Dosen Pengampu:
Dr. H. Oking Setia Priyatna Drs., M.Ag
Disusun Oleh:
KELOMPOK 4
Febrina Askolani (191105010227)
Hervina Maulidia (191105010231)
Siti Sumiati (191105010251)
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Rabbul Izzati yang telah menganugerahkan
nikmat-Nya kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Pernikahan
dan disyari’atkan nya”
Tak lupa pula kita haturkan salam serta shalawat atas junjungan kita Nabi Muhammad
SAW. Yang telah menuntun kita kejalan benar, beserta keluarga dan sahabatnya sebagai sumber
ilmu pengetahuan dan hikmat.
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Sistem Pembelajaran Fiqh
yang dibimbing oleh dosen Dr. H. Oking Setia Priyatna Drs., M.Ag di Universitas Ibn Khaldun,
pada program studi Pendidikan Agama Islam. Maka harapan penyusun kiranya makalah ini,
sesuai dengan harapanBapak Dosen pada mata kuliah yang dimaksud.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, sekali pun penyusun berusaha dengan keras untuk menyempurnakannya, namum
penyusun tetap berkeyakinan masih banyak juga kekurangan-kekurangannya. Oleh karena itu
dengan ini pula kami menantikan masukan berupa saran, usulan kritik dan sebagainya dari para
pembaca untuk dijadikan bahan penyempurnaan pada masa-masa mendatang. Dan akhirnya
hanya kepada Allah SWT, jualah penulis memohon semoga tulisan ini memberikan manfa’at
yang baik guna kemajuan ilmu pengetahuan, baik bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................3
B. Permasalahan.........................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................4
PEMBAHASAN....................................................................................................................4
A. Pengertian Nikah....................................................................................................4
B. Dalil tentang Pernikahan........................................................................................5
C. Rukun Pernikahan dan Syaratnya...........................................................................6
D. Macam- macam pernikahan yang tidak sah menurut ulama Syafi’iah...................9
E. Sunnah-Sunnah yang Dianjurkan didalam Akad Nikah.........................................10
F. Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi...................................................................11
G. Kafa’ah (Kesetaraan) dalam Pernikahan...............................................................12
H. Hal-hal yang Berkaitan dengan Pernikahan..........................................................13
I. Hikmah Pernikaha .…………………………………………………………………………………………. 16
BAB III...............................................................................................................................17
PENUTUP..........................................................................................................................17
A. Kesimpulan...........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................18
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya hukum Islam sudah mengatur tentang pernikahan sesuai dengan ketentuan
syari’at Islam. secara garis besar hukum Islam terbagi menjadi dua yaitu fiqih ibadah dan fiqih
muamalat. Dalam fiqih ibadah meliputi aturan tentang shalat, puasa, zakat, haji, nazar dan
sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Sedangkan fiqih muamalah ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya seperti
perikatan, sanksi hukum dan aturan lain agar terwujud ketertiban dan keadilan baik secara
perorangan maupun kemasyarakatan.
Dalam ilmu fiqih membahas tentang pernikahan. yang dimaksud dengan nikah menurut
bahasa berasal dari bahasa arab yaitu nakaha- yankihu-nikahan yang berarti kawin. Dalam istilah
nikah adalah ikatan suami istri yang sah menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban
bagi suami istri. Dalam hukum kekeluargaan harus disertai dengan kuat agama yang disyariatkan
Islam. Beberapa hukum tersebut dapat dipelajari dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua
keluarga. Faedah terbesar pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang
bersifat lemah itu dari kebinasaan sebab seorang perempuan apabila ia sudah menikah maka
biaya hidupnya wajib ditanggung oleh suaminya. Demikianlah maksud pernikahan sejati dalam
Islam. Selanjutnya akan dibahas dibab pembahasan.
3
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pernikahan?
2. Apa saja rukun pernikahan dan syaratnya?
3. Apa saja hal yang berkaitan dengan pernikahan?
4. Siapa saja wanita yang haram dinikahi?
5. Apa yang dimaksud dengan kafa’ah?
6. Apa saja sunnah-sunnah yang dianjurkan dalam pernikahan?
7. Apa saja macam-macam pernikahan?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Kata nikah atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam Bahasa Indonesia, sebagai
padanan kata perkawinan. Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya hingga menimbulkan hak
dan kewajiban diantara keduanya, dengan menggunakan lafadz inkah atau tazwij atau
terjemahannya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang
dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk
hidup bersama dalam satu rumah tangga guna mendapatkan keturunan.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
5
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu
beliau bersabda kepada kami:
6
Dewasa
Waras akalnya
Tidak dipaksa
Adil
Tidak sedang ihram haji
Susunan wali
1. Bapaknya.
2. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan).
3. Saudara laki laki.
4. Saudara laki laki yang sebapak.
5. Anak laki laki dari saudara laki laki yang seibu sebapak dengannya (keponakan laki-laki).
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
7. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak).
8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya (sepupu laki-laki).
9. Orang yang memerdekakanya.
10. Hakim
7
Saksi bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan
dosa kecil dan tetap menjaga muruah.
Saksi harus beragama Islam.
Saksi harus bisa mendengar dan melihat.
Kedua saksi adalah laki-laki.
8
D. Macam- macam pernikahan yang tidak sah menurut ulama Syafi’iah
1. Nikah Syighar
Nikah syigrar adalah seorang laki-laki menikahkan wanita yang ada dalam perwalianya kepada
seseorang dengan syarat orang tersebut menikahkan wanita yang ada dalam perwalianya
kepadanya tanpa disertai mas kawin, misalkan “aku menikahkan kamu dengan putriku, dengan
syarat kamu menikahkanku dengan putrimu”.
Rasulullah secara tegas melarang jenis pernikahan ini. Dalam salah satu hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau bersabda:
2. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah nikah yang dibatasi dengan waktu tertentu. Jika seseorang lelaki menikah
dengan waku seminggu, atau sebulan itu nikahnya tidak sah.
Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Salamah bin al-Akwa’ ia berkata
3. Nikah Tahlil
Nikah tahlil adalah seorang suami yang menthalaq istrinya yang suka ia jima’ agar bisa dinikahi
lagi oleh suami pertamanya yang pernah menjatuhkan thalaq tiga (thalaq ba’in) kepadanya.
Nikah tahlil merupakan kerjasama negative antara muhallil (suami pertama) dan
muhallal (suami kedua). Nikah tahlil ini masuk dalam kategori nikah muaqqat (nikah dalam
waktu tertentu) yang terlarang sebagai nikah mut’ah. Dikatakan demikian karena suami kedua
9
telah bersepakat dengan suami pertama untuk menikahi wanita yang telah ia thalaq tiga,
kemudian suami kedua melakukan hubungan seksual secara formalitas dengan wanita tersebut
untuk kemudian ia thalaq, agar bisa kembali dinikahi suami pertamanya. Tentang pengharaman
nikah tahlil Rasulullah telah menegaskan dalam banyak sabda beliau. Diantaranya hadits yang
diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata:
ت َحتّى يُْؤ ِم َّن َوَأَل َمةُ ُمْؤ ِمنَةُ خَ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ َأ ْع َجبَ ْت ُك ْم َواَل تُ ْن ِكحُوْ ا ِ َواَل تُ ْن ِكحُوْ ا ْال ُم ْش ِر َكا
ك َولَوْ َأ ْع َجبَ ُك ْم
ٍ ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َحتّى يُْؤ ِمنُوْ ا َولَ َع ْب ٌد ُمْؤ ِم ُن َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر
“Jangan nikahi perempuan-perempuan musyrik (kafir) sehingga mereka beriman, sesungguhnya
hamba sahaya yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menarik hatimu
(karena kecantikan) janganlah kamu nikahkan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik
sehingga ia beriman.” (QS. Al-Baqarah/2 : 221).
10
e. Mengumumkan pernikahan dan memukul rebana.
f. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Umumkanlah pernikahan dan
pukullah rebana”.
g. Menyebutkan Mahar, yaitu menentukannya ketika akad, karena hal itu dapat
menenangkan jiwa dan mencegah perselisihan dikemudian hari. Disunnahkan juga mahar
dibayar kontan tanpa harus ditunda sebagainnya.
11
G. Kafa’ah (Kesetaraan) dalam Pernikahan
1. Pengertian
Al-Kafa’ah berarti kesetaraan atau kesepadanan. Al-Kuhfu, Al-Kafa dan Al-Kahfu berarti orang
yang sebanding dan sepadan dalam pernikahan. Istilah ini berarti suami setara dengan istri atau
setara dalam kedudukan,status sosial,moral dan kekayaan. Tidak diragukan lagi semakin dekat
kesetaraan antara suami dan istri, semakin kuat pula faktor penunjang kesuksesan kehidupan
bekeluarga dan akan lebih terjaga dari kegagalan.
2. Hukum
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad
berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara
orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum. Kafa’ah dipandang hanya
merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “ Inna akromakum ‘inda
Allahi atqookum.
Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi kafa’ah,
menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan
karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak
bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan
pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin
boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh
menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama
kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan
dengan persetujuan si perempuan. Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan
Syafi’iah. Mereka mengakui adanya kafa’ah dengan dasar-dasar yang akan kami sampaikan nanti
meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat
yang menentukan keabsahan nikah.
3. Kesetaraan akhlak dapat dipertimbangkan
Beberapa ulama berpendapat kesetaraan suami istri dipertimbangkan, tapi sebatas
konsistensi kesolihan, terutama akhlaknya. ini berarti garis keturunan, profesi, kekayaan dan
faktor lainya tidak menjadi bahan pertimbangan. Seseorang laki-laki sholeh yang tidak memiliki
garis keturunan terpandang sekalipun boleh menikah dengan wanita dari keluarga terpandang.
12
Seorang lelaki berprofesi rendah boleh menikah dengan wanita berstatus sosial tinggi. Seorang
lelaki yang tidak terkenal boleh menikah dengan wanita yang terkenal dan terhormat. Seorang
lelaki miskin boleh menikah dengan wanita kaya. Selama lelaki itu muslim dan menjaga
kehormatan diri. Wali perempuan tidak berhak menghalangi ataupun menuntut mereka berpisah.
Dan, sekalipun lelaki tersebut tidak sederajat dengan wali yang melangsungkan akad, selama
sang wanita bersedia dinikahi olehnya.
Akan tetap, jika lelaki tersebut tidak istiqomah dalam kebaikan, maka dia tidak
setara dengan wanita yang sholehah, sehingga wanita tersebut berhak menuntut pembatalan
akad, jika statusnnya masih perawan, ketika ayahnya memberitahu dia telah dinikahkan dengan
lelaki yang fasik.
13
Ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam hendak menikahkan seorang shahabat dengan
perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, ia bersabda,
c. Syarat-syarat Mahar atau sesuatu yang cocok dijadikan mahar dan yang tidak cocok.
Dalam mahar ditentukan dalam 3 syarat:
Pertama : Uang ataupun suatu barang yang bisa dimiliki dan bisa dijual seperti emas dan lain
sebagainya.
Kedua : Harus sesuatu yang diketahui artinya mahar ini harus jelas berupa uang atau barang.
Ketiga : terbebas dari tipuan. Mahar tidak boleh berupa unta yang tersesat.
d. Jenis-jenis Mahar
- Mahar yang Disebutkan (Musamma).
Mahar musamma adalah mahar yang ditentukan di dalam akad atau yang setelahnya
dengan saling keridhaan. Dengan cara menyepakatinya secara jelas di dalam akad, diberikan
kepada istri setelah akad dengan saling merasa ridha. Ulama fikih bersepakat bahwa dalam
pelaksanaannya mahar musamma wajib diberikan secara penuh apabila:
1. Apabila telah senggama
2. Apabila salah satu dari suami / istri meninggal dunia
14
ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara
perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.
Menurut ulama Syafi’iyah yang dipedomani dalam mempertimbangkan mahar mitsil adalah
dengan melihat beberapa wanita keluarga ashabah (sekandung atau dari bapak) perempuan untuk
mencari persamaan ukuran mahar.
Yang perlu diperhatikan terhadap wanita-wanita keluarga ashabah perempuan ketika
mencari ukuran mahar mitsil adalah dari segi status mereka terhadap perempuan, mereka satu
sifat dengannya dan yang paling dekat dengan nya. Artinya, jika saudara perempuannya yang
sekandung yang sama sifat-sifatnya menikah dengan mahar 1 juta rupiah, maka mahar
perempuan tersebut juga 1 juta rupiah. Jika tidak memiliki saudara perempuan sekandung atau
belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, maka dilihat dari saudara
perempuannya tunggal bapak, putri saudara laki-laki sekandung, putri saudara laki-laki sebapak,
kemudian saudara ke bawah dari dua arah mereka tersebut yang satu arah ke saudara perempuan
kandung yang satu lagi saudara perempuan bapak.
2. Walimah
Walimah berasal dari al-walm yang artinya kumpulan. Menurut istilah adalah makanan
yang secara khusus disediakan dalam pernikahan. Hukum walimah ini sunnah mu’akad dan
waktu pelaksanaan walimah dilaksanakan bersama akad atau setelahnya atau bertepatan dengan
malam pertama atau sesudahnya. Masalah ini sifatnya sesuai dengan tradisi dan kebiasaan.
Hukum menghadiri pernikahan itu wajib bagi setiap orang yang diundang, karena untuk
menunjukan betapa pentingnya acara tersebut, menyatakan turut berbahagia dan menyenangkan
hati pihak yang mengundang tetapi jika undangan bersifat umum tanpa menyebutkan nama orang
atau kelompok tertentu maka menghadirinya tidak wajib.
15
I. Hikmah Pernikahan
Mengenai hikmah pernikahan, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuannya di atas,
dan sangat berkaitan erat dengan tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini. Al-Jurjawi
menjelaskn bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana
segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran
bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada.
Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di
tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Seperti diingatkan oleh agama, pelestarian
manusia secara wajar dibentuk melalui pernikahan, sehingga demi memakmurkan bumi,
pernikahan mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi. Lebih
lanjut al-Jurjawi menuturkan, kehidupan manusia (lelaki) tidak akan rapi, tenang dan
mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan
terampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut perempuan, yang memang secara
naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar. Karena itu pernikahan
disyari’atkan, kata al-Jurjawi, bukan hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah
penting adalah supaya kehidupan manusia yang teratur dan rapi dapat tercipta. Dengan
demikian kehadiran perempuan di sisi suami, melalui pernikahan sangatlah penting.
Menurut Mustafa al-Khin dalam pernikahan sesungguhnya terdapat hikmah-hikmah yang
agung yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun aqliyah.Di antara hikmah-hikmah
tersebut adalah
1. Memenuhi tuntutan fitrah Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki insting
untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan wanita dan
sebaliknya. Ketertarikan dengan lawan jenis merupakan sebuah fitrah yang telah
Allah letakkan pada manusia.Islam adalah agama fitrah, sehingga akan memenuhi
tuntutan-tuntutan fitrah; ini bertujuan agar hukum Islam dapat dilaksanakan manusia
dengan mudah dan tanpa paksaan. Oleh karena itulah, pernikahan disyari’atkan dalam
Islam dengan tujuan untuk memenuhi fitrah manusia yang cenderung untuk tertarik
dengan lawan jenisnya. Islam tidak menghalangi dan menutupi keinginan ini, bahkan
Islam melarang kehidupan para pendeta yang menolak pernikahan ataupun bertahallul
(membujang). Akan tetapi sebaliknya, Islam juga membatasi keinginan ini agar tidak
melampaui batas yang dapat berakibat rusaknya tatanan masyarakat dan dekadensi
moral sehingga kemurnian fitrah tetap terjaga.
16
3. Menghindari dekadensi moral, Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai
nikmat, salah satunya insting untuk melakukan relasi seksual. Akan tetapi insting ini
akan berakibat negative jika tidak diberi frame untuk membatasinya, karena nafsunya
akan berusaha untuk memenuhi Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah308Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islaminsting tersebut dengan cara yang terlarang.
Akibat yang timbul adalah adanya dekadensi moral, karena banyaknya perilaku-
perilaku menyimpang seperti perzinaan, kumpul kebo dan lain-lain. Hal ini jelas akan
merusakfundamen-fundamen rumah tangga dan menimbulkan berbagai penyakit fisik
dan mental.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang dilaksanakan menurut syariat Islam antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga guna
mendapatkan keturunan.
Adapun rukun pernikahan terdiri dari: adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
pernikahan, adanya wali dari pihak calon pengantin wanita, adanya dua orang saksi, dan sighat
akad nikah (ijab kabul).
Ada beberapa macam pernikahan yang tidak sah menurut ulama Syafi’iah yaitu nikah
syighar, nikah mut’ah, nikah tahlil, nikah orang yang sedang berihram, pernikahan mu’taddah,
dan nikah beda agama.
Pernikahan sebaiknya dengan yang setara atau sepadan yang disebut kafa’ah. Istilah ini
berarti suami setara dengan istri atau setara dalam kedudukan, status sosial, moral dan kekayaan.
Hal-hal lain yang berkaitan dengan pernikahan adalah pemberian mahar dan adanya walimah.
17
DAFTAR PUSTAKA
18