍد‬.


“Carilah sekalipun cincin yang terbuat dari besi.” (HR.Bukhari)
b. Ukuran mahar
Para fuqaha sepakat tidak ada yang paling tinggi untuk mahar dan syariat Islam tidak
memberi batas minimal ataupun maksimal pada mahar karena ada perbedaan manusia antara
yang kaya dan yang miskin, lapang dan sempit. Setiap tempat memiliki kebiasaan dan tradisi
yang berbeda pula sehingga tidak ada batasan tertentu agar setiap orang dapat menunaikannya
dengan kemampuan, kondisi ekonomi dan tradisi keluarganya.

c. Syarat-syarat Mahar atau sesuatu yang cocok dijadikan mahar dan yang tidak cocok.
Dalam mahar ditentukan dalam 3 syarat:
Pertama : Uang ataupun suatu barang yang bisa dimiliki dan bisa dijual seperti emas dan lain
sebagainya.
Kedua : Harus sesuatu yang diketahui artinya mahar ini harus jelas berupa uang atau barang.
Ketiga : terbebas dari tipuan. Mahar tidak boleh berupa unta yang tersesat.

d. Jenis-jenis Mahar
- Mahar yang Disebutkan (Musamma).
Mahar musamma adalah mahar yang ditentukan di dalam akad atau yang setelahnya
dengan saling keridhaan. Dengan cara menyepakatinya secara jelas di dalam akad, diberikan
kepada istri setelah akad dengan saling merasa ridha. Ulama fikih bersepakat bahwa dalam
pelaksanaannya mahar musamma wajib diberikan secara penuh apabila:
1. Apabila telah senggama
2. Apabila salah satu dari suami / istri meninggal dunia

- Mahar yang Sepadan (Mitsil)


Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa
menyebutkna mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang

14
ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara
perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.
Menurut ulama Syafi’iyah yang dipedomani dalam mempertimbangkan mahar mitsil adalah
dengan melihat beberapa wanita keluarga ashabah (sekandung atau dari bapak) perempuan untuk
mencari persamaan ukuran mahar.
Yang perlu diperhatikan terhadap wanita-wanita keluarga ashabah perempuan ketika
mencari ukuran mahar mitsil adalah dari segi status mereka terhadap perempuan, mereka satu
sifat dengannya dan yang paling dekat dengan nya. Artinya, jika saudara perempuannya yang
sekandung yang sama sifat-sifatnya menikah dengan mahar 1 juta rupiah, maka mahar
perempuan tersebut juga 1 juta rupiah. Jika tidak memiliki saudara perempuan sekandung atau
belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, maka dilihat dari saudara
perempuannya tunggal bapak, putri saudara laki-laki sekandung, putri saudara laki-laki sebapak,
kemudian saudara ke bawah dari dua arah mereka tersebut yang satu arah ke saudara perempuan
kandung yang satu lagi saudara perempuan bapak.

2. Walimah
Walimah berasal dari al-walm yang artinya kumpulan. Menurut istilah adalah makanan
yang secara khusus disediakan dalam pernikahan. Hukum walimah ini sunnah mu’akad dan
waktu pelaksanaan walimah dilaksanakan bersama akad atau setelahnya atau bertepatan dengan
malam pertama atau sesudahnya. Masalah ini sifatnya sesuai dengan tradisi dan kebiasaan.
Hukum menghadiri pernikahan itu wajib bagi setiap orang yang diundang, karena untuk
menunjukan betapa pentingnya acara tersebut, menyatakan turut berbahagia dan menyenangkan
hati pihak yang mengundang tetapi jika undangan bersifat umum tanpa menyebutkan nama orang
atau kelompok tertentu maka menghadirinya tidak wajib.

15
I. Hikmah Pernikahan
Mengenai hikmah pernikahan, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuannya di atas,
dan sangat berkaitan erat dengan tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini. Al-Jurjawi
menjelaskn bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana
segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran
bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada.
Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di
tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Seperti diingatkan oleh agama, pelestarian
manusia secara wajar dibentuk melalui pernikahan, sehingga demi memakmurkan bumi,
pernikahan mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi. Lebih
lanjut al-Jurjawi menuturkan, kehidupan manusia (lelaki) tidak akan rapi, tenang dan
mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan
terampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut perempuan, yang memang secara
naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar. Karena itu pernikahan
disyari’atkan, kata al-Jurjawi, bukan hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah
penting adalah supaya kehidupan manusia yang teratur dan rapi dapat tercipta. Dengan
demikian kehadiran perempuan di sisi suami, melalui pernikahan sangatlah penting.
Menurut Mustafa al-Khin dalam pernikahan sesungguhnya terdapat hikmah-hikmah yang
agung yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun aqliyah.Di antara hikmah-hikmah
tersebut adalah

1. Memenuhi tuntutan fitrah Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki insting
untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan wanita dan
sebaliknya. Ketertarikan dengan lawan jenis merupakan sebuah fitrah yang telah
Allah letakkan pada manusia.Islam adalah agama fitrah, sehingga akan memenuhi
tuntutan-tuntutan fitrah; ini bertujuan agar hukum Islam dapat dilaksanakan manusia
dengan mudah dan tanpa paksaan. Oleh karena itulah, pernikahan disyari’atkan dalam
Islam dengan tujuan untuk memenuhi fitrah manusia yang cenderung untuk tertarik
dengan lawan jenisnya. Islam tidak menghalangi dan menutupi keinginan ini, bahkan
Islam melarang kehidupan para pendeta yang menolak pernikahan ataupun bertahallul
(membujang). Akan tetapi sebaliknya, Islam juga membatasi keinginan ini agar tidak
melampaui batas yang dapat berakibat rusaknya tatanan masyarakat dan dekadensi
moral sehingga kemurnian fitrah tetap terjaga.

2. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan batinSalah satu hikmah pernikahan


yang penting adalah adanya ketenangan jiwa dengan terciptanya perasaan-perasaan
cinta dan kasih. QS. Ar-Rum: 21 ini menjelaskan bahwa begitu besar hikmah yang
terkandung dalam perkawinan. Dengan melakukan perkawinan, manusia akan
mendapatkan kepuasan jasmaniah dan rohaniah. Yaitu kasih sayang, ketenangan,
ketenteraman dan kebahagiaan hidup.

16
3. Menghindari dekadensi moral, Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai
nikmat, salah satunya insting untuk melakukan relasi seksual. Akan tetapi insting ini
akan berakibat negative jika tidak diberi frame untuk membatasinya, karena nafsunya
akan berusaha untuk memenuhi Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah308Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islaminsting tersebut dengan cara yang terlarang.
Akibat yang timbul adalah adanya dekadensi moral, karena banyaknya perilaku-
perilaku menyimpang seperti perzinaan, kumpul kebo dan lain-lain. Hal ini jelas akan
merusakfundamen-fundamen rumah tangga dan menimbulkan berbagai penyakit fisik
dan mental.

4. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan


yang diciptakan.Dari uraian di atas hanya sekilas tentang hikmah yang dapat diambil
dari pernikahan, karena masih banyak hikmah-hikmah lain dari pernikahan, seperti
penyambung keturunan, memperluas kekerabatan, membangun asas-asas kerjasama,
dan lain-lain yang dapat kita ambil dari ayat al-Qur’an, hadis

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang dilaksanakan menurut syariat Islam antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga guna
mendapatkan keturunan.
Adapun rukun pernikahan terdiri dari: adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
pernikahan, adanya wali dari pihak calon pengantin wanita, adanya dua orang saksi, dan sighat
akad nikah (ijab kabul).
Ada beberapa macam pernikahan yang tidak sah menurut ulama Syafi’iah yaitu nikah
syighar, nikah mut’ah, nikah tahlil, nikah orang yang sedang berihram, pernikahan mu’taddah,
dan nikah beda agama.

Pernikahan sebaiknya dengan yang setara atau sepadan yang disebut kafa’ah. Istilah ini
berarti suami setara dengan istri atau setara dalam kedudukan, status sosial, moral dan kekayaan.
Hal-hal lain yang berkaitan dengan pernikahan adalah pemberian mahar dan adanya walimah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, S. (2018). Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.


Sabiq, S. (2008). Fiqih Sunah. Jakarta: Al-I’tishom.
Wahbah, A.Z. (2011). Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani.
Yudisia, (2014).Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam.
Ali Ahmad al-Jurjawi, Mustafa al-Khin dkk, (1987)

18

Anda mungkin juga menyukai