Anda di halaman 1dari 6

Ilmu Kesehatan dan Kesehatan Mental Menurut Islam

Manusia dalam melakukan hubungan dan interaksi dengan lingkungannya baik materil maupun
sosial, semua itu tidak keluar dari tindakan penyesuaian diri atau adjustment. Tetapi apabila seseorang
tersebut tidak dapat atau tidak bisa menyesuaikan diri dikatakan  ksehatan mentalnya terganggu atau
diragukan. (Abdul Aziz El Quusiy terjemahan Dzakia Drajat, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/Mental,
1974. hal 10)
Contoh penyesuaian diri yang wajar tersebut adalah seseorang yang menghindarkan dirinya dari
situasi yang membahayakan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri yang tidak wajar misalnya
seseorang yang takut terhadap binatang yang biasa seperti kucing, kelinci dan sebangsanya. Dari dua
contoh tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa orang yang bisa melakukan penyesuaian diri
secara wajar dikatakan sehat mentalnya dan orang yang tidak bisa melakukan penyesuaian diri secara
wajar, menunjukkan penyimpangan dari kesehatan mentalnya.
Kesehatan jasmani adalah keserasian yang sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani
disertai dengan kemampuan untuk menghadapi kesukaran-kesukaran yang biasa, yang terdapat dalam
lingkungan, disamping secara positif merasa gesit, kuat dan semangat.
Kesehatan mental dalam kehidupan manusia merupakan masalah yang amat penting karena
menyangkut soal kualitas dan kebahagian manusia. Tanpa kesehatan yang baik orang tidak akan
mungkin mendapatkan kebahagian dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi. (Yahya Jaya,
Kesehatan Mental, 2002. hlm 68)
Kenapa hal itu bisa terjadi?  Jawabannya karena kesehatan mental tersebut menyangkut segala
aspek kehidupan yang menyelimuti manusia mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, sosial, politik,
agama serta sampai pada bidang pekerjaaan dan profesi hidup manusia. Kehidupan mewah dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan menjamin kebahagian manusia. Hal itu karena
yang bisa menjamin kebahagian manusia tersebut adalah kejiwaan, kesehatan dan keberagamaan yang
dimiliki manusia. Tiga faktor tersebut sangat sejalan sekali dalam mencapai kebahagian hidup
manusia didunia dan akhirat, karena kebahagian yang harus dicapai itu tidak hanya kebahagian
didunia melainkan juga kebahagian diakhirat kelak.
Banyak teori yang dikemukan oleh ahli jiwa tentang kesehatan mental, misalnya teori
psikoanalisis, behavioris dan humamisme. Sungguhpun demikian teori tersebut memiliki batasan-
batasan dan tidak menyentuh seluruh dimensi (aspek) dan aktivitas kehidupan manusia sebagai
makhluk multidimensional dan multipotensial. Manusia sebagai makhluk multidimensional setidak-
tidaknya memiliki dimensi jasmani, rohani, agama, akhlak, sosial, akal, dan seni (estetika). Sedangkan
sebagai makhluk multi potensial manusia memiliki potensi yang amat banyak yang dikaruniakan
Allah SWT kepadanya yang dalam islam terkandung dalam asma ulhusna. Salah satunya adalah
agama. Agama adalah jalan utama menuju kesehatan mental, karena dalam agama ada kebuutuhan-
kebutuhan jiwa manusia, kekuatan untuk mengendalikan manusia dla memenuhi kebutuhaan, serta
sampai kepada kekuatan untuk menafikan pemenuhan kebuthan manusia tanpa membawa dampak
psikologis yang negative. (Yahya Jaya, Kesehatan Mental. 2002).
Menurut Hasan Langgulung, kesehatan mental dapat disimpulkan sebagai “akhlak yang mulia”.
Oleh sebab itu, kesehatan mental didefinisikan sebagai “keadaan jiwa yang menyebabkan merasa rela
(ikhlas) dan tentram ketika ia melakukan akhlak yang mulia.
Didalam buku Yahya Jaya menjelaskan bahwa kesehatan mental menurut islam yaitu, identik
dengan ibadah atau pengembangan potensi diri yang dimiliki manusia dalam rangka pengabdian
kepada Allah dan agama-Nya untuk mendapatkan Al-nafs Al-muthmainnah (jiwa yang tenang dan
bahagia) dengan kesempurnaan iman dalam hidupnya.
Islam sebagai suatu agama yang bertujuan untuk membahagiakan dan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, sudah barang tentu dalam ajaran-ajaranya memiliki konsep kesehatan mental.
Begitu juga dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah bertujuan untuk mendidik dan
memperbaiki dan membersihkan serta mensucikan jiwa dan akhlak.
Di dalam Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran islam banyak ditemui ayat-ayat yang
berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa sebagai hal yang prinsipil dalam kesehatan
mental. Ayat-ayat tersebut adalah:
‫َاب َوا ْل ِح ْك َمةَ وَِإن كَانُو ْا ِمن قَ ْب ُل‬ ِ ُ‫سوالً ِّمنْ َأنف‬
َ ‫س ِه ْم يَ ْتلُو َعلَ ْي ِه ْم آيَاتِ ِه َويُزَ ِّكي ِه ْم َويُ َعلِّ ُم ُه ُم ا ْل ِكت‬ َ ‫لَقَ ْد َمنَّ هّللا ُ َعلَى ا ْل ُمؤ ِمنِينَ ِإ ْذ بَ َع‬
ُ ‫ث فِي ِه ْم َر‬
‫ين‬
ٍ ِ‫الل ُّمب‬
ٍ ‫ض‬ َ ‫لَفِي‬
Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan
al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (keadaan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata. (Q.S. 3: 164)
Dengan kejelasan ayat Al-Qur’an dan hadits diatas dapat ditegaskan bahwa kesehatan mental
(shihiyat al nafs) dalam arti yang luas adalah tujuan dari risalah Nabi Muhammad SAW diangkat jadi
rasul Allah SWT, karena asas, ciri, karakteristik dan sifat dari orang yang bermental itu terkandung
dalam misi dan tujuan risalahnya. Dan juga dalam hal ini al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk, obat,
rahmat dan mu’jizat (pengajaran) bagi kehidupan jiwa manusia dalam menuju kebahagian dan
peningkatan kualitasnya sebagai mana yang ditegaskan dalam ayat berikut:
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung. (Q.S. Ali Imran: 104)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang
mengajak kepada kebaikan,menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kapada yang mungkar.
Keimanan,katqwaan,amal saleh,berbuat yang makruf, dan menjauhi perbuatan keji dan mungkar
faktor yang penting dalam usaha pembinaan kesehatan mental.
Artinya: Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-
lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Fath:
4)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah mensifati diriNya bahwa Dia-lah Tuhan Yang Maha
Mengetahui dan Bijaksana yang dapat memberikan ketenangan jiwa ke dalam hati orang yang
beriman.
Berdasarkan kejelasan keterangan ayat-ayat Al-Qur’an diatas, maka dapat dikatakan bahwa semua
misi dan tujuan dari ajaran Al-Qur’an (islam) yang berintikan kepada akidah, ibadah, syariat, akhlak
dan muamalata adalah bertujuan dan berperan bagi pembinaan dan pengembangan sumber daya
manusia yang berkualitas dan berbahagia.
Kesehatan jiwa menurut islam tidak lain adalah ibadah yang amat luas atau pengembangan
dimensi dan potensi yang dimiliki manusia dalam dirinya dalam rangka pengabdian kepada Allah
yang diikuti dengan perasaan amanah, tanggung jawab serta kepatuhan dan ketaatan kepada Allah dan
ajaran agama-Nya, sehingga dengan demikian terwujud nafsu muthmainnah atau jiwa sakinah.
(Yahya Jaya, Kesehatan Mental. 2002).
B.  Kesehatan Mental dalam Khazana Pemikiran Islam
Di samping itu dalam sejarah perkembangan pemikiran dalam islam tentang kejiwaan dan hidup
kerohanian banyak pula ditemukan konsep islam tentang kesehatan jiwa (shihhat al nafs) yang ditulis
oleh ulama klasik. Seperti:
Ibnu Rusyd mengartikan kesehatan jiwa itu dengan takwa. Dalam pengertian ini orang yang sangat
sehat jiwanya adalah orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan  dalam kehidupan jiwanya.
Takwa sebagai konsep kesehatan jiwa dalam islam bagi Ibnu Rasyd dapat dimaklumi dan dipahami,
karena makna takwa itu luas dan tinggi.
Tegasnya Ibnu Rusyd mengatakan takwa adalah kesehatan jiwa dan hawa nafsu adalah unsure jiwa
yang membuat kehidupan jiwa terganggu dan sakit. Kesehatan jiwa dalam arti takwa itu berasal dari
Allah SWT.
Adapun al-Ghazali mengistilahkan kesehatan  jiwa itu dengan tazkiyat al nafs yang artinya identik
dengan iman dan takwa sebagai yang telah dijelaskan. Ia mengartikan tazkiyat al nafs itu dengan ilmu
penyakit jiwa dan sebab musababnya, serta ilmu tentang pembinaan dan pengembangan hidup
kejiwaan manusia, suatu pengertian yang identik dengan kesehatan jiwa. Pengertian tersebut tidak
terbatas pada konsepnya pada gangguan dan penyakit kejiwaan serta perawatan dan pengobatannya,
tetapi juga meliputi pembinaan dan pengembangan jiwa manusia setinggi mungkin menuju kesehatan
dan kesempurnaannya sesuai dengan arti kata tazkiyat itu sendiri dalam pendidikan al-Qur’an berikut:
Artinya: demi jiwa dan kesempurnaan (ciptaan)-Nya. Allah menghilangkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang melakukan proses tazkiyah
(pembinaan takwa) dalam dirinya, sebaliknya merugilah orang-orang yang mengotori jiwa
(mengikuti hawa nafsu dalam pembinaan jiwanya) atau tadsiyat al naf s. (Q.S. Asy Syamsu: 7-10)
Dari keterangan ayat diatas dapat pula diambil suatu pedoman bahwa tujuan dari pembinaan dan
pengembangan jiwa itu dalam islam adalah untuk mewujudkan kondisi kesehatan jiwa yang baik. (al-
falah) yang diperoleh melalui pendidikan tazkiyah atau pembinaan potensi jiwa takwa dalam diri.
Sehingga jiwa muthmainnah menyempurnakan kehidupan mental manusia, dan inilah tujuan yang
paling tinggi dari usaha pembinaan dan pengembangan kesehatan jiwa dalam Islam yang harus
dicapai oleh setiap muslim dan muslimah.
Dengan demikian kesehatan jiwa itu juga identik bagi al-Ghazali dengan keimanan dan ketakwaan
dalam arti tazkiyat al nafs. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas dapat ditegaskan bahwa iman
dan takwa memiliki relevansi yang sangat erat sekali dengan soal kejiwaan. Iman dan takwa itulah arti
psikologi dan kesehatan mental yang sesungguhnya bagi manusia  dalam Islam.
Kesimpulan
Islam memiliki konsep tersendiri dan khas tentang kesehatan mental. Pandangan islam tentang
kesehatan jiwa berdasarkan atas prinsip keagamaan dan pemikiran falsafat yang terdapat dalam
ajaran-ajaran islam. Berdasarkan pemikiran diatas maka setidak-tidaknya ada enam prinsip
keagamaan dan pemikiran filsafat yang mendasari konsep dan pemahaman islam tentang kesehatan
jiwa. dapat ditegaskan bahwa iman dan takwa memiliki relevansi yang sangat erat sekali dengan soal
kejiwaan. Iman dan takwa itulah arti psikologi dan kesehatan mental yang sesungguhnya bagi
manusia  dalam Islam. Kesehatan mental itu identik dengan kondisi hati seseorang, ketika hati itu
berpenyakit maka sakit lah keseluruhannya, Ibrahim Al-Khawash rahimahullah menyatakan bahwa
obat hati itu ada 5 perkara, yaitu:
1. Membaca Al-Quran dan tadabbur
Membaca Al-Quran, merenungi maknanya kata demi kata serta mengamalkannya akan
membuat hati menjadi tenang. Jika kita mampu membaca Al-Quran dan mentadabburinya setiap hari
maka tentu saja kita akan mampu berinteraksi dengan Allah subhanahu wa ta’ala, karena di dalam
Al-Quran inilah terdapat petunjuk bagi kita yang dapat menghantarkan kita dari kegelapan menuju
cahaya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
‫ور بِِإ ْذنِ ِه َويَ ْه ِدي ِه ْم ِإلَى‬ ُّ َ‫ يَ ْه ِدي بِ ِه هَّللا ُ َم ِن اتَّبَ َع ِرضْ َوانَهُ ُسب َُل ال َّساَل ِم َوي ُْخ ِر ُجهُ ْم ِمن‬ ‫ين‬
ِ ‫الظلُ َما‬
ِ ُّ‫ت ِإلَى الن‬ ٌ ِ‫م ِمنَ هَّللا ِ نُو ٌر َو ِكتَابٌ ُمب‬Xْ ‫قَ ْد َجا َء ُك‬
‫ص َرا ٍط ُم ْستَقِ ٍيم‬
ِ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan
kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan 
Allah mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-
Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah [5] : 5-6)
Selain itu, membaca Al-Quran dan mentadabburinya merupakan salah satu cara untuk
mengobati kekerasan hati, menghilangkan duka dan memasukkan kegembiraan dalam hati,
menghilangkan kesusahan, bahkan untuk penyembuhan penyakit-penyakit fisik. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
َ‫ُور َوهُدًى َو َرحْ َمةٌ لِ ْل ُمْؤ ِمنِين‬
ِ ‫م َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ُك ْم َو ِشفَا ٌء لِ َما فِي الصُّ د‬Xْ ‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجا َء ْت ُك‬
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS.
Yunus [10] : 57)
2. Rajin mengosongkan perut (Berpuasa)
Maksud dari mengosongkan perut adalah rajin melaksanakan puasa, tidak banyak makan dan
selalu bersifat wara’ (hati-hati) terhadap apa yang kita makan sehingga kita yakin bahwa hanya
barang halal saja yang kita makan, baik halal secara dzatnya maupun cara mencarinya. Sesungguhnya
makanan halal itu adalah pangkal segala kebajikan, sebab barang halal itu dapat menyinari hati
sehingga hati menjadi bersih dan cemerlang.
Selain itu, dengan mengosongkan perut maka nafsu kita akan berkurang sehingga keinginan
untuk berbuat maksiat pun berkurang. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menganjurkan puasa bagi para pemuda untuk menahan hawa nafsunya jika mereka belum
mampu untuk menikah. Dari hadits tersebut nampak bahwa puasa merupakan sarana untuk mencapai
kesehatan baik lahir maupun batin dan juga merupakan jalan untuk mengekang hawa nafsu yang
merupakan sumber dari penyakit hati.
3. Mendirikan shalat malam
Shalat malam adalah ibadah yang sangat dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dimana
dengan melaksanakan shalat malam ini maka seorang hamba akan dinaikan kedudukannya oleh
Allah subhanahu wa ta’ala kelak di hari kebangkitan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
َ ُّ‫ك َع َس ٰى َأ ْن يَ ْب َعثَكَ َرب‬
‫ك َمقَا ًما َمحْ ُمودًا‬ َ َ‫َو ِمنَ اللَّي ِْل فَتَهَ َّج ْد ِب ِه نَافِلَةً ل‬
“Dan pada sebagian waktu malam itu hendaknya engkau gunakan untuk sholat tahajud, sebagai
sholat sunat untuk dirimu, mudah-mudahan Tuhan akan membangkitkan engkau dengan kedudukan
yang baik.” (QS. Al-Isra’ [17] : 79)
Selain itu, shalat malam pun memiliki keutamaan yang sangat banyak seperti dapat lebih
mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menghapus dosa-dosa, mencegah perbuatan
dosa dan menolak segala macam penyakit dari tubuh ini baik penyakit lahir maupun batin.
Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi rahimahullah dan
Imam Ahmad rahimahullah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‫ ومنهاة عن اإلثم مطردة للداء عن الجسد‬، ‫ ومكفرة للسيئات‬، ‫ ومقربة إلى ربكم‬، ‫عليكم بقيام الليل فإنه دأب الصالحين قبلكم‬
“Kerjakanlah shalat malam karena shalat itu merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum
kamu. Ia mendekatkan kamu kepada Tuhan, menghapus dosa-dosa, mencegah perbuatan dosa dan
menolak penyakit dari tubuh". (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits Nabi di atas, kita bisa ambil kesimpulan
bahwasanya shalat malam itu menciptakan manusia menjadi insan rabbani yang bergayut dengan
Allah subhanahu wa ta’ala, berjiwa cemerlang, hatinya bercahaya, sadar dan berpikiran jernih.
Dengan kondisi yang demikian tentu saja akan mampu menghadapi persoalan hidup dengan tenang
dan tidak mudah merasa bingung apalagi stress. Dengan demikian menjalankan shalat malam yang
didukung oleh suasana yang tenang, hening dan sunyi secara psikologis akan mendatangkan
ketenangan dan ketentraman hati.
4. Merendahkan diri di hadapan Allah di akhir malam (Berzikir)
Merendahkan diri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala maksudnya adalah dengan
senantiasa memperbanyak mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dengan berdzikir. Karena
sesungguhnya dengan berdzikir maka hati kita akan menjadi tenteram. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
ْ ‫َأاَل بِ ِذ ْك ِر هَّللا ِ ت‬ ِ ‫َط َمِئ ُّن قُلُوبُهُ ْم بِ ِذ ْك ِر هَّللا‬
ُ‫َط َمِئ ُّن ْالقُلُوب‬ ْ ‫الَّ ِذينَ آ َمنُوا َوت‬
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du [13] : 28)
5. Bermajelis dengan orang-orang sholeh
Obat hati yang terakhir adalah bermajelis atau berkumpul dengan orang-orang yang shalih.
Seorang muslim hendaklah memperhatikan dengan siapa dia berteman. Hendaklah seorang muslim itu
mampu memilah dan memilih sahabat-sahabatnya agar senantiasa dapat bersama dalam menjalankan
ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
،ً‫ َوِإ َّما َأ ْن ت َِج َد ِم ْنهُ ِريحًا طَيِّبَة‬،ُ‫ َوِإ َّما َأ ْن تَ ْبتَا َع ِم ْنه‬،‫ك‬
َ َ‫ك ِإ َّما َأ ْن يُحْ ِذي‬
ِ ‫ فَ َحا ِم ُل ْال ِم ْس‬،‫ير‬
ِ ‫خ ْال ِك‬ ِ ‫ح َوالسَّوْ ِء ك ََحا ِم ِل ْال ِمس‬
ِ ِ‫ْك َونَاف‬ ِ ِ‫َمثَ ُل ْال َجل‬
ِ ِ‫يس الصَّال‬
ً‫ َوِإ َّما َأ ْن ت َِج َد ِريحًا َخبِيثَة‬، َ‫ق ثِيَابَك‬
َ ‫ير ِإ َّما َأ ْن يُحْ ِر‬
ِ ‫َونَافِ ُخ ْال ِك‬
“Permisalan teman yang baik dengan teman yang buruk adalah ibarat penjual minyak kasturi dan
pandai besi. Si penjual minyak kasturi bisa jadi akan memberimu minyaknya tersebut atau engkau
bisa membeli darinya, dan kalaupun tidak, maka minimal engkau akan tetap mendapatkan aroma
harum darinya. Sedangkan si pandai besi, maka bisa jadi (percikan apinya) akan membakar
pakaianmu, kalaupun tidak maka engkau akan tetap mendapatkan bau (asap) yang tidak enak.” (HR.
Al-Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628)
Jika kita mengalami tanda-tanda penyakit hati maka segeralah mengkonsumsi obatnya yaitu
dengan mengamalkan 5 perkara di atas, niscaya kita akan merasakan ketenangan dan kesejukan dalam
jiwa karena sesungguhnya 5 perkara di atas itu adalah obat hati yang paling mujarab.

Anda mungkin juga menyukai