Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“KAWIN KONTRAK DAN POLIGAMI”

Dosen Pengampu :

Dr. Indryani, S.Pd., M.Pd.I.

Disusun Oleh Kelompok 2:

1. Rodatul jannah (A1F119038)


2. Yayang Vima Sari(A1F119044)
3. Yuliana (A1F119063)
4. Nada aurora (A1F119066)
5. Sas mupida anggreini (A1F119069)

PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
mata kuliah pendidikan anak dalam keluarga ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak
lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah mata kuliahpendidikan anak dalam keluarga
ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah mata kuliahpendidikan anak dalam keluarga ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah matakuliahpendidikan anak dalam keluarga ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 25 oktober 2021


DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR…………………………………………………………...................
DAFTARISI……………………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN
1.1Latarbelakang ……………………………………………….................................
1.2Rumusanmasalah…………………………………………………………………..
1.3Tujuanmasalah ……………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kawin kontrak ………………………………….................................
2.2 Pengertianpoligami………………………………................................................
2.3Berbagai Pandangan Para Ulama tentang Poligami……………………………….

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………………
3.2 saran....................................................................................................................

DaftarPustaka………………………………………….................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan


pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan, bahwa
perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja,
untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya,
yang meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi Dalam melangsungkan perkawinan
juga akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit terkecil yang menjadi sendi dasar
utama bagi kelangsungan hidup dan perkembangan suatu masyarakat Bangsa dan Negara.
Perkawinan juga merupakan hal yang penting, karena dengan perkawinan seseorang akan
memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis psikologis maupun secara sosial.
Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan
manusia, sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua
insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu
keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat.

Di Indonesia perkawinan diatur dengan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, pasal 1 dirumuskan pengertian perkawinan yaitu ikatan
lahir batin diantara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa,
sehingga perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia untuk mencapai
kebahagiaan lahir dan batin khususnya dalam rangka melanjutkan atau meneruskan keturunan
dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan mampu mewujudkan masyarakat yang
sejahtera baik lahir maupun batin. Namun pada kenyataannya dalam perkembangan
masyarakat sekarang ini telah terjadi fenomena kawin kontrak seperti yang terjadi di Desa
Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Perkawinan ini adalah sebuah
perkawinan yang dilandasi pada waktu tertentu (lama atau sebentar) setelah masa berakhir,
maka berakhirlah hubungan perkawinan tersebut (Kertamuda, 2009: 18).

Poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan beberapa wanita pada waktu
yang sama, atau antara seorang wanita dengan beberapa orang pria pada waktu yang sama
(Seccombe & Warner, 2004). Poligami dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu Polygyny,
Polyandry, dan Group marriage. Polygyny (poligini) adalah perkawinan antara seorang pria
dengan beberapa wanita pada waktu yang sama.
Polyandry (poliandri) yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari seorang pria
pada waktu yang sama. Group marriage (perkawinan kelompok) atau yang juga disebut
dengan poliginandri merupakan perkawinan dua orang pria atau lebih dengan dua orang
wanita atau lebih pada waktu yang sama (Seccombe &Warner, 2004; Fisher & Goodwin
dalam Regan, 2003). Dari ketiga bentuk poligami tersebut menurut Murdock (dalam Regan,
2003) berdasarkan penelitian yang diperoleh dari 862 kelompok masyarakat di seluruh dunia,
bentuk perkawinan poligini terjadi pada sekitar 83% atau 713 kelompok masyarakat,
sehingga poligini merupakan bentuk perkawinan poligami yang terbanyak dilakukan oleh
masyarakat.

Istilah poligini jarang sekali dipakai dalam penggunaan sehari-hari, dan cenderung
diartikan sama dengan poligami (Radjab, 2003). Oleh karena itu, untuk selanjutnya dalam
penelitian ini digunakan istilah poligami untuk menggambarkan perkawinan satu orang pria
dengan beberapa perempuan dalam waktu yang sama.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu kawin kontrak?


2. Apa itu poligami ?
3. Bagaimana pandangan ulama tentang poligami?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kawin kontrak
2. Untuk mengetahui pengertian poligami
3. Untuk mengetahui pandangan ulama tentang poligami
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kawin Kontrak


a. Pengertian kawin Kontrak
Kawin mut'ah atau kawin wisata yang lebih populer disebut kawin kontrak adalah
kawin yang dibuat di atas kontrak atau perjanjian, jangka waktu kesepakatan yang
disetujui oleh kedua pihak.Boleh satu tahun, boleh satu bulan, boleh satu hari, boleh
satu jam dan boleh sekali main.Sedang jumlah wanita yang di-Mut'ah terserah kepada
si laki-laki, boleh berapa saja, terserah kekuatan dan minat si laki-laki.

Mereka tidak saling menghargai bila salah satu pelakunya mati, meskipun dalam batas
waktu yang disepakati.Juga tidak wajib memberi nafkah dan tidak wajib memberi tempat
tinggal.Mut'ah dilakukan tanpa wali dan tanpa saksi, begitu pula tanpa talaq dan begitu saja
pada akhir waktu yang disepakati.Pelakunya boleh perjaka atau duda, bahkan yang sudah
punya istri.Sedang si-wanita boleh masih perawan atau sudah janda.Adapun tempat dimana
saja, baik didalam rumah sendiri maupun diluar rumah.

Dalam buku fiqh, istilah kawin wisata atau kawin kontrak tidak dikenal.Barangkali hanya
para hidung belang saja yang menghalalkan kawin kontrak sebagai usaha untuk menghindari
perzinaan.Padahal pernikahan adalah hubungan yang langgeng antara suami-istri, keturunan,
cinta kasih, dan tanggung jawab bersama dalam mendidik anak.Pernikahan semata-mata
menikmati hubungan, sehingga seolah-olah menjadikan perempuan sebagai
"BARANG".Banyak mudarat dari kawin kontrak seperti melahirkan tanpa pernikahan sah,
danpenyebaran banyak penyakit.Seharusnya semua pihak yang ikut membantu
menanggulangi kawin kontrak dan agar para ulama mengeluarkan fatwa yang melarang
kawin kontrak tersebut.

Menurut UU No.1 Thn. 1974 tentang perkawinan, Kawin kontrak adalah suatu bentuk
perkawinan yang dibatasi oleh waktu tertentu sesuai yang diperjanjikan kedua pihak dan
merupakan suatu bentuk perkawinan yang tidak sah. Kawin kontrak telah melanggar
ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No.1 Thn. 1974 karena dalam perkawinan ini tidak dilakukan
pencatatan pada pejabat yang berwenang(KUA atau Catatan Sipil) dalam rangka memperoleh
kepastian hukumnya melalui surat nikah. Pada dasamya Kawin Kontrak itu sendiri telah
melanggar arti dan tujuan suci dari sebuah perkawinan sesuai dengan UU No. 1 Thn. 1974
dan Kompilasi Hukum Islam, jadi tidak ada alasan untuk membenarkan dan mengesahkan
keberadaannya. Menurut Hukum Islam, kawin kontrak ini adalah haram hukumnya, yaitu
dengan mendasarkan pada dalil-dalil baik berasal dan Al Qur'an maupun Hadist.Jadi tidak
ada alasan untuk membenarkan bahkan mengesahkan keberadaan kawin kontrak atau kawin
mut'ah ini.

2.2 Poligami
a. Pengertian Poligami

Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan
dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti
perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak (Nasution, 1996:
84). Secara terminologis (ishthilahi) poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu
pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan
(KBBI, 2001: 885). Jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang suami maka
perkawinannya disebut poligini, sedang jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu
seorang isteri maka perkawinannya disebut poliandri. Namun dalam bahasa sehari-hari
istilah poligami lebih populer untuk menunjuk perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang isteri. Lawan dari poligami adalah monogami, yakni sistem perkawinan yang hanya
membolehkan seorang suami memiliki seorang isteri dalam satu waktu.

b. Poligami Dalam Hukum Islam

Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dalam waktu yang
bersamaan.Lawan dari poligami adalah monogami.Dalam perspektif hukum Islam, poligami
dibatasi sampai maksimal empat orang isteri.Ada dua ayat pokok yang dapat dijadikan acuan
dilakukannya poligami, yakni QS. al-Nisa’ (4): 3 dan QS. al-Nisa’ (4): 129. Poligami sudah
berjalan seiring perjalanan sejarah umat manusia, sehingga poligami bukanlah suatu trend
baru yang muncul tiba-tiba saja.Para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan dan hukum
poligami.Di antara mereka ada yang menyetujui poligami dengan persyaratan yang agak
longgar dan ada yang mempersyaratkannya dengan ketat.Di antara mereka juga ada yang
melarang poligami, kecuali karena terpaksa (sebagai rukhshah) dalam kondisi-kondisi
tertentu.Yang pasti hukum Islam tidak melarang poligami secara mutlak (haram) dan juga
tidak menganjurkan secara mutlak (wajib).Hukum Islam mengatur masalah poligami bagi
orang-orang yang memang memenuhi syarat untuk melakukannya.Pelaksanaan poligami,
menurut hukum Islam, harus didasari oleh terpenuhinya keadilan dan kemaslahatan di antara
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Namun, kenyataannya banyak praktik poligami yang
tidak mengindahkan ketentuan hukum Islam tersebut, sehingga masih jauh dari yang
diharapkan.

Disamping itu poligami di dalam hukum Islam (fiqih) dibatasi jumlah isteri yang boleh
dinikahi oleh seorang suami yakni maksimal 4 (empat) orang isteri. Hal ini berpedoman
kepada perjalanan hidup Nabi yang terdapat di dalam hadits bahwa Nabi Muhammad SAW
di dalam hidupnya memiliki isteri sebanyak 4 (empat) orang.

c. Syarat Poligami Sesuai Syariat Islam

Meski poligami diperbolehkan, nyatanya poligami tidak boleh dilakukan


sembarangan.Poligami bukanlah perkara main-main. Syarat poligami dalam Islam telah
diatur sedemikian terstruktur dan sangat ketat., berikut syarat poligami sesuai syariat Islam
yang penting untuk diketahui sebelum yakin memutuskan beristri lebih dari satu:

1.) Mampu Berlaku AdilSeorang pria berpoligami harus mampu bersikap adil di antara
para istrinya dalam banyak hal, termasuk nafkah lahir dan batin.Apabila ia condong
kepada salah satu istri saja, maka ini akan menimbulkan kezaliman bagi istri-istri
lain.Aturan ketat poligami ini ditegaskan Rasulullah dalam hadits riwayat Abu
Dawud, An-Nasa'i, At-Tirmidzi yang berbunyi:
"Siapa saja orangnya yang memiliki 2 istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya,
pada hari Kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan bagian pundaknya miring
sebelah."

Dalam hal ini, ada baiknya seorang pria berpoligami mengatur jadwal bermalam untuk
istri-istrinya dengan musyawarah terlebih dahulu.Meski terkesan mudah, berlaku adil itu
nyatanya sulit sekali diamalkan.Oleh karena itu, jika memang merasa tidak mampu berlaku
adil, maka sebaiknya hindarilah poligami.

2.) Jumlah Istri Dibatasi, Maksimal 4 Orang


Syarat poligami menurut syariat Islam hanya boleh dilakukan sebanyak 4 kali
saja.Artinya, seseorang dibatasi untuk menikahi wanita lebih dari 4 orang.

"Maka berkawinlah dengan sesiapa yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain):
dua, tiga atau empat." (Q.S An-Nisa ayat 3)Dalam hal ini, Rasulullah telah membatasi praktik
poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil
dalam beristeri lebih dari satu wanita.

Batasan menikahi 4 wanita dalam hal berpoligami ini ditegaskan oleh Rasulullah ketika
melihat sebagian sahabat telah mengawini 8 sampai 10 wanita.Mereka lalu diminta
Rasulullah menceraikan sebagian dan menyisakan empat istri saja. Itulah yang dilakukan
Rasulullah kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-
Harits."Dari Qais Ibnu Al-Harits ia berkata: Ketika masuk Islam saya memiliki delapan istri,
saya menemui Rasulullah dan menceritakan keadaan saya, lalu beliau bersabda: "Pilih empat
di antara mereka." (HR. Ibnu Majah)

3.) Mampu Memberi Nafkah Lahir dan BatinDalam berpoligami, setiap pria harus
mampu memberi nafkah lahir dan batin bagi para istrinya. Apabila merasa masih sulit
menafkahi satu orang istri, maka orang semacam ini sangat berhak dilarang poligami.

"Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya),
sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya." (QS. An-Nur:
33). Sebab, Rasulullah dahulu berpoligami bukanlah semata untuk kesenangan diri sendiri,
melainkan demi membantu wanita-wanita yang tidak memiliki seseorang yang
menafkahinya.

4.) Niatkan Semata untuk Ibadah kepada Allah


Ketika memutuskan hendak berpoligami, maka niatkan semata untuk beribadah
kepada Allah Ta'alaa. Dengan tetap mengingat Allah, seseorang tidak akan terlupa
dengan akhirat.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah.Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang
yang rugi." (Q.S Al-Munafiqun:9)

Oleh sebab itu, salah satu syarat mutlak poligami sesuai syariat Islam yaitu memulai menikah
dengan niatan beribadah kepada Allah.Selain sebagai sarana ibadah, menikah dapat
menaikkan kedudukan wanita serta mempermudah wanita untuk masuk surga.

5.) Dilarang Menikahi Dua Wanita yang BersaudaraBagi pria yang berpoligami,
hendaklah ia menghindari pernikahan terhadap dua wanita yang memiliki hubungan
darah erat (misal, saudara atau bibi).Hal semacam itu dilarang dalam hukum poligami
Islam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'alaa dalam Surah An-Nisa ayat 23:
"(Diharamkan atas kamu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."

Larangan menikahi dua wanita bersaudara diperkuat dengan hadits Rasulullah, di mana salah
satu istri Rasulullah -Ummu Habibah- mengusulkan agar Baginda menikahi adik
kandungnya.Keinginan itu lantas ditolak oleh Rasulullah. Beliau pu menjawab,
"Sesungguhnya ia tidak halal untukku." (H.R Imam Bukhari, An-Nasa'i)

6.) Mampu Menjaga Kehormatan Para Istrisesuai syariat Islam bagi setiap pria yang
hendak beristri lebih dari satu adalah mampu membimbing, mendidik, serta menjaga
kehormatan para istri.Apabila ia membiarkan salah satu istrinya bersikap bebas dan
berbuat maksiat, maka dalam hal ini suami pun ikut menanggung dosa perbuatan istri
tersebut.

"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (At-Tahrim: 6)

2.3 Berbagai Pandangan Para Ulama tentang Poligami

Allah Swt. Maha Bijaksana ketika menetapkan aturan poligami, sehingga tidak ada
kesalahan dan cela.Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi laki-laki,
sebagaimana tidak pula diwajibkan bagi perempuan dan keluarganya untuk menerima
perkawinan dari laki-laki yang sudah beristeri.Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan
disyariatkannya hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia.Dengan prinsip seperti ini,
jelaslah bahwa disyariatkannya poligami juga untuk kemaslahatan manusia.Poligami
bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk menyenangkan
suami.Dari prinsip ini juga dapat dipahami bahwa jika poligami itu tidak dapat mewujudkan
kemaslahatan, maka poligami tidak boleh dilakukan. Karena itulah, Islam memberikan
aturan-aturan yang dapat dijadikan dasar untuk pelaksanaan poligami sehingga dapat
terwujud kemaslahatan tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan poligami, meskipun dasar pijakan mereka
adalah sama, yakni mereka mendasarkan pada satu ayat dalam al-Quran, yaitu QS. al-Nisa‟
(4): 3 seperti di atas. Menurut jumhur (kebanyakan) ulama ayat di atas turun setelah Perang
Uhud selesai, ketika banyak pejuang Muslim yang gugur menjadi syuhada‟.Sebagai
konsekuensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati ayah atau suaminya. Hal
ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama dalam hal pendidikan
dan masa depan mereka (Nasution, 1996: 85). Kondisi inilah yang melatarbelakangi
disyariatkannya poligami dalam Islam.
Ibnu Jarir al-Thabari sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat
di atas merupakan kekhawatiran tidak mampunya seorang wali berbuat adil terhadap harta
anak yatim.Maka jika sudah khawatir kepada anak yatim, mestinya juga khawatir terhadap
perempuan.Maka janganlah menikahi mereka kecuali dengan perempuan yang kalian yakin
bisa berbuat adil, satu hingga empat orang. Sebaliknya, jika ada kekhawatiran tidak sanggup
berbuat adil ketika berpoligami, maka cukup menikahi seorang isteri saja (al-Thabari, 1978:
155).
Dalam menafsirkan ayat di atas al-Zamakhsyari mengatakan, kata wa dalam ayat matsna
wa tsulatsa wa ruba‟ berfungsi sebagai penjumlahan (li al-jam‟i). Karena itu,
menurutnya,perempuan yang boleh dinikahi oleh laki-laki yang bisa berbuat adil bukan
empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan (al-Zamakhsyari, 1966,
I: 496). Ketika menjelaskan makna ayat 129 dari surat al-Nisa‟ yang berbunyi: ”Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung”, al-Zamakhsyari mengatakan bahwa tuntutan
kemampuan berbuat adil terhadap para isteri sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab
memaksakan diri dalam melakukan sesuatu di atas kemampuannya termasuk perbuatan
zhalim (al-Zamakhsyari, 1966, I: 568).
Ketika membahas kata aw ma malakat aimanukum al-Zamakhsyari mengatakan bahwa
untuk halalnya hubungan seorang tuan dengan budaknya, maka harus dinikahi terlebih
dahulu. Al-Qurthubi sepakat dengan al-Zamakhsyari dalam hal menikahi budak yang akan
digauli oleh tuannya. Namun al-Qurthubi berbeda dengan al-Zamakhsyari dalam memahami
jumlah maksimal perempuan yang dijadikan isteri dalam berpoligami. Al-Qurthubi sepakat
dengan apa yang ditegaskan oleh Nabi Saw. ketika menyuruh sahabat untuk menyisakan
isterinya maksimal empat orang. Dengan demikian, menurut al-Qurthubi jumlah maksimal
isteri bagi suami yang berpoligami adalah empat orang (al-Qurthubi, 1967: 17).

Al-Syaukani menyebutkan, bahwa sebab turunnya ayat al-Nisa‟: 3 berhubungan dengan


kebiasaan orang-orang Arab pra-Islam. Di antara kebiasaan mereka adalah para wali yang
ingin menikahi anak yatim tidak memberikan mahar yang jumlahnya sama dengan mahar
yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu, kalau tidak bisa memberikan mahar yang
samaantara yang perempuan yang yatim dan non-yatim, Allah menyuruh untuk menikahi
perempuan yang non-yatim saja maksimal empat orang dengan syarat dapat berbuat adil. Jika
tidak dapat berbuat adil, maka cukup satu saja. Al-Syaukani juga menegaskan bahwa
menikahi wanita lebih dari empat orang hukumnya haram karena bertentangan dengan
sunnah Nabi dan bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab yang umum (al-Syaukani,
1973: 420). Ketika menafsirkan ayat aw ma malakat aimanukum al-Syaukani menyatakan,
untuk menjadikan budak sebagai isteri tidak diharuskan menikahinya, karena budak
disamakan dengan harta milik.Dalam menafsirkan QS.al-Nisa‟: 129, sebagaimana umumnya
para ahli tafsir, al-Syaukani menegaskan, bagaimanapun usaha untuk berbuat adil,
manusia tidak akan mampu, lebih-lebih kalau dihubungkan dengan kemampuan membagi di
bidang non-materi. Karena itu, Allah melarang untuk condong kepada salah satu yang
mengakibatkan yang lain menjadi terlantar.
Dengan kata lain, harus ada upaya maksimal dari seorang suami untuk dapat berbuat adil
kepada para isterinya ketika berpoligami (al-Syaukani, 1973: 521).

Al-Maraghi menyatakan dalam kitab tafsirnya bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan
yang dipersulit dan diperketat.Menurutnya, poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat
yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkan.Dia kemudian
mencatat kaidah fiqhiyah “dar‟u al-mafasid muqaddamun „ala jalbi al-mashalih” (menolak
yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat).Catatan
ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam melakukan
poligami. Alasan yang membolehkan poligami, menurut al-Maraghi, adalah 1) karena isteri
mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan; 2) apabila
suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara isteri tidak mampu meladeni sesuai
dengan kebutuhannya; 3) jika suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala
kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan anak-anak; dan 4)
jika jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki yang bisa jadi dikarenakan perang. Atau
banyaknya anak yatim dan janda sebagai akibat perang juga membolehkan dilakukannya
poligami (al-Maraghi, 1969, IV: 181-182).

Al-Maraghi juga menegaskan hikmah pernikahan poligami yang dilakukan Nabi


Muhammad Saw.yang menurutnya ditujukan untuk syiar Islam. Sebab jika tujuannya untuk
pemuasan nafsu seksual, tentu Nabi akan memilih perempuan-perempuan cantik dan yang
masih gadis. Sejarah membuktikan bahwa yang dinikahi Nabi semuanya janda kecuali
„Aisyah.Terkait dengan QS.al-Nisa‟: 129 al-Maraghi mencatat, yang terpenting harus ada
upaya maksimal untuk berbuat adil. Adapun di luar kemampuan manusia, bukanlah suatu
yang harus dilakukan (al-Maraghi, 1969, V: 173).

Sayyid Qutub memandang poligami sebagai suatu perbuatan rukhshat.Karena itu, poligami
hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak.Kebolehan ini pun
masih disyaratkan adanya sikap adil kepada para isteri.Keadilan yang dituntut di sini
termasuk dalam bidangnafkah, muamalah, pergaulan, serta giliran tidur malam. Bagi suami
yang tidak mampu berbuat adil, maka cukup seorang isteri saja (Sayyid Qutub, 1966,
IV:236). Ameer Ali juga berpendapat sama seperti Sayyid Qutub (Ali, 1922: 229).

Sedang Fazlur Rahman mengatakan, kebolehan poligami merupakan satu pengecualian


karena keadaan tertentu.Sebab kenyataannya, kebolehan itu muncul ketika terjadi perang
yang mengakibatkan banyaknya anak yatim dan janda (Nasution, 1996: 101).Muhammad
Abduh bahkan berkesimpulan bahwa poligami tidak diperbolehkan (haram).Poligami hanya
mungkin dilakukan seorang suami dalam keadaan tertentu, misalnya ketidakmampuan
seorang isteri untuk mengandung atau melahirkan.Dengan mengutip QS. al-Nisa‟(4): 3,

Abduh mencatat, Islam memang membolehkan poligami tetapi dituntut dengan keharusan
mampu meladeni isteri dengan adil.Abduh akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa
pada prinsipnya pernikahan dalam Islam itu monogami (Nasution, 1996: 103).

Muhammad Rasyid Ridha sependapat dengan gurunya, Muhammad Abduh, mengenai


haramnya berpoligami, jika suami tidak mampu berbuat adil kepada isteri-isterinya
(Nasution, 1996: 104).

Sementara itu Abdul Halim Abu Syuqqah (1997, 5: 390) menguraikan faktor-faktor yang
dapat mendorong dilakukannya poligami, yakni: 1) memecahkan problema keluarga, seperti
isteri mandul, terdapat cacat fisik, dan isteri menderita sakit yang berkepanjangan; 2)
memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi suami, seperti seringnya bepergian dalam waktu
yang lama dan sulit disertai oleh isterinya karena sibuk mengasuh anak-anak atau karena
sebab lain; 3) hendak melakukan perbuatan yang baik terhadap perempuan salih yang
tidak ada yang memeliharanya, misalnya perempuan itu sudah tua, karena memelihara anak-
anak yatim, atau sebab-sebab lainnya; dan 4) ingin menambah kesenangan karena
kesehatannya prima dan kuat ekonominya. Semua faktor ini harus dipenuhi oleh suami yang
berpoligami ditambah persyaratkan dapat berlaku adil, mampu memberi nafkah kepada isteri-
isteri dan anak-anaknya, dan mampu memelihara isteri-isteri dan anak-anaknya dengan baik
(Abu Syuqqah, 1997, 5: 388).

Itulah beberapa pendapat para ulama tentang poligami yang pada prinsipnya semuanya
membolehkan poligami dengan berbagai ketentuan yang bervariasi.Ada yang membolehkan
poligami dengan syarat yang cukup longgar dan ada juga yang memberikan persyaratan yang
ketat.Di antara mereka juga ada yang menegaskan bahwa dibolehkannya poligami hanya
dalam keadaan darurat saja.Mengenai jumlah isteri yang boleh dinikahi dalam berpoligami
ada yang membatasinya empat orang dan ada yang membatasinya sembilan orang.Dari
variasi pendapat mereka tidak ada yang dengan tegas menyatakan bahwa poligami itu
dilarang.Mereka tidak berani menetapkan hukum yang bertentangan dengan al-Quran atau
hadis yang memang tidak pernah melarangnya.Inilah barangkali salah satu ciri dari ulama
klasik dalam menetapkan hukum.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kawin mut'ah atau kawin wisata yang lebih populer disebut kawin kontrak adalah kawin
yang dibuat di atas kontrak atau perjanjian, jangka waktu kesepakatan yang disetujui oleh
kedua pihak. Boleh satu tahun, boleh satu bulan, boleh satu hari, boleh satu jam dan boleh
sekali main.Sedang jumlah wanita yang di-Mut'ah terserah kepada si laki-laki, boleh berapa
saja, terserah kekuatan dan minat si laki-laki.Menurut Hukum Islam, kawin kontrak ini
adalah haram hukumnya, yaitu dengan mendasarkan pada dalil-dalil baik berasal dan Al
Qur'an maupun Hadist.Jadi tidak ada alasan untuk membenarkan bahkan mengesahkan
keberadaan kawin kontrak atau kawin mut'ah ini.

Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari satu orang istri dalam waktu
yang bersamaan.Lawan dari poligami adalah monogami.Dalam perspektif hukum Islam,
poligami dibatasi sampai maksimal empat orang isteri.Hal ini berpedoman kepada perjalanan
hidup Nabi yang terdapat di dalam hadits bahwa Nabi Muhammad SAW di dalam hidupnya
memiliki isteri sebanyak 4 (empat) orang.

3.2 Saran

Penulis menyadari jikamakalah ini masih ada kekurangan yang jauh dari kata
sempurna. Tentunya penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu kepada
sumber yang bisa di pertanggung jawabkan nantinya. Oleh sebabitu, penulis sangat
mengharapkan kritik sertasaran mengenai pembahasan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

https://journal.uny.ac.id/index.php/civics/article/view/4376

https://www.indozone.id/life/ers7kAz/syarat-poligami-dalam-islam

https://repository.unair.ac.id/51904/#:~:text=Kawin%20kontrak%20adalah%20suatu
%20bentuk,)%20UU%20No.1%20Thn

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Poligami

https://journal.uny.ac.id/index.php/civics/article/view/4376/3805

Anda mungkin juga menyukai