Anda di halaman 1dari 15

Pengelolaan Sumber Daya Ikan

Berkelanjutan di Indonesia
Komisi Maritim dan Kelautan PPI Dunia, PPI Brief
No. 12 / 2020

Penulis: Faisal Hamzah, Karina Sujatmiko, Lusita Meilana,


Farah Adrienne

0
RINGKASAN EKSEKUTIF

⚫ Terdapat empat WPP-NRI yang mengalami dampak signifikan akibat pandemi, namun
secara keseluruhan, aktivitas produksi perikanan di Indonesia masih terjaga.

⚫ Kebijakan pemerintah dalam pengalihan pasar ekspor berhasil meningkatkan nilai ekspor
hasil perikanan Indonesia dalam masa pandemi ini.

⚫ Dalam rangka mempercepat pemulihan dalam sektor budidaya perikanan, pemerintah


perlu memberikan stimulus dengan cara mengurangi beban biaya produksi, keringanan
kredit dan memperlancar rantai pasok.

Pendahuluan

Sumberdaya perikanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian nasional dan


kesejahteraan nelayan. Hal ini tercermin melalui pertumbuhan produk domestik bruto
perikanan relatif lebih tinggi diatas 5% dibandingkan pertumbuhan produk domestik bruto
nasional. Produksi perikanan tangkap meningkat setiap kuartal tiap tahunnya dan mengalami
lonjakan yang cukup signifikan 4.9 juta ton tahun 2009 menjadi 7.0 juta ton tahun 2017[1].
Namun, seiring dengan akselarasinya peningkatan ekonomi dari sektor perikanan dan kelautan,
perlu diimbangi antara kegiatan penangkapan ikan dengan usaha pelestarian stok sumberdaya
ikan nasional[2]. Indonesia menerapkan sebelas wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang
digunakan sebagai dasar pengelolaan perikanan secara lestari dan berkelanjutan berdasarkan
tipe ekologi, karakteristik wilayah, dan sumberdaya ikan. WPP ini dibuat untuk mengatur
pengelolaan perikanan secara lestari berkelanjutan dan juga berfungsi sebagai bahan utama
untuk pendugaan potensi, penelitian, pembudidayaan ikan, pengendalian, konservasi, dan
pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut
territorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif[3].

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencanangkan


12,54 dan 13,1 juta ton/tahun potensi stok ikan di Indonesia pada tahun 2017 dan 2018[4,5].
Potensi ini meningkat ~50% jika dibandingkan pada tahun 1997 (6,19 juta ton/tahun). Namun
dari sejumlah potensi stok ikan tersebut, terdapat status kelompok ikan yang berada dalam
katagori pemanfaatan penuh (44%; fully exploited) dan berlebih (38%; over exploited).
Kelompok seperti ikan pelagis ikan kecil, pelagis besar, dan ikan demersal cenderung
mengalami perbaikan status membaik yang menunjukan keseimbangan antara jumlah yang

1
ditangkap dengan sumber daya ikan yang tersedia, namun status memburuk dicerminkan pada
ikan karang dan lobster[4]. Berdasarkan data sistem monitoring kapal (vessel monitoring
system), aktivitas kapal penangkapan ikan mayoritas beroperasi hanya di WPP tertentu saja dan
untuk wilayah pengelolaan lainnya belum termanfaatkan secara optimal.

Total produksi perikanan budidaya laut yang mendukung produktivitas perikanan di WPP
mengalami penurunan sebesar 3,07% pertahun pada kondisi eksisting marikultur periode 2015-
2019 dan menjadi isu penting yang harus dicari jalan tengahnya. Adapun dua komoditas
penting budidaya laut tersebut yang mengalami penurunan tersebut adalah rumput laut dan
kekerangan. Hal ini disebabkan adanya alih fungsi lahan budidaya marikultur menjadi fungsi
lain seperti pariwisata dan konservasi. Selanjutnya dari sisi onfarm penurunan harga jual
produksi, penyakit, keterbatasan ketersediaan benih, dan keterbatasan akses pasar juga menjadi
penyebab turunnya minat pelaku usaha budidaya laut.

Mengingat besarnya potensi sumber daya perikanan dan kelautan baik perikanan tangkap
maupun budidaya dan dengan segala tantangannya, Presiden Joko Widodo mengarahkan
kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan demi mewujudkan Indonesia maju melalui
peningkatan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan serta
pengawasannya, industrialisasi kelautan dan perikanan, kebijakan dan regulasi berbasis data,
informasi, pengetahuan yang faktual dan komunikasi dengan stakeholders.

Penguatan pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya berbasis WPP seperti perizinan,
investasi, alokasi tangkap hingga sistem logistik perikanan perlu ditingkatkan; serta
optimalisasi sentra kelautan dan perikanan untuk garda bisnis di pulau-pulau kecil dan
perbatasan perlu digalakan, mengingat daerah tersebut memiliki potensi besar. Semua hal
diatas perlu mendapatkan perhatian khusus. Sinkronisasi semua elemen dan lintas sektor
perikanan dan kelautan mulai dari hulu hingga hilir adalah suatu keharusan sehingga
kesejahteraan nelayan, transformasi ekonomi bidang perikanan dan kelautan dapat terwujud
dengan tetap menciptakan lestari dan berkelanjutan terhadap sumberdaya kelautan dan
perikanan.

Keanekaragaman, status, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan

Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Pasal 7(1) Undang-undang No. 31 Tahun 2004 yang
diamandemen menjadi UU No. 45 Tahun 2009 telah menetapkan potensi dan alokasi sumber

2
daya ikan (SDI) di WPP RI yang bertujuan untuk pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan.
Pengelolaan perikanan Indonesia tersebut dibagi kedalam 11 wilayah seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia.

No WPP Lokasi
571 perairan Selat Malaka dan Laut Andaman
572 perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda
573 perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan
Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat
711 perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan
712 perairan Laut Jawa
713 perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali
714 perairan Teluk Tolo dan Laut Banda
715 perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan
Teluk Berau
716 perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera
717 perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik
718 perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur

Masing-masing wilayah memiliki jumlah potensi sumberdaya dan pengelolaan yang beragam.
Keragaman sumber daya ikan yang tertangkap di WPP digolongkan menjadi 10 jenis yaitu
pelagis kecil, pelagis besar, demersal, ikan karang, udang, lobster, kepiting bakau, ranjungan,
dan cumi-cumi. Dominasi jenis sumber daya sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari lokasi
tersebut, seperti sedimen, suhu dan faktor oseanografi lainnya. Sumber daya dominan pada
WPP dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sumberdaya Dominan dan Penyebabnya di Lokasi WPP

Jenis Lokasi WPP Keterangan

Ikan pelagis kecil 572, 715, 716, 717, dan mendominasi pada WPP yang dipengaruhi
718 oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik

Ikan pelagis besar, dan 573 dan 713 mendominasi pada WPP yang bersifat
cumi-cumi oseanik

3
Ikan demersal 711, 712 dan 571. mendominasi pada wilayah laut dangkal yang
dasar perairannya cenderung berlumpur

Crustacea seperti udang, hampir di seluruh WPP dipengaruhi oleh luasan terumbu karang dan
lobster kepiting, dan mangrove
rajungan

Analisis lebih lanjut yaitu jumlah potensi total sumber daya ikan di perairan indonesia pada
tahun 2016 adalah sebesar 19.642.438 ton/tahun dengan potensi tertinggi terdapat di WPP 718
sebesar 2.637.565 ton/tahun (13,4%) dan potensi terendah sebesar 425444 ton/tahun (2,2%) di
WPP 571. Tingginya potensi sumber daya ikan di WPP 718 tersebut berkaitan dengan tingkat
kesuburan perairan di wilayah Laut Arafuru yang berhubungan dengan Laut Banda serta Laut
Timor yang memungkin terjadinya mixing antara air tawar dari Papua dan Arafuru[6].

Dalam upaya mencapai pemanfaatan optimal dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan adanya
evaluasi terhadap perbandingan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di masing-masing
wilayah. Gambar 1 menunjukkan adanya perbandingan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan
pada tahun 2013 dan 2016. Perbandingan kondisi tingkat pemanfaatan ini detentukan
berdasarkan nilai Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) dan potensi ikan laut. Tingkat
pemanfaatan secara keseluruhan diindikasikan warna dalam peta, warna merah yaitu
mengindikasikan status overfishing, warna kuning yaitu kondisi fully-exploited, dan indikator
warna hijau menunjukan kondisi moderate. Dari perubahan warna pada tahun 2013 dan 2016
maka terlihat bahwa telah terjadi perubahan status stok baik itu membaik maupun memburuk
pada masing-masing sumberdaya di masing-masing WPP. Kondisi perubahan stasus stok
sumberdaya dari tahun 2013 dan 2016 dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 1. Status stok
kepiting bakau dan rajungan tidak diketahui karena tidak tersedianya data pada tahun 2013.
Berdasarkan data tersebut hanya di WPP 715 yang tidak ada peningkatan dan hanya ada
penurunan sumberdaya. Sementara di WPP 571, 572, 716 dan 718 terjadi peningkatan dan
tidak ada penurunan sumberdaya.

Tabel 3. Perubahan Status Stock Sumberdaya Tahun 2013 – 2016.

WPP
Jenis Sumberdaya 571 572 573 711 712 713 714 715 716 717 718
Ikan pelagis kecil baik baik turun baik turun baik baik baik

4
Ikan pelagis besar baik turun baik
Ikan demersal baik baik baik turun
Ikan karang baik baik baik baik baik baik
Lobster turun turun turun turun baik
Cumi-cumi turun turun turun

Gambar 1. Status WPP berdasarkan data tahun 2013 -2016.

Selain potensi perikanan tangkap, pemerintah juga mencanangkan target potensi dan
pemanfaatan berbasis marikultur di masing-masing WPP (Gambar 2) yang didasarkan pada
landasan hukum WPP diantaranya UU No. 45/2009 tentang Perubahan UU No.31/2004 tentang
perikanan, Perpres No 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024, dan Permen KP No. 18/2014
tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI[7,8]. Komoditas marikultur di masing-
masing WPP ini diantaranya WPP 571 berpotensi untuk budidaya ikan kakap dan kerapu; WPP
572 yaitu lobster, kakap, dan kaerapu; WPP 573 dan 711 berpotensi untuk budidaya lobster,
kakap, kerapu, bawal bintang dan rumput laut; potensi budidaya WPP 715, 717, 714 yaitu
lobster, kerapu, kakap, kekerangan, dan rumput laut; WPP 712 yaitu budidaya ikan bawal
bintang, kerapu, kakap, dan kekerangan; komoditas WPP 716 dan 718 yaitu lobster, kerapu,
kakap, dan rumput laut; sedangkan komoditas marikultur di WPP 713 yaitu kekerangan,
kerapu, kakap, bawal bintang, dan rumput laut.

5
Secara keseluruhan, Perairan Indonesia memiliki potensi luas wilayah yang dapat dijadikan
sebagai marikultur sebesar 12.401.270 Ha, dengan luasan terbesar yaitu 3.295.302 Ha di WPP
711 (26,6%) dan terendah yaitu 158.188 Ha di WPP 717 (1,3%). Sedangkan, total wilayah
pemanfaatan wilayah marikultur di Perairan Indonesia yaitu sebanyak 418.749 Ha, dengan luas
pemanfaatan terbesar yaitu di WPP 713 (13,2%) yang memiliki besar estimasi target produksi
pada tahun 2024 sebesar 5.078.000 ton, dan terendah yaitu di WPP 571 (0,04%) dengan besar
target produksi pada tahun 2024 mencapai 5000 ton.

Gambar 2. Potensi dan Pemanfaatan Marikultur Berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan


(WPP). Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan
Perikanan

Tantangan pengelolaan perikanan di Indonesia

Seiring dengan besarnya potensi sumber daya ikan baik perikanan tangkap dan budidaya yang
tercermin pada setiap WPP, Indonesia dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari tahun 2013 – 2016,
aktivitas perikanan di Indonesia faktanya belum menunjukan kinerja yang optimal, baik di
bidang perikanan tangkap maupun budidaya. Hambatan terbesar optimalisasi sumber daya ikan
ada pada perikanan budidaya.

6
a. Perikanan Tangkap

Secara garis besar, tantangan utama pada perikanan tangkap meliputi kriminalitas kelautan,
batas maritim serta pengelolaan industrinya. Aktivitas IUU (illegal, unreported, unregulated)
fishing menjadi isu prioritas revitalisasi perikanan tangkap yang perlu mendapat perhatian
lebih. Permasalahan lain yaitu penggunaan alat penangkapan ikan yang dapat merusak habitat
ikan serta ekosistem laut. Lemahnya sistem pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan ini
menyebabkan aktivitas ilegal terus terjadi. Praktik ilegal ini telah menyebabkan negara merugi
sebesar USD 20 miliar per tahun. Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa
akibat aktivitas ilegal ini, sekitar 65% terumbu karang di Indonesia pun terancam
kelestariannya.

Sengketa yang sering terjadi di zona tangkapan ikan juga menghambat pemanfaatan potensi
perikanan tangkap. Sebagai contoh, nelayan di wilayah perbatasan masih sering melintas batas
negara karena ketidaktahuan. Illegal fishing masih marak terjadi dimana kapal ikan asing
mayoritas berasal dari Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Hal ini disebabkan oleh pengawasan
sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP) yang belum maksimal.

Kebijakan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan diarahkan untuk meningkatkan
kapasitas dan kapabilitas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dalam rangka
mewujudkan Indonesia bebas illegal fishing dan kegiatan yang merusak sumber daya kelautan
dan perikanan. Pada praktiknya, belum semua Provinsi hingga tingkat kabupaten/kota mampu
melaksanakan mandat pengawasan SDKP. Belum adanya kelembagaan khusus yang
menangani pengawasan karena keterbatasan SDM, sarana prasarana, dan anggaran.

Penguatan pengelolaan perikanan berbasis WPP juga belum efektif. Pengelolaan SDI berbasis
WPP adalah pengelolaan hulu-hilir secara terintegrasi dan berbasis kewilayahan (spasial) yang
melibatkan multi stakeholders dan multisektor untuk mewujudkan keseluruhan aspek dari
pembangunan perikanan dengan akelerasi yang lebih cepat. Lembaga Pengelolaan Perikanan-
WPP sudah disusun, namun belum optimal serta memerlukan peninjauan kembali konsep
kelembagaan dan operasionalnya. Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan WPP ini antara
lain: 1) Saat ini praktik pengelolaan perikanan masih dilakukan secara terpusat: baik dari segi
regulasi, kelembagaan maupun investasinya, 2) Terkendala implementasi UU 23/2014 (tentang
pemerintah daerah) yang memberikan kewenangan kepada provinsi untuk mengelola laut, 3)
Kurangnya data WPP untuk menentukan arah kebijakan. Saat ini WPP hanya sebagai basis

7
perhitungan stok, tidak sebagai basis perhitungan fishing effort, 4) Pemanfaatan hasil litbang
untuk perikanan kurang optimal hanya berkutat dikalangan peneliti.

b. Perikanan Budidaya

Tantangan juga hadir dalam sektor perikanan budidaya. Dalam bidang ini, total produksi
perikanan mengalami penurunan rata – rata sebesar 3,07% per tahun (Gambar 3a). Nilai
produksi perikanan budidaya laut cenderung fluktuatif. Tahun 2015 yang mencapai 11367000
ton, kemudian terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, hingga tahun 2019 total
produksi hanya mencapai 10033000 ton, atau turun sekitar 11,73% sejak tahun 2016. Hal ini
dipengaruhi oleh penurunan volume produksi dan harga jual komoditas. Salah satu tantangan
pengembangan marikultur adalah pemanfaatan dan alokasi lahan marikultur yang masih belum
optimal, serta belum adanya perencanaan spasial yang komprehensif dalam usaha budidaya
marikultur.

a. b.

Gambar 3. Produksi perikanan budidaya laut (a) dan jumlah rumah tangga perikanan (b) di
Indonesia periode 2015-2019.
Sumber: Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan

Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) pembudidaya laut juga mengalami penurunan periode
2015 – 2019. Pada tahun 2015, tercatat RTP sebanyak 168163 unit. Kemudian pada tahun 2016,
terjadi sedikit penurunan sejumlah 0,28%. Jumlah RTP sempat mengalami kenaikan pada
tahun 2017, dengan total RTP 192344 unit, namun pada tahun 2018, total RTP turun cukup
drastis hingga hanya mencapai 163459 ton. Pada tahun 2019, kembali terjadi penurunan total

8
RTP menjadi 137925 unit, yang juga merupakan jumlah terendah RTP dalam kurun 5 tahun
terakhir. Hal ini diakibatkan karena adanya alih fungsi lahan budidaya marikultur menjadi
fungsi lain seperti pariwisata dan konservasi. Pengelolaan marikultur juga tidak memiliki
dukungan infrastruktur yang memadai. Selain itu, aksesibilitas dan ketersediaan infrastruktur
pendukung di kawasan budidaya laut seperti jalan produksi, pasokan listrik dan air tawar, dan
unit pengolah ikan saat ini belum memadai.

Penyediaan input produksi juga menjadi tantangan bagi pelaku usaha marikultur. Konektivitas
sistem logistik input produksi belum efisien yang menyebabkan mahalnya biaya produksi dan
rendahnya tingkat produktivitas. Lokasi produksi yang terfragmentasi dan efisiensi sistem
logistik ikan perlu diwujudkan. Di sisi lain, ketersediaan induk unggul, benih bermutu, dan
pakan yang terbatas untuk budidaya ikan laut yang selama ini masih berorientasi dari alam.
Terbatasnya kesediaan benih dan penurunan harga jual produksi juga menjadi penyebab
turunnya minat pelaku usaha budidaya laut.

Sumber daya manusia juga menjadi faktor penting dalam usaha budidaya laut. Kompetensi
sumber daya manusia pembudidaya ikan/rumput laut masih rendah dan belum siap untuk
adaptif terhadap peningkatan teknologi. Selain itu, kelembagaan pembudidaya ikan juga belum
terkelola dengan baik. Sebagai contoh, kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) masih banyak
yang tidak berbadan hukum. Keterbatasan akses permodalan juga menjadi tantangan serius,
mengingat sektor marikultur ini memerlukan modal yang besar, sehingga akses permodalan
bagi pelaku usaha kelautan dan perikanan ini perlu diperluas dan dipermudah dalam
perolehannya.

Dalam bidang manajemen penyakit dan daya dukung lingkungan, tantangan yang dihadapi
antara lain yaitu manajemen pengendalian penyakit dan monitoring residu yang belum optimal,
penurunan daya dukung lingkungan terutama pada keramba jaring apung dengan padat tebar
tinggi, limbah rumah tangga dan industri yang mencemari lingkungan laut serta ancaman
climate change.

Keterbatasan akses pasar juga menjadi tantangan dalam bidang budidaya ikan. Persyaratan
pasar ekspor semakin ketat, antara lain bebas residu, antibiotik, bakteria, ketelusuran,
berstandar, dan tersertifikasi. Selain itu, permintaan produk budidaya ikan laut sebagian besar
dalam kondisi hidup/fresh. Tidak hanya akses terhadap potensi pasar global, mutu produk
olahan perikanan skala usaha mikro kecil dan menengah juga masih perlu ditingkatkan agar

9
dapat memenuhi standar internasional. Sehingga akses pasar usaha mikro kecil dan menengah
tidak hanya terbatas ke market lokal saja

Rekomendasi

1. Perikanan tangkap

Kondisi WPP saat ini adalah fully dan overexploited, oleh karena itu usaha konservasi
dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan terutama spawning dan nursery ground ikan ekonomis
penting dan peningkatan ukuran ikan. Untuk itu, diperlukan komponen konservasi seperti 1)
regulasi penetapan kawasan konservasi yang tepat melalui mekanisme marine spatial planning;
2) pengawasan terhadap illegal fishing berupa penjagaan terhadap batas wilayah, memberikan
sanksi penangkapan ikan tanpa ijin dan melarang tegas tata cara penangkapan yang tidak ramah
lingkungan; 3) pendataan alat tangkap dan hasil tangkapan agar selalu terpantau kondisi
kelimpahan dan keanekaragaman hayatinya; 4) pemberdayaan ekonomi masyarakat di
sekitar kawasan konservasi, dibarengi dengan edukasi sehingga memberikan
kesadaran masyarakat bahwa ekosistem yang terjaga baik meningkatkan hasil tangkapan ikan.

Dalam rangka membangun industri kawasan di pulau pulau terluar dan perbatasan, serta
mendekatkan dengan gateway ekspor, perlu dilakukan penguatan pelabuhan perikanan, sarana
dan prasarana yang mendukung termasuk didalamnya sentra kelautan dan perikanan terpadu.
Untuk mendukung tujuan diatas perlu dilakukan dukungan multisektor dari semua berbagai
elemen baik swasta maupun pemerintah. Sebagai contoh dukungan pasokan listrik dan air
tawar yang memadai, jasa perbankan, pelabuhan skala nasional dan internasional, kapasitas
pengangkutan ikan, jaringan telekomunikasi serta fasilitas pemukiman. Selain itu, optimalisasi
sumberdaya manusia lokal berserta mutu kualitasnya juga perlu diperhatikan.

Penguatan lembaga pengelolaan perikanan berbasis WPP dan satgas WPP termasuk
didalamnya dasar hukum dan level kewenangan. Lembaga ini berfungsi menjembatani saluran
komunikasi dalam rangka mengimplementasikan kebijakan dari level nasional ke masing-
masing WPP. Dalam tataran teknis, level nasional memberikan kebijakan arah tindakan
pengelolaan dan implementasi rencana pengelolaan perikanan yang spesifik di masing-masing
WPP melalui berbagai bentuk koordinasi seperti kelompok kerja, panel ilmiah, panel
konsultatif, dan komisi pengelola. Hal lain yang diperlukan adalah koordinasi yang jelas sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing, melibatkan unsur ilmiah (peneliti dan pakar) dalam

10
panel ilmiah, serta pelibatan pemangku kepentingan masyarakat perikanan dalam panel
konsultatif. Adapun tujuan akhir dari Lembaga pengelolaan perikanan WPP yaitu menjaga
sumber daya ikan yang berkelanjutan.

Optimalisasi pemanfaatan SDI pada wilayah ZEE dan laut lepas melalui alokasi dan
pemanfaatan kuota. Indonesia bisa memanfaatkan peluang penangkapan ikan tuna melalui
keanggotan Indian Ocean tuna Commision (WPP NRI: 571,572 dan 573), Commission for the
Conservation Bluefin Tuna dan Western Central Pacific Fisheries Commission (WPP-NRI:
716 dan 717) dan archipelagic Tuna (WPP-NRI: 713,714, dan 715). Hal-hal yang terkait
dengan peluang kedepan seperti peningkatan landed tuna product dalam bentuk fresh yang
siap dieskpor, percepatan penyelesaian Fisheries Improvement program yang sedang berjalan
dalam rangka proses mendapatkan sertifikasi MSC Eco-Label untuk komoditas tuna serta
replikasi program sertifikasi produk FAIR TRADE, khususnya untuk peningkatanan nilai
produk hasil tangkapan nelayan skala kecil (<30GT).

Selain rekomendasi diatas, mengutip dua inti strategi dalam penanganan IUU Fishing di
wilayah WPP khususnya diwilayah WPP 711, WPP 716, WPP 717, dan WPP 718 yang
disampaikan oleh Ibu Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 beserta
pembicara lainnya dalam sebuah acara Webinar yang diselenggarakan pada 12 juni 2020 dalam
upaya pengamanan wilayah laut rawan yaitu “political will” dan “political action”. Sedangkan
langkah-langkah yang diprioritaskan diantaranya: 1) perbaikan infrastruktur; 2) patrol secara
rutin; 3) penguasaan wilayah ZEE dan mengenali kehadiran nelayan Indonesia; 4) pemberian
beberapa pembekalan kepada nelayan Indonesia seperti pengetahuan, teknologi, bantuan kapal
dengan teknologi yang memadai, dan sikap bela negara; serta 5) pengerahan pengetahuan
nelayan baik lokal maupun luar terhadap jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan
penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.

2. Perikanan budidaya

Dalam rangka tata kelola sumberdaya ikan perairan darat dengan pendekatan eksosistem, perlu
disusun rencana pengelolaan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan khususnya di
perairan darat baik jangka pendek maupun panjang. Perlu dilakukan perbaikan pendataan dan
profil sumber daya ikan perairan darat dan dilakukan pemetaan kembali wilayah-wilyah yang
berpotensi untuk dibangkitkan produksinya melalui pendekatan ekosistem disetiap WPP.

11
Penyusunan panduan-panduan teknis pemanfaatan potensi perairan darat secara terintegrasi
melibatkan kemitraan terkait.

Penyusunan pedoman penatakeloaan SDI dengan pendekatan ekosistem yang optimal dan
berkelanjutan dapat dilakukan melalui pembentukan kelembaagan peningkatan pengelolaan
SDI perairan darat. Operasionalisasi tempat pendaratan ikan (TPI) perairan darat yang sudah
dibangun. Saat ini, ada 14 WPP perairan darat dan baru tersedia 7 TPI perairan darat yang jauh
dari kata maksimal dibandingkan dengan jumlah luasan perikanan darat (54 juta Ha) dan
potensi yang mencapai 551.605 ton pada tahun 2019. Penguatan suaka perikanan serta
pemulihan SDI dan lingkungannya di perairan darat juga tidak dilupakan.

Integrasi spasial tiap WPP untuk pengembangan marikultur, yaitu pada bagian supply, demand,
dan integrasi lintas sektoral seperti pada gambar dibawah. Pengumpulan data kondisi setiap
WPP harus dilakukan sebelum dimulai pengembangan, sehingga diketahui komoditas
unggulan di tiap WPP. Intensifikasi teknologi dan akses pasar disesuaikan berdasarkan
komoditas unggulan tiap WPP. Insentif pembudidaya sangat penting agar bisnis dapat berlanjut
secara berkelanjutan, mekanisme ini sebaiknya melalui penguatan koperasi nelayan/perikanan.
Koperasi memungkinkan peran aktif masyarakat sebagai pengelola dimana keuntungan akan
diberikan secara adil kepada seluruh anggota koperasi.

Gambar 4. Konsepsi pembangunan marikultur berbasis WPP


Sumber: Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan

12
DAFTAR PUSTAKA

[1] Badan Pusat Statistik 2020

[2] Sujiyanto. 2015. Strategi kebijkaan pengelolaan nelayan andon sebagai upaya pelestarian
sumberdaya ikan di kota Tegal. Buletin Ilmiah Marina Sosek KP, Vol.1. No. 1, 29-39.
http://dx.doi.org/10.15578/marina.v1i1.1025.

[3] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang wilayah
pengelolaan perikanan negara republik Indonesia.

[4] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50/PERMEN-KP/2017 tentang Estimasi potensi,
jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah
pengelolaan perikanan negara republik Indonesia.

[5] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2020. KKP suarakan stok ikan Indonesia meningkat di HLP-
Canberra.https://news.kkp.go.id/index.php/kkp-suarakan-stok-ikan-indonesia-meningkat-di-
hlp-canberra/

[6] Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeusmerguiensis deMan) di


perairanArafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana,
IPB Bogor: 381 hal.

[7] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18/2020 tentang rencana pembangunan Jangka
menengah nasional 2020-2024.

[8] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 9/PERMEN-KP/2020 tentang wilayah
pengelolaan perikanan negara republik Indonesia di perairan darat.

13
TENTANG PENULIS

Farah Adrienne anggota Komisi Kelautan PPI Dunia 2019/2020 dan


mahasiswi Magister Hydraulic Engineering, Zheijang Univeristy,
Tiongkok

Faisal Hamzah anggota Komisi Kelautan PPI Dunia 2019/2020 adalah


mahasiswa doktoral Marine Chemistry, Xiamen University, Tiongkok.

Lusita Meilana sedan melanjutkan studi master di Xiamen University


mengambil jurusan Marine Affairs. Saat ini merupakan kandidat doktoral
di Xiamen University, Cina dengan fokus studi yaitu bidang Coastal and
Ocean Management.

Karina Aprilia Sujatmiko lahir di Bandung pada tanggal 24 April 1986.


Memperoleh gelar sarjana sains di program studi Oseanografi, fakultas
ilmu kebumian dan teknologi mineral, Institut teknologi bandung. Saat ini
menjadi kandidat doctoral di Fakultas Societal Safety Sciences, Kansai
University, Osaka, Jepang dengan focus studi mengenai bencana multi-
hazard seperti yang terjadi pada bencana di Palu, Sulawesi tahun 2018.

14

Anda mungkin juga menyukai