Anda di halaman 1dari 19

Nama: Habibah Shabila

NPM: 1806139310

Kelas: Hukum Perbankan Reguler

Tugas Hukum Perbankan 6

1. Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan


berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta
kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang
diperjanjikan. Jelaskan dengan lengkap bagaimanakah cara yang dilakukan oleh
bank dalam menilai hal-hal tersebut?
Jawaban:
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU
10/1998”), diatur bahwa Bank Umum memiliki kewajiban untuk mempunyai
keyakinan dalam pemberian kredit berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad
dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan. Lebih lanjut, mengacu pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU
10/1998, dinyatakan bahwa Bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur yang
mana dilakukan untuk memperoleh keyakinan sebelum memberikan kredit. Dengan
demikian, cara yang dilakukan bank dalam menilai hal-hal berkaitan dengan perolehan
keyakinan dalam pemberian kredit adalah melakukan penilaian terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Adapun cara
tersebut dikenal dengan penilaian berdasarkan Prinsip 5C, yaitu terdiri dari watak
(Character), kemampuan (Capacity), modal (Capital), jaminan (Collateral), dan
kondisi ekonomi (Condition of Economy).
Penilaian terhadap watak (character) dilakukan dengan melihat watak, sifat,
dan pribadi para nasabah dalam pemberian kredit. Bank dalam hal ini menilai watak
nasabah yang meliputi latar belakang pekerjaan maupun latar belakang yang bersifat
pribadi, seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hobi,
sosial standingnya, moral dan kejujuran pemohon kredit. 1 Adapun penilaian ini

1
Niniek Wahyuni, “Penerapan Prinsip 5C Dalam Pemberian Kredit Sebagai Perlindungan Bank,” Lex
Journal: Kajian Hukum & Keadilan Vol 1 No 1 (2017), hlm. 15.
bertujuan agar bank mengetahui itikad baik yang dimiliki oleh nasabah atau kejujuran
yang dimiliki oleh calon debitur.2 Hal ini penting agar bank tidak disulitkan di
kemudian hari jika terjadi risiko masalah kredit. Selanjutnya, dalam hal menilai
kemampuan (capacity), bank melakukan penilaian tersebut dengan melihat
kemampuan nasabah dalam mengendalikan bisnis, yang dihubungkan dengan
pendidikannya, kemampuan dalam memahami ketentuan pemerintah, memimpin, serta
menguasai bidang usahanya.3 Selain itu, bank juga menilai kemampuan nasabahnya
yang meliputi usaha yang dimiliki serta manajemen usahanya.
Kemudian, pihak bank juga melakukan penilaian terhadap modal (capital) yang
mana dilakukan dengan cara menilai modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Selain
fokus terhadap jumlah modal yang dimiliki oleh calon debitur, bank juga fokus menilai
distribusi modal yang ditempatkan oleh calon debitur. Bank dalam hal ini juga
melakukan penilaian dengan melihat laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba)
dan melakukan pengukuran, seperti dari segi likuiditas dan solvabilitas, rentabilitas dan
ukuran lainnya.4 Selanjutnya, bank juga melakukan penilaian terhadap jaminan
(collateral). Jaminan adalah kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan yang
bertujuan untuk kepastian pelunasan di belakang hari apabila penerima kredit tidak
melunasi utangnya.5 Calon debitur perlu memberikan sebuah jaminan untuk pemberian
kredit dari bank sebagai sarana pengaman bagi bank atas risiko kredit macet dan risiko
lainnya. Jaminan yang diberikan tersebut harus dianalisis secara yuridis dan ekonomis
untuk menentukan apakah layak dan memenuhi persyaratan.6
Yang terakhir, bank juga melakukan penilaian terhadap kondisi ekonomi
(condition of economy) dari calon debitur. Bank dalam hal ini harus mengetajui tentang
kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit. Selain itu,
bank juga menilai prospek usaha calon debitur Prospek usaha tersebut dinilai dan
dianalisis sehingga hanya prospek usaha yang baik saja yang dapat diterima oleh bank.

2
I Made Adi Guntara dan Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, “Penerapan Prinsip 5C Sebagai Upaya
Perlindungan Terhadap Bank Di Dalam Menyalurkan Kredit,” Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum (Juli 2019),
hlm. 8.
3
Wahyuni, “Penerapan…,” hlm. 15.
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Malayu S.P.Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), hlm.107.
2. Jelaskan dengan lengkap apa saja yang diatur dalam Pedoman Kebijaksanaan
Perkreditan Bank?
Jawaban:
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan
Perkreditan Atau Pembiayaan Bank Bagi Bank Umum (“POJK 42/2017”), yang diatur
dalam Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank adalah
meliputi: (1) prinsip kehati-hatian dalam perkreditan atau pembiayaan, (2) organisasi
dan manajemen perkreditan atau pembiayaan, (3) kebijakan persetujuan Kredit atau
Pembiayaan, (4) dokumentasi dan administrasi Kredit atau Pembiayaan, (5)
pengawasan Kredit atau Pembiayaan, dan (6) penyelesaian Kredit atau Pembiayaan
bermasalah. Berikut penjelasan mengenai masing-masing hal yang diatur dalam
Pedoman Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank tersebut:
1) Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan
Setiap Kebijakan Perkreditan Bank (KPB) harus memuat secara jelas dan tegas
mengenai prinsip kehati-hatian dalam perkreditan atau pembiayaan. Prinsip kehati-
hatian dimuat dengan paling sedikit meliputi kebijakan pokok dalam perkreditan,
tata cara penilaian kualitas kredit, serta profesionalisme & integritas pejabat
perkreditan.7 Kebijakan pokok dalam perkreditan harus meliputi pula mengenai
pokok pengaturan mengenai tata cara pemberian kredit yang sehat, pokok
pengaturan pemberian kredit kepada pihak terkait dengan Bank dan debitur besar
tertentu, kredit yang mengandung risiko yang tinggi, serta kredit yang perlu
dihindari.8 Pokok pengaturan tersebut diatur lebih lanjut secara detail dalam
Lampiran Bab II POJK 42/2017.
Selanjutnya, tata cara penilaian kualitas kredit dalam KPB harus didasarkan
pada suatu tata cara yang bertujuan untuk memastikan bahwa hasil penilaian
kolektibilitas kredit yang dilakukan oleh bank telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum dan
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah.9 Kemudian, diatur

7
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Kewajiban
Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank Bagi Bank Umum, POJK
No.42/POJK.03/2017, Bab II Lampiran.
8
Ibid.
9
Ibid.
pula bahwa KPB harus mengatur bahwa setiap bank wajib dinyatakan secara jelas
tentang pejabat terkait perkreditan minimal harus bertindak secara profesional di
bidang perkreditan atau pembiayaan dengan jujur, objektif, cermat, serta seksama.
Lalu, pejabat perkreditan juga harus menyadari dan memahami sepenuhnya
ketentuan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (“UU 7/1992”) sebagaimana yang telah diubah dengan UU 10/1998 dan
juga Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (“UU 21/2008”), serta menghindari perbuatan tersebut.
2) Organisasi dan manajemen perkreditan10
Dalam perihal perangkat perkreditan, maka setiap bank harus memiliki unsur
pengendalian intern mulai tahap awal proses kegiatan perkreditan, keterkaitan
pejabat-pejabat Bank dalam perkreditan atau pembiayaan seperti direksi, dewan
komisaris, dewan pengawas syariah, pejabat perkreditan lain dan/atau satuan-
satuan kerja dalam organisasi Bank. Selain itu, bank juga harus memiliki Komite
Kebijakan Perkreditan (KKP) dan Komite Kredit (KK). KPB juga harus
mencantumkan secara jelas dan tegas tentang fungsi, tugas, wewenang, dan
tanggung jawab direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, satuan kerja
perkreditan atau pembiayaan, KKP, dan KK dalam kaitannya dengan perkreditan.
KPB dalam hal ini juga harus mengatur mengenai tugas dan wewenang direksi
serta komisaris dalam perkreditan.
KKP adalah komite yang membantu direksi dalam merumuskan kebijakan,
mengawasi pelaksanaan kebijakan, memantau perkembangan dan kondisi
portofolio perkreditan atau pembiayaan serta memberikan saran langkah
perbaikan. Secara singkat, KKP memiliki fungsi yang meliputi memberikan
masukan kepada direksi dalam penyusunan KPB, mengawasi agar KPB dapat
diterapkan dan dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten serta merumuskan
pemecahan dalam hal terdapat hambatan atau kendala dalam penerapan KPB, serta
memantau dan mengevaluasi perkembangan dan kualitas portofolio perkreditan
secara keseluruhan, dan lain sebagainya. Selanjutnya, KK adalah komite
operasional yang membantu direksi dalam mengevaluasi dan/atau memutuskan
permohonan kredit untuk jumlah dan jenis kredit yang ditetapkan oleh direksi.
Tugas KK yaitu meliputi memberikan persetujuan atau penolakan kredit dan

10
Ibid., Bab III Lampiran.
melakukan koordinasi dengan Assets and Liabilities Committee (ALCO) dalam
aspek pendanaan kredit.
3) Kebijakan persetujuan Kredit11
KPB juga harus memuat kebijakan persetujuan kredit yang paling sedikit
mencakup konsep hubungan total pemohon kredit, penetapan batas wewenang
persetujuan kredit, tanggung jawab Pejabat Pemutus Kredit, proses persetujuan
kredit, permohonan kredit, rekomendasi persetujuan kredit, pemberian persetujuan
kredit, perjanjian kredit, dan persetujuan pencairan kredit. Ketentuan lebih lanjut
mengenai masing-masing hal yang tercantum dalam KPB tersebut telah diatur
secara jelas dan lengkap dalam Bab IV Lampiran POJK 42/2017.
Konsep hubungan total pemohon kredit adalah pertimbangan permohonan 1
transaksi atau 1 rekening kredit atas dasar penilaian seluruh kredit dari pemohon
kredit yang telah diberikan dan/atau akan diberikan secara bersamaan oleh bank.
Selanjutnya, pengaturan batas wewenang persetujuan kredit minimal meliputi
dasar pertimbangan dan kriteria pengaturan batas wewenang persetujuan kredit dan
pengaturan mengenai perolehan persetujuan dari pejabat yang berwenang memutus
kredit. Adapun proses persetujuan kredit meliputi permohonan kredit, analisis
kredit, rekomendasi persetujuan kredit, serta pemberian persetujuan kredit. Semua
hal tersebut harus diatur dalam KPB. Kemudian, mengenai persetujuan pencairan
kredit itu harus didasarkan dengan prinsip, yaitu bank harus menyetujui pencairan
kredit dalam hal seluruh syarat yang ditetapkan dalam persetujuan dan pencairan
kredit telah dipenuhi oleh pemohon kredit, dan bank harus memastikan bahwa
seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah diselesaikan dan telah
melindungi bank.
4) Dokumentasi dan administrasi Kredit12
Bank harus melaksanakan dokumentasi kredit yang baik dan tertib. Selain itu,
Bank juga perlu mengatur administrasi perkreditan dengan baik dan tertib.
Administrasi ini meliputi penatausahaan kredit dan tata cara pengadministrasian
kredit. Dalam penatausahaan kredit, seluruh kredit harus dicatat dan dibukukan
secara benar, lengkap, dan akurat. Selanjutnya, tata cara pengadminisrasian kredit
harus mengandung unsur pengendalian intern dan paling sedikit meliputi:

11
Ibid., Bab IV Lampiran.
12
Ibid., Bab V Lampiran.
a. penetapan pejabat dan/atau satuan kerja yang bertanggung jawab dalam
pengadministrasian kredit;
b. jenis-jenis dokumen, berkas, atau warkat yang harus ditatausahakan;
c. tata cara penatausahaan kredit; dan
d. tata cara penyusunan statistik perkreditan.
5) Pengawasan Kredit13
Setiap bank harus menerapkan dan melaksanakan fungsi pengawasan kredit
yang bersifat menyeluruh dengan prinsip-prinsip, yaitu fungsi pengawasan harus
diawali dari upaya yang bersifat pencegahan sedini mungkin dari terjadinya hal-
hal yang dapat merugikan bank dalam perkreditan, prinsip pengawasan melekat,
dan prinsip pengawasan kredit yang juga harus meliputi audit intern terhadap
seluruh aspek perkreditan. Adapun cakupan fungsi pengawasan kredit ini paling
sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Mengawasi pelaksanaan pemberian Kredit atau Pembiayaan telah sesuai
dengan KPB, prosedur pemberian Kredit atau Pembiayaan, dan ketentuan
intern Bank.
b. Mengawasi pelaksanaan pemberian Kredit atau Pembiayaan telah
memenuhi ketentuan perbankan.
c. Memantau perkembangan kegiatan debitur termasuk pemantauan melalui
kegiatan kunjungan kepada debitur dan memberikan peringatan dini
mengenai penurunan kualitas Kredit atau Pembiayaan yang diperkirakan
mengandung risiko bagi Bank.
d. Mengawasi pelaksanaan penilaian kolektibilitas Kredit atau Pembiayaan
telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
e. Melakukan pembinaan kepada debitur untuk mengarahkan agar debitur
dapat memenuhi kewajiban kepada Bank.
f. Memantau dan mengawasi secara khusus kebenaran pemberian Kredit atau
Pembiayaan kepada pihak yang terkait dengan Bank dan debitur besar
tertentu telah sesuai dengan KPB.
g. Memantau pelaksanaan pengadministrasian dokumen perkreditan atau
pembiayaan telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.

13
Ibid., Bab VI Lampiran.
h. Memantau kecukupan jumlah penyisihan penghapusan Kredit atau
Pembiayaan.
6) Penyelesaian Kredit bermasalah14
Dalam penyelesaian kredit bermasalah ini, Bank harus menangani kredit
bermasalah ini dengan pendekatan sebagaimana yang tercantum dalam Bab VII
Lampiran POJK 42/2017. Selain itu, Bank juga harus melakukan pengawasan
secara khusus terhadap kredit yang berada dalam pengawasan khusus. Bank juga
harus melakukan evaluasi secara berkala terhadap daftar kredit dalam pengawasan
khusus serta hasil penyelesaiannya. Adapun penyelesaian kredit bermasalah ini
dapat dilakukan dengan cara rescheduling, reconditioning, ataupun restructuring.
Kemudian, bagi kredit bermasalah yang tidak dapat diselesaikan atau ditagih maka
harus dilaksanakan penyelesaian kredit yang tidak dapat ditagih.

3. Jelaskan sedikitnya 3 (tiga) batasan dan larangan dalam pemberian kredit yang
berlaku bagi perbankan di Indonesia. Mengapa diperlukan batasan & larangan
tersebut?
Jawaban:
Berikut 3 batasan dan larangan berkaitan dengan perkreditan perbankan di
Indonesia:
1) Kredit Kepada Non-Residen15
Ketentuan tentang larangan kredit kepada non-residen ini diatur dalam Pasal 15
dan 16 Peraturan BI Nomor 18/19/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing (“PBI 18/19/PBI/2016”).
Berdasarkan Pasal 15 huruf a PBI 18/19/PBI/2016, diatur bahwa Bank dilarang
melakukan transaksi pemberian kredit dalam rupiah dan/atau valuta asing dengan
pihak asing. Adapun yang dimaksud dengan pihak asing dalam hal ini adalah
meliputi: warga negara asing; badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident)
negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; kantor Bank di luar negeri dari Bank
yang berkantor pusat di Indonesia; atau kantor perusahaan di luar negeri dari
perusahaan yang berbadan hukum Indonesia.

14
Ibid., Bab VII Lampiran.
15
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank dengan Pihak Asing, PBI Nomor 18/19/PBI/2016, Ps. 15-16.
Namun, mengacu pada Pasal 16 PBI 18/19/PBI/2016, larangan terhadap
pemberian kredit kepada pihak asing ini tidak berlaku terhadap:
a. kredit nontunai atau garansi yang terkait dengan kegiatan investasi di
Indonesia yang memenuhi persyaratan berikut:
- memperoleh counter guaranty (kontra garansi) dari Prime Bank yang
bukan merupakan: kantor cabang Bank di luar negeri; dan kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri baik yang berada di
dalam maupun di luar negeri; atau
- adanya jaminan setoran sebesar 100% (seratus persen) dari nilai garansi
yang diberikan
b. kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 16
PBI 18/19/PBI/2016 ini;
c. kartu kredit;
d. Kredit atau Pembiayaan konsumsi yang digunakan di dalam negeri;
e. cerukan intrahari dalam Rupiah atau valuta asing yang didukung oleh
dokumen yang bersifat authenticated yang menunjukkan konfirmasi akan
adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang sama dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
f. cerukan dalam Rupiah atau valuta asing karena pembebanan biaya
administrasi; dan pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk
pemerintah untuk mengelola aset Bank dalam rangka restrukturisasi
perbankan Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin oleh
Prime Bank

Batasan dan larangan terkait kredit kepada non-residen ini diberikan karena
adanya faktor risiko jika terjadi kegagalan kredit atau wanprestasi. Dalam hal
terjadinya kegagalan atau wanprestasi, maka pihak perbankan akan sulit untuk
menyelesaikan wanprestasi tersebut karena pihak debitur yang merupakan
pihak asing. Pihak asing pada dasarnya tidak tunduk pada hukum Indonesia
sehingg penyelesaiannya (termasuk eksekusi jaminan) akan sulit untuk
dilakukan. Dengan demikian, maka diberlakukanlan batasan dan larangan
pemberian kredit bagi pihak non-residen/pihak asing tersebut.
2) Kredit Untuk Jual Beli Saham16
Ketentuan mengenai batasan dan larangan perkreditan bank terkait jual beli
saham ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 40/POJK.03/2017 tentang Kredit
Atau Pembiayaan Kepada Perusahaan Efek dan Kredit Atau Pembiayaan Dengan
Agunan Saham (“POJK 40/2017”). Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) POJK 40/2017,
diatur mengenai batasan perkreditan bank, yakni bank hanya dapat memberikan
kredit kepada suatu Perusahaan Efek masing-masing paling tinggi sebesar jumlah
yang terkecil antara 25% dari modal Perusahaan Efek yang bersangkutan atau 15%
dari modal Bank. Lebih lanjut, diatur pula seluruh kredit yang dapat diberikan oleh
Bank kepada seluruh Perusahaan Efek paling tinggi adalah sebesar 30% dari modal
bank. Pasal 2 ayat (3) POJK 40/2017 juga memberikan larangan perkreditan, yakni
bank dilarang memberikan kredit untuk jual beli saham kepada orang perseorangan
atau perusahaan yang bukan Perusahaan Efek.
Batasan lainnya diatur dalam Pasal 3 POJK 40/2017. Berdasarkan Pasal3 ayat
(1) POJK 40/2017, dinyatakan bahwa Bank diperbolehkan memberikan kredit atau
pembiayaan dengan agunan tambahan berupa saham yang telah terdaftar di bursa
efek. Lebih lanjut, saham yang telah terdaftar di bursa efek tersebut adalah tidak
termasuk: saham yang tidak mengalami transaksi dalam waktu 3 bulan berturut-
turut sebelum akad kredit atau pembiayaan ditandatangani; dan saham dengan harga
pasar di bawah nilai nominal pada saat akad kredit atau pembiayaan ditandatangani.
Adapun nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit tersebut
paling tinggi sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan di
bursa efek pada saat akad kredit ditandatangani.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 5 POJK 40/2017, diatur juga bahwa bank
diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham yang terdaftar maupun
tidak terdaftar di bursa efek dalam rangka pemberian kredit untuk ekspansi atau
pengambilalihan. Saham yang tidak terdaftar tersebut dibatasi hanya saham yang
diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit. Nilai saham yang tidak terdaftar
tersebut juga dibatasi yakni paling tinggi sebesar nilai nominal saham yang
tercantum dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga perusahaan penerima
kredit.

16
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Kredit Atau
Pembiayaan Kepada Perusahaan Efek dan Kredit Atau Pembiayaan Dengan Agunan Saham, POJK
No.40/POJK.03/2017, Ps. 2-5.
Batasan dan larangan terkait kredit untuk jual beli saham ini diberikan untuk
mencegah adanya gejolak yang terjadi di pasar modal yang dapat berdampak
kepada sektor perbankan. Batasan dan larangan ini juga ditujukan agar perbankan
tidak memberikan kredit yang akan digunakan untuk aksi spekulatif. Selain itu,
kondisi pasar modal yang fluktuatif juga menjadi pertimbangkan mengapa batasan
dan larangan ini diatur. Dengan demikian, pemberian kredit untuk jual beli saham
ini memiliki aturan yang berkenaan dengan pembatasan dan pelarangan tersebut.

3) Kredit Untuk Pembelian Tanah17


Batasan dan larangan mengenai perkreditan terkait pembelian tanah ini diatur
dalam Peraturan OJK Nomor 44 /POJK.03/2017 tentang Pembatasan Pemberian
Kredit atau Pembiayaan Oleh Bank Umum Untuk Pengadaan Tanah Dan/Atau
Pengolahan Tanah (“POJK 44/2017”) sebagaimana yang telah diubah oleh
Peraturan OJK Nomor 16 /POJK.03/2018 tentang Perubahan atas Peraturan OJK
Nomor 44 /POJK.03/2017 tentang Pembatasan Pemberian Kredit atau Pembiayaan
Oleh Bank Umum Untuk Pengadaan Tanah Dan/Atau Pengolahan Tanah (“POJK
16/2018”). Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) POJK 16/2018, bank dilarang untuk
memberikan kredit kepada Pengembang, baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah. Namun, terdapat
pengecualian, yakni Bank tetap dapat memberikan kredit kepada Pengembang jika
dilakukan dengan memenuhi keadaan dan syarat-syarat tertentu sebagaimana yang
dicantumkan dalam Pasal 2 ayat (2), (3), dan (4) POJK 16/2018.
Batasan dan larangan terkait kredit untuk pembelian tanah ini diatur karena
adanya pertumbuhan sektor properti yang tinggi. Dengan adanya pertumbuhan yang
tinggi tersebut, maka diperlukan peningkatan pula terhadap penerapan prinsip
kehati-hatian dalam pemberian kredit pembelian tanah yang terkait dengan sektor
properti ini. Aturan ini juga untuk mencegah adanya pemberian kredit yang
berlebihan pada sektor properti yang mana berpotensi dapat mengakibatkan adanya
pengaruh buruk terhadap kesehatan perbankan. Dengan demikian, batasan dan
larangan terkait kredit pembelian tanah ini diatur.

17
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang tentang Perubahan
atas Peraturan OJK Nomor 44 /POJK.03/2017 tentang Pembatasan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Oleh
Bank Umum Untuk Pengadaan Tanah Dan/Atau Pengolahan Tanah, POJK No. 16 /POJK.03/2018, Ps. 2.
4. Jelaskan perbedaan penting (sekurang-kurangnya 4 perbedaan) antara
Perkreditan (Bank Konvensional) dengan Pembiayaan (Bank Syariah).
Jawaban:
Kredit bank konvensional dan pembiayaan bank syariah memiliki berbagai
perbedaan. Dari sisi definisi, terdapat perbedaan antata konsep kredit dan pembiayaan
tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU 10/1998, yang dimaksud dengan kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersama-kan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. Sementara itu, berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU
10/1998, disebutkan bahwa pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil. Lebih lanjut, mengacu pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”), pembiayaan adalah
penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah,
tanpa imbalan, atau bagi hasil.18
Selain itu, yang membedakan antara kredit oleh bank konvensional dan
pembiayaan oleh bank syariah antara lain adalah sebagai berikut:
1) Pemberian balas jasa atau keuntungan yang diperoleh oleh bank

18
Indonesia, Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94 Tahun
2008, TLN No. 4867, Ps. 1 angka 25.
Dalam sistem kredit, bank konvensional memperoleh keuntungan atau
memperoleh balas jasa berupa bunga yang dibayarkan oleh nasabah sebagai
debitur.19 Bunga kredit tersebut akan dikenakan kepada debitur dengan
berdasarkan jumlah kredit yang diajukan oleh debitur. Persentase bunga tersebut
bisa sudah dipastikan pada saat awal perjanjian dengan sistem perhitungan di
mana besaran bunga akan mengacu pada pokok utang awal, atau persentase bunga
tersebut bisa juga mengalami perubahan berdasarkan tingkat suku bunga dasar
Bank Indonesia.
Sementara itu, pembiayaan oleh bank syariah akan memberikan bagi hasil
kepada nasabahnya sesuai dengan keadaan ekonomi bank syariah yang benar-
benar terjadi, yang didasarkan pada pendapatan (revenue sharing).20 Dalam
pembiayaan bank syariah, keuntungan ataupun balas jasa yang diterima bank
adalah berupa pemberian bagi hasil. Bagi hasil tersebut telah disepakati oleh pihak
bank dan pihak nasabah. Perjanjian yang dilakukan di awal transaksi merupakan
kesepakatan untuk menentukan persentase penentuan bagi hasil antara pihak bank
dengan pihak debitur, baik kerugian maupun keuntungan yang akan ditanggung
atau dibagi bersama.21
2) Hubungan hukum
Dalam sistem kredit oleh bank konvensional, hubungan hukum yang timbul
antara pihak bank dengan nasabah peminjam adalah hubungan antara kreditur dan
debitur. Sementara itu, hubungan hukum yang timbul dalam pembiayaan bank
syariah adalah hubungan kemitraan. Hubungan kemitraan ini menunjukkan
adanya hubungan yang sejajar antara bank syariah dengan nasabah yang diberikan
fasilitas pembiayaan.
3) Risiko
Dalam kredit bank konvensional, risiko akan ditanggung oleh nasabah dalam
hal ia tidak bisa mengembalikan pinjaman. Hal ini berbeda dengan pembiayaan
oleh bank syariah di mana pihak bank syariah akan ikut serta menanggung
sebagian risiko.
4) Jenis pemberian kredit atau pembiayaan

19
Achasih Nur Chikmah, “Analisis Perbandingan Sistem Pemberian Kredit Bank Konvensional dengan
Pembiayaan Bank Syariah Pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah,” Jurnal Akuntansi Akunesa Vol 2 No. 2
(Januari 2014), hlm. 8.
20
Muhammad, Pengantar Akuntansi Syariah, (Jakarta: Salemba Empat, 2005), hlm. 17.
21
Chikmah, “Analisis…,” hlm. 16.
Bank konvensional memberikan kredit dengan tidak membatasi jenis pemberian
kredit yang dikaitkan dengan objek maupun bidang usahanya. Dalam hal ini, bank
konvensional tidak memperdulikan hukum jenis kredit yang diajukan. Bank
konvensional tidak akan membatasi jenis pemberian kredit selama debitur dapat
memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan serta mampu untuk
melunasi pinjaman tersebut. Sementara itu, bank syariah dalam memberikan
pembiayaan harus memperhatikan objek ataupun bidang usaha yang menjadi
sasaran pembiayaan. Jika pembiayaan tersebut dimaksudkan untuk objek dan
bidang usaha yang diharamkan menurut hukum Islam, maka pihak bank syariah
tidak akan memberikan pembiayaan kepada nasabah. Bank syariah menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sehingga mengharuskan usaha atau
objek yang dibiayainya bersifat halal.
5) Biaya denda
Dalam kredit oleh bank konvensional, terdapat pengenaan sejumlah biaya denda
terhadap nasabah yang terlambat melakukan pembayaran cicilan. Jumlah besaran
dari denda ini telah diatur sejak awal perjanjian dan harus sesuai dengan kebijakan
bank konvensional tersebut. Sementara itu, biaya denda ini tidak ada dalam konsep
pembiayaan bank syariah. Jika nasabah terlambat melakukan pembayaran, maka
pihak bank syariah akan menarik sejumlah dana atas keterlambatan tersebut.
Penarikan dana nantinya akan disumbangkan kepada lembaga sosial sehingga
bank syariah tidak akan mendapatkan keuntungan dari dana tersebut.

5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah dalam perkreditan di bawah ini:
a. Ultra vires
Ultra vires adalah unsur kesalahan atau melampaui batas wewenang.22 Lebih
lanjut, ultra vires ini diartikan sebagai adanya tindakan yang tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan dari sebuah Perseroan Terbatas (PT).23 Maksud dan tujuan PT
tersebut dapat dilihat dari anggaran dasar PT yang berkaitan dengan kegiatan
usahanya. Dalam perkreditan, istilan ultra vires ini berkaitan dengan tindakan bank
yang melakukan due diligence terhadap anggaran dasar debitur yang berbentuk PT.
Pihak bank akan melakukan due diligence terhadap maksud dan tujuan serta

22
Agus Sardjono, et al, Pengantar Hukum Dagang, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2019), hlm. 72.
23
Dwi Suryahartati, “Doktrin Ultra Vires (Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas),” Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 6 No. 7 (2013), hlm. 114.
kegiatan usaha yang dijalankan oleh PT yang termuat dalam anggaran dasar PT.
Dalam hal ini, Direksi hanya berwenang melakukan pengurusan PT sebagaimana
diatur dalam anggaran dasar khususnya mengenai maksud, tujuan, dan kegiatan PT.
Apabila PT yang bergerak dalam satu bidang usaha, namun ia mengajukan
permohonan kredit kepada bank untuk hal-hal yang di luar bidang usahanya
sebagaimana yang tercantum dalam anggaran dasar, maka PT tersebut telah
melakukan tindakan yang melampaui maksud, tujuan, dan kegiatan usahanya dan
telah berada di luar kekuasaannya (ultra vires).
b. Representation & warranties
Istilah representation & warranties dalam perkreditan ini berkaitan dengan isi
klausula dalam perjanjian kredit. Dalam perjanjian kredit, terdapat klausula
representation & warranties, yaitu klausula yang berisi pernyataan-pernyataan
nasabah debitur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan
keuangan, dan harta kekayaan nasabah debitor pada waktu kredit diberikan, yaitu
yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk
memberikan kredit tersebut.24 Representation & warranties ini juga berisi
pernyataan dari nasabak debitur atau penerima kredit atas pembebanan dan segala
harta kekayaan penerima kredit menjadi jaminan pelunasan kredit.25
c. Side streaming
Side streaming adalah penyimpangan penggunaan kredit.26 Lebih lanjut, side
streaming ini adalah penggunaan dana yang tidak sesuai di dalam kontrak atau
akad.27 Penyebab dari terjadinya side streaming ini adalah kelalaian pihak bank
dalam melakukan analisa pemberian kredit atau pembiayaan. Dengan demikian,
untuk mencegah terjadinya side streaming ini, maka pihak bank akan melakukan
penilaian terhadap calon nasabah debitur dengan berpedoman pada prinsip 5C dan
prinsip kehati-hatian.28

24
Yenny Eta Widyanti, “Perjanjian Baku Ditinjau dari Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit dan Tolak Ukur
Perjanjian Baku Agar Mengikat Para Pihak,” Pamator Volume 4 Nomor 1 (April 2011), hlm. 101.
25
Marsidah, “Bentuk Klausula-Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit Bank,” Solusi Volume 17 Nomor
3 (September 2019), hlm. 299.
26
Desianita Nur Ahila, “Tinjauan Hukum Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Penyimpangan
Penggunaan Kredit (Side Streaming) yang Mengakibatkan Kerugian Bank Dihubungkan Dengan Undang-Undang
No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,” (Skripsi
Sarjana Universitas Pasundan Bandung, Bandung, 2019), hlm. 4.
27
Ibid.
28
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2011),
hlm 63.
d. Conditons precedents
Istilah conditions precedents ini memiliki pengertian, yakni segala sesuatu yang
harus dipenuhi terlebih dahulu oleh debitur sebelum dapat menarik atau
menggunakan dana kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit yang
telah ditandatangani antara debitur dan bank pemberi kredit.29 Conditions
precedents adalah salah satu klausul yang diatur dalam perjanjian kredit. Klausula
conditions precedents adalah klausula tentang syarat-syarat tangguh yang harus
dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah debitur sebelum bank berkewajiban untuk
menyediakan dana bagi kreditur tersebut dan nasabah debitur berhak untuk pertama
kalinya menggunakan kredit tersebut.30 Adapun ketentuan mengenai conditions
precedents ini, menurut Robert Burgess dalam bukunya yang berjudul Corporate
Finance Law, terdiri dari dua kelompok, yaitu:
- Ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebelum timbulnya hak dari
debitur untuk menggunakan kredit
- Ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi setiap kali debitur akan
melakukan kembali pengunaan kredit
e. Events of Default
Events of default adalah suatu keadaan ingkar janji. Events of default ini
merupakan salah satu klausula dalam perjanjian kredit. Yang dimaksud dengan
klausula events of default adalah klausula yang menentukan suatu peristiwa atau
peristiwa-peristiwa yang apabila terjadi memberikan hak kepada bank untuk secara
sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih
seluruh paguh sisa kredit.31 Oleh sebab itu, dalam hal terjadi events of default, maka
bank memiliki hak untuk melarang debitur menarik sisa kredit yang belum
digunakan dan bank berhak pula untuk seketika menagih pelunasan kredit dari
debitur.32
f. Cross default
Cross default adalah ingkar janji bersilang, yakni ingkar janji yang timbul
karena terhadinya non-payment oleh debitur terhadap suatu perjanjian kredit yang

29
Ratu Adita Putri Astikasari, “Analisis Mengenai Pengaruh Kendala Pengadaan Tanah Terhadap
Perjanjian Kredit Sindikasi: Analisa Kasus Pembangunan Ruas Jalan Tol Cinere-Jagorawi Oleh PT X,” (Skripsi
Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2009), hlm. 28.
30
Widyanti, “Perjanjian…,” hlm. 101.
31
Ibid., hlm. 102.
32
Astikasari, “Analisis…,” hlm. 36.
lain.33 Cross default juga memiliki arti, yaitu suatu keadaan di mana debitur
dinyatakan lalai jika telah terjadi keadaan lalai terhadap salah satu fasilitas kredit
berdasarkan lebih dari satu perjanjian kredit dengan kreditur yang sama.34 Cross of
default ini terjadi dalam perjanjian kredit dan merupakan salah satu klausula dalam
perjanjian kredit, yakni khususnya dalam perjanjian kredit sindikasi. Klausula ini
dirumuskan karena seorang debitur terikat dalam dua hubungan kontraktual atau
dua orang debitur yang memiliki kepentingan yang sama antara satu dan lainnya
yang diikat dalam konsep one obligor system.35

33
Ibid., hlm. 39.
34
Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah
(Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 64.
35
Ibid.
Daftar Pustaka

Buku

Hasibuan, Malayu S.P. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.

Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana Pernada Media Group,
2011.

Ibrahim, Johannes. Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit
Bermasalah. Bandung: Refika Aditama, 2004.

Muhammad. Pengantar Akuntansi Syariah. Jakarta: Salemba Empat, 2005.

Sardjono, Agus. Et al. Pengantar Hukum Dagang. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2019.

Artikel/Jurnal

Chikmah, Achasih Nur. “Analisis Perbandingan Sistem Pemberian Kredit Bank Konvensional
dengan Pembiayaan Bank Syariah Pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.” Jurnal
Akuntansi Akunesa Vol 2 No. 2 (Januari 2014).

Guntara, I Made Adi dan Ni Made Ari Yuliartini Griadhi. “Penerapan Prinsip 5C Sebagai
Upaya Perlindungan Terhadap Bank Di Dalam Menyalurkan Kredit.” Kertha Semaya:
Jurnal Ilmu Hukum (Juli 2019).

Marsidah. “Bentuk Klausula-Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit Bank,” Solusi Volume 17
Nomor 3 (September 2019).

Suryahartati, Dwi. “Doktrin Ultra Vires (Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas).” Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 6 No. 7 (2013).

Wahyuni, Niniek. “Penerapan Prinsip 5C Dalam Pemberian Kredit Sebagai Perlindungan


Bank.” Lex Journal: Kajian Hukum & Keadilan Vol 1 No 1 (2017).

Widyanti, Yenny Eta. “Perjanjian Baku Ditinjau dari Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit dan
Tolak Ukur Perjanjian Baku Agar Mengikat Para Pihak.” Pamator Volume 4 Nomor 1
(April 2011).

Skripsi

Ahlia, Desianita Nur. “Tinjauan Hukum Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Penyimpangan
Penggunaan Kredit (Side Streaming) yang Mengakibatkan Kerugian Bank
Dihubungkan Dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.” Skripsi Sarjana Universitas
Pasundan Bandung, Bandung, 2019.

Astikasari, Ratu Adita Putri. “Analisis Mengenai Pengaruh Kendala Pengadaan Tanah
Terhadap Perjanjian Kredit Sindikasi: Analisa Kasus Pembangunan Ruas Jalan Tol
Cinere-Jagorawi Oleh PT X.” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2009.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94


Tahun 2008, TLN No. 4867.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992


Tentang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790.

Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Kewajiban Penyusunan
dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank Bagi Bank Umum,
POJK No.42/POJK.03/2017

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Antara Bank dengan Pihak Asing, PBI Nomor 18/19/PBI/2016.

Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Kredit Atau Pembiayaan
Kepada Perusahaan Efek dan Kredit Atau Pembiayaan Dengan Agunan Saham, POJK
No.40/POJK.03/2017.

Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang tentang Perubahan atas
Peraturan OJK Nomor 44 /POJK.03/2017 tentang Pembatasan Pemberian Kredit atau
Pembiayaan Oleh Bank Umum Untuk Pengadaan Tanah Dan/Atau Pengolahan Tanah,
POJK No. 16 /POJK.03/2018.
Lampiran

Surat Pernyataan

Saya yang membuat surat pernyataan:

Nama : Habibah Shabila

NPM : 1806139310

Menyatakan, adalah benar tulisan yang saya sampaikan untuk tugas hukum perbankan
merupakan tulisan saya sendiri, memenuhi persyaratan anti-plagiarisme dan dapat
dipertanggungjawabkan apabila terdapat kesamaan tulisan dengan tulisan orang lain.

Medan, 28 April 2021

Habibah Shabila

Anda mungkin juga menyukai