Kuliah 6 - Sejarah Perminyakan Di Indonesia
Kuliah 6 - Sejarah Perminyakan Di Indonesia
Selanjutnya, pada 1871 seorang pedagang Belanda Jan Reerink menemukan adanya rembesan
minyak di daerah Majalengka, daerah di lereng Gunung Ciremai, sebelah barat daya kota
Cirebon, Jawa Barat. Minyak tersebut merembes dari lapisan batuan tersier yang tersingkap ke
permukaan. Berdasarkan temuan itu, ia lalu melakukan pengeboran minyak pertama di Indonesia
dengan menggunakan pompa yg digerakkan oleh sapi. Total sumur yang dibor sebanyak empat
sumur, dan menghasilkan 6000 liter minyak bumi yang merupakan produksi minyak bumi
pertama di Indonesia.
Pengeboran ini berlangsung hanya berselang dua belas tahun setelah pengeboran minyak
pertama di dunia oleh Kolonel Edwin L Drake dan William Smith de Titusville (1859), di negara
bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Dengan demikian, pengelolaan minyak bumi di Hindia
Belanda termasuk pionir (tertua) di dunia. Namun, sektor pertambangan, khususnya minyak
bumi, belum menjadi andalan pendapatan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal ini bisa
dilihat dari adanya Indische Mijnwet, produk undang-undang pertambangan pertama, yang baru
dibuat pada tahun 1899.
Kemudian Reerink juga melakukan pengeboran di Panais, Majalengka, Cipinang dan Palimanan,
dengan mengunakan pompa bertenaga uap yang didatangkan dari Canada, menghasilkan minyak
yang sangat kental yg disertai dengan air panas yang memancur setinggi 15 meter. Pada 1876
permohonan pinjaman modalnya ditolak NV Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM),
sehingga akhirnya ia memutuskan menutup sumur-sumur tersebut dan kembali ke usaha dagang
sebelumnya.
Pada 1880 Aeilko Jans Zijker, seorang petani tembakau yang pindah dari Jawa ke Sumatra
Timur, menemukan minyak yang merembes ke permukaan di Langkat. Kemudian sampel
minyak tersebut dibawa ke Batavia untuk dianalisis, dan dari hasil penyulingan minyak tersebut
menghasilkan kadar minyak sebesar 59%. Pada 1882 Zijker mencari dana ke Belanda untuk
melanjutkan eksplorasi minyak tersebut. Kemudian pada 1883, Zijker memperoleh konsesi di
daerah Telaga Said, Langkat seluas 500 bahu (3,5 km persegi) dari Sultan Langkat. Lapangan itu
ia temukan pada saat inspeksi dan menemukan genangan yang tercampuri minyak bumi. Setahun
kemudian, Zijker mulai mengebor sumur pertama, ternyata gagal. Sumur kedua, dinamakan
Telaga Tunggal, akhirnya berhasil menemukan minyak di kedalaman 22 m pada 1884, dgn
sumber utamanya di kedalaman 120 m.
Tahun 1890 Zijker mengalihkan konsesinya ke NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum
Maatschappij (KNPM). Zijker meninggal mendadak pada Desember 1890 di Singapore.
Kepemimpinan perusahaan digantikan oleh De Gelder yang berkantor di Pangkalan Brandan.
Fasilitas lainnya dipasang di Pangkalan Susu. Kilang di Pangkalan Brandan dibangun pada 1892,
dan mulai berproduksi dari hasil minyak ladang Telaga Said. Enam tahun setelahnya, tahun
1898, tangki-tangki penimbunan dan fasilitas pelabuhan dibangun di Pangkalan Susu. Dengan
demikian, minyak mentah yang dihasilkan dapat diolah terlebih dahulu sebelum dikapalkan.
Pelabuhan Pangkalan Susu merupakan pelabuhan ekspor minyak pertama di Indonesia.
Sejak itu, banyak berkembang konsesi-konsesi di Jawa, antara lain di daerah Gunung Kendeng,
Bojonegoro, Rembang, Jepon dan lain-lain. Totalnya sekitar 30 lapangan. Sejalan dengan
pengembangan lapangan-lapangan itu, didirikan pula kilang di Cepu pada tahun 1894. Tahun
1899, Jan Stoop mengemudikan "mobil yang mengunakan bahan bakar gasolin" dari Surabaya
ke Cepu.
Di Kalimantan, pengelolaan minyak bumi dimulai ketika Sultan Kutai memberikan konsesi
kepada Jacobus Hubertus Menten pada tahun 1888. Pada tahun 1893, Lapangan Sanga-Sanga
mulai berproduksi. Selanjutnya Shell membangun kilang Balikpapan pada tahun 1894. Produksi
komersialnya sendiri baru dimulai pada tahun 1897. Pengapalan minyak pertama terjadi pada
tahun 1898 oleh kapal tanker Shell ke Singapura.
Tahun 1905, KNPM menemukan minyak di Tarakan. Setelah KNPM dan Shell bergabung pada
1907, proses pembuatan lilin dimulai di Balikpapan pada 1908. Pada tahun yang sama teknologi
gaslifting mulai diterapkan di lapangan Kampung Minyak. Tahun 1913, dibangun pabrik drum
dan kaleng di Balikpapan. Tahun 1925 foto udara (aerial photo) diintroduksikan untuk
eksplorasi minyak dan tahun 1929 Shell mengintroduksikan electric well logging.
Di Sumatra Selatan, eksplorasi minyak dimotori oleh Dominicus Antonius Josephin Kessler dan
Jan Willem Ijzerman. Mereka berdua mendirikan NV Nederlandsche Indische Exploratie
Maatschappij (NIEM) pada tahun 1895, untuk mengelola konsesi yang ada di daerah Banyuasin
dan Jambi. Seiring dengan bertambah banyaknya jumlah konsesi mereka, maka pada tahun 1897
dibentuk NV Sumatera–Palembang Petroleum Maatschappij (SPPM), yang masih menjadi
bagian KNPM.
Selanjutnya dibangunlah kilang mini di daerah Bayung Lencir. Penemuan lainnya, yaitu di
daerah Lematang Ilir dan Muara Enim, Sumatra Selatan, untuk selanjutnya kemudian dibentuk
NV Muara Enim Petroleum Maatschappij (MEPM). JW Ijzerman juga kemudian membangun
kilang yang cukup besar di Plaju, bersamaan dengan pembangunan jaringan pipa yang
menghubungkan Muara Enim dengan Kilang Plaju tersebut.
Pada masa itu, terdapat dua perusahaan besar yang berperan sebagai leader dalam penambangan
minyak, yakni KNPM dan Shell. KNPM bergerak di bidang eksplorasi, produksi dan
pengilangan. Sedangkan Shell, perusahaan raksasa Belanda lainnya, bergerak di bidang usaha
transportasi dan pemasaran. Shell, perusahaan yang didirikan oleh Marcus Samuel pada tahun
1897, pada awalnya hanya merupakan perusahaan yang menjual kulit kerang (shell) di kota
London. Komoditas pertamanya inilah yg kemudian dijadikan logo perusahaan sampai sekarang.
Kedua perusahaan besar ini kemudian merger pada tahun 1907 menjadi Royal Dutch – Shell
Group, yang kemudian dikenal dengan Shell. Di bawah group ini dibentuklah De Bataafsche
Petroleum Maatschappij (BPM) untuk produksi dan pengilangan dan Anglo Saxon Petroleum
Coy untuk transportasi dan pemasaran (Abdoel Kadir, 2004).
Pada awal abad 20, telah masuk 18 perusahaan swasta asing di Hindia Belanda. Untuk
menandingi perusahaan Amerika Serikat setelah berlakunya Indische Mijnwet, pemerintah
Belanda mendirikan perusahaan gabungan antara pemerintah dengan BPM, yaitu NV
Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij (NIAM). Perusahaan ini yg kemudian berubah
jadi Permindo, cikal bakal Pertamina.
Standard Oil of New Jersey (SONJ), yang merupakan perusahaan swasta pertama, datang ke
Hindia Belanda pada tahun 1912. Mereka lalu mendirikan anak perusahaan bernama NV
Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM). Tahun 1914, NKPM menemukan
ladang Talang Akar di Sumatra Selatan, yang berkembang menjadi ladang minyak terbesar yang
ditemukan sebelum Perang Dunia II. Bersama dengan lapangan Pendopo yang ditemukan pada
tahun 1921, keduanya merupakan lapangan minyak terbesar di Indonesia pada jaman itu.
Hanya berselang sepuluh tahun, perusahaan itu mampu berproduksi hingga 10 – 20 ribu bopd
(barrel oil per day, barrel minyak per hari) dari sumur Talang Akar dan Pendopo. Untuk
mengolah minyak tersebut, NKPM membangun kilang di Sungai Gerong pada tahun 1926. Pipa
transmisi juga dibangun dari Lapangan Talang Akar dan Pendopo ke kilang Sungai Gerong dan
kemudian digunakan bersama pengoperasian kilang mulai Mei 1926 dengan kapasitas awal 3500
bopd.
Tahun 1933 SONJ menyatukan sahamnya dengan NKPM menjadi NV Standard Vacuum
Petroleum Maatschappij (SVPM), yang kemudian diubah namanya menjadi NV Stanvac.
Perusahaan ini adalah hasil penyatuan produksi dan pengilangan SONJ dengan jaringan
pemasaran yang luas kepunyaan Socony Vacuum (Standard of New York, sekarang menjadi
Mobil Oil) di seluruh Asia, Australia dan Afrika Timur.
Dengan terbentuknya perusahaan baru ini dan penemuan dari ladang-ladang baru, pemasangan
pipa tambahan (looping) baru dilakukan dan kilang minyak Sungai Gerong diperbesar
kapasitasnya menjadi 40.000 bopd pada tahun 1936 dan menjadi 46.000 bopd mulai tahun 1940.
Pada tahun 1924, Standard Oil of California (Socal), grup Standard Oil yang lainnya,
mengirimkan geologisnya ke Hindia Belanda. Socal mendirikan anak perusahaan bernama
NPPM (Nederlandsche Pasific Petroleum Maatschappij) pada tahun 1930. Pengeboran pertama
mereka lakukan pada tahun 1935 di Blok Sebangga, sekitar 65 km utara Pekan Baru, Riau dan
menghasilkan minyak meskipun tidak terlalu besar. Tahun 1936 NPPM diberi konsesi di daerah
Rimba, dikenal dengan Rokan Block, Sumatra Tengah, yang sebelumnya ditolak oleh SONJ.
Pada tahun yg sama, Socal berpatungan dengan Texaco untuk mengelola sebagai pemilik
bersama (joint venture) dengan nama baru, yaitu California Texas Oil Company (Caltex).
Saat Caltex sedang mempersiapkan pengeboran di Sumur Minas di Siak, Riau, balatentara
Jepang datang dan menduduki Sumatra. Pengeboran minyak dilanjutkan oleh pihak Jepang dan
menghasilkan 800 bopd dari sumur berkedalaman 700m. Setelah Perang Dunia berakhir, para
ahli geologi NPPM melakukan pengeboran di Sumur Minas-1. Penemuan inilah yang merupakan
cikal bakal penguasaan Caltex (dan kemudian Chevron) terhadap cadangan minyak terbesar di
Indonesia saat ini.
Pada 1928 Shell telah mulai melakukan survey di Nederlands Nieuw Guinea (sekarang Papua).
Pemerintah kolonial Hindia Belanda menghimbau kepada Shell bersama Stanvac dan Caltex
untuk berpatungan mengekplorasi Nieuw Guinea dan membentuk perusahaan patungan NV
Nederlansche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Setelah mencapai kesepakatan
pada tahun 1935, pembagian sahamnya menjadi sebagai berikut: Shell dan Stanvac masing-
masing 40%, sedangkan sisanya yang 20% dipegang oleh FarEast Pacific Investment Co. (anak
perusahaan Caltex). Usaha patungan ini selanjutnya dikelola oleh Shell, karena mereka telah
melakukan survey sejak tahun 1928. Pemerintah kolonial waktu itu memberikan hak konsesi
khusus selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak
Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele.
Namun dalam melakukan eksplorasi di Nieuw Guinea, NNGPM menghadapi banyak kendala,
seperti sulitnya transportasi, cuaca selalu hujan hampir setiap hari, tenaga kerja yang harus
didatangkan dari luar pulau. Perusahaan pun hanya menemukan ladang yang kecil-kecil, tidak
menemukan ladang yang besar sebelum 1942. Mereka terpaksa harus meninggalkan daerah
tanpa menghasilkan produksi yang komersil atas penanaman modal jutaan dollar.
Belanda melancarkan Agresi Militer I tahun 1947 dan daerah sasaran utamanya adalah ladang-
ladang minyak tersebut. Itu sebabnya, oleh Belanda agresi ini diberi sandi "Operatie Produkt"
karena tujuannya mengamankan sumber-sumber produksi pengolahan sumber daya alam.
Pejuang-pejuang bereaksi dengan membumi hanguskan sumur-sumur dan kilang di Pangkalan
Brandan. Sedangkan sumur-sumur minyak di Riau, Jambi dan Sumatra Selatan berhasil direbut
tanpa perlawanan berarti, karena komando TRI (Tentara Republik Indonesia) di daerah itu masih
lemah.
Ladang-ladang minyak di Sumatra Selatan segera dikembalikan kepada Stanvac dan berhasil
mencapai tingkat produksi tertinggi pasca Perang Dunia II pada tahun 1948. Demikian pula
dengan ladang-ladang minyak di Riau dan Jambi (Sumatra Tengah) yg dikembalikan kepada
Caltex, yang segera memproduksi minyak pada tahun 1949. Ladang minyak Cepu pun demikian,
setelah direbut pada Agresi militer I, segera diambil alih pengelolaannya oleh BPM dan PTMN
bubar jalan dengan sendirinya, karena pekerjanya diancam dgn todongan senjata apabila tidak
mau bekerja untuk BPM. NNGPM segera menggarap ladang minyak Klamono di Kepala Burung
Papua dan pada tahun 1948 sudah berhasil memproduksi hingga 4000 bopd.
i. Sejarah Perminyakan Pasca KMB 1949 s/d Sistem Kontrak Karya 1967
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag,
Belanda pada 27 Desember 1949, Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat, dan kemudian
kembali menjadi RI) tetap memberikan hak pengelolaan sumur-sumur minyak kepada pengelola
lamanya, seperti BPM, Caltex, Stanvac, Shell dll. Pada tahun 1951 PTMN diambil alih oleh
pemerintah RI dan diubah namanya menjadi PN Permigan (Perusahaan Minyak dan Gas
Negara).
Tahun 1952 ladang minyak Minas yang dikelola Caltex mulai mengekspor minyak ke luar
negeri. Tahun 1954 Pemerintah RI mengambil alih PTMRI dan mengubahnya jadi PTMSU
(Perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara).
Pada 30 Oktober 1957, seiring nasionalisasi perusahaan2 asing, KSAD (Kepala Staf Angkatan
Darat) Jenderal Abdul Harris Nasution, selaku penguasa perang pusat (Pepera) menugaskan
Kolonel dr. Ibnu Sutowo untuk membentuk perusahaan minyak negara. Pda tanggal 10
Desember 1957 terbentuklah Perusahaan Tambang Minyak Negara (PERMINA) berdasarkan
Keputusan Menteri Kehakiman RI no. JA.5/32/11 tertanggal 3 April 1958. Ibnu Sutowo ditunjuk
sebagai Direktur Utamanya. Pada 30 Juni 1958, Permina mulai mengekspor minyak mentah
untuk pertama kalinya, dan pada bulan Agustus melakukan pengiriman ekspor keduanya.
Permina menjalin kerja sama dengan perusahaan minyak Jepang NOSODECO, dimana Permina
mendapat pinjaman modal yang dibayarkan dengan minyak mentah. Permina membuka kantor
perwakilannya di Tokyo. Tahun 1960, PT Permina berubah status menjadi Perusahaan Negara
(atau Badan Usaha Milik Negara, sekarang disingkat BUMN) dgn nama PN Permina.
Berdasarkan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) No. 44 tahun 1960, tertanggal
26 Oktober 1960, seluruh konsesi minyak di Indonesia harus dikelola oleh kepada negara.
Permindo memulai kegiatan komersialnya dalam bentuk perusahaan milik negara, meskipun
sebenarnya yg mengelola tetaplah Shell!
Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak
karya. Pemerintah mengambil alih saham di Permindo-Shell, kemudian Permindo dilikuidasi dan
dibentuklah PN PERTAMIN (Perusahaan Tambang Minyak Negara). Melalui Peraturan
Pemerintah No. 198/1961, perusahaan tersebut resmi menjadi Perusahaan Negara (BUMN).
Tahun 1962 Indonesia resmi bergabung dgn OPEC (Organisation of Petroleum Exporting
Countries, organisasi negara-negara pengekspor minyak). Sebagai tindak lanjut pengambilalihan
Irian Barat melalui perjanjian New York 1963, pemerintah melalui PN Permina membeli seluruh
saham NNGPM pada tahun 1964. Pada tahun yg sama, SPCO diserahkan kepada PN Permina.
Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi sejarah baru dalam perkembangan industri
perminyakan Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan BPM-Shell Indonesia oleh PN
Permina dengan nilai US$ 110 juta. Berdasarkan SK Menteri Pertambangan No. 124/M/MIGAS
tertanggal 24 Maret 1966, Permina dibagi menjadi 5 Unit Operasi Produksi Regional dengan
kantor pusat di Jakarta.
Pada tahun 1967 mulai diperkenalkan sistem kontrak bagi hasil (production sharing
contract/PSC), yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi
PN Permina dan PN Pertamin. Perusahaan minyak asing hanya bisa beroperasi sebagai
kontraktor dengan sistem bagi hasil produksi minyak, bukan lagi dengan membayar royalty.
Sejak saat itulah, eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat maupun di laut oleh PN
Pertamin dan PN Permina bersama dengan kontraktor asing
j. Berdirinya Pertamina
Berdasarkan PP No. 27/1968 tertanggal 20 Agustus 1968 PN Permina dan PN Pertamin dimerger
menjadi satu perusahaan bernama PN PERTAMINA (Perusahaan Tambang Minyak dan Gas
Bumi Nasional). Di tahun 1969 ditemukan lapangan minyak lepas pantai yang diberi nama
lapangan Arjuna di dekat Pamanukan, Jawa Barat. Tidak lama setelah itu ditemukan lapangan
minyak Jatibarang. Dengan bergulirnya UU No. 8 Tahun 1971, sebutan perusahaan menjadi
PERTAMINA. Sebutan ini tetap dipakai setelah PERTAMINA berubah status hukumnya
menjadi PT PERTAMINA (PERSERO) pada tanggal 17 September 2003 berdasarkan UU
Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tertanggal 23 November 2001.
3. Materi tugas berupa resume masing-masing kegiatan perminyakan dan kilang pengolahan
minyak dalam bentuk presentasi power point
4. Materi presentasi maksimum 6 slide, tidak termasuk pendahuluan dan penutup
5. Lengkapi dengan gambar-gambar penunjang
6. Selamat bekerja dan sukses.