Anda di halaman 1dari 23

KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

“ DIABETES MILITUS TIPE II”

Dosen Pengampu : Ns. Hj. Silvia D Mayasari Riu, S.Kep, M.Kep

Disusun Oleh

Kelompok 1

1. Iis Mahmud (1901034)


2. Cindy Berliana D. Mayulu (1901060)
3. Adi Saputra (1901059)
4. Vivi Sri Utami Gobel (1901058)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH MANADO

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

T.A 2021
BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit yang disebabkan oleh penurunan kadar hormon
insulin yang diproduksi oleh kelenjar pankreas yang mengakibatkan meningkatnya kadar
glukosa dalam darah. Penurunan ini mengakibatkan glukosa yang dikonsumsi oleh tubuh
tidak dapat diproses secara sempurna sehingga konsentrasi glukosa dalam darah akan
meningkat. Diabetes Melitus terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu DM tipe 1, DM tipe II,
DM Sekunder dan DM gestasional. Diabetes melitus adalalah gangguan metabolisme
yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya
toleransi karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit
vaskular mikroangiopati.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus tipe II,
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yangterjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes
Mellitus Tipe II adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula
darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi
insulin (resistensi insulin). Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glukosa oleh hati sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya
tertimbun dalam peredaran darah. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini
sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari
berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa.
Pada Diabetes Melitus tipe II, pankreas masih dapat membuat insulin, tetapi
kualitas insulin yang dihasilkan buruk dan tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai
kunci untuk memasukkan glukosa ke dalam sel. Akibatnya glukosa dalam darah tetap
tinggi sehingga terjadi hiperglikemia. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Gustaviani, 2006). Karena
insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka Diabetes Mellitus Tipe II
dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus.
Diabetes Tipe II biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014). Biasanya terjadi
pada usia 45 tahun, tetapi bisa pula timbul pada usia di atas 20 tahun. Kejadian DM Tipe
II, pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes
karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih
besar. Seringkali Diabetes Tipe II didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu setelah
komplikasi muncul sehingga tinggi insidensinya sekitar 90% dari penderita DM di
seluruh dunia dan sebagian besar merupakan akibat dari memburuknya faktor risiko
seperti kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik (WHO, 2014).

2. Etiologi
Diabetes Mellitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Diabetes
melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara
relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a) Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
b) Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c) Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan
dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko yang
dapat diubah dan faktor lain. Menurut American DiabetesAssociation (ADA) bahwa DM
berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi:
1. Riwayat keluarga dengan DM (first degree relative)
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga
bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot
dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
2. Umur ≥45 tahun
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah > 45
tahun.
3. Etnik,
4. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional
5. Riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2,5 kg).
Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah pada penyakit Diabetes Melitus (DM) Tipe II,
meliputi:
1. Obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90
cm pada laki-laki.Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan
kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Kurangnya aktivitas fisik
3. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat
dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari
dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
4. Dislipidemi adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan
rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Diet tidak sehat.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic
ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki riwatyat toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya,
memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau peripheral
rrterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol,faktor stres, kebiasaan merokok, jenis
kelamin,konsumsi kopi dan kafein. Alkohol akan menganggu metabolisme gula
darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah
dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila
mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml proof
wiski, 240 ml wine atau 720 ml.
3. Anatomi Fisiologi

Pankreas adalah kelenjar majemuk bertanda dan strukturnya sangat mirip dengan
kelenjar ludah, panjang kira-kira 15 cm berat 60 – 100 gram. Letak pada daerah
umbilical, dimana kepalanya dalam lekukan duodenum dan ekornya menyentuh kelenjar
lympe, mengekskresikannya insulin dan glikogen ke darah.
a. Pankreas terdiri dari tiga bahagian yaitu :
1. Kepala pankreas merupakan bahagian paling besar terletak di sebelah kanan
umbilical dalam lekukan duodenum.
2. Badan pankreas merupakan bagian utama organ itu letaknya sebelah lambung dan
depan vertebra lumbalis pertama.
3. Ekor pankreas adalah bagian runcing sebelah kiri, dan yang sebenarnya
menyentuh lympa.
b. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama yaitu :
1. Acini yang menyekresi getah pencernaan ke duodenum.
2. Pulau langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi
insulin dan glukagon langsung ke darah.

Pulau langerhans manusia mengandung tiga jenis sel utama yaitu sel alfa, beta dan
delta yang satu sama lain dibedakan dengan struktur dan sifat pewarnaannya. Sel beta
mengekresi insulin, sel alfa mengekresi glukagon, dan sel-sel delta mengekresi
somatostatin.
c. Fungsi pancreas ada dua, maka disebut organ rangka, yaitu :
1) Fungsi eksokrin, dilaksanakan oleh sel sekretori lobula yang membentuk getah
pancreas berisi enzim dan elektrolit. Jenis-jenis enzim dari pancreas adalah :
 Amylase : menguraikan tepung menjadi maltosa atau maltosa dijadikan
polisakarida dan polisakarida dijadikan sakarida kemudian dijadikan
monosakarida.
 Tripsin : menganalisa pepton menjadi polipeptida kemudian menjadi asam
amino.
 Lipase : menguraikan lemak yang sudah diemulsi menjadi asam lemak dan
gliserol/gliserin.
2) Fungsi endokrin atau kelenjar tertutup berfungsi membentuk hormon dalam pulau
langerhans yaitu kelompok pulau-pulau kecil yang tersebar antara alveoli-alveoli
pancreas terpisah dan tidak mempunyai saluran.

Oleh karena itu hormon insulin yang dihasilkan pulau langerhans langsung diserap ke
dalam kapiler darah untuk dibawa ke tempat yang membutuhkan hormon tersebut. Dua
hormon penting yang dihasilkan oleh pancreas adalah insulin dan glucagon

A. Insulin
Insulin adalah protein kecil yang berat molekulnya 5808 untuk manusia. Insulin
terdiri dari dua rantai asam amino, satu sama lain dihubungkan oleh ikatan disulfide.
Sekresi insulin diatur oleh glukosa darah dan asam amino yang memegang peranan
penting. Perangsang sekresi insulin adalah glukosa darah. Kadar glukosa darah adalah
80 – 90 mg/ml. Mekanisme untuk mencapai derajat pengontrolan yang tinggi yaitu :
a) Fungsi hati sebagai sistem buffer glukosa darah yaitu meningkatkan
konsentrasinya setelah makan, sekresi insulin juga meningkat sebanyak 2/3
glukosa yang di absorbsi dari usus dan kemudian disimpan dalam hati dengan
bentuk glikogen.
b) Sebagai sistem umpan balik maka mempertahankan glukosa darah normal.
c) Pada hypoglikemia efek langsung glukosa darah yang rendah terhadap
hypothalamus adalah merangsang simpatis. Sebaliknya epinefrin yang
disekresikan oleh kelenjar adrenalin masih menyebabkan pelepasan glukosa yang
lebih lanjut dari hati. Juga membantu melindungi terhadap hypoglikemia berat.
Adapun efek utama insulin terhadap metabolisme karbohidrat, yaitu :
 Menambah kecepatan metabolisme glukosa
 Mengurangi konsentrasi gula darah
 Menambah penyimpanan glukosa ke jaringan.
B. Glukagon
Glukagon adalah suatu hormon yang disekresikan oleh sel-sel alfa pulau langerhans
mempunyai beberapa fungsi yang berlawanan dengan insulin. Fungsi yang terpenting
adalah : meningkatkan konsentrasi glukosa dalam darah. Glukagon merupakan
protein kecil mempunyai berat molekul 3842 dan terdiri dari 29 rantai asam amino.
Dua efek glukagon pada metabolisme glukosa darah :
a) Pemecahan glikogen (glikogenolisis)
b) Peningkatan glukosa (glukogenesis)

Pengatur sekresi glukosa darah perubahan konsentrasi glukosa darah mempunyai efek
yang jelas berlawanan pada sekresi glukagon dibandingkan pada sekresi insulin, yaitu
penurunan glukosa darah dapat menghasilkan sekresi glukagon, bila glukagon darah
turun 70 mg/100 ml darah pancreas mengekresi glukosa dalam jumlah yang sangat
banyak yang cepat memobilisasi glukosa dari hati. Jadi glukagon membantu
melindungi terhadap hypoglikemia.

4. Patofisiologi
Gambaran patologi pada penderita Diabetes Melitus dapat dihubungkan dengan
salah satu efek akibat kurangnya insulin. Kurangnya penggunaan glukosa oleh sel-sel
tubuh yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah yaitu 300-1200

mg/dl. Peningkatan pergerakan lemak di tempat penyimpanan lemak yang menyebabkan


metabolism lemak menjadi tidak normal. Penderita yang mengalami defisiensi insulin
tidak mampu untuk mempertahankan kadar glukosa puasa yang normal. Apabila terjadi
hiperglikemi yang melebihi batas ginjal normal 160-180 mg/ 100 ml, dapat menimbulkan
glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak mampu menyerap kembali semua glukosa.
Glukosuria dapat mengakibatkan diuresis osmotic yang menyebabkan poliuri. Dimana
poliuri disertai dengan adanya kehilangan sodium, klorida, potassium dan fosfat. Poliuri
dapat menyebabkan dehidrasi kemudian polidipsi. Selanjutnya glukosa akan keluar
bersama urin sehingga pasien mengalami keseimbangan protein negative dan berat badan
yang menurun. Penurunan berat badan menimbulkan polifagi. Penderita akan mengalami
asthenia atau berkurangnya energy sehingga penderita akan lebih cepat merasa
lelah dan mengantuk, hal ini disebabkan oleh hilangnya protein dalam tubuh dan

pengurangan terhadap penggunaan karbohidrat untuk energi. Apabila hiperglikemi


dibiarkan dalam jangka waktu yang lama maka akan mengakibatkan arteriosclerosis,
adanya penebalan membrane basalis dan terjadinya perubahan pada saraf perifer. Hal ini
mengakibatkan terjadinya ganggren pada penderita dengan defisiensi insulin. Biasanya
pasien dengan defisiensi tidak mampu mempertahankan kadar glukosa normal (A &
Wlison, 2015).
Pada diabetes tipe 2 tedapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin
yaitu : resistensi dan gangguan sekresi insulin. Kedua masalah inilah yang menyebabkan
GLUT dalam darah aktif (Brunner & Suddarth, 2015). Glukose Transporter (GLUT)
yang merupakan senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan
dalam proses metabolism glukosa. Insulin mempunyai tugas yang sangat penting pada
berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama pada metabolisme karbohidrat.
Hormon ini sangat berperan dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan
tubuh, terutama pada otot, lemak dan hepar. Pada jaringan perifer seperti jaringan otot
dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS)
yang terdapat pada membrane sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan
menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses metabolisme glukosa di dalam
sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas.
Setelah berikatan, transduksinya berperan dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4
(glucose transporter-4).
Proses sintesis dan transaksi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari
ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolisme. Untuk menghasilkan suatu
proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi
yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya
sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu
faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes melitus tipe 2.
Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena sebetulnya insulin tersedia, tetapi tidak
bekerja dengan baik dimana insulin yang ada tidak mampu memasukkan glukosa dari
peredaran darah untuk ke dalam sel-sel tubuh yang memerlukannya sehingga glukosa
dalam darah tetap tinggi yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia (Soegondo, 2010).
Hiperglikemia terjadi bukan hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi
insulin), tapi pada saat bersamaan juga terjadi rendahnya respons jaringan tubuh terhadap
insulin (resistensi insulin). Defisiensi dan resistensi insulin ini akan memicu sekresi
hormon glukagon dan epinefrin. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula
meningkatkan glikogenolisis yaitu pemecahan glikogen menjadi glukosa dan kemudian
meningkatkan glukoneogenesis yaitu pembentukan karbohidrat oleh protein dan
beberapa zat lainnya oleh hati. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis
dan proteolisis di otot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat)
merupakan bahan baku glukoneogenesis hati.
Faktor atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan
mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan
berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai
jaringan tubuh

5. Menifestasi Klinik
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes
melitus yaitu poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), Poliuria (banyak
kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun
dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), dan mudah lelah. Sedangkan gejala
kronik diabetes melitus yaitu kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk
jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur,
gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa
terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan
tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia
terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan
melalui urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus
terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia
penderita DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM
pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa
gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status
kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi,
mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada
lansia seringkali agak terlambat. 5,6 Bahkan, DM pada lansia seringkali baru terdiagnosis
setelah timbul penyakit lain. Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh
penyakit Diabetes Melitus diantaranya :
a. Pengeluaran urin (poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume urin dalam 24 jam meningkat melebihi batas
normal. Poliuria timbul sebagai gejala Diabetes Melitus karena kadar glukosa dalam
tubuh yang relatif tinggi sehingga tubuh berusaha mengeluarkan kelebihan glukosa
melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada malam hari dan urin
yang dikeluarkan banyak mengandung glukosa (PERKENI, 2015).
b. Timbul rasa haus (polidipsia)
Polidipsia adalah rasa haus yang berlebih timbul karena kadar glukosa dalam darah
terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan
(PERKENI, 2015).
c. Timbul rasa lapar (polifagia)
Pasien dengan Diabetes Melitus akan cepat merasakan lapar dan lemas, hal ini
disebabkan karena kadar glukosa dalam tubuh semakin habis, sedangkan kadar
glukosa dalam darah cukup tinggi (PERKENI, 2015).
d. Penyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien Diabetes Melitus disebabkan karena
tubuh terpaksa mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energy untuk
tubuh (PERKENI, 2015).
e. Timbulnya ketoadosis diabetikum dan dapat berakibat meninggal jika tidak segera
mendapat penanganan atau tidak diobati segera.
6. Pengobatan
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
A. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
1. Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas
2. Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
3. Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati
dan ginjal serta malnutrisi
b. Glinid
1. Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
2. Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi
insulin fase pertama.
3. Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
Peningkat sensitivitas insulin:
a. Biguanid
1. Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
2. Metformin menurunkan glukosa darah melalui
3. pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin,
dan menurunkan produksi glukosa hati.
4. Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai
dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
Penghambat glukoneogenesis:
a. Biguanid (Metformin).
1. Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi
glukosa hati.
2. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin
serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan
hipoksemia seperti pada sepsis
3. Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonylurea.
4. Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa
diatasi dengan pemberian sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa :
Acarbose :
1. Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.
2. Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonilurea.
3. Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan
flatulens.
4. Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1)
merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan ole sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan
perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara
cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat
DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan
glukagon.
Teori Asuhan Keperawatan Pasien Diabetes Melitus tipe II dengan
Kesiapan Peningkatan Manajemen Kesehatan

1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan proses pengumpulan data, verifikasi serta
komunikasi data yang mengenai pasien secara sistematis. Pada fase ini meliputi
pengumpulan data dari sumber primer (pasien), sekunder (keluarga pasien, tenaga
kesehtana), dan analisis data sebagai dasar perumusan diagnose keperawatan. fokus
pengkajian keperawatan pada kasus Diabetes Melitus tipe II.
a. Pengkajian
1) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada klien apakah keluarganya ad yang menderita penyakit seperti
klien
2) Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya
tanyakan pada klien berapa lama klien menderita penyakit Diabetes Melitus,
bagaimana cara penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana
cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien
untuk menanggulangi penyakitnya.
3) Aktivitas dan istirahat
Tanyakan pada klien apakah merasakan letih, lemah, sulit bergerak atau
berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
4) Sirkulasi
Tanyakan pada klien apakah ada riwayat hipertensi, kebas, kesemutan pada
ektremitas, ada ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi,
perubahan tekanan darah.
5) Integritas ego
Tanyakan pada klien apa sedang mengalami stress atau ansietas.
6) Eliminasi
Tanyakan pada klien adanya perubahan pola dalam berkemih, seperti poliuri,
nokturia, dan anuria serta diare.
7) Makanan dan cairan
Tanyakan apakah klien pernah mengalami anorexia, mual, tidak mengikuti

diet, penurunan berat badan, haus dan penggunaan diuretik.


8) Neurosensori
Tanyakan pada klien apakah pernah merasakan pusing, sakit kepala,
kesemutan, kebas kelemahan pada otot, paresthesia, gangguan penglihatan
9) Nyeri dan kenyamanan
Tanyakan pada klien adanya abdomen tegang, nyeri dengan skala sedang
hingga berat.
10) Pernafasan
Tanyakan pada klien apakah mengalami batuk dengan atau tanpa spuntum
purulent (terganggu adanya infeksi atau tidak).
11) Keamanan
Tanyakan pada klien adanya kuring yang kering disertai gatal, dan ulkus pada
kulit.
12) Pemeriksaan fisik
Dilakukan pemeriksaan head to toe.
13) Pemeriksaan penunjang
Kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl , gula darah puasa > 140 mg/dl,
gula darah 2 jam post prandial > 200 mg/dl, peningkatan lipid dan kolesterol,
osmolaritas serum > 330 osm/l.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah tahap kedua dalam proses keperawatan dimana
merupakan penialain klinis terhadap kondisi individu, keluarga, atau komunitas baik
yang bersifat actual, resiko, atau masih merupakan gejala. Diagnose keperawatan
merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien terhadap masalah kesehatan
atau proses kehidupan yang dialaminya baik berlangsung actual maupun potensial
(PPNI, 2016).
Penilaian ini berdasarkan pada hasil analisis data pengkajian dengan cara berpikir
kritis. Diagnosa yang ditegakkan dalam masalah ini ialah kesiapan peningkatan
manajemen kesehatan. Berikut diagnosa yang terkait dengan penyakit Diabetes
Melitus tipe II adalah :
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan sirkulasi darah ke perifer,
proses penyakit (DM).
b. Kerusakan integritas jaringan b.d nekrosis kerusakan jaringan
c. Risiko infeksi b.d trauma pada jaringan
d. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d gejala poliuria dan dehidrasi
e. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotic (dari
hiperglikemia )
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak edukuatnya
produuksi insulin
g. Keletihan b.d penurunan produksi energy metabolik
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Standar Luaran Intervensi (SIKI)

Kriteria Hasil (SLKI) Skoring

1. (D.0112) Kesiapan peningkatan (L.12104) Setelah diberikan (I.12383) Edukasi Kesehatan


manajemen kesehatan merupakan
asuhan keperawatan selama 5 Observasi :
pola pengaturan dan
pengintegrasian program kali kunjungan dalam 30 - Identifikasi factor – factor yang dapat
kesehatan ke dalam kehidupan
menit diharapkan tingkat meningkatkan dan menurunkan motivasi
sehari-hari yang cukup untuk
memenuhi tujuan kesehatan dan kesiapan peningkatan. perilaku hidup bersih dan sehat
dapat ditingkatkan.
a. Manajemen kesehatan Terapeutik :
pasien meningkat dgn - Sediakan materi dan media pendidikan
kriteria hasil : kesehatan
5
1. Melakukan tindakan - Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
untuk mengurangi kesepakatan
faktor risiko - Berikan kesempatan untuk bertanya
(meningkat) 5 Edukasi :
2. Menerapkan program - Jelaskan faktor risiko yang dapat
perawatan mempengaruhi kesehatan.
(meningkat) 5 - Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
3. Aktivitas hidup - Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
sehari-hari efektif meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
memenuhi tujuan
kesehatan
(meningkat) 5

4. Verbalisasi kesulitan
dalam menjalani
program
perawatan/pengobata
n (menurun)

2. (D.0027) Ketidakstabilan kadar (L.03022) Setelah dilakukan (I.03115) Managemen Hiperglikemia


glukosa darah b.d resistensi
intervensi keperawatan maka Observasi :
insulin
kestabilan kadar glukosa - Identifikasi kemungkinan penyebab
darah meningkat, dengan hiperglikemia
kriteria hasil : - Monitor kadar glukosa darah
5
1. Koordinasi (meningkat) - Monitor tanda dan gejala hiperglikemia
5
2. Koordinasi (meningkat) - Monitor intake dan output cairan
5
3. Mengantuk (menurun) Terapeutik :
5
4. Pusing (menurun) - Berikan asupan cairan oral
5
5. Lelah/lesu (menurun) - Konsultasi dengan medis jika tanda dan gejala
5
6. Keluhan lapar (menurun) hiperglikemia tetap ada atau memburuk
5
7. Gemetar (menurun) - Fasilitasi ambulasi jika ada hipotensi
5
8. Berkeringat (menurun) ortostatik
5
9. Mulut kering (menurun) 5 Edukasi :
10. Rasa haus (menurun) 5 - Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan
11. Perilaku aneh (menurun) 5 olahraga
12. Kesulitan bicara - Ajarkan pengelolaan diabetes
(menurun) 5 Kolaborasi :
13. Kadar glukosa dalam - Kolaborasi pemberian insulin
darah (membaik) 5 - Kolaborasi pemberian cairan IV
14. Kadar glukosa dalam
urine (membaik) 5

15. Palpitasi (membaik) 5

16. Perilaku (membaik) 5

17. Jumlah urine (membaik)


4. Implementasi
Implementasi adalah tahap keempat dari proses keperawatan. Tahap ini muncul jika
perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien. Implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi. Tindakan yang dilakukan mungkin sama, mungkin juga berbeda
dengan urutan yang telah dibuat pada perencanaan. Implementasi keperawatan membutuhkan
fleksibilitas dan kreativitas dimana aplikasi yang akan dilakukan pada klien akan berbeda,
disesuaikan dengan kondisi klien saat itu dan kebutuhan yang paling dirasakan oleh klien
(Debora, 2017).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini perawat
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah
ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah teratasiseluruhnya, hanya
sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya. Evaluasi adalah proses berkelanjutan yaitu
proses yang digunakan untuk mengukur dan memonitor kondisi klien untuk mengetahui
1) Kesesuaian tindakan keperawatan
2) Perbaikan tindakan keperawatan
3) Kebutuhan klien saat ini
4) Perlunya dirujuk pada tempat kesehatan lain
5) Apakah perlu menyusun ulang priorotas diagnose supaya kebutuhan klien bisa
terpenuhi. Selain digunakan untuk mengevaluasi tindakan keperawatan yang sudah
dilakukan, evaluasi juga digunakan untuk memeriksa sumua proses keperawatan
(Debora, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Edwina, Dwi Amelisa, and Efrida Efrida Asman Manaf.”Pola komplikasi kronis
penderita diabetes militus tipe 2 rawat inap di bagian penyakit dalam RS. Dr. M. Djamil
Padang Januari 2011-Desember 2012.”Jurnal Kesehatan Andalas 4.1 (2015): 103.

Toharin,Syamsi Nur Rahman, WIDYA HARY CAHYATI S.KM, and Itan Zainafree MH
Kes. “Hubungan modifikasi gaya hidup dan kepatuhan konsumsi obat antidiabetik
dengan kadar gula darah pada penderita diabetes militus tipe 2 di RS Qim Batang tahun
2013. ” Unnes Journal of Public Health 4.2 (2015).

Kistianita, Ayu Nindhi, Moch Yunus, and Rara Warih Gayatri. “Analisis factor risiko
diabetes mellitus tipe 2 pada usia produktif dengan pendekatan WHO stepwise step 1
(core/inti) di Puskesmas Kendalkerep Kota Malang. “ Preventia: The Indonesian Journal
Of Public Health 3.1 (2018): 85-108.

Ramadhan, Nur, and Nelly Marissa. “Karakteristik penderita diabetes mellitus tipe 2
berdasarkan kadar hba 1c di puskesmas jayabaru kota banda aceh.” (2015).

Fatimah, Restyana Noor. “Diabetes militus tipe 2”. Jurnal Majority 4.5 (2015).

Maghfirah, Sholihatul, I. Ketut Sudiana, and Ika Yuni Widyawati. “Relaksasi otot
progresif terhadap stress psikologis dan perilaku perawatan diri pasien diabetes militus
tipe . “ KEMES: Jurnal Kesehatan Masyarakat 10.2 (2015): 137-146.

Akoit, Emilia Erningwati. “Dukungan sosial dan perilaku perawatan diri penyandang
diabetes mellitus tipe 2. “ Jurnal info kesehatan 13.2 (2015) 952-966.

Zainuddin, Mhd, and Wasisto Utomo. Hubungan stress dengan kualitas hidup penderita
diabetes militus tipe 2. Diss. Riau University, 2015
Meloh, Monica L,. Karel Pandelaki, and Cerelia Sugeng. “Hubungan Kadar Gula Darah
Tidak Terkontrol Dan Lama Menderita Diabetes Militus Dengan fungsi Kognitif Pada
Subjek Diabetes Militus Tipe 2.” E-CliniC 3.1 (2015).

Sosialita, Tiara D., and Hamidah Hamidah. “Hope-besed intervention untuk menurunkan
stress serta meningkatkan harapan dan subjective well-being pada penderita diabetes
mellitus tipe 2. “Psikoislamika:Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam 12.1 (2015): 55-63.

Indonesia, Perkumpulan Endokriinologi. “Pengelolaan dan pencegahan diabetes militus


tipe 2 di Indonesia. “Pb. Perkeni (2015).

Beckman J, Creager M. Vascular Complications of Diabetes. Lebanon: Vanderbilt


University School of Medicine. 2016;118:1771−85.

Bramlage, P; Gitt, AK; Binz, C; Krekler, M; Deeg,E; and Tschope, D. Oral antidiabetic
treatment in type-2 diabetes in the elderly: balancing the need for glucose control and the
risk of hypoglycemia.

Cardiovascular Disease and Type 2 Diabetes: Has the Dawn of a New Era Arrived?.
Diabetes Care. 2017;40:813−20.

Decroli E. After basal insulin therapy for type 2 diabetes, what next? the “basal/basal
plus” strategy. Dalam : Manaf A, editor. Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Berkala Ilmu
Penyakit Dalam XV. Padang.2015

Management of hyperglycaemia in type 2 diabetes, 2018. A consensus report by the


American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the Study of
Diabetes (EASD). Diabetologia. 2018

Naidu A. Diabetes and Vascular Disease. Somajiguda: Yashoda. 2015.


New EASD-ADA consensus guidelines on managing hyperglycaemia in type 2 diabetes
launched at EASD meeting. Medical Press. 2018;1−3.

Thomas RE, Annabel ACS, Craig L, Ulrik HP. Prevalence of cardiovascular disease in type 2
diabetes: a systematic literature review of scientific evidence from across the world in 2007-2017.
Cardiovasc Diabetol. 2018;17:83−5.

Werner ED, Lee J, Hansen L, Yuan M, Shoelson SE. Insulin Resistance Due to
Phosphorylation of Insulin Receptor Substrate-1 at Serine 302. The Journal Of Biological
Chemistry. 2004;35298-305.

Anda mungkin juga menyukai