Anda di halaman 1dari 212

Pengantar

ILMU HUKUM

Universitas Jenderal Soedirman


Purwokerto

1
Bab I Pendahuluan
Mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH) merupakan pengetahuan dasar yang harus
dimiliki dan dikuasai oleh para mahasiswa Fakultas Hukam untuk dapat serta mendalami
kuliah-kulian selanjutnya tentang hukum.
Materi pengantar Ilmu Hukum terdiri atas pengertian-pengertian asasi apa hukum itu,
rasion d’antre (reason for being)-nya, tujuannya, sumber-sumbernya, pembagian serta
pelaksanannya, mazhab hukum dan ilmu pengetahuan lain yang membantu ilmu hukum
dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu tentang kaidah (norma), pengertian pokok hukum,
dan tentang perilaku manusia. Oleh karena itu isi pengantar Ilmu Hukum yang selanjutnya
disingkat (PIH) pada umumnya bersifat asasi.

Istilah PIH untuk pertama kali lahir dan dipergunakan di Indonesia, sejak Perguruan
Tinggi Gajah Mada di Yogyakarta berdiri. Kini PIH sudah umum dipakai, sebenarnya
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda : “Inleiding tot Rechtswetenschap”, yang
digunakan di Negara kita sejak tahun 1924 tatkala di Jakarta didirikan Rechts Hoge
School.
Istilah Inleinding tot de Rechtswetenschap pada Rechts Hoge School identik dengan
istilah yang dipakai di Perguruan Tinggi Belanda sejak tahun 1920 pada waktu itu istilah ini
dipakai dalam Undang-undang Perguruan Tinggi (Hooger Onderwijswet), sebagai
pengganti istilah yang lama: “Encyclopaedie der Rechtswetenscha”. Istilah yang terakhir ini
pun bukan asli dari Belanda, tetapi berasal dari Jerman yang dipakai sejak akhir abad ke
19 dan permulaan abad ke 20, ialah istilah: “Einfuhrung in die Rechtswessenschaft”.

2
1.Tempat dan Fungsi Pengantar Ilmu Hukum

Alangkah banyaknya dan beranekanya ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan


yang telah dihasilkan oleh manusia yang berasal dari ilmu agama, ilmu jiwa,
sosiologi, musik, ekonomi, hukum dan lain-lain sampai dengan ilmu pasti/alam,
biologi, ketertiban dan seterusnya.
Dalam hubungan ini kita menstudi ilmu hukum, juga sosiologi, yang
mempunyai objek penyelidikannya ialah tingkah laku manusia, masyarakat dalam
berbagai bentuk. Sejajar dengan ilmu sosial lainnya, ilmu hukum yang
mempelajari manusia, khususnya tentang kaedah-kaedah hidupnya, yang mana
yang diharuskan dan yang mana yang dilarang dikerjakan, bagaimana kaidah-
kaidah tersebut diikuti.

Berlainan dengan kaidah etika umumnya, bahwa kaidah hukum


menyertakan sanksi dengan langsung dan nyata terhadap tiap-tiap manusia
atas pelanggarannya terhadap kaidah-kaidah hukum tadi dan kaidah hukum ini
diselenggarakan oleh suatu penguasa atau organisasi serupa.
Oleh karena itu ilmu pengetahuan hukum bertugas memberikan uraian
tentang itu semua, secara historis, sosiologis, secara perbandingan dan
mengemukakan hasil-hasil analisisnya.

3
Sifat ilmu pada dirinya adalah netral tidak memihak, oleh karena itu ilmu hukum
selaku ilmu pengetahuan, tidak meletakkan sesuatu keharusan ataupun larangan,
sebab tugas yang demikian ini terletak bukan pada dunia ilmu pengetahuan, akan
tetapi pada dunia lain ialah politik dan sepanjang berkenaan dengan hukum disebut
politik hukum.

Dalam hal ini hendaknya diingat, bahwa selalu terdapat hubungan (bukan
pengaruh timbal balik) antara lain pengetahuan hukum dan politik hukum. Malahan
dapat dikatakan, pada umumnya para ahli hukum berpendapat, bahwa politik hukum
yang tepat hendaknya berdasarkan pada hasil-hasil kajian ilmu pengetahuan
hukum, karena politik hukum tujuannya mendapatkan peraturan-peraturan hukum
yang lebih baik.

Kita ketahui bersama bahwa berhubung dengan perkembangan masyarakat, juga


ilmu pengetahuan hukum sampai dengan abad ini, sudah jauh mengalami
perkembangannya, sehingga didalamnya sudah tercapai spesialisasi tercermin pada
cabang-cabangnya seperti ilmu hukum perdata, ilmu hukum dagang, pidana, tata
Negara dan sebagainya.

4
Mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum adalah berkenaan dengan pengetahuan
ringkas tentang ilmu hukum “bidang ruangnya” (ruimte viakte), sedangkan cabang-
cabangnya mementingkan dalamnya (diepte).
Dengan perkataan lain Pengantar Ilmu Hukum menyelidiki pengertian-pengertian
umum sedangkan cabang-cabangnya itu menyelidiki pengertian dan asas hukum
yang khusus.

Telah disebutkan di atas bahwa ilmu pengetahuan hukum mempelajari


kaidah-kaidah hidup manusia sepanjang sanksinya dapat dikenakan oleh
penguasa atau sejenisnya. Bukan saja kaidah-kaidah hidup ansich, akan tetapi ia
mempelajari pula bagaimana berlakunya kaidah itu, sampai seberapa jauh
diterima dan ditaati oleh manusia dalam masyarakat.
Pengertian tersebut dikatakan bahwa apa yang diartikan dengan hukum
adalah sebagai kaidah di satu pihak dan di lain pihak sebagai gejala masyarakat.
Berhubung dengan pengertian tersebut, maka ilmu pengetahuan hukum bersifat
dualisme ialah normatif dan empiris.

5
Normatif dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa ilmu hukum objeknya adalah
kaidah-kaidah hidup yang berisi larangan-larangan dan/atau perintah. (hendaknya
tetap diinsyafi bahwa ilmu pengetahuan ansich tidak memberi penilaian baik buruk,
dan karena itu pula ia tidak mengharuskan atau melarang sesuatu). Sejauh
mungkin ia memberikan analisis dan interpretasi.
Mungkin sekali hasil-hasil analisis seorang ahli berlainan dengan lainnya; hal ini
karena tiap-tiap penyelidik mau tidak mau sudah terpengaruh oleh pandangan
hidupnya sendiri-sendiri.

Ilmu pengetahuan hukum merupakan alat untuk mengetahui (dengan bahan


yang utama) menemukan kaidah-kaidah hukum selanjutnya supaya lebih tepat.
Kaidah hukum yang lebih tepat menurut Achmad Sanusi adalah yang
memberikan jaminan maksimal atas tercapainya keadilan dan manfaat bagi
masyarakat. Dengan demikian juga fungsi ilmu hukum bagi hukum positif dan bagi
politik hukum.

Empiris ialah pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat


pengalaman, kaum empiris berdalil bahwa tidak beralasan untuk mencari
pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita,
terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan
manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan.
Kaum emiris cukup merasa puas dengan pengembangan sebuah sistem
pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk benar meskipun
kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.
6
Kaum empiris mensyaratkan objek pengalamannya sebagai berikut :
a. Memenuhi pengujian publik: misalnya pernyataan George Woshington memotong
pohon chery ayahnya.
Kaum empiris baru percaya bilamana:
1) Perkataan George Woshington dan pohon chery, memang sudah diketahui
memang ada;
2) Terdapat seseorang yang melihat kejadian itu secara langsung;
3) Jika kaum empiris sendiri ada di sana dan ia sendiri menyaksikan kejadian
tersebut.

b. Prinsip keteraturan:
Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur
tentang tingkah laku sesuatu. Pada dasarnya alam adalah teratur. Dengan
melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi di masa lalu, atau dengan
melukiskan bagaimana tingkah laku benda-benda yang sama sekarang, maka
membuat ramalan mengenai kemungkinan tingkah laku benda tersebut di masa
depan.

7
c. Prinsip keserupaan:
Keserupaan berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan
pengalaman adalah identik atau sama, bila mempunyai cukup jaminan untuk
membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu.
Jika kita mengetahui bahwa sebuah pisang adalah enak dan bergizi, kita
ingin merasa yakin dengan alasan yang cukup, bahwa objek yang lain bentunya
dan rasanya seperti pisang diharapkan tidak beracun yang mematikan.
Maka banyak pengalaman kita dengan benda-benda seperti pisang, maka
makin banyak kita peroleh pengetahuan yang makin dapat diandalkan pisang.
Locke sebagai bapak kaum empiris mengatakan :
Bahwa pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai selembar kertas lilin
yang licin (tabularasa) dimana data yang ditangkap pancaindra, lalu tergambar
di situ (Achmad Sanusi).

8
2. Manusia sebagai Makhluk Sosial

Menurut kodrat alam, manusa di mana-mana dan pada jaman apapun juga
selalu hidup bersama-sama, hidup berkelompok-kelompok. Sekurang-kurangnya
hidup bersama itu terdiri atas dua orang, suami-isteri atau ibu dan anak-
anaknya/banyinya. Dalam sejarah perkembangan manusia tidak terdapat
seorangpun yang hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya,
kecuali dalam keadaan terpaksa dan iapun hanyalah untuk sementara waktu.

Hidup menyendiri terlepas dari pergaulan manusia dalam masyarakat, hanya


mungkin terjadi dalam dongeng (seperti Tarzan, Robinson Crosoe dan
sebagainya), namun dalam kenyataan hal itu tidak mungkin terjadi. Sejak jaman
dahulu kala ataupun sejak lahir pada diri manusia mempunyai hasrat untuk
berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok, hasrat untuk
bermasyarakat.

Aristoteles yang hidup pada tahun Sebelum Masehi “ (384-322) seorang ahli
pikir bangsa Yunani Kuno, dalam ajarannya mengatakan, bahwa manusia adalah
Zoon Politicon, maksudnya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya
selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia. Jadi makhluk yang
suku bermasyarakat. Oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain,
maka manusia disebut makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat.

9
Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan yang menyendiri,
namun sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Karena
manusia lahir, hidup, berkembang dan meningal dunia di dalam masyarakat. Sebagai
manusia, sebagai individu, tidak dapat mencapai segala sesuatu yang diinginkan
dengan mudah didapat.
Contoh:
Pak tani baru dapat mengerjakan sawahnya setelah ia memperoleh alat-alat
pertanian yang dibuat oleh tukang pandai besi. Pakain yang sedang kita pakai juga
hasil karya tukang jahit, tukang jahit tidak dapat mengerjakan pakaian kalau tanpa ahli
tenun atau pekerja pabrik yang mengusahakan bahan pakaian lebih dahulu, demikian
seterusnya.

Lebih-lebih pada jaman modern ini tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup
secara layak dan sempurna tanpa bantuan orang lain atau kerjasama dengan orang
lain dalam masyarakat. Sekarang apakah yang dimaksud dengan masyarakat ?
Sebenarnya ini mestinya akan dibicarakan dalam mata kuliah sosiologi, namun
sekarang ingin disinggung sedikit tentang masyarakat. Karena erat sekali
hubungannya dengan membahas pengertian manusia sebagai makhluk
sosial/masyarakat.

10
Hasrat manusia untuk hidup bersama-sama dengan manusia lai, memang
merupakan perbawaan manusia sejak lahir, merupakan suatu keharusan hidup.
Hidup bersama sebagai perhubungan antar suami-isteri dalam rumah tangga,
hubungan keluarga, hubungan suku bangsa, hubungan bangsa dan hubungan
rumah tangga dunia/internasional.

Kehidupan bersama itu dapat berbentuk desa, kota, daerah, Negara dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama
itu yang disebut masyarakat.
Jadi masyarakat itu terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama,
sehingga dalam pengertian hidup timbul sebagai hubungan atau pertalian yang
mengakibatkan bahwa seorang dengan lainnya saling kenal mengenal dan
pengaruh mempengaruhi. Atas dasar pengertian tersebut, maka masyarakat dapat
digolongkan berdasarkan pelbagai dasar/aspek dan tujuan hubungan orang-orang
dalam golongan itu.

Adapun terbentuknya golongan-golongan dalam masyarakat itu


disebabkan antara lain sebagai berikut:
a. Karena meresa tertarik oleh orang lain yang tertentu;
b. Karena orang mempunyai kesukaan yang sama dengan orang lain;
c. Karena orang memerlukan kekuatan bantuan orang lain;
d. Karena orang merasa mempunyai hubungan daerah dengan orang lain;
e. Karena merasa mempunyai hubungan kerja dengan orang lain.
11
Walaupun terbentuknya golongan-golongan dalam masyarakat disebabkan
bermacam-macam dasar/aspek, namun pada umumnya dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu senbagai berikut :
a. Golongan yang berdasarkan hubungan kekeluargaan, perkumpulan keluarga;
b. Golongan yang berdasarkan kepentingan/pekerjaan, perkumpulan ekonomi,
koperasi, serikat pekerja, perkumpulan sosial, perkumpulan kesenian, olah raga
dan lain-lain;
c. Golongan yang berdasarkan hubungan tujuan/pandangan hidup atau ideologi,
partai politik, perkumpulan keagamaan.

Dalam suatu golongan sering tumbuh semangat yang khusus yang berbeda dari
semangat golongan yang lain. Semangat golongan dapat membahayakan, jika
golongan itu merasa lebih penting, lebih tinggi, lebih kuasa daripada golongan lain.
Karena itu persatuan bangsa harus selalu diutamakan/didahulukan pembinaan
semangat persatuan yang ditujukan kepada kepentingan bersama. Inilah yang
menjadi salah satu tugas dan kewajiban tiap pemimpin golongan dalam masyarakat.

Negara yang merupakan organisasi masyarakat yang berkekuasaan


mempunyai kewajiban untk mengatur agar keamanan terjamin dan ada
perlindungan atas kepentingan tiap orang dan agartercapai kebahagiaan yang
merata dalam masyarakat. Tidak hanya satu golongan yang sapat meras bahagia,
tetapi seluruh penduduk Negara.
12
3. Bentuk Masyarakat

Masyarakat sebagai bentuk pergaulan hidup bermacam-macam ragamnya,


antara lain ialah sebagai berikut:
a. Berdasarkan hubungan yang diciptakan oleh para sanggotanya;
1) Masyarakat peguyuban (gemeinschaft) apabila hubungan itu bersifat
kepribadian dan menimbulkan ikatan batin, misalnya rumah tangga,
perkumpulan kematian dan sebagainya;
2) Masyarakat patembayan (gessellschaft) apabila hubungan itu tidak
bersifat kepribadian dan bertujuan untuk mencari keuntungan
kebendaan, miaslnya Firma, Perseroan Komanditer, Perseroan Terbatas
dan lain-lain.

b. Berdasarkan sifat pembentukannya ialah sebagai berikut :


1) Masyarakat yang teratur oleh karena sengaja diatur tujuan tertentu,
misalnya perkumpulan olah raga;
2) Masyarakat yang teratur tetapi terjadi dengan sendirinya, oleh karena
orang-orang yang bersangkutan mempunyai kepentingan bersama,
misalnya paa penonton bioskop, penonton pertandingan sepak bola dan
sebagainya.
3) Masyarakat yang tidak teratur, misalnya para pembaca surat kabar.
13
c. Berdasarkan hubungan kekeluargaan: rumah tangga,sanak
saudara, suku, bangsa dan sebagainya;

d. Berdasarkan perikemanusiaan/kebudayaan yaitu sebagai berikut :


1) Masyarakat primitive dan masyarakat modern
2) Masyarakat desa dan masyarakat kota
3) Mastarakat territorial, yang anggota-anggotanya bertempat tingga
dalam satu daerah
4) Masyarakat gegealogis, yang anggota-angotanya mempunyai
pertaliandarah/keturunan
5) Masyarakat territorial genealogis, yang anggota-angotanya
bertempat tinggal dalam satu daerah dan mereka adalah
seketurunan.

14
4. Pendorong Hidup Bermasyarakat
Adapun yang menyebabkan manusia selalu hidup bermasyarakat ialah antara
lain : dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia miaslnya:
a. Hasrat untuk memenuhi keperluan makan dan minum;
b. Hasrat untuk membela diri
c. Hasrat untuk mengadakan keturunan

Naluri (instink) itu sudah ada pada diri manusia sejakia dilahirkan tanpa ada
orang lain yang mengajarkannya. Keperluan makan dan minum termasuk
keperluan primer untuk segala makhluk hidup baikhewan maupun manusia.
Dalam usaha untuk dapat memenuhi keperluan hidupnya, manusia akan
mendapat bantuan orang lain. Hidup menyendiri akan menimbulkan kesulitan,
tiap usaha akan berhasil bilamana dikerjakan bersama, bantu membantu.

Dalam kenyataan kita melihat orang memburu hewan, menangkap ikan


bersama-sama, bercocok tanam dan sebagainya dilakukan dengan bantu
membantu. Karena keinginan untuk memperoleh keperluan hidupnya secara
mudah itu, maka timbullah dalam diri manusia satu golongan untuk hidup bersama,
hidup bermasyarakat.

15
Sebagai tantangan hidup kemanusiaan, ternyata alam tidak selalu
bermurah hati kepada manusia. Berbagai bahaya mengamcam
kehidupan manusia seperti:
Serangan binatang buas, bencana alam (banjir), gempa bumi,
letusan gunung berapi, penyakit, kelaparan, serangan suku bangsa
lain, peperangan dan sebagainya.

Dipandang dari sudut kekyatan pisik/badaniah, manusia termasuk


golongan makhluk lemah, oleh karena itu manusia seorang diri
memerlukanadanya persatuan dalam menyusun usaha dan mempunyai
rencana bersama untuk dapat membela diri, keluarga dan kelompok
terhadap serangan binatang buas, penyakit, suku bangsa lain maupun
mengelakkan diri dari bencana alan dengan cara-cara yang efektif.
Hasrat untuk membela diri itu adalah salah satu sebab yang
menimbulkan keinginan hidup bersama, hidup bermasyarakat.

16
Sudah menjadi kodrat alam juga, bahwa padaa tiap-tiap manusia (yang
normal) terdapat hasrat untuk melanjutkan jenisnya dengan jalan
mendapatkan keturunan. Hal ini tentu tidak dapat dilakukan orang-seorang.
Halini menjadi dorongan untuk hidup bersuami isteri, hidup berkeluarga dan
akhirnya menjadi suatu masyarakat Negara.

Selain dari itu keinginan-keninginan yang timbul dari hari nurani dan
kodrat alam itu, ada juga faktor-faktor pendorong lain untuk hidup
bermasyarakat, ialah : ikatan pertalian darah, persamaan nasib, persamaan
agama, persamaan bahasa, persamaan cita-cita, kebudayaan dan
persamaan keinsyafan bahwa mereka mendiami satu daerah yang sama.
Dari faktor-faktor tersebut di atas, dapat ditarik kedimpulan, bahwa bagi
tiap individu hidup bersama itu merupakan suatu kaharusan yang tidak dapat
dielakkan.

17
5. Tata Hidup Bermasyarakat

Tiap manusia mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri.


Namun di dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama
lain, mengadakan kerjasama, tolong – menolong, bantu membantu untuk
memperoleh keperluan hidupnya. Tiap manusia mempunyai keperluan
sendiri-sendiri.
Seringkali keperluan itu searah serta berpandanan satu sama lain,
sehingga dengan kerjasama tujuan manusia untuk memenuhi keperluan itu
akan lebih mudah dan lekas tercapai.

Akan tetapi sering kali kepentingan-kepentingan itu berlainan


bahkan ada yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan
pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. Dalam
hal ini orang atau golongan yang kuat menindas orang atau
golongan yang lemah untuk menekankan kehendaknya.

18
Apabila ketidak seimbangan perhubungan masyarakat yang meningkat
menjadi perselisihan itu dibiarkan mungkin akan timbul perpecahan dalam
masyarakat. Oleh karena itu dalam masyarakat yang teratur, manusia /anggota
masyarakat itu harus memperhatikan kaidah-kaidah, norma-norma, ataupun
peratuan-peraturan hidup tertentu yang ada dan hidup dalam masyarakat di
mana dia hidup.

Dengan sadar atau tidak manusia dipengaruhi oleh peraturan-peraturan


hidup bersama yang mengekang hawa nafsu dan pengaturan perhubungan
antara manusia.
Peraturan-peraturan hidup itu member encer-ancer perbuatan mana
yang boleh dijalankan dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari.
Peraturan hidup itu memberi petunujuk kepada manusia bagaimana ia
harus bertingkah laku dan bertindak di dalam masyarakat.
Peraturan hidup bermasyarakat yang bersifat mengatur dan memaksa
untuk menjamin tata tertib dalam manusia dinamakan peraturan hukum,
atau kaedah hukum.

19
6. Disiplin Hukum

Sebelum kita menguraikan tentang kaidah dan fungsinya, terlebih


dahulu kita uraikan tentang pengertian disiplin hukum.
Maksudnya agar supaya para mahasiswa dapat dengan mudah
mengikuti pengertian kaidah pada umumnya dan kaidah hukum
khususnya serta fungsi-fungsinya.

Menurut Purnadi Purbacaraka, Soejono Soekanto, dalam bukunya


“Perihal Kaedah Hukum” dan dalam buku nya “Sendi-sendi Ilmu Hukum
dan Tata Hukum”, yang dimaksud dengan disiplin adalah sistem ajaran
mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
Secara umum dapatlah dibedakan antara disiplin analitis dan disiplin
preskriptif. Disiplin analistis adalah merupakan sistem ajaran yang
menganalisisi, memahami, serta menjelaskan gejala-gejala yang
dihadapi, contohnya adalah sosiologi, psikologi, ekonomi dan seterusnya.

20
Disiplin prespektif adalah sistem ajaran yang menentukan apakah yang
seyogyanya atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi
kenyataan-kenyataan tertentu. Contohnya : hukum, filsafat dan sebagainya.

Disiplin hukum secara umum meliputi: ilmu-ilmu hukum, politik hukum dan
filsafat hukum.
a. Ilmu-ilmu hukum sebagai kumpulan dari berbagai cabang ilmu
pengetahuan, antara lain meliputi:
1) Ilmu tentang kaedah atau normwissenschaft atau sollen-
wissesnschaft, ialah ilmu yang menalaah hukum sebagai kaidah atau
sistem kaidah-kaidah dengan dogmatic hukum dan sistemik hukum
2) Ilmu pengertian, ialah ilmu tentang pengertian pokok dalam hukum
yaitu : subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan
hukum dan objek hukum. Gabungan antara ilmu kaidah dan ilmu
pengertian-pengertian pokok hukum disebut dogmatig hukum.

21
3) Ilmu tentang kenyataan atau tatsachenowissenschaft atau Seinwissenschaft
yang menyoroti hukum sebagai perilaku atau sikap tindak yang antara lain
mencakup :
a) Sosiologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris
dan analitis mempelajari hubungan tmbal balik antar hukum sebagai gejala
sosial dengan gejala-gejala soaial lainnya.
b) Antropologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, manupun
masyarakat – masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi.
c) Psikologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia.
d) Perbandingan hukum, yang merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
memperbandingkan sistem-sistem hukum yang berlaku di dalam satu atau
beberapa masyarakat.
e) Sejarah hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal-usul dari sistem
hukum dalam suatu masyarakat tertentu.

22
b. Politik hukum, ialah mencakup kegiatan-kegiatan memilih dan
menerapkan nilai-nilai.
c. Filsafat hukum, adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai. Kecuali
itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya
penyerasian antara ketertiban dengan ketenteraman, antara
kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan/
konservatisme dengan pembaharuan.

---------------- o0o -----------------

23
Pengantar
ILMU HUKUM

Universitas Jenderal Soedirman


Purwokerto

1
Bab II
KAIDAH BERFUNGSI MELINDUNGI KEPENTINGAN MANUSIA

Bahwa di dalam masyarakat, orang saling mengadakan hubungan, yang


jumlah dan sifatnya tak terhingga banyaknya. Orang-orang itu mempunyai
kepentingan masing-masing. Di dalam masyarakat memungkinkan
kepentingan-kepentingan itu bertemu dalam suatu kontak.
Kontak yang saling menjauhkan apabila kepentingan-kepentingan itu
saling bertumbukan, atau mungkin kontak saling mendekatkan apabila kontak
tersebut saling menguntungkan.

Hal ini sudah dimengerti, bahwa orang yang hidup dalam masyarakat
disatu pihak berusaha untuk melindungi kepentingan masing-masing terhadap
bahaya dari masyarakat itu sendiri, sedangkan di lain pihak senantiasa
berusaha untuk saling tolong-menolong dalam mengejar kepentingan
bersama.

2
Usaha melindungi dan memperkembangkan kepentingan-kepentingan itu,
dapat dicapai, karena sebelumnya telah diadakan peraturan-peraturan yang
dapat menjadi ukuran bagi tingkah laku orang-orang.
Peraturan-peraturan ini, mengharuskan orang untuk bertindak di dalam
masyarakat sedemikian rupa sehingga kepentingan-kepentingan orang lain
sedapat mungkin terjaga/ terlindungi dan kepentingan bersama dapat
dikembangkan. Peraturan-peraturan itulah yang biasanya disebut kaidah atau
norma, atau pedoman, patokan atau ugeran.
Jadi tugas kaidah atau norma, adalah pedoman untuk berperilaku atau
bersikap tindak dalam hidup.

Proses terjadinya kaidah


Manusia sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat tidak selalu
menyadari, bahwa di dalam hidupnya sehari-hari sebetulnya ia berperikelakuan
atau bersikap tidak menurut suatu pola tertentu. Sebabnya antara lain karena
sejak lahir manusia sudah berada dalam pola tertentu dan mematuhinya dengan
jalan mencontoh orang lain (edukasi).

3
Semuanya itu menyebabkan pada diri manusia tidak ada upaya untuk
mengetahui pola tersebut, kecuali dalam hal di mana perkembangan hidup tidak
memungkinkan untuk berpegang teguh pada pola yang telah ada tadi. Jika
seseorang mulai merasa tidak senang lagi untuk hidup dalam suatu pola yang
lama, maka diapun menginginkan suatu suasana yang baru dan mulailah
dirancang pola hidup yang baru.

Di dalam suatu pola hidup tertentu, manusia mengharapkan bahwa


kebutuhan-kebutuhan dasarnya akan dapat terpenuhi. Kebutuhan-
kebutuhan dasar tersebut mencakup kebutuhan-kebutuhan akan:
1. Food, shelter, elothing;
2. Safety of self and property;
3. Self esteem;
4. Self-aetualization;
5. Love.

Apabila kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut tidak terpenuhi, maka manusia


akan merasa khawatir, yang mungin sifatnya ekstern (reality-anxiety) atau yang
sifatnya intern (neurotie anxiety and moral anxiety). Rasa khawatir yang sangat
memuncak akan mengakibatkan manusia merasa tidak puas pada pola yang telah
ada yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, sehingga
dia menghendaki suasana yang baru.
4
Pola hidup yang dibicarakan di atas tidak lain merupakan suatu struktur
atau susunan dari kaidah-kaidah untuk hidup. Apabila ditinjau bentuk
hakikatnya, maka kaidah merupakan perumusan suatu pandangan (oordeel)
mengenai perilaku atau sikap tindak, misalnya siapapun meminjam sesuatu
harus mengembalikannya.
Sebagai patokan untuk berperilaku atau bersikap tindak, maka kaidah
berbeda dengan dalil alam yang merupakan perumusan pandangan mengenai
kejadian alamiah misalnya panas menyebabkan benda mengembang. Inti
perbedaannya ialah, bahwa terhadap kaidah ada kemungkinan menyimpang,
sedangkan dalam dalil alam penyimpangan dianggap mustahil.

Mengapa di dalam kehidupan diperlukan kaidah atau norma? Dan


apakah gunanya kaidah atau norma tersebut? Apakah kaidah tersebut
datang dari luar atau dari dalam diri manusia sendiri?
Dalam hal ini akan ditinjau sumber insaniah dari kaidah. Ada
anggapan, bahwa kaidah itu datangnya dari luar diri manusia, misalnya
Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi ada yang menganggap, bahwa kaidah itu
datangnya dari diri manusia sendiri, yaitu melalui pikiran dan perasaan
sendiri.

5
Ditinjau dari kenyataan hidup/kehidupan, sumbernya adalah hasrat untuk
hidup pantas/sayogya; behoerlijk. Ini tidak dapat disangkal atau kiranya ada
orang yang tidak berhasrat demikian?
Akan tetapi bahwa pandangan hidup pantas /seyogyanya bagi setiap
orang tidak sama, bahkan dalam diri satu orangpun sering timbul pandangan-
pandangan yang berlawanan/inner conflict.
Oleh karena itu perlu diberi patokan atau pedoman, agar supaya
benyaknya pandangan-pandangan dan cara-cara untuk mendapatkan
keseyogyaan itu tidak menyebabkan hidup ini menjadi tidak pantas atau
menjadi tidak seyogya.

Sudah diketahui bahwa kaidah merupakan patokan atau pedoman


untuk hidup, dan hidup itu mempunyai beberapa aspek hidup. Secara umum
ada dua macam aspek hidup ialah: aspek hidup pribadi dan aspek hidup
antar pribadi (transpersonal atau interpersonal).

6
Masing-masing aspek hidup tersebut mempunyai kaidah-kaidah dalam dalam
masing-masing aspek hidup dapat diadakan pembedaan dua macam tata kaidah
yaitu sebagai berikut:
1. Aspek hidup pribadi mencakup
a. Kaidah-kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau
kehidupan ber-Iman (devout life)
b. Kaidah-kadiah kesusilaan (sittlicheit/moral/etika dalam arti sempit), yang
tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak
(kehidupan dengan gewetan)
Demikian dapat dikatakan bahwa kaidah-kaiadh kepercayaan dan kaidah-
kaidah kesusilaan yang mencakup patokan atau pedoman-pedoman untuk
hidup pribadi, pada umumnya memberi keteguhan pribadi (personality),
mencegah atau memperkecil ketidakseimbangan rohani serta perasaan rendah
diri maupun rasa superior.

2. Aspek hidup antar pribadi yang meliputi:


a. Kaidah-kaidah sopan santun (sitte) yang maksudnya adalah untuk kesedapan
hidup bersama (pleasant living together)
b. Kaidah-kaidah hukum yang tertuju kepada perdamaian hidup bersma
(peaceful living together) yang terdapat dalam : Hukum, kebiasaan, adat.

7
Van Aperdoorn berpendapat bahwa segala peraturan mengandung petunjuk-
petunjuk hidup bagaimana manusia hendaknya bertindak-tanduk, peraturan yang
menimbukan kewajiban manusia dicakup dengan istilah etika, yang meliputi: agama,
kesusilaan, hukum dan adat.
Van Kan dan H.H. Beekhuis menyebutkan kaidah yang terdapat dala : hukum,
kesopanan, kesusilaan dan agama. Masilah sekarang kita tinjau masing-masing
kaidah/norma.

1. Kaidah Agama/Norma Agama

Norma agama, menurut Purnadi Purbacaraka, dan Soerjono Soekanto,


dalam bukunya, “Perihal Kaidah Hukum” menyebatkan kaidah kepercayaan.
Menurut Iswanto norma agama dalam arti sempit ialah hubungan Tuhan
dengan manusia. Dalam hubungan tersebut mengandung kewajiban-kewajiban
terhadap Tuhan, oleh karena itu membawa kewajiban manusia untuk menuruti
perintah-perintah-Nya.
Atau norma agama dalam pengertian luas adalah peraturan hidup yang
diterima oleh manusia sebagai perintah-perintah, larangan-larangan, dan anjuran-
anjuran baik dalam hubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan di
masyarakat, di mana hidup dalam hubungannya dengan anggota masyarakat
kainnya, yang kesemuanya itu berasal dari Tuhan.

8
Norma agama bersifat universal dan berlaku bagi seluruh umat manusia di
dunia. Menurut Purnadi Purbacaraka, dan Soerjono Soekanto menyatakan
bahwa kaidah kepercayaan termasuk tata kaidah dalam salah satu aspek hidup
pibadi manusia, yang bertujuan hanya untuk menguasai atau mengatur
kehidupan pribadi di dalam mempercayai atau menyakini kekuasaan ghoib.
Tuhan Yang Maha Esa, Dewa-dewa dan sebagainya.

Atau dengan perkataan lain ber-Iman. Maka beliau menyebutkan suatu


pendangan pokok mengenai perikelakuan atau sikap tindak, kaidah fundamental
atau “grundnorm” kehidupan ber-Iman, dirumuskan (suatu misal) : “Manusia
harus yakin dan mengadi kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”.
Kaidah fundamental ini bersifat universal dan menjadi dasar setiap
kehidupan ber-Iman baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak. Yang dapat
berbeda adalah konkritisasi dari kaidah fundamental tersebut, menurut
agamanya masing-masing.

9
2. Norma kesusilaan

Kesusilaan berakar dalam suara hati manusia. Jadi timbul dalam kekuatan di
dalam manusia, tak ada kekuasaan dari luar yang dapat memaksa untuk
menjalankan perintah kesusilaan.
Paksaan dari luar dengan kesusilaan sama sekaliu tidak dapat disatukan. Sifat
perintah susila ialah harus dipenuhi dengan suka rela. Satu-satunya kekuasaan
yang berdiri di belakang kesusilaan ialah : suara hati manusia sendiri.
Jadi peratuan hidup kesusilaan ini berupa bisikan kalbu atau suara batin yang
diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman dalam sikap dan
tindak/perbuatannya.

Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan hidup kepada manusia agar


supaya ia menjadi manusia yang sempurna. Hati nuraninya akan menentukan
apakah ia akan melakukan sesuatu perbuatan, misalnya hendaklah engkau
bertindak jujur, hendaklah engkau berbuat baik terhadap sesama manusia.
Norma-norma kesusilaan ini dapat juga menentukan buruk atau baiknya
suatu perbuatan manusia dan turut pula memelihara ketertiban manusia dalam
masyarakat. Norma kesusilaan inipun seperti norma agama adalah bersifat
universal dan dapat diterima oleh umat manusia di dunia.

10
3. Norma kesopanan

Norma kesopanan ialah peraturan hidup yang timbul dari pergaulan


segolongan manusia. Tujuan dari norma kesopanan adalah kependapat hidup
bersama.
Norma kesopanan menurut L.J. Apeldoorn, menggunakan istilah adat ialah
tingkah laku yang berlaku untuk anggota-anggota lingkungan masyarakat tertentu,
walaupun tidak mempunyai pegangan pada suatu kewajiban. Jadi di sini
adat/kesopanan adalah apa yang lazin dipakai.
Misalnya:
a. orang muda harus menghormati orang yang lebih tua;
b. Janganlah meludah di lantai atau disembarang tempat;
c. Janganlah berdesak-desak memasuki ruangan;
d. Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan
sebagainya, terutama wanita yang tua, hamil dan membawa bayi.
Norma kesopanan ini tidak berlaku bagi seluruh umat/masyarakat dunia melainkan
bersifat khusus dan setempat dan hanya berlaku bagi golongan masyarakat,
mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian.

11
4. Norma hukum

Kita semua telah mengetahui tentang norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan dan kesemuanya itu tujuannya adalah untuk membina ketertiban
kehidupan manusia. Namun ketiga peraturan hidup itu belum cukup memberikan
jaminan menjaga ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu masih diperlukan
suatu norma/kaidah yang mempunyai sanksi yang tegas tidak lain adalah norma
hukum.

Sebenarnya antara kaidah hukum di satu pihak dan kaidah agama,


kesusilaan, kesopanan di lain pihak, hanya dapat dibedakan, tetapi tidak
dapat dipisahkan. Karena memang terdapat hubungan yang erat sekali satu
sama lain ialah semuanya memberikan peraturan-peraturan mengenai
hubungan manusia dengan lainnya.

Kalau kita tinjau isinya dari setiap kaidah mempunyai pengaruh kuat
terhadap lainnya. Antara lain pendangan tentang agama dan kesusilaan
terus-menerus mempengaruhi pertumbuhan hukum. Hal ini adalah benar,
karena seperti kita ketahui bahwa hukum adalah salah satu bagian dari
kebudayaan sedangkan kebudayaan adalah hasil budi manusia.

12
Hal ini juga sesuai dengan pendapatnya John Herman Randall Jr. dan
Justus Buchler tentang filsafat dalam bukunya “Philosophy and
Introduction”, halaman 1, cetakan tahun 1957 di New York, yang oleh
Iswanto dikutip dari bukunya Ds. FKN, harapan tentang “Tokoh-tokoh
Dunia dalam Lapangan Berpikir”, cetakan ketiga tahun 1978, halaman15:
“Philosophical thingking, indees, has very relation with religion with
science, and with art. It has normally to do intellectually what religion has
always done prakticically and meationally to establish … life in some
satisfying meaningfull relation to the universe in which man find himself”
(Berpikir secara filsafat sungguh mempunyai hubungan erat dengan
agama, ilmu pengetahuan dan seni. Noma berpikir secara filsafat harus
membuat secara intelektual, apa yang selalu telah dilakukan oleh agama
praktis dan emosional; mencocokkan hidup manusia dalam suatu
hubungan yang memuaskan dan mengandung arti dengan alam semesta,
dimana manusia menemukan dirinya sendiri).

13
Telah berulah kali disebutkan bahwa tingkah laku manusia dalam masyarakat telah
diatur oleh kaidah-kaidah: agama, kesusilaan dan kesopanan, namun masih diperlukan
adanya haidah hukum karena menurut Van Kan dan JH Beekhuis dalam bukunya
Pengantar Ilmu Hukum, halamam 8 dan 10 menyatakan sebagai berikut :
a. Kaidah-kaidah agama, kesusilaan, ada/kesopanan, belum cukup mampu untuk
melindungi dan memperkembangkan kepentingan-kepentinan manusia ialah masih
terdapat kepentingan manusia yang tidak diatur oleh kaidah-kaidah selalu kaidah
hukum tetapi yang nyata-naya memerlukan perlindungan.
Misalnya orang harus berjalan di jalan raya di sebelah kiri, adanya pelaksanaan
aturan perkawinan dan sebagainya.
a. Kepentingan yang telah diatur oleh kaidah-kaidah selain kaidah hukum, belum cukup
dilindungi, sebab belum terdapat sanksi yang dapat dipaksakan.
Misalnya :
- Tidak ditaati agama, akan mengakibatkan hukum Tuhan;
- Pelanggaran kaidah kesusilaan hanya penyesalan dan penyesalan diri sendiri;
- Tidak mengacuhkan kesopanan/adat mengakibatkan celaan masyarakat atau
pengasingandari lingkungan pergaulan.

14
Kita sadari bahwa kaidah hukum yang mempunyai sanksi yang dapat
dipaksakan. Biasanya tidak diikuti suatu peraturan hukum, sanksinya berbentuk
suatu tindakan jsamaniah baik bersifat preventif (untuk mencegah dilakukannya
tindakan yang tidak dikehendaki oleh hukum) maupun bersifat represif (dengan
suatu cara lain yang sedapat mungkin mendekati tujuan yang dikehendaki oleh
kaidah hukum atau mengenakan kepada si pelanggar suatu akibat yang
merugikan baginya).

Bahwa kaidah hukum menurut L.J. Van Apeldoorn, bertujuan


kedamaian hidup antar pribadi (Het recht wil de vrede). Sesungguhnya
dengan itu maka sering dikatakan bahwa penegak hukum tujuannya
dan kewajibannya ialah menegakkan dan memelihara kedamaian
(to preserve peace oleh Black’s Law Dictionary, 1968).

Sekarang apa yang dimaksud kedamaian/damai. Bahwa telah kita ketahui


tujuan dari ketiga kaidah selain kaidah hukum adalah kesucian bagi kaidah
agama, kebaikan akhlak bagi kaidah kesusilaan, kesedapan hidup bersama
bagi kaidah kesopanan.

15
Dalam kita membicarakan kaidah hukum tidak dapat diabaikan segala masalah
yang mempunyai hubungan langsung. Yang tidak mampunyai hubungan langsung
perlu juga disinggung agar lebih tegas apa yang termasuk bidang-bidang kaidah
hukum, dan apa yang tidak. Bilamana ada hubungannya, maka perlu ditegaskan,
apakah hubungan tersebut bersifat langsung atau tidak langsung.

Kedamaian atau damai adalah suatu keadaan yang sebagai


pengertian mencakup dua hal :
a. Ketertiban/keamanan (orde) dan
b. Ketentraman/ketenangan (rust)
Ketertiban menunjukkan adanya kemunikasi lahiriyah; kelompok.
Sedangkan ketenteraman/ketenangan menunjukkan pada kaidah
batiniah; jadi melihat pada kehidupan batiniah (internal life) dari masing-
masing pribadi dalam kelompok.

Dengan demikian menyadaarkan kepada kita, bahwa kaidah hukum harus


memberikan arah jalan lahiriah dan memberikan jaminan batiniah. Jaminan
batiniah ini sangat perlu karena kecuali memberikan ketenteraman/ketenangan,
juga menciptakan harmoni antara kehendak berperikelakuan/bersikap tindak,
dengan perilaku bersikap tindak itu sendiri.

16
Sekarang kita menelaah tentang kaidah pokok atau kaidah dasar
(grunndnorm) dari suatu tata kaidah hukum. Mengenai grundnorm yang
fundamental dan abadi ialah kaidah pokok atau dasar yang boleh
dikatakan menjadi intinya (kern) dari setiap tata kaidah hukum yang aktual
dan temporer.
Dalam hubungan ini dapatlah kiranya kita telaah teori Hans Keslen
ialah tentang ajaran murni dari hukum “Reine Rechts Lehre atau Pure
tjeory of law”.

Teori ini adalah ajaran hukum yang merupakan “normwissenschaft”. Hal


ini Hans Kelsen melihat bahwa objek ilmu hukum adalah kaidah. Menurut
Hans Kelsen yang dikamsud kaidah adalah “… that something ought to be
or ought to happen, as specially that a human being ought to behane in a
specific way”.
Pendapat Hans Kelsen ini adalah berbeda dengan pendapat Van
Apeldoorn, menyatakan: “bagi kalangan hukum yang secara tidak langsung
terlibat dalam proses hukum (toes chouwer), hukum merupakan perilaku
atau sikap tindak yang ajeg.

17
Perilaku atau sikap tindak yang ajeg menurut Hans Kelsen bukan
merupakan objek dari ilmu hukum, tetapi merupakan objek dari sosiologi hukum.
Inilah sebabnya teori Hans Kelsen disebut Reine Rechtslehre, karena dalam
ajarannya hukum hendanya dibersihkan dari faktor-faktor: politis, sosiologis,
filosofis dan lain-lain yang mempengaruhi hukum.
Walaupun sebenarnya Hans Kelsen mengakui bahwa hukum dipengaruhi
oleh faktor-faktor: politis, sosiologis, filosofis dan seterusnya, akan tetapi yang
dikehendaki adalah suatu teori yang murni mengenai hukum.

Masalah grundnorm ini dihubungkan dengan stufentheori-nya yang sangat


terkenal. Menurut teori ini, bahwa setiap tata kaidah hukum merupakan suatu
susunan dari kaidah-kaidah (stufenbau).
Di puncak stufenbau tersebut terdapat “grundnorm” atau kaidah dasar dari
suatu tata kaidah hukum nasional yang bukan merupakan suatu kaidah hukum
positif yang dibentuk oleh suatu tindakan legislatif manapun, akan tetapi
hanyalah merupakan hasil analisis pemikiran yuridis.
Jadi hanya dipostulasikan oleh pikiran manusia (Hans Kelsen, tahun 1945
dan 1967). Kaidah dasar/basic norm tersebut merupakan dasar dari segala
pandangan menilai yang bersifat yuridis, yang dimungkinkan dalam kerangka
tata kaidah hukum suatu Negara tertentu.

18
Dengan penjelasan tersebut Hans Kelsen menghubungkan hal stufenbau
dan grundnorm dengan suatu Negara tertentu, sehingga akibatnya dapat
diambil kesimpulan bahwa isi perumusan grundnorm Negara yang satu boleh
berbeda dari Negara lainnya tergantung dari sifat Negara masing-masing.
Misalnya Parlemen yang berdaulat di Inggris, merupakan grundnorm-nya;
di Republik Jerman pada jaman Adolf Hitler, grundnorm-nya adalah perintah
der Fuhrer yang merupakan wewenang hukum tertinggi. Di Negara kita adalah
Majelis Permusyawaratan Raknyat yang merupakan wewenang hukum tertinggi.

Selanjutnya Hans Kelsen yang menyebabkan inkonsekuensi dari teorinya


ajaran hukum yang murni, menemukan “efektivitas” atau berlakunya (gelding)
tata kaidah hukum secara menyeluruh yang akan ditinjaunya secara
sosiologis.
Teori tentang efektivitas (effectiviness/yang disebutnya “principle of
effectiveness” atau general basic norm), yang menyatakan: bahwa orang
seharusnya bertingkah laku atau bersikap tindak sesuai dengan tata kaidah
hukum, hanya apabila tata kaidah hukum tersebut secara menyeluruh efektif
(Hans Kelsen, 1945).

19
Menurut Soerjono Soekanto bagi Indonesia masalah efektivitas masih perlu
dipersoalkan di dalam kerangka merumuskan grundnorm yang disesuaikan dengan
teori kedamaian dalam hukum, yang tidak semata-mata dikekang oleh pemikiran
yuridis, tetapi juga oleh perasaan yuridis.
Oleh karena itu rumusan Hans Kelsen dirubah menjadi : “mansia seharusnya
bertingkah laku atau bersikap tindak sesuai dengan tata kaidah hukum, hanya
apabila tata kaidah tersebut secara menyeluruh menjamin kedamaian hidup
bersama. Artinya terdapat ketenangan batiniah dan ketertiban lahiriah. Oleh karena
menurut Hans Kelsen sendiri hukum adalah tata kaidah untuk menegakkan
kedamaian.

Secara teoritis, grundnorm tersebut dapat menimbulkan kesimpulan,


bahwa kalau suatu tata kaidah hukum tidak lagi menjamin kedamaian hidup
bersama, maka tidak seharusnyalah warga Negara masyarakat bertingkah
laku atau bersikap tindak sesuai dengan tata kaidah hukum tersebut. Hal ini
secara teoritis, karena dalam praktik hal ini senantiasa tergantung pada
pertimbangan keadaan teknis.

---------------- o0o -----------------

20
Pengantar
ILMU HUKUM

Universitas Jenderal Soedirman


Purwokerto

1
BAB III
ISI, SIFAT, DAN TUJUAN KAIDAH HUKUM

1. Isi Kaidah Hukum

Menurut isinya kaidah hukum dibedakan menjadi 3 (tiga) macam:


a. kaidah hukum yang berisi suruhan (gebod);
b. kaidah hukum yang berisi larangan (verbod);
c. kaidah hukum yang berisi kebolehan (mogen)

a. Contoh kaidah hukum yang berisi suruhan (gebod)


Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 UU D 1945
1) Dalam hal ikhal kepentingan yang memaksa, Pemerintah berhak
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-
undang.
2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikutnya
3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah
tersebut harus dicabut.

2
- Pasal 103 KUH Perdata: Suami dan isteri, mereka harus setia-mensetia, tolong
menolong dan bantu membantu
- Pasal 104 KUH Perdata: Suami dan isteri, dengan mengikatkan diri dalam suatu
perkawinan, dan hanya karena itupun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian
bertimbal balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anaknya.
- Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974: bahwa kedua orang tuanya
wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

b. Contoh kaidah hukum yang berisi larangan (verbod)


- Pasal 8 UU Perkawinan Tahun 1974 dengan tegas melarang perkawinan
terjadi antara dua orang yang:
1) Berhubungan darah dan garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda ialah mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri
4) Berhubungan susuan ialah orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai atau kemenakan dari
isteri, dalam seorang suami beristeri lebih dari satu;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang belaku
dilarang kawin
3
- Pasal 119 ayat 2 KUHPerdata: Persatuan itu (persatuan harta kekayaan)
sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu
persetujuan antar suami isteri.

c. Contoh kaidah hukum yang berisikan kebolehan (mogen)


- Pasal 119 ayat (1) KUHPerdata. Mulai saat perkawinan
dilakukan/dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara
harta kekayaan suami isteri, sekedar mengenai hal itu dengan perjanjian
kawin diadakan ketentuan lain.
- Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974: bahwa pihak-pihak yang
menikah dapat mengadakan perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, asalkan tidak melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.

4
2. Sifat Kaidah Hukum

Sifat kaedah hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu :


a. kaedah hukum yang bersifat imperatif atau disebut juga memaksa (dwinged
recht) dan
b. kaidah hukum yang bersifat fakultatif atau disebut juga hukum yang
mengatur/hukum menambah (regelend-recht atau aanvullend – recht)

a. Kaedah hukum yang bersifat memaksa/imperatif/ dwinged recht , ialah


kaidah hukum dalam hal apriori harus ditaati atau kaidah hukum dalam hal
yang konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat
oleh pihak.
Misal: Pasal 613 KUH Perdata ayat (1): Penyerahan piutang-piutang atas
nama dan barang-barang tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan
jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan
mana hak-hak atas barang-barang itu dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh lain kaidah hukum yang bersifat memaksa


Pasal 27 Buku I KUH Perdata
Dalam waktu yang sama seorang laku-laki hanya diperbolehkan
mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan
hanya satu laki-laki sebagai suaminya.

5
Pasal 28 Buku KUH Perdata
Asas perekawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua
calon suami isteri” Pasal ini juga telah diambil oper oleh Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat(1): “Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai”.
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menurut pendapat Iswanto bukan lagi
sebagai memaksa, tetapi lebih mendekati ke sifat yang relatif, walaupun syarat-
syaratnya telah juga ditentukan secara eksplisit dalam Pasal 3, 4, dạn 5.
Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974: Pada azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.
Ayat (2): Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

b. Kaidah hukum yang bersifat fakultatif atau hukum yang mengatur, atau hukum
yang menambah (regelend rech/aanvullend recht)
Dimaksudkan peratuan-peraturan yang tunduk pada peraturan yang dibuat
dengan perjanjian oleh pada pihak yang berkepentingan sendiri. Hukum yang
mengatur ini adalah hanyalah hendak mengatur dan tidak mengikat dengan tiada
syarat.
Hukum ini hanya mengikat jika dan sepanjang para pihak yang laindengan
jalan membuat perjanjian. Jadi kaidah hukum fakultatif ini bermaksud mengisi
luangan-luangan dalam peraturan yang dibuat oleh para pihak.
6
Contohnya:
- Pasal 119 KUH Perdata: “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum
berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar
mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”.

Pasal ini dalam ayat 2: Persatuan ini sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan
atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri

Pasal ini dalam Pasal 29 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 diubah bunyinya
sebagai berikut :
1) Pada waktu atau sebelum perkaawinan dilangsungkan, kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahanm tidak merugikan pihak ketiga.

7
Pasal 120 KUH Perdata:
Sekedar menganai laba-labanya, persatuan itu meliputi harta kekayaan
suami dan isteri bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang maupun yang
kemudian, maupun pula, yang mereka peroleh dengan Cuma-Cuma, kecuali
dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan dengan tegas
menentukan sebaliknya.

3. Tujuan Hukum

Sebelum dibicarakan mengenai apakah tujuan hukum, maka lebih dahulu


akan ditelaah secara singkat apa yang dimaksud dengan hukum. Berikut akan
diuraikan dua belas konsep hukum.
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui bahwa tiap teori hukum akan
diuraikan merupakan satu percobaan hendak memberikan satu penjelasan yang
rasional tentang hukum yang berlaku pada suatu masa dan sesuatu tempat
atau penjelasan tentang sesuatu unsur yang mencolok di dalam hukum.

Konsepsi hukum secara kronologi adalah sebagai berikut :


1. Hukum adalah satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang diturunkan oleh
Tuhan untuk mengatur tindakan manusia, misalnya undang-undang Nabi
Musa, Undang-undang Hamurabi yang diturunkan oleh Dewa Matahari
setelah selesai disusun; Undang-undang Manu yang didiktekan oleh putra
Manu bernama Bhrigu kepada para Budiman di depan Manu dan atas
petunjuknya.
8
2. Hukum adalah sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat
diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan bahwa hal ini boleh ditempuh
manusia dengan amannya.
Sebab manusia primitif, yang menganggap dirinya dilingkungi oleh kekuatan
gaib di dalam alam yang banyak tingkah dan suka membalas dendam, terus
menerus dalam ketakutan kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh
makhluk gaib, dan dengan demikiann ia dengan orang sekampungnya akan
dimarahi oleh makhluk gaib tersebut.
Untuk keselamatan umum menuntut supaya orang melakukan hanya apa yang
boleh/dibolehkan, dan melakukan menurut cara yang digariskan oleh kebiasaan
yang sudah lama dituruti, setidak-tidaknya jangan melakukan apa yang tidak
disenangi oleh para Dewa. Jadi hukum adalah himpunan perintah tradisional dan
dicatat, yang di dalam kebiasaan itu dipelihara.

3. Hukum digagaskan/dipikirkan sebagai kebijaksanaan yang dicatat dari para


Budiman di masa lalu.
Orang mempelajari jalan yang selamat, jalan kelakuan manusia yang
disetujui oleh Tuhan. Apbila satu kebiasaan tradisional dari keputusan dan
kebiasaan tindakan telah dituliskan dalam kitab undang-undang primitif,
mungkin sudah dianggap sebagai hukum.

9
4. Hukum dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang dikemukakan secara
filsafat, yang menyatakan sifat benda-benda; karena itu manusia harus
menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu.
Gagasan hukum adalah merupakan pemikiran para Sarhana hukum Romawi.
Gagasan ini sebenarnya merupakan lanjutan/cangkokan dari gagasan mengenai
hukum tersebut nomor dua dan tiga di atas dan disertai satu teori politik tentang
hukumsebagai perintah dari bangsa Romawi.

5. Hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari satu undang-
undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.
Pemikiran hukum yang kelima ini sebenarnya adalah perpaduan antara pemahaman
tradisi dan kebijaksanaan yang tercatat serta perintah bangsa sebagai semata-mata
pernyataan atau pencerminan dari asas-asas yang dicari kepastiannya secara filsafat
harus ditafsirkan diukur dan dibentuk serta ditambah oleh pengertian hukum yang ketiga
di atas.

6. Gagasan hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di dalam
masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur hubungan
antara yang seorang dengan lainnya.
Ini adalah satu pendangan demokratis tentang identifikasi hukum dengan kaidah
hukum, karena itu dengan pengundangan dan dekrit dari negara kota yang
diperbincangkan di dalam buku Mitos dari Plato. Sangat mungkin dalam teori ini
satu gagasan filsafat akan menyokong gagasan politik dan kewajiban moril yang
melekat pada suatu janji akan dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang
harus menepati persetujuan yang mereka buat di majelis rakyat.
10
7. Hukum dipikirkan sebagai satu pencerminan dari akal Ilahi yang menguasai alam
semesta ini; merupakan satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai kesatuan yang
berkesesusilaan yang dibedakan dengan yang semestinya yang ditujukan pada
makhluk selain manusia. Ini adalah konsepsi Thomas Aquino yang
berpengaruh sampai abad ke 17.

8. Hukum dipahamkan sebagau satu himpunan perintah dari penguasa yang


berdaulat di dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem
kenegaraan, tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat
itu, dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang
dianggap terdapat wewenang di belakang wewenang dari yang berdaulat.
Demikianlah anggapan para Sarjana Hukum Romawi pada jaman
Republik dan masa klasik mengenai hukum positif. Karena Kaisar memegang
kedaulatan rakyat Romawi yang diserahkan kepada Baginda, maka
institusionis dari Kaisar Justinianus dapat menetapkan bahwa kemauan
Kaisar mempunyai kekuatan undang-undang. Cara pemikian ini adalah cocok
pada abad ke 16 dan17 di Perancis.
Di Inggris pada sesudah tahun 1688 yang kemudian terkenal dengan
teori hukum Inggris yang kolot. Demikian pula cocok dengan satu teori politik
tentang kedaulatan rakyat. Menurut teori ini rakyat dianggap sebagai
pengganti parlemen untuk memegang kedaulatan pada waktu Revolusi
Amerika atau pada Revolusi Perancis sebagai penggantiraja Perancis.

11
9. Hukum sebagai suatu perintah yang diketemukan oleh pengalaman manusia yang
menunjukan, bahwa kemauan tiap manusia perseorangan akan mencapai
kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan dengan kebebasan yang serupa itu
pula yang diberikan kepada kemauan orang-orang lain.
Gagasan ini yang dianut oleh salah satu bentuk mazhab sejarah. Menurut
anggapan mazhab itu, pengalaman manusia yang menentukan prinsip hukum
adalah ditentukan dengan suatu cara yang tak dapat dielakkan.
Prosesnya ditentukan oleh pengembangan satu gagasan mengenai hak
keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang mewujudkan dirinya di dalam
pelaksanaan peradilan oleh manusia, atau oleh kerja hukum-hukum biologis
atau psykologis atau tentang sifat-sifat jenis bangsa, yang kemudian menghasilkan
sistem hukum dari suatu masa dan suatu bangsa yang bersangkutan.

10. Hukum itu sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filsafat
dan dikembangkan sampai kepada perinciannya oleh tulisan-tulisan para
sarjana hukum dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan
dan putusan kehidupan lahir manusia diukur oleh akal, atau pada taraf lain,
dengan tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak
diselaraskan dengan kehendak orang lain.
Cara berpikir demikian muncul pada abad 19 sesudah ditinggalkan teori
hukum alam dalam bentuk yang mempengaruhi pikiran hukum selama dua
abad.

12
11. Hukum dipahamkan sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas
manusia di dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuksenantiasa buat
memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar atau tidak
sadar.
Dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah pengembangan satu
gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan. Di dalam satu bentuk sosilogis-
mechanis, ikirannya dihadapkan pada perjuangan klassa atau satu perjuangan
untuk hidup di lapangan perekonomian, dan hukum adalah akibat dari pekerjaan
tenaga atau hukum yang terlibat atau menentukan perjuangan serupa itu.
Di dalam bentuk positif analistis hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang
kekuasaan/kedaulatan tetapi perintah itu seperti yang ditentukan isi ekonominya
oleh kemauan klas yang berkuasa, pada gilirannya ditentukan oleh
kemauan/kepentingan mereka sendiri.
Semua bentuk ini terdapat masa peralihan dari stabilitas kematangan hukum ke
satu masa pertumbuhan baru. Apabila gagasan ini, bahwa hukum dapat
mencukupkan keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai mencoba
menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial yang lainnya, maka yang
lebih dahulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi.

13
12. Hukum dipandang sebagai perintah undang-undang ekonomi dan sosial
yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia dalam masyarakat, yang
diketemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah yang
disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa yang akan
dipakai dan apa yang tidak dipakai di dalam penyelenggaraan peradilan.
Teori tipe ini terdapat pada akhir abad ke-19 tatkala orang mulai mencari
dasar fisik dan biologis, yang dapat ditemukan oleh pengamatan, bukan lagi
atas dasar metafisik, yang dapat ditemukan oleh renungan filsafat.
Satu bentuk lain menemukan satu kenyataan sosial yang terakhir dengan
pengamatan dan mengembangkan kesimpulan yang logis dari kenyataan
itu, mirip seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum Metafisik. Ini
merupakan akibat dari suatu kecenderungan dalam tahun yang mutakhir
yang hendak mempersatukan ilmu-ilmu sosial dan perhatian yang lebih
besar kepada teori-teori sosiologi.

Marilah kita sekarang menelaah apa yang menjadi pokok uraian dalam Bab ini,
ialah tujuan hukum. Gagasan tujuan hukum ialah:
Tujuan hukum yang paling bersahaja ialah bahwa hukum itu diadakan supaya
terjaga ketenteraman di dalam suatu masyarakat tertentu. Untuk menjaga
kedamaian dalam keadaan bagaimanapun juga dan dipelihara dengan
mengorbankan apa saja.

14
Konsep ini adalah boleh dikatakan tingkatan hukum yang primitif. Hukum bertugas
memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan umum; menurut
pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam
pengertian ini berarti yang diutamakan adalah ketertiban hukum, sedangkan
kebutuhan perseorangan atau kepentingan masyarakat tidak diperdulikan atau
dikorbankan demi kepentingan ketertiban hukum.

Dalam masa peralihan dari masyarakat yang berdasarkan kekerabatan, suku,


menjadi masyarakat yang anggotanya perseorangan yang bebas dan warga
yang bebas dalam arti bukan karena hubungan kekerabatan atau kesukuan,
maka dibutuhkan pengaturan cara lain ialah organisasi politik sebagai badan yang
melakukan pengawasan.

Organisasi politik yang bertugas sebagai pengawas sosial tersebut membutuhkan


keamanan umum, menghendaki adanya peraturan tentang ganti kerugian dan
pencegahan perbenturan perseorangan di antara mereka sendiri yang tidak
mempunyai organisasi kesukuan yang kuat, yang akan mengawasi mereka dan
memperhatikan kepentingan mereka. Daya upaya untuk ini adalah satu ketertiban
hukum yang semata-mata sebagai alat untuk menjaga perdamaian.

Menurut ahli filsafat bangsa Yunani, memahamkan keamanan umum dalam


arti yang lebih luas dan memandang tujuan ketertiban hukum itu sebagai usaha
memelihara status quo di dalam masyarakat
15
Konsepsi tujuan hukum menurut bangsa Yunani dan seterusnya diambil oper oleh
bangsa Romawi dan kemudian oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan,
adalah pemeliharaan status quo di dalam masyarakat. Bangsa Yunani menganggap
bahwa hukum itu sebagai satu alat untuk menempatkan tiap orang di dalam alur yang
ditunjuk baginya di dalam masyarakat, dan dengan demikian mencegah perbenturan
dengan atau sesamanya.
Sebaliknya kejahatan adalah hybris (dengan semena-mena melanggar batas atau
sewenang-wenang melanggar batas yang telah ditunjuk oleh masyarakat).

Pemikiran tersebut sebagai akibat kenyataan bahwa organisasi kekerabatan


yang telah diganti dengan organisasi politik masyarakat yang terbentuk Negara
Kota. Tetapi organisasi kekerabatan (Aristokrasi) masih berkuasa dan tetap ingin
mempertahankan kekuasaannya yang berhadapan dengan pihak rakyat yang telah
putus kekerabatannya atau rakyat yang berasal dari luar Yunani.
Ataupun perseorangan yang haus akan kekuasaan politik saling berebut
kekuasaan, sehingga keamanan umum mendapat perhatian utama. Pada masa
peralihan dari gagasan hukum sebagai satu alat untuk memelihara perdamaian
kepada gagasan hukum sebagai satu alat untuk memelihara status quo sosial,
dapat dikemuakan di sini pendapat :

HEREACLITUS:
“Bahwa orang harus berjuang mempertahankan hukumnya seperti mereka
mempertahankan dinding tembok kotanya”
16
PLATO:
Pemeliharaan ketertiban sosial dengan menggunakanhukum dikembangkan
dengan sepenuhnya oleh Plato, ia selanjutnya mengatakan bahwa ketertiban
sosial sesungguhnya sekali-kali bukanlah apa yang seharusnya. Orang-orang
harus digolongkan kembali dan tiap orang ditunjuk ke dan penunjukkan itu
sudah dijadikan undang-undang, maka alat untuk mencegah gangguan
terhadap ketertiban sosial dengan penetapan tiap orang di tempat yang telah
ditunjukkan kepadanya.

ARISTOTELES:
Tujuan hukum adalah keadilan, ialah satu keadaan yang didalamnya tiap orang
tetap di dalam lingkungan yang ditunjuk baginya; bahwa kita pertama-tama
harus mempertimbangkan hubungan yang ditimbulkan dan tidak adanya
persamaan memperlakukan orang menurut nilai batinnya; kedua
mempertimbangkan hubungan persamaan di dalam golongan, yang niali batin
tiap orang menunjukkan tempatnya ke sana.

Tujuan hukum untuk memelihara status quo masyarakat/sosial oleh


bangsa Romawi diperkembangkan lagi dengan/menjadi “memelihara status
quo masyarakat dengan cara yang memperhatikan keselaarasan”

17
Dalam hubungan ini dalam Institusiones dari Kaisar Justinianus memerintahkan
sebagai berikut :
1. Tiap orang harus hidup secara terhormat, ia juga harus menjaga nilai moral
pribadinya sendiri, dengan menyesuaikan tindakannya dengan konvensi ketertiban
sosial.
2. Tiap orang harus menghormati kepribadian orang lain, dan jangan mencampuri
kepentingan orang lain, dan jangan mencampuri kekuasaan bertindak orang lain
yang diberikan oleh ketertiban sosial yang telah menjadi kepribadian hukum mereka.
3. Tiap orang harus menyerahkan kepada tiap orang lain kepunyaan orang itu, ia harus
menghormati hak-hak yang diperoleh oleh orang lain.

Keadilan itu sendiri atas usaha menyerahkan barang-barang itu kepadanya


dan mencampuri caranya mempunyai dan mempergunakan barang-barang
mengemukakan diri dan membela hak-haknya.
Dalam peralihan cara berpikir ini, menurut pendapat seorang Sarjana
Hukum merangkap ahli Theologi Spayol, yang hidup pada abad ke 16 bahwa
adanya batas alamiah bagi kegiatan di dalam hubungan antara individu satu
dengan individu lainnya, yaitu batas bagi tindakan manusia, yang menyatakan
cita-cita yang rasional mengenai manusia sebagai satu makhluk susila, dan
batas itu dipikulkan ke bahu manusia oleh akal.

18
Para sarjana hukum kontra reformasi dari abad ke-16 berpendapat, bahwa
kegiatan manusia memang terbatas menurut kodrat alam, dan oleh sebab itu hukum
positif boleh dan harus membatasi untuk kepentingan kegiatan orang lain, karena
semua orang mempunyai kebebasan kehendak dan kesanggupan untuk membimbing
diri sendiri ke tujuan yang didasari.

Aristoteles mengemukakan pendapat:


Bahwa tidak adanya persamaan ditimbulkan oleh hal berbedanya nilai tiap
orang/perseorangan dan berbeda kecakapan mereka untuk memenuhi apa
yang dituntut oleh ketertiban masyarakat; Sarjana Hukum-sarjana hukum pada
abad ke-16 berpikir tentang satu persamaan alamiah yang dicita-citakan, yang
terdapat dalam kebebasan kehendak yang serupa dan kekusaan yang serupa
untuk mempergunakan dengan sadar kesanggupan seseorang yang melekat pada
semua manusia.

Karena itu adanya hukum bukan untuk menjaga status quo masyarakat dengan
segala kekangannya yang sewenang-wenang terhadap kemauan dan terhadap
pemakaian kekuasaan perseorangan. Adanya hukum lebih dahulu adalah untuk
menjaga persamaan alamiah, yang sering terancam oleh pembatasan tradisional
terhadap jegiatan perseorangan. Karena persamaan hak sebagai kebebasan untuk
mengemukakan diri dalam membela hak-haknya sendiri.

Oleh karena itu tujuan hukum adalah memungkinkan pemberian kebebasan


maksimum bagi tiap orang untuk bertindak yang sesuai dengan tindakan
perseorangan yang bebas pada umumnya.
19
SPENCER :
Merasionalisasikan, hukum sebagai satu himpunan kaidah, merumuskan
“Pemerintahan atas orang yang hidup oleh orang yang sudah mati”, yang
dengannya orang berdaya upaya memajukan kebebasan tiap orang, yang dibatasi
hanya oleh kebebasan yang serupa dari semua orang lainnya.

Menurut cara merasionalisasikan tersebut di atas maka dapat ditarik


kesimpulan bahwa tujuan hukum ialah untuk menjamin hak yang sebesar mungkin
bagi tiap orang untuk mengemukakan dirinya : untuk membolehkan tiap orang untuk
melakukan dengan batas apa yang mungkin sejalanm dengan kebebasan yang
serupa oleh sesamanya.
Konsepsi hukuk ini adalah cocok sekali bagi para penemu negeri baru, para
penjajah, perintis, pedagang, penguasa, dan pemimpin insdustri.

Teori kebebasan ini dipergunakan untuk 3 (tiga) maksud:


1. Sebagai satu alat untuk menyingkirkan pembatasan terhadap kegiatan ekonomis
yang bebas, yang bertumpuk-tumpuk selama Jaman Pertengahan sebagai
akibat dari sistem kewajiban di dalam hubungan antara manusia dari
pengucapan gagasan tentang orang ditempatkan pada masing-masing
tempatnya dalam tata masyarakat yang statis.

20
2. Gagasan yang konstruktif, seperti halnya konsepsi dalam abad ke-17 dan ke-18,
ketika satu hukum dagang memberikan efek kepada apa yang dilakukan orang
menurut kehendaknya, yang melihat niat bukan melihat bentuknya dengan
menafsirkan keamanan umum sebagai keamanan transaksi.
3. Sebagai satu konsepsi yang menjaga kestabilan sebagaimana dalam akhir
abad ke-19, bahwa hukum adalah merupakan keburukan meskipun satu
keburukan yang tak dapat dihindari, oleh karena semua hukum bersifat
mengekang kebebasan orang dalam melakukan kemauannya.
Atas dasar itu berarti memperkenankan tiap orang dalam “kebebasan
menempuh kebahagiaan dan atau kesengsaraan”.

Dengan konsepsi terakhir ini, semua benua telah ditemukan orang, sumber
kekayaan alam sudah ditemukan dan dieksploitasikan; yang menjadi kebutuhan
sekarang adalah memelihara yang sudah tersedia itu.

Oleh karena itu hukum mulai bergerak ke jurusan lain; dan mulai dibatasi
kebebasannya dari pemilik untuk melakukan apa saja dengan miliknya itu, supaya
ia tidak melangkahi batas-batas atau membahayakan kesehatan umum atau
keamanan umum. Bahkan hukum mulai melangkah menyuruh orang untuk
bertindak tegas, terhadap miliknya menurut cara-cara yang diperintahkan oleh
hukum, apabila kesehatan umum terancam bahaya jika ia (hukum) tidak bertindak.

21
Kekuasaan untuk membuat kontak dan kekuasaan orang untuk mewariskan
miliknya menurut kekuasannya mulai dibatasi, supaya terjamin sebagai lembaga sosial
seperti perkawinan dan keluarga.
Pembatasan untuk mengambil res nullius dan mempergunakan res communes
supaya terpelihara sumber alam dari masyarakat. Penggantian aturan pemerintah yang
memperkenankan kebebasan pendirian usaha melayani publik atau kebebasan
bersaing, diganti dengan peraturan yang melarang persaingan pelayanan publik yang
merusak publik sendiri.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, satu cara pemikiran baru telah
tumbuh. Para sarjana hukum mulai berpikir tentang : Kebutuhan, keinginan,
pengharapan manusia, tidak lagi bicaara tentang kemauan manusia.

Dalam abad ini kita mulai memikirakan tentang menyamakan dan


menyelaraskan pemuasan kebutuhan. Kini mulai menimbang dan merukunkan
tuntutan kebutuhan, keinginan atau pengharapan manusia. Bahwa tujuan
hukum bukan satu maksimum dari pemuasan kebutuhan.
Dalam ilmu hukum dan politik, menurut konsepsi ini harus menambah
masalah praktis dari kemungkinan membuat efektif kepentingan dengan
tindakan pemerintah, dengan perantaraan pengadilan atau administratif.

22
Ada tiga unsur yang membantu perpindahan dasar teori tujuan hukum dari
kemauan kepada kebutuhan, dari merukunkan atau menyelaraskan kemauan-
kemauan kepada kerukunan atau menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan, ialah :
1. Ilmu jiwa, yang mendorong dasar filsafat hukum yang bersendikan kemauan
metafisi.
2. Gerakan hendak mempersatukan ilmu-ilmu sosial, ilmu ekonomi juga
memegang peranan penting, terutama secara tidak langsung melalui percobaan
hendak memberikan penafsiran ekonomi mengenai sejarah hukum,
memperkuat ilmu jiwa memperhatikan sampai di mana hukum itu dibentuk oleh
tekanan kebutuhan ekonomis.
3. Differensiasi dalam masyarakat, yang terdapat di dalam organisasi industri,
apabila klas-klas mulai timbul dan didalamnya tuntutan terhadap satu
penghidupan manusia yang minim, menurunkan ukuran sesuatu peradaban,
menjadi labih mendesak dari pada tuntutan terhadap kebebasan
mengemukakan diri.

Dalam hubungan ini maka perhatian orang berpaling dari sifat hukum
kepada tujuan hukum, dan mulai mempergunakan satu pendekatan fungsional,
satu kecenderungan hendak mengukur kaidah, doktrin dan lembaga hukum
dengan sampai seberapa jauhnya tiga unsur tersebut memajukan atau
mencapai tujuan mengapa hukum diadakan.

23
Dalam hubungan ini pemikiran orang pada dewasa ini lebih mirip dengan pemikiran
pada abad ke -17 dan ke-18 dari pada pemikian pada abad ke-19.
Pengarang Perancis melukiskan gejala ini sebagai satu “kebangkitan idealisme
hukum”. Tetapi pada hakikatnya aliran yang percaya bahwa yang baik dan yang buruk
bagi masyarakat harus diukur dengan kegunaan tindakan dalam membantu
tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan bagi sebagaian besar anggota masyarakat
(socio utilitarism) yang dianut orang pada waktu ini.
Dan filsafat hukum a;am dari abad ke-17 dan ke-18, mempunyai kesamaan dalam
satu hal saja ialah masing-masing menghadapkan perhatiannya pada gejala
pertumbuhan; masing-masing berusaha membimbing dan melajukan perbaikan hukum
secara sadar.

Dalam bentuknya yang lebih dahulu utilitarianism sosial seperti juga semua filsafat
hukum dari abad ke 19 adalah terlalu mutlak. Teori tentang tujuannya harus
menunjukkan kepada kita apa yang sungguh-sungguh dan perlu terjadi di dalam
penciptaan hukum dan bukan apa yang kita daya upayakan supaya terjadi.

Jasanya kepada filsafat hukum adalah dalam memaksa kita meninggalkan istilah
“hak” yang dua hal maknanya, dan memisahkan antara tuntutan atau kebutuhan, atau
permintaan, yang adanya terlepas dari hukum; tuntutan, kebutuhan atau permintaan,
yang diakui atau ditetapkan batasnya oleh hukum; dan lembaga hukum yang secara luas
memakai nama hak-hak berdasarkan hukum, yang menjamin tuntutan apalagi telah
diakui dan ditentukan batasnya.

24
Apabila kita menganggap hukum sebagai suatu yang diadakan untuk menjamin
kepentingan sosial, seberaa jauh kepentingan tersebut dapat dijamin dengan satu
penertiban manusia dan hubungan manusia dengan perlengkapan dari masyarakat
politik yang teratur maka menjadi teranglah bahwa kita boleh mencapai satu sistem
kompromi yang dapat dipraktikkan untuk keinginan manusia yang daling bertumbuhkan
di sini dan sekarang.
Dengan mempergunakan satu gambaran di dalam pikiran tentang pemberian efek
sebanyak kesanggupan kita, tanpa percaya bahwa kita mempunyai satu penyelesaian
yang sempurna untuk semua masa dan tiap tempat.

Seperti dikatakan oleh penganut Neo Kantianisme:


Kita boleh merumuskan cita-cita sosial dari suatu masa dan suatu tempat dan
mencoba dengannya menyelesaikan masalah hukum tanpa percaya bahwa kita
sanggup membuat atau peta sosial dan politik dan hukum untuk segala masa.

Penganut Neo Kantianisme:


Kita boleh menemukan dan merumuskan dalil hukum yang terdapat di dalam
peradaban sesuatu masa dan sesuatu tempat tanpa menganggap bahwa dalil itu
adalah satu gambaran yang penghabisan dan lengkap dari hukum terakhir, yang
dengannya gambaran tersebut harus diukur selama-lamanya.

25
Menurut aliran Utilitarisme sosial: atau aliran yang percaya bahwa yang baik dan
yang buruk bagi masyarakat harus diukur dengan faedah tindakan timbal balik dalam
membantu tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan bai sebagian terbesar anggota
masyarakat, ternyata memerlukan koreksi baik dari ilmu jiwa maupun sosiologi.

Dengan konsepsi baru ini, maka timbul persoalan kriteria nilai kepentingan.
- Para filsuf menyatakan bahwa kepentingan yang paling utama akan lebih besar
pengaruh batinnya.
Menurut beberapa teori lain yang dianut orang bebeapa waktu yang lalu antara lain:
- Para penganut Neo Hegelianisme:
Ujilah tuntutan itu dengan ukuran peradaban, dengan ukuran perkembangan
kekuasaan manusia sampai kepada batas yang paling luar kesanggupan mereka
atas tabiat manusia sendiri maupun atas alam di luar dirinya.
- Para penganut Neo Kantianisme:
Ujilah tuntutan itu dengan ukuran dari satu masyarakat yang terdiri atas menusia
yang mempunyai kebebasan ikhtiar, yang dipandang sebagai cita-cita sosial.
- Leon Duguit berkata :
Ujilah tuntutan itu dengan ukuran dari keadaan saling bergantungan dalam
masyarakat (sosial interdependence) dari fungsi sosial.

26
Fungsi tujuan yang hendak memahami hukum dewasa ini Roscoe Pound, merasa
cukup dengan satu gambaran dari pemuasan sebanyak mungkin kebutuhan manusia
menurut kadar kesanggupan kita, dan dengan pengorbanan yang paling sedikit.

Baginya sudah memadailah bila hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial
untuk memuaskan kebutuhan masyarakat (tuntutan, permintaan dan pengharapan
yang terlibat dalam kehidupan masyarakat yang beradab) dengan pengorbanan yang
paling sedikit sejauh keburukan serupa mungkin dipuaskan atau diberi efek yang serupa
dengan suatu penertiban kelakuan manusia melalui masyarakat yang diatur denan
sistem kenegaraan.

Untuk tujuan sekarang Roscoe Pound, merasa puas melihat dalam sejarah
hukum catatan tentang satu usaha yang terus-menerus makin luas mengakui dan
memuaskan kebutuhan atau tuntutan atau keinginan manusia dengan perantaraan
pengawasan sosial.
Satu usaha yang lebih mencukupi dan lebih efektif menjamin kepentingan
masyarakat; satu usaha yang terus-menerus lebih lengkap dan efektif menyingkirkan
pemborosan dan mencegah timbulnya perselisihan di dalam perjuangan manusia
untuk merasakan nikmat kehidupan ini.
Pendeknya satu usaha yang terus-menerus makin berguna untuk pembangunan
masyarakat, dengan menerapkan hukum dan asas-asas sesiologis yang telah
ditetapkan untuk mencapai tujuan sosial yang khusus dan diakui (social Engineering).

27
Menurut Van Apeldorn, tujuan hukum itu mengatur pergaulan hidup seara
damai. Pendapat ini dapat dikatakan pendapat jalan tengah di antara dua pendapat
lainnya.
1. Pendapat pertama ialah suatu pendapat yang sama-sama berdasarkan etika,
ialah bahwa hukum hanya bertugas mengadakan keadilan yang mula-mula
mengemukakan pendapat ini ialah Aristoteles dalam bukunya “Etika
Nicomacheia dan Rhetorica”.
Dalam bukunya ia membedakan keadilan dalam dua macam ialah:
a. Keadilan Distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap
orang jatah menurut jasanya; ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang
mendapat bagian yang sama banyaknya, jadi bukan merupakan
persamaan, melainkan kesebandingan. Keadilan distributief ini terutama
menguasai hubungan antara masyarakat , khususnya negara dengan
perseorangan khusus.
b. Keadilan Commutatief, ialah keadilan yang memberikan kepada setiap
orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.
Keadilan ini memegang peranan dalam tukar-menukar, pada pertukaran
barang-barang dan jasa-jasa, dalam masa sebanyak mungkin harus
terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan lebih-lebih menguasai
hubungan antara perseorangan khusus.

28
Menurut Aristoteles, hukum mempunyai tugas yang suci, ialah memberikan
kepada tiap-tiap orang apa yang ia berhak menerimanya. Tetapi anggapan ini tidak
mudah dipraktikkan. Maklum, tidak mungkin orang membuat peraturan hukum
tersendiri bagi tiap-tiap orang sebab apabila hal itu dilakukan tentu tidak akan
habis-habisnya.

Pada hukum harus merupakan peraturan umum, kaidah hukum tidak diadakan
untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu, kaidah hukum tidak menyebutkan nama
seorang tertentu; tapi kaidah hukum hanya membuat suatu kualifikasi tertentu,
merupakan sesuatu yang abstrak.
Pertimbangan hal-hal yang konkrit harus diserahkan kepada hakim, yang
membuat keputusan hukum yang konkrit. Oleh sebab itu, tiap-tiap peraturan hukum
umumnya harus disusun sedemikian rupa sehingga hakim diberikan kesempatan
menggolongkan kejadian-kejadian sebanyak-banyaknya di dalam suatu golongan
peraturan hukum yang bersangkutan.

2. Pendapat kedua : pendapat ini disebut utilitarian theori ialah teori yang
mengutamakan utilitet atau kegunaan. Teori ini dianut antara lain Bentham.
Menurut teori utilitet ini hukum berujung mewujudkan semata-mata apa yang
berfaedah bagi orang; karena apa yang berfaedah bagi orang yang satu mungkin
merugikan orang yang lain, maka menurut pendapat ini tujuan hukum dirumuskan
sebagai berikut :

29
Hukum bertujuan menjamin adanya bahagia sebanyak-banyaknya pada orang
sebanyak-banyaknya. Pendapat Bentham ini tidak memuat tempat
mempertimbangkan keadilan bagi hal-hal yang konkrit, melainkan hanya
memperhatikan hal-hal yang berfaedah. Pendapat Bentham adalah bersifat
umum, dan juga bersifat individualistis; oleh sebab itu tidak memberikan
kepuasan pada persaan hukum kita.

Di samping pendapat itu, masih ada sarjana lain yang mengemukakan


pendapatnya tentang tujuan hukum ialah :
a. Belefroid: isi hukum harus ditentukan menurut dua asas, ialah keadilan dan
faedah.
b. Van Kan: bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia
supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu. Dalam anggapan ini terdapatlah
hal-hal bahwa hukum mengandung suatu pertimbangan kepentingan yang lebih
besar daripada kepentingan yang lain (pertimbangan kepentingan anggota
masyarakat terhadap yang lain, kepentingan anggota masyarakat terhadap
kepentingam masyarakat.
c. Utrecht: pendapatnya didasarkan pada pendapat Van Kan: ialah bahwa hukum
(rechtszekerheid) dalam pergaulan manusia, menurut Utrecht hukum menjamin
kepastian pada setiap hak.

30
Contoh tentang lembaga hukum lewat waktu; Tugas hukum itu
menjamin dalam perhubungan-perhubungan yang terdapat dalam
masyarakat. Kepastian ini adalah kepastian yang dicapai oleh karena
hukum.
Dalam tugas ini tersimpul dua tugas ialah hukum harus menjamin
keadilan maupun hukum harus tetap berguna. Akibatnya ialah kadang-
kadang yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang berguna.

Di samping kedua tugas itu masih ada tugas yang ketiga ialah tugas polisionil
yaitu hukum menjaga supaya dalam masyarakat tidak terhadi eigen richting
(mengadili sendiri), tiap perkara harus diselesaikan dengan perantaraan hakim
ialah perantara hukum.
Terang sekali bahwa apabila salah satu di antara tugas ini sangat diutamakan
maka kedua tugas lainnya akan terdesak. Dan hal ini akan menimbulkan
ketegangan antar masing-masing segi hukum tersebut.

---------------- o0o -----------------

31
Pengantar
ILMU HUKUM

Universitas Jenderal Soedirman


Purwokerto

1
BAB IV
KAIDAH HUKUM DAN KAIDAH-KAIDAH ETIKA LAINNYA

Manusia sejak lahir sampai mati, hidup di antara manusia lain, ialah
hidup dalam pergaulan dengan manusia lain. Manusia adalah anggota
masyarakat sejak jaman kuno hal ini telah dinyatakan oleh seorang ahli
filsafat bangsa Yunani yang bernama Aristoteles bahwa manusia itu
adalah “Zoon Politicon”, yang dinyatakan pula oleh P.J. Bouman dalam
bukunya Algemene maatschappijleer (ilmu masyarakat umum)
,menyatakan bahwa manusia baru menjadi manusia setelah ia hidup
bersama dengan manusia lain.

Mr. Mahadi, dalam bukunya “Sumber-sumber Hukum” membuat


perincian bahwa manusia modern di jaman sekarang benar-benar
tenggelam di dalam anyaman ikatan-ikatan. Pertama dia anggota
masyarakat negara, kedua anggota masyarakat keluarga dan ketiga
anggota masyarakat perkumpulan politik, dan seterusnya anggota
masyarakat pekerja, koperasi pegawai, perkumpulan sepakbola, persatuan
pencak silat dan sebagainya.
Masing-masing anggota masyarakat itu berkepentingan, ada anggota
yang mempunyai kepentingan yang sama, tetapi ada pula yang
berkepentingan yang bertentangan.
2
Misalnya kepentingan penjual tidak sama dengan kepentingan pembeli.
Kepentingan penjual menerima pembayaran, sedang kepentingan pembeli ialah
menerima barang yang dibelinya. Pertentangan antara kepentingan manusi aitu
dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat apabila dalam masyarakat tidak
ada suatu kekuasaan ialah suatu tata tertib yang dapat menyeimbangkan usaha-
usaha yang dilakukan untuk memenuhi kepentingan yang bertentangan itu.

Oleh sebab itu supaya perdamaian terutama perdamaian ekonomis


dalam masyarakat tetap terpelihara, maka oleh manusia sendiri (ialah
golongan yang berkepentingan) dibuatlah petunjuk hidup (levens
voorschritten). Petunjuk hidup ini yang biasanya disebut kaidah (norma) yang
terdapat di dalam : hukum; kebiasaan, adat-istiadat, agama dan kesusilaan.

Menurut Van Apeldorn, segala peraturan yang mengandung petunjuk-petunjuk


hidup bagaimana manusia hendaknya bertindak-tanduk; peraturan yang menimbulkan
kewajiban manusia yang dicakup dengan istilah etika yang meliputi agama,
kesusilaan, hukum dan adat.
Lain halnya Van Kan menyebutkan kaidah: hukum, kesopanan, kesusilaan dan
agama. Petunjuk-petunjuk hidup itu menjadi suatu gejala sosial ialah suatu gejala yang
terdapat dalam masyarakat. Hukum adalah suatu gejala sosial; tiada masyarakat yang
tidak mengenal hukum.
Menurut Van Apeldorn hukum terdapat di seluruh dunia, di mana ada suatu
masyarakat manusia. Anggapan ini belum diterima umum. Sebelumnya masih diterima
anggapan bahwa hukum itu hanya terdapat dalam masyarakat yang telah beradab. 3
Hal ini adalah atas jasa penyelidikan yang diadakan para ahli antropologi
budaya yang telah dapat mempengaruhi ilmu hukum modern. Telah
disebutkan bahwa hukum merupakan gejala sosial; jadi merupakan aspek
dari kebudayaan seperti juga kaidah-kaidah lainnya. Etika merupakan
peraturan-peraturan yang mengandung petunjuk-petunjuk bagaimana
manusia hendak bertindak-tanduk jadi peraturan-peraturan yang
menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi manusia.
Pada jaman dahulu orang mencampur-adukkan peraturan-peraturan
agama, kesusilaan, hukum dan adat, karena beranggapan seluruhnya berasal
dari Tuhan. Memang benar antara peraturan-peraturan tersebut ada
hubungannya satu sama lain. Tetapi kini dipandang perlu membedakan
antara kaidah-kaidah tersebut.

1. Hukum dan Adat dibedakan dengan Kesusilaan

Bahwa hidup manusia mempunyai dua segi ialah: manusia sebagai


perseorangan maupun manusia sebagai anggota masyarakat/makhluk sosial.
Kesusilaan menyangkut manusia sebagai perseorangan, hukum dan adat
menyangkut manusia sebagai anggota masyarakat. Kesusilaan diturunkan kepada
manusia dengan tuntutannya; “hendaklah kamu sempurna”.
Sebaliknya hukum dan adat ditujukan kepada manusia sebagai makhluk
masyarakat. Jadi tidak menghendaki kesempurnaan manusia melainkan
kesempurnaan masyarakat.
4
Jelasnya antara hukum dan adat dapat dibedakan dengan kesusilaan dalam
hal :
a. Tujuannya
Tujuan hukum dan adat ialah tata tertib masyarakat yang baik. Sedangkan
tujuan kesusilaan ialah kesempurnaan seseorang walaupun juga menimbulkan
akibat-akibat untuk hidup bersama, karena kebaikan budi pribadi manusia
tentunya turut membantu tercapainya tata tertib masyarakat yang lebih baik

b. Isinya
Hukum dan adat menghendaki peraturan masyarakat yang baik memberikan
peraturan-peraturan untuk perbuatan-perbuatan lahir manusia (cogitationis poenam
nemopatitur, tak seorangpun dapat dihukum untuk apa yang dipikirkannya).
Sedangkan kesusilaan ditujukan pada kesempurnaan seseorang, pertama-tama tidak
mengindahkan perbuatan-perbuatan lahir manusia, melainkan lebih mengindahkan
sikap batin yang menimbulkan perbuatan-perbuatan itu.
Akan tetapi perbedaan tersebut jangan dibayangkan terlalu tajam; karena hukum
juga memperhatikan maksud baik yang menimbulkan perbuatan itu. Misalnya hukum
memberikan hukuman kepada seseorang yang melakukan kejahatan, hanya dalam
hal ia dapat dipersalahkan untuk kejahatan itu.
Dalam hal ini harus dibedakan antara sengaja (opzet) ialah bertindak dengan
mengetahui dan menghendakinya, dan kesalahan dalam arti sempit atau kelalaian.

5
Demikian hukum menghubungkan akibat-akibat yang penting pada tindakan-
tindakan yang dilakukan dengan itikat baik (te goeder trouw): Pasal 153, 586, 604,
1374 ayat (3), 1377 ayat (2) KUH Perdata dan sebagainya.

Bila tingkah laku lahir seseorang sesuai dengan peraturan hukum, maka hukum
tidak menanyakan kehendak baiknya. Hukum merasa puas dengan tingkah laku lahir
yang sesuai dengan peraturan.
Hanya bila seseorang bertindak menyalahi hukum, kadang-kadang jug akan
diperhatikan kehendak baiknya dengan kata lain, perbuatan-perbuatannya akan
ditimbang orang berdasarkan alasan-alasan yang menimbulkannya. Sebaliknya
kesusilaan selalu menghendaki kehendak batin baik, tak puas dengan tingkah laku
lahir belaka.

c. Asal-usulnya
Menurut Van Kan dirumuskan: kesusilaan adalah otonom., sedangkan hukum
adalah heteronom.
Kesusilaan bersifat otonom artinya suatu suruhan susila yang berupa suatu
tuntutan yang dilakukan orang terhadap dirinya sendiri. Tiap-tiap orang harus
menentukan menurut suara hatinya sendiri, apakah sebenarnya yang dituntut
kesusilaan terhadap dirinya sendiri. Jadi kesusilaan mengikat kita karena
kehendak kita sendiri.
Hukum dan adat bersifat heteronom artinya kekuasaan dari luarlah yang
meletakkan kemauannya pada kita, kekuatan di luar diri sendiri ialah masyarakat.
Kita takluk pada hukum di luar kehendak kita.
6
d. Cara bagaimana orang menjamin agar diikuti
Kesusilaan berakar dalam suara hati manusia. Jadi timbul dari kekuatan
batin, yaitu kekuatan di dalam manusia. Di sana tak ada kekuasaan dari luar
yang dapat memaksa menjalankan perintah kesusilaan. Paksaan dari luar
dengan kesusilaan sama sekali tidak disatukan.
Sifat perintah susila ialah harus dipenuhi dengan suka rela. Satu-satunya
kekuasaan yang berdiri di belakang kesusilaan ialah suara hati sendiri.
Sedangkan hukum adat, kekuasaan adalah memegang peranan utama.
Pada umumnya kita menjalankan peraturan-peraturan hukum dengan suka
rela, karena merasa wajib terhadap suara hati kita, bilamana hukum
berpegang pada perintah-perintah kesusilaan.
Di samping itu di belakang hukum masih terdapat kekuasaan yang lain dari
suara ati ialah masyarakat yang meletakkan peraturan-peraturan itu kepada
kita, yang mempunyai alat-alat kekuasaann untuk memaksakan agar hukum
diikuti dalam hal hukum tidak dijalankan dengan sukarela.

e. Daya kerjanya
Hukum dan adat mempunyai dua daya kerja: memberikan
kekuasaan dan meletakkan kewajiban. Sedangkan kesusilaan hanya
meletakkan kewajiban belaka.
7
2. Persamaan Antara Hukum dan Adat

a. Bahwa baik hukum maupun adat ditujukan pada menusia sebagai makhluk
sosial; jadi mengenai pergaulan hidup dan tidak semata-mata mengenai
individu.
b. Keduanya puas dengan tingkah laku lahir, dan tidak menanyakan kehendak
baik yang mendukung tingkah laku itu. Hal ini tidak berarti bahwa adat
berstandar pada apa yang tidak benar, pada tipu daya. Adat kesopanan
kadang-kadang memang merupakan pura-pura dan sandiwara belaka, tetapi
tidak selalu begitu.
c. Keduanya bersifat heteronom, karena diletakkan atas diri kita oleh
masyarakat atau lingkungan tempat kita hidup.
d. Bahwa keduanya memberikan hak-hak menurut sesuatu tingkah laku sesuai
dengan peraturan-peraturannya.

Memang kebanyakan orang mengira bahwa paksaan merupakan perbedaan


antara hukum dan adat, ialah bahwa hukum yang merupakan peraturan-
peraturan yang dapat dipaksakan, sedangkan adat hanya mempunyai sifat
menegur, menganjurkan. Tetapi pandangan bahwa adat bukan merupakan
peraturan yang dapat dipaksakan adalah kurang tepat.
Sebab adat juga mempunyai alat-alat kekuasaan atau alat pemaksa berupa:
menegur, mengejek, memandang sepi dan sebagainya. Bahkan bagi yang
terkena mungkin dirasakan lebih berat dari pada sanksi hukuman dari hukum. 8
Perbedaan antara hukum dan adat pada pokoknya hanya bersifat formal, bukan
materiil, karena tidak menyatakan sesuatu tentang isi hukum, melainkan hanya
memberikan ciri lahir yaitu ciri yang hanya menganai cara pelaksanaan peraturan-
peraturan hukum. Misalnya dalam peraturan-peratuan adat paksaan itu datangnya dari
tiap-tiap orang yang merasa dipanggil untuk melaksanakan paksaan tersebut. Paksaan
yang terdapat pada peraturan ada adalah peraturan yang tidak teratur, dan justru karena
itulah acapkali merupakan paksaan yang tidak patut dan melampaui batas.

Sebaliknya hukum, paksaan dilakukan oleh masyarakat yang teratur atau


badan-badan pemerintah. Memang orang sudah lama mencari perbedaan materiil
antara adat dan hukum, tetapi hingga kini tetap belum berhasil. Usaha tersebut tidak
akan berhasil karena isi hukum maupun isi adat selalu berubah-ubah menurut
tempat dan waktu. Satu-satunya sifat hukum yang tetap adalah sifat berubah-
ubahnya. Demikian pula batas antara hukum dan adat selalu berubah apa yang
mungkin merupakan isi kaidah-kaidah hukum, juga mungkin merupakan isi
peraturan adat.

Misalnya tentang pertunangan, dahulu merupakan lembaga hukum,


sebagaimana halnya kini di Inggris, tetapi kini di Nederland semata-mata
termasuk lapangan adat. Pemberian perlengkapan memelai perempuan oleh
seorang ayah di Nederland adalah merupakan adat, di Belgia dipandang sebagai
naturlijke verbintenissen, di Jerman merupakan kewajiban hukum.
Perayaan perkawinan, penguburan, dahulu diatur dengan undang-undang,
tetapi kini hanya dikuasai oleh adat. Umpatan dan maki-maki terhadap Tuhan,
dahulu merupakan adat, sekarang dimasukkan lagi dalam lapangan hukum.
9
3. Hubungan antara Pelbagai Golongan Kaidah Hukum, Agama,
Kesusilaan dan Adat

Hukum pada satu pihak, agama, kesusilaan, adat pada pihak lain dapat dibedakan
tetapi tidak dapat dipisahkan. Sebenarnya memang dapat dipahami terdapat
hubungan yang erat satu sama lain ialah semuanya memberikan peraturan-peraturan
perhubungan antara manusia. Isi tiap-tiap kaidah menjalankan pengaruhnya yang kuat
terhadap yang lain.
Antara lain pandangan agama dan kesusilaan terus-menerus mempengaruhi
hukum. Kita ketahui bahwa tidak setiap orang akan mentaati sanksi agama,
kesusilaan, kesopanan. Ada orang yang tidak mengacuhkan pada hubungan dengan
Tuhan, ada orang yang berani meneria celaan masyarakat, ada orang yang dapat
menahan rasa menyesal.

Untuk maksud melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi oleh
kaidah-kaidah selain hukum dan untuk melindungi kepantingan lainnya, maka
masih dibutuhkan kaidah hukum. Bahwa kaidah hukum mempunyai sifat yang
khas ialah terdapat sanksi yang memaksa.
Dan biasanya tidak diikutinya suatu peraturan hukum sanksinya berbentuk
suatu tindakan jasmaniah baik bersifat prefentif (untuk mencegah dilakukan
tindakan yang tidak dikehendaki oleh hukum), maupun bersifat represif (dengan
suatu cara lain yang sedapat mungkin mendekati tujuan yang dikehendaki oleh
kaidah hukum atau mengenakan kepada si pelanggar suatu akibat yang
merugikan baginya)
10
Peraturan hukum bersifat memaksa, bukanlah berarti senantiasa dapat
dipasakan. Pelaksanan kaidah hukum yang selalu dapat dipaksakan dalam arti
yang sebenar-benarnya adalah tidak mungkin tercapai. Contoh: kamu tidak boleh
mencuri, tidak boleh membunuh. Tak ada sesuatu kekuasaan di dunia termasuk
tata hukum dapat mencegah terjadinya : pencurian, pembunuhan dan
sebagainya.
Kaidah selain kaidah hukum, membiarkan peraturan dilanggar, apalagi
ancaman sanksinya tidak lagi membiarkan hasil. Berbeda dengan hukum ialah
tidak mau menerima pelanggaran kaidah-kaidahnya, keengganan dari orang
yang dikenai kaidan tersebut.

Dan seringkali paksaan tersebut tidak dapat dilaksanakan misalnya seorang


pelukis tidak dapat dipaksakan untuk melukis sesuatu lukisan tertentu; seorang
enggan memasuki dinas militer tidak dapat dipaksakan, tetapi hukum akam
memaksakan dengan hal lain ialah suatu hal yang sedapat mungkinn mendekati hal
yang ditujukan oleh kaidah hukum yang bersangkutan atau mengahapus akibat-akibat
yang merugikan karena pelanggaran kaidah hukum tersebut.

Maka hukum akan menekan kepada yang enggan menjalankan kaidah itu, dengan
cara lain membayar sejumlah uang sebagai gantinya. Tetapi sebaliknya seringkali
dengan perantaraan ancaman hukuman saja untuk menghadapi kemungkinan
peraturan tersebut dilanggar, sudah cukup bagi pihak yang mentaati dengan sukarela.
Jadi hukum memaksa dengan berbagai cara ialah dengan paksaan yang langsung
dan tidak langsung.
11
Peraturan hukum bukan memperingatkan, bukan menganjurkan atau
menyakinkan, tetapi memerintah, memaksa. Sebaliknya paksaan bukan berarti
tindakan yang sewenang-wenang, tetapi demi kelangsungan hidup masyarakat, yang
berarti guna melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
Memang tindakan-tindakan yang demikian dibutuhkan, sehingga pelaksanaan
tindakan itu tidak dapat diserahkan pada kehendak baik dari oang-orang saja.

Sifat memaksa dari peraturan-peraturan hukum hanya dipergunakan


untuk menjamin ditaatinya peraturan-peraturan yang sangat dibutuhkan
guna kepentingan-kepentingan yang menjadi tujuan dari peraturan yang
bersangktan. Dalam penyusunan kaidah-kaidah hukum, dalam penetapan
peraturan-peraturan sekali-kali tidak terdapat kehendak untuk bertindak
sewenang-wenang.
Paksaan bukanlah pokok pangkalnya atau tujuannya, tetapi hanya
semata-mata sebagai alat, bukan pula sebagai pernyataan kekuasaan dari
simaharaja, melainkan suatu paksaan yang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat bagi kepentingan orang lain.

Seperti telah disebutkan di atas pendapat J. Van Kan, tentang apa yangdiartikan
hukum ialah bahwa kaidah-kaidah hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa. Hukum adalah serumpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,
yang diadakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.
12
BAB V
HUKUM OBYEKTIF DAN SUBYEKTIF

1. Pengertian

Hukum adalah kekuasaan yang mengatur dan memeriksa. Dengan tak


ada habisnya, hukum mengatur hubungan-hubungan yang ditimbulkan
oleh pergaulan masyarakat manusia; hubungan karena perkawinan,
keturunan, kerabat, daerah, ketetanggaan, perdagangan dan sebagainya.

Hal-hal tersebut dilakukan dengan menentukan batas kekuasaan-kekuasaan


(hak) dan kewajiban-kewajiban tiap-tiap orang terhadap mereka dengan siapa
dia berhubungan, misalnya antara orang yang meminjamkan dengan orang
yang menierima pinjaman dan dilakukan dengan antara lain membentuk
peraturan-peraturan: “Barang siapa yang meminjamkan uang kepada orang lain,
berhak meminta kembali uangnya sejumlah yang sama; dan pihak yang wajib
memenuhinya”.
Hubungan yang diatur demikian itu disebut hubungan hukum. Dan tiap-tiap
hubungan hukum mempunyai dua segi: pada satu pihak merupakan hak, dan
pada pihak lain merupakan kewajiban.

13
Dalam hubungan ini kita dapat memakai perkataan hukum dalam dua arti yaitu
sebagai berikut :
a. Hukum obyektif, ialah peraturan (kaidah) yang mengatur hubungan antara dua
orang atau lebih. Disebut hukum obyektif, karena berlaku umum, bukan terhadap
seseorang tertentu atau subyek tertentu.
b. Hukum subyektif, ialah hubungan yang diatur oleh hukum obyektif, berdasarkan
mana satu mempunyai hak, yang lainnya mempunyai kewajiban terhadap sesuatu.
Disebut hukum subyektif, karena dalam hak ini hukum dihubungkan dengan
seseorang tertentu atau sesuatu subyek tertentu.

Istilah hukum obyektif danhukum subyektif ini mulai dipergunakan pada


permulaan abad ke-19 di Jerman. Walaupun istilah-istilah tersebut sepenjang
masa sebagian pakar menentangnya, tetapi sampai sekarang masih tetap
dipergunakan.
Yang menentang antara lain: Gustav Hugo, John Austin, Hora Siccama.
Sedangkan pakar yang menyetujui antara lain : Brethe de la Gressaye dari
Perancis yang menggunakan istilah Droit (hukum obyektif) dan droit (hukum
subyektif).
Memang sebenarnya antara hukum obyektif dan hukum subyektif dapat
dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan, sebab satu sama lain mempunyai
hubungan yang erat yaitu :

14
Hukum obyektif adalah peraturan hukumnya sedangkan hukum subyektif adalah
peratuan hukum yang dihubungkan dengan seseorang tertentu. Atau dengan kata lain,
hukum subyektif timbul apabila hukum obyektif beraksi.
Hukum obyektif yang beraksi itu sekaligus melakukan dua pekerjaan ialah : pada
satu pihak memberikan hak sedangkan pada pihak lain meletakkan kewajiban. Kedua
unsur ini selalu dijumpai pada setiap hubungan hukum; misalnya hubungan hukum
antara penjual dan pembeli.
Penjual berhak menuntut harga pembayaran dari si pembeli, sebaliknya si
pembeli mempunyai kewajiban membayar harga pembeliannya kepada penual.

2. Ajaran bahwa Hukum Subyektif ialah Hak yang diberikan oleh Hukum
Obyektif

Biasanya orang mengajarkan bahwa hukum subyektif adalah hak yang


diberikan oleh hukum obyektif.
Ajaran ini bersifat sepihak, kaena sebagai berikut :
a. Tampil kemukanya hak atau wewenang, artinya segi aktif hubungan hukum,
menyebabkan menurut adat bahasa biasanya menyatakan segi aktif itu
sebagai hak (subyektif). Karena bahasa yang demikian inilah agar tidak
terdapat salah pengertian maka harus selalu ditekankan, bahwa hak pada
satu pihak, selalu harus diimbangi kewajiban dari pihak lain.

15
Hak dan kewajiban adalah sua sisi hal yang sama (dari hubungan-hubungan
hukum yang sama) oleh karena itu, tidak dapat dipisahkan. Bilamana kita menamakan
hukum subyektif sama dengan hak berarti hanya memperhatikan satu pihak ialah
wewenang saja.
Sebenarnya hukum subyektif adalah hubungan yang diatur oleh hukum obyektif,
berdasarkan hubungan yang satu mempunyai hak dan yang lainnya mempunyai
kewajiban. Lagi pula banyak hubungan hukum pada kedua pihak terdapat kewajiban.
Misalnya dalam hal “jual-beli”, baik pembeli maupun penjual masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban sekaligus. Hubungan hukum yang demikian
disebut hubungan hukum yang berpihak dua.

Tetapi disamping itu masih terdapat hubungan hukum yang berpihak satu
(sepihak). Misalnya hubungan hukum antara seseorang yang meminjamkan
uang kepada orang yang meminjam uang itu. Hanya pada orang yang meminjam
uang itu terletak kewajiban, ialah kewajiban untuk membayar kembali.
Biasanya hubungan hukum itu terdapat antara du aorang atau lebih yang
tertentu, dalam hal mana yang berhak disebut penagih utang (schuldeiser) dan
yang berwajib disebut berutang (schuldenaar).
Tetapi disamping itu masih dalam batas-batas tertentu yang telah ditentukan
oleh hukum obyektif untuk memperoleh nikmat dari barang-barang miliknya atau
apa yang dikuasainya, dan sebaliknya bagi tiap orang terletak kewajiban untuk
menghormati hak tersebut.

16
b. Hukum subyektif adalah lebih dari hak
Hukum obyektif tidak hanya mengatur, tetapi memaksa. Dengan demikian
berdirilah di belakang hukum subyektif kekuasaan yang memaksa yang berasal dari
hukum obyektif. Hukum subyektif tidak hanya memberikan hak saja, tetapi juga
memberikan alat-alat untuk menjalankan.
Hukum subyektif menghubungkan tuntutan hukum atauaksi,ialah hak untuk
meminta bantuan hakim untuk mempertahankan hukum subyektif. Jadi hukum
subyektif adalah seperti juga hukum obyektif ialah mempunyai kekuasaan. Hukum
subyektif juga merupakan hubungan kekuasaan yang dianut oleh hukum obyektif.

c. Hukum subyektif memiliki dua macam hak yaitu sebagai berikut :


1) Hak untuk menuntut orang, agar orang lain bertindak, artinya berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, dan sebaliknya kewajiban orang lain
untuk bertindak.
2) Hak untuk bertindak sendiri, dan sebaliknya terdapat kewajiban dari semua
orang untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap hak itu, misalnya
tentang hak milik dan kekuasaan orang tua.

d. Tidak semua hak yang dilindungi oleh hukum obyektif dapat disebut hukum
subyektif, misalnya hak untuk berjalan-jalan, hak untuk membaca koran
dansebaginya.

17
3. Pembagian Hukum Subyektif

Hukum obyektif dapat dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan isinya dan daya
kerjanya.
a. Berdasarkan Isinya
Hukum obyektif mnengatur pelbagai hubungan. Pengaturan itu baik,
apabila cocok dengan sifat hubungan-hubungan yang diaturnya. Karena
isi peraturan-peraturan hukum itu tergantung pada hakikat hubungan
yang diaturnya.
Pengaturan hubungan adalah pengaturan kepentingan-kepentingan
dari yang bersangkutan, karena hubungan hukum adalah merupakan
kepentingan-kepentingan yang mendapat perlindungan; jadi isi
peraturan-peraturan hukum adalah tergantung pada hakikat
kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum.
Kepentingan yang diatur oleh hukum dapat berupa : Kepentingan
umum atau kepentingan publik dan kepentingan kusus atau kepentinan
perdata. Sepanjang peraturan-peraturan hukum mengatur kepentingan-
kepentingan, maka peraturan-peraturan itu dibagi menjadi hukum publik
dan hukum perdata.

18
Pembagian peratuan hukum menjadi hukum publik dan hukum perdata,
dikemukakan oleh ahli hukum Romawi ialah Ulpianus yang menyatakan bahwa
hukum publik adalah hukum yang berhubungan dengan kesejahteraan negara
Romawi, sedangkan hukum perdata adalah hukum yang mengurus kepentingan
purusa-purusa (subyek hukum) khusus.
Tetapi pandangan pembagian isi hukum menjadi dua, tidak semua pakar
sependapat. Menurut pihak yang menolak, menyatakan bahwa kriterium kepentingan
umum sebagai lawan kepentingan khusus, tidak tepat untuk mengadakan perbedaan
hukum ke dalam publik dan hukum perdata, karena hal-hal sebagai berikut :

Bahwa kepentingan umum menyangkut tiap-tiap peraturan hukum.


Segala hukum ditujukan pada kepentingan umum. Hukum perdata
bukanlah untuk memelihara kepentingan perseorangan saja, melainkan
juga kepentingan segala orang. Pembentuk undang-undang harus selalu
mengikat kepentingan umum dalam menetapkan peraturan-peraturan
hukum. Misalnya peraturan tentang hak milik dimasukkan dalam hukum
perdata.

Keberatan tersebut mengandung inti kebenaran. Pada tiap-tiap


peratuan hukum memang tersangkut kepentingan umum. Sebaliknya
bahwa tiap-tiap peraturan hukum jugamenyinggung kepentingan-
kepentingan perseorangan.

19
Tetapi walaupun demikian tidak melemahkan kriteria tersebut di atas, karena
kriteria itu tidak terletak pada hal, bahwa pada peraturan hukum yang satu tersangkut
kepentingan umum, sedangkan pada peraturan yang lain tersangkut kepentingan
pribadi. Melainkan bahwa hukum publik mengatur kepentingan umum dan hukum
perdata mengatur kepentingan pribadi.
Perlu diingat bahwa peraturan kepentingan umum terhadap peraturan-peraturan
hukum memang memiliki dua peranan ialah aktif dan pasif

Peranan yang aktif dari kepentingan umum terhadap peraturan hukum ialah
bahwa kepentingan umum menuntut adanya hukum dan selanjutnya isi hukum
hanya sedemikian rupa, sehingga hukum sebaik-baiknya memenuhi tugasnya
sebagai peraturan masyarakat yang adil dan damai. Jadi kepentingan umum
merupakan prinsip yang membimbing dalam menentukan isi hukum. Kepentingan
umum juga melakukan terhadap hukum perdata.

Kepentingan umum menuntut, supaya kepentingan perseorangan diatur dan


dilindungi sehingga sebanyak mungkin memelihara kepentingan orang lain. Di
samping itu kepentingan umum tidak hanya menuntut penetapan batas-batas dan
perlindungan dari kepentingan perseorangan, melainkan juga dalam memelihara
kepentingan perseorangan itu ia tidak merugikan kepentingan umum atau
kepentingan masyarakat.
Itulah sebabnya di samping peraturan dan perlindungan khusus yang diberikan
oleh hukum perdata, juga diperlukan suatu peraturan dan perlindungan untuk
kepentingan umum. Sebaliknya dalam hukum perdata kepentingan khusus/perseroan
merupakan obyek dari peraturan.
20
Dalam hukum perdata kepentingan umum hanya memegang peranan yang pasif
ialah sekedar kepentingan umum tidak menuntut agar purusa-purusa pribadi dapat
memelihara kepentingan-kepentingan pribadi mereka masing-masing dengan baik.
Sebaliknya kepentingan umum tidak menuntut supaya peraturan-peraturan hukum
perdata dipertahankan.
Misalnya jika seseorang meminjamkan seumlah uang kepada seseorang lain,
maka kepentingan umum tersebut tidak menuntut supaya uang dibayar kembali.
Orang yang meminjamkan itu dapat melepaskan tuntutan pembayaran kembali.
Pembayaran kembali tidak tersangkut adanya kepentingan umum. Tetapi tersangkut
kepentingan setiap orang bahwa siapa saja yang mempunyai tagihan uang kepada
orang lain, dapat menagihnya dengan pertolongan hakim.

Sifat hukum perdata sebagai pengatur kepentingan khusus, timbul akibat yang
penting ialah bahwa pemerintah tidak dengan sendirinya mempertahankan peraturan
hukum perdata. Pemerintah menyerahkan kepada yang berkepentingan apakah ia
menghendaki dipertahankan peraturan-peraturan tersebut atau tidak. Pemerintah
hanya memebrikan bantuan untuk mempertahankannya jika yang berkepentingan
memintanya.
Atau dengan perkataan lain pemerintah memberikan kemungkinan aksi atau
tuntutan hukum kepada yang bersangkutan, ialah hak untuk meminta pertolongan
hakim untuk mempertahankan hukum obyektif. Tetapi apakah ia mau
mempergunakan aksi tersebut atau tidak itu tergantung kepada dirinya sendiri.

21
Sikap ini berpangkal pada pikiran bahwa pada umumnya tiap-tiap orang dapat
menimbang apa yang terbaik bagi kepentingan dan tiap-tiap orang harus mengetahui
apakah ia menghendaki supaya kepentingan dipertahankan atau tidak. Atas dasar
uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

Hukum perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang obyeknya kepentingan-


kepentingan khusus dan apakah akan dipertahankan atau tidak diserahkan kepada
yang berkepentingan.
Hukum publik adalah peraturan-peraturan hukum yang obyeknya kepentingan
umum karena itu masalah mempertahankannya dilakukan oleh pemerintah.

Para pakar yang tidak dapat menerima adanya pembedaan antara hukum publik
dan hukum perdata antara lain :
a. Hans Kelsen: dengan alasan bahwa kepentingan yang dipelihara oleh hukum itu
selalu kepentingan perseorangan.
b. A. Thon: dalam bukunya Rechtsnorm und subjectives recht, menolak kriterium
kepentingan umum dan kepentingan khusus, ia mencari kreterium semata-mata
dalam cara bagaimana orang mempertahankan peraturan-peraturan hukum, ialah
dalam pertanyaan, apakah soal mempertahankannya itu dilakukan oleh
perseorangan atau oleh kekeuasaan umum.
c. M.A.G. Hantthoorn: dalam bukunya Het rechten zijn handhaving, menyatakan dari
siapa datangnya perlakuan paksaan, dari purusa-purusa khusus atau dari
pemerintah ?
22
Komentar Apeldorn, bahwa mereka melakukan apa yang mereka kemukakan
sebagai kriterium antara hukum publik dan hukum perdata, hanya suatu akibat dari
sifat yang berlainan antara keduanya. Atau dengan perkataan lain akibat bahwa
hukumpublik mengatur kepentingan umum dan hukum perdata mengatur kepentingan
pribadi.
Sifat hukum perdata sebagai pengatur kepentingan khusus, tidak berarti bahwa
pemerintah walaupun berdiri di atas purusa-purusa perdata dan kepentingan-
kepentingannya, dalam menjalankan kewajibannya tidak terikat pada hukum perdata
dan dapat mengesampingkan.
Pemerintah tidak akan terikat jika hukum perdata memperoleh kekuatan mengikat
semata-mata dari kehendak pemerintah. Hukum perdata tidak mengikat karena
pemerintah menghendakinya, melainkan karena hukum perdata adalah hukum.
Pemerintan terikat pada hukum, sedemikian rupa sehingga pemerintah tak dapat
membuat perintah yang mengikat, yang tidak bersandar pada hukum (azas negara
hukum).

Azas hukum mengandung keharusan adanya perbedaan hukum publik


dan hukum perdata. Hukum publik mengatur kekuasaan pemerintah untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan demikian maka
pemerintah dalam menjalankan kewajibannya hanya terikat pada hukum
perdata, sepanjang hukum publik tidak membebaskannya dari ikatan
tersebut.

23
Hukum perdata, mengatur dan melindungi milik privat/pribadi, sedangkan
hukum publik mengadakan sejumlah pengecualian atas peraturan hukum
perdata.
Misalnya dengan memungkinkan penyitaan untuk kepentingan umum
(onteigening wet 1851) mengadakan peraturan-peraturan untuk kepentingan
perumahan rakyat. Jadi hubungan antara hukum publik terhadap hukum
perdata adalah merupakan hubungan hukum khusus terhadap hukum umum,
apabila diperlukan oleh pemerintah untuk memelihara kepentingan umum
dengan sepatutnya.

Bahwa tidak mungkin dapat ditarik batas yang tajam antara


kepentingan umum dan kepentingan khusus. Tetapi hal ini tidak berarti
bahwa tidak dapat dipakai sebagai kriterium untuk mengadakan
perbedaan antara hukum publik dan hukum perdata. Demikian juga
dengan segala perbedaan yang dibuat dalam lapangan hukum
maupun dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya.
Bahwa kepentingan umum dan kepentingan khusus merupakan
pengertian/tanggapan yang samar-samar, adalah tidak benar. Bahkan
sebaliknya, kepentingan umum dan kepentingan khusus sebagai
pengertian, berhadapan satu sama lain secara tegas sebagai
kepentingan umum masyarakat dan kepentingan individu.

24
Jadi kita harus membedakannya, tetapi dalam pergaulan sehari-
hari tak ada pemisahan antara keduanya. Sebab manusia adalah
serempak individu dan anggota masyarakat atau makhluk sosial.
Walaupun demikian kita harus mengadakan perbedaan.
Perbedaan tersebut adalah demikian riilnya dan fundamental,
sehingga mereka sendiri menjadi sebab adanya hukum ditimbulkan
oleh keharusan untuk menetapkan batas antara apa yang dapat
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk sosial.
Perbedaan hukum publik dan hukum perdata dan serasi benar
dengan pembedaan tersebut terakhir. Pembedaan ini ialah tidak hanya
berlaku pada suatu waktu, melainkan merupakan dasar dari tiap-tiap
susunan hukum.

b. Pembagian Berdasarkan Daya Kerjanya


Berdasarkan daya kerjanya, hukum dibagi menjadi hukum yang memaksa
dan hukum yang mengatur. Hukum memaksa disebut juga memerintah atau
hukum yang mutlak, dimaksud peraturan-peraturan bagi orang-orang yang
berkepentingan tidak boleh menyimpang dengan jalan perjanjian.
Dan hukum ini mengikat tanpa syarat tidak peduli apakah para pihak yang
berkepentingan menghendakinya atau tidak, misalnya tentang syarat-syarat
dan segala sesuatu yang harus dipenuhi supaya dapat berkawin.

25
Pasal 27 Buku I KUHPerdata yang dirumuskan sebagai berikut : Dalam
waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu
orang perempuan sebagai isterinya.
Pasal 28 Azas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata
sepakat antar kedua calon suami isteri, dan sebagainya.
Hukum yang mengatur disebut juga hukum tambahan atau hukum
relatif atau hukum dispositif, dimaksudkan peraturan-peraturan yang tunduk
kepada peraturan yang dibuat dengan perjanjian oleh yang berkepentingan.

Hukum yang mengatur hanya hendak mengatur dan tidak mengikat


dengan tiada syarat. Hukum itu hanya mengikat jika dansepanjang para
pihak yang berkepentingan tidak menentukan peraturan yang lain
dengan perjanjian. Jadi hukum yang mengatur bermaksud mengisi
luangan-luangan dalam peraturan yang dibuat oleh para pihak.
Misalnya Pasal 119 KUH Perdata: tentang persatuan harta kekayaan
perkawinan.

26
Pasal 119 KUHPerdata ayat (1) : mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi
hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri,
sekedar mengenai itu dengan perjanjiankawin tidak diadakan ketentuan lain.
Pasal 120 KUHPerdata: Sekedar menganai laba-labanya, peraturan itu
meliputi harta kekayaan suami isteri, bergerak dan tak bergerak, baik yang
sekarang maupun yang kemdian, maupun pula, yang mereka peroleh dengan
Cuma-Cuma, kecuali dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang
menghibahkan dengan tegas menentukan sebaliknya.

Di antara perbedaan hukum yang memaksa dan yang mengatur pada satu
pihak dan hukum publik dan hukum perdata pada pihak lain terdapat
persamaannya.
Hukum publik biasanya hukum yang memaksa, karena hukum publik
mengatur kepentingan umum. Oleh karena itu biasanya tidak diperbolehkan
menyimpang untuk kepentingan subyek-subyek khusus. Memang terdapat juga
kekecualian tetapi jarang. Sebaliknya hukum perdata biasanya adalah hukum
yang mengatur, karena mengatur kepentingan perdata.

---------------- o0o -----------------

27
Pengantar
ILMU HUKUM

Oleh :
Dr. Budiyono, S.H., M.Hum

1
BAB VI
HAK-HAK SUBYEKTIF

Untuk memberikan hak subyektif perlu dimengerti tentang subyek-subyek atau


pususa-purusa dalam pengertian juridis.
Subyek hukum (Purusa) ialah segala sesuatu yang mempunyai kewenangan
hukum. Kewenangan hukum (Persoonlijkheid) ialah kecakapan untuk menjadi
pendukung-pendukung (subyek) hukum. Kewenangan hukum itu juga merupakan
sifat yang diberikan oleh hukum obyektif dan hanya boleh dimiliki oleh mereka
yang diberi oleh hukum. Pada dewasa ini kewenangan hukum diberikanolehhukum
obyektif kepada semua orang.

Pasal 2 KUH Perdata: Semua orang yang berada dalam wilayah negara
adalah bebas dan berhak untuk menikmati hak-hak kaula. Perbudakan dan lain-
lain pengabdian diri, yang bersifat apapun juga atau terkenal dengan nama apapun
juga tak diperbolehkan dalam kerajaan.
Pasal 1 KUH Perdata : Menikmati hak kewargaan tidaklah tergantung hak
kewargaan. Berbeda dengan hukum Kanonik, orang baru merupakan pusura
(subyek hukum) sesudah pembabtisan. Dahulu para budak tak mempunyai
kewenangan hukum. Demikian halnya para awanita tidak selamanya mempunyai
kewenangan hukum. Misalnya wanita setelah kawin apabila hendak melakukan
perbuatan hukum harus mendapatkan izin dari suaminya.

2
Pasal 4 KUH Perdata: “Tak ada hukuman yang menyebabkan kematian sipil
atau kehilangan seluruh ha-hal kaula”. Atau Pasal 3 KUH Perdata: “Tiada suatu
hukuman mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak
kewargaan”.
Dalam Pasal 6 Universale Verklaring van de rechten van de Mena berbunyi:
“Tiap-tiap orang dimana juga berada, berhak diakui sebagai purusa (subyek
hukum) oleh undang-undang”. Walaupun kewenangan hukum adalah suatu sifat
yang diberikan oleh hukum obyektif, tetapi kekuasaan riil hukum obyektif hanya
dapat diberikan kepada manusia, karena hanya manusialah yang hanya dapat
mempunyai hak-hak hukum.

Namun kini, ajaran hukum dan undang-undang mengakui adanya purusa atau
subyek hukum yang lain dari manusia. Untuk membedakannya manusia disebut
sebagai purusa kodrat natuurlijkepersonen, sedangkan lainnya disebut purusa
hukum atau badan hukum. Yang terakhir ini berarti bahwa sesuatu yang bukan
purusa atau dapat merupakan purusa diperlakukan seolah-olah adalahsesuatu
purusa..

Sekarang juga beberapa pakar menganjurkan adanya peraturan


perundang-undangan untuk hukum hewan, dengan hal itu kiranya tidak akan
lebih ganjil apabila undang-undang memberikan kewenangan juga pada suatu
harta (yayasan).

3
Tetapi kesadaran etis kita tidak dapat menerima bahwa hukum yang kita
pandang sebagai peraturan yang ditujukan kepada makhluk yang berakal
yang diberikan kepada hewan. Sekarang tujuan baik yang terkandung ialah
perlindungan hewan terhadap kesewenang-wenangan manusia pada hewan
dapat dicapai dengan cara lain, yang tak bertentangan dengan realita dan
kesadaran etis kita.

Misalnya dalam Pasal 254 W.v.S melarang menyakiti atau melukai


hewan dengan tiada tujuan yang patut, merugikan kesehatan atau tidak
memberi penghidupan yang patut …”.
Hal ini tidak bermaksud hendak memberikan hak akan perlindungan
raga dan kesehatan pada hewan, melainkan mengancam perbuatan-
perbuatan tersebut sebagai sesuatu pelanggaran perasaan susila
manusia.

Yang dimaksud dengan purusa hukum (Badan Hukum) ialah:


Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum
seolah-olah suatu purusa yang tunggal dan tiap-tiap harta dengan
tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang memiliki, tetapi dalam
pergaulan hukum diperlukan seolah ia sesuatu purusa ialah yang
disebut yayasan.

4
1. Persekutuan Manusia

a. Perhimpunan ialah persekutuan-persekutuan, yang hidupnya timbul dari


penggabungan diri secara sukarela dari purusa-purusa pribadi (purusa kodrat), jadi
yang didirikan oleh purusa pribadi yang berdasarkan pada perjanjian.
Walaupun demikian tidak semua perhimpunan merupakan purusa hukum
(badan hukum), melainkan hanya perhimpunan-perhimpunan yang bertindak
dalam pergaulan hukum seolah-olah adalah suatu purusa.
Menurut Undang-undang tanggal 22 April 1855. Stb No. 32, Pasal 5
menyatakan bahwa sesuatu perhimpunan memerlukan pengakuan oleh undang-
undang, jika didirikan untuk waktu yang tidak tertentu atau lebih lama dari 30
tahun. Atau pengakuan dengan Koninklijke Besluit, bila didirikan untuk waktu
kurang dari 30 tahun, agar dapat bertindak sebagai purusa hukum.

b. Perhimpunan-perhimpunan yang tidak didirikan oleh purusa-purusa khusus,


melainkan tumbuh secara historis, seperti negara, propinsi, kotapraja dan
sebagainya. Wet op de Bedrijfs organisatie.
c. Persekutuan-persekutan yang didirikan oleh kekuasaan umum seperti:
waterchappen, bedrijfschappen yang didirikan berdasarkan wet op de
Bedrijfs organisatie.

5
Persekutuan-persekutuan yuridis diperlukan seolah-olah suatu subyek hukum, telah
lama terdapat sebelum dikonstruksikan sebagai purusa hukum. Jadi kita harus
membedakan antara kenyataan – kenyataan dengan konstruksi yuridis. Atau dengan
perkataan lain adanya perbedaan antara kenyataan dengan teori yang disusun untuk
penjelasannya. Kenyataannya ialah bahwa dalam pergaulan hukum sejumlah manusia
seringkali bertindak bersama-sama dan diperlakukan seolah-olah adalah seorang
tunggal.
Hal ini dapat dilihat apabila salah seorang anggota persekutuan bertindak atas
nama persekutuan itu terhadap pihak ketiga, maka dari perbuatan itu tidak secara
langsung timbul hak atau kewajiban untuk anggota itu sendiri, juga tidak untuk anggota-
anggota lainnya secara pribadi, melainkan untuk orang-orang bersama yang termasuk
persekutuan (kesatuan persekutuan). Jadi persekutuan mempunyai harta benda,
kewajiban-kewajiban anggotanya masing-masing.

Pasal 1698 KUHPerdata : Anggota suatu badan susila tidak bertanggungjawab


masing-masing atas perjanjian yang dibuatnya, atau Pasal 1661 KUHPerdata: Para
anggota suatu perkumpulan tidaklah bertanggungjawab secara pribadi untuk
perikatan-perikatan perkumpulan.
Pasal 12 Undang-undang tanggal 22 April 1855 antara lain menyatakan bahwa
perhimpunan-perhimpunan yang tidak didirikan atau diakui sebagai purusa hukum
menurut undang-undang ini, tak dapatlah sebagai demikian melakukan perbuatan
perdata.

6
Persekutuan-persekutuan yang dibuat atas namanya, dan barang-barang yang
diperoleh atas namanya, terhadap negara dan terhadap pihak ketiga dianggap
sebagai mengikuti orang-orang yang mengadakan persetujuan-persetujuan itu dan
menerima barang-barang itu, walaupun orang-orang bertindak dalam persetujuan-
persetujuan dan tetel-titel, hanya ditunjuk sebagi kuasa atau mengurus dari
perhimpunan itu.

Pada dewasa ini kenyataan itu digambarkan sedemikian, seolah-olah


persekutuan itu betul-betul seorang purusa, suatu purusan hukum, suatu subyek
hukum yang bebas, yang diperbedakan dan dipisahkan dari orang-orang yang
sama-sama merupakan persekutuan.

Teori purusa hukum timbul sesudah penerimaan (receptei) hukum Romawi dan
atas pengaruh sarjana-sarjana hukum Romanistis dan Conontis, lambat lain berakar di
dalam negeri-negeri Germania. Corporatie digambarkan sebagai purusa akan tetapi
bukan purusa yang sungguh-sungguh ada melainkan suatu purusa fictie yang diciptakan
oleh hukum (personaficta).
Teori-teori ini berpengaruh hingga abad ke-19. Akan tetapi tidak semua orang
dapat menerimanya. Antara lain Hugo de Groot tidak dapat menerima teori fictie
tersebut. Ia tidak mengenal subyek hukum selain menusia. Ia mengatakan: “Tiap-tiap
benda adalah kepunyaan tiap-tiap orang, persekutuan manusia yang besar orang-orang
khusus atau tak ada orang yang memiliki”.

7
Kini teori fictie tersebut tak banyak lagi mempunyai pengikut. Purusa hukum
kini dipandang sebagai purusa yang riil, terpisah dan orang-orang yang merupakan
anggota persekutuan itu. Scholten menyatakan,
Bahwa badan hukum adalah suatu konstruksi, atau pengertian, bukan suatu
makhluk yang hidup. Walaupun demikian ia memandang purusa hukum
sebagai subyek hukum yang nyata, sesuatu subyek yang baru, yang
diperbedakan dari orang-orang yang bersama-sama yang merupakan
corporatie itu.

Demikian halnya yayasan (Stichting) adalah suatu harta yang mempunyai


tujuan yang tertentu, tetapi tanpa ada yang memilikinya. Adanya harta yang
demikian adalah suatu kenyataan, bahwa dalam pergaulan hukum diperlukan
seolah-olah suatu purusa.
Orang menghibahkan, menjual, mewariskan barang-barang pada suatu rumah
yatim piatu, rumah sakit, gereja dan sebagainya. Secara yuridis peristiwa tersebut
dikonstruksikan, bahwa harta yang demikian itu adalah suatu purusa ialah purusa
hukum. Jadi konstruksi yuridis ini juga kenyataan bahwa ada harta dengan tujuan
tertentu untuk mana tak dapat ditunjuk sesatu subyek tetapi dalam pergaulan
diperlakukan seolah-olah subyek hukum.

8
2. Pembagian Hak-hak Subyektif

Hak-hak subyektif dapat dibedakan menjadi hak mutlak (anpersoonlijksrecht)


dan hak erelatif (Persoonlijksrecht).

a. Hak mutlak atau Onpersoonlijk


Ialah hak-hak yang memuat kekuasaan untuk bertindak. Disebut
demikian karena hak ini dapat dilakukan terhadap tiap-tiap orang tidak
hanya terahdap seseorang tertentu saja. Dibalik kekuasaan seseorang
untuk bertindak itu, terdapat kewajiban tiap-tiap orang tidak melanggar
hak-hak tersebut.
b. Hak relatif (Persoonlijk)
Ialah hak-hak yang memuat kekuasaan untuk menuntut supaya orang
lain bertindak, artinya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Hak
relatif ini juga disebut persoonlijk (perseorangan), karena hanya
memperikan kekuasaan kepada seseorang tertentu saja.
Jelasnya: bahwa hak mutlak (onpersoonlijk) adalah berisi kekuasaan untuk
bertindak sendiri. Sedangkan hak relatif (persoonlijk) berisi
kewajiban pihak lain untuk tidak melanggar kekuasaan tersebut.

9
Yang termasuk hak-hak mutlak (opersoonlijk) ialah

1. Semua hak publik


Ialah segala hak subyektif yang berdasarkan hukum publik dalam arti
obyektif terutama apa yang disebut hak-hak dasar manusia, hak-hak sebagai
warga negara (hak-hak kaula) yang diuraikan dalam Undang-undang Dasar
suatu negara, yang memberikan kemerdekaan bertindak dalam pelbagai hal dan
yang membawa kewajiban tiap-tiap orang, termasuk badan-badan pemerintah
untuk tidak melanggarnya.
Misalnya hak menyatakan pikiran dan perasaan dengan perantraan pers,
hak mengajukan permohonan-permohonan tertulis kepada kekuasaan yang
berwenang, hak menganut pandangan-pandangan agama secara bebas dan
sebagainya. Bilamana hak-hak tersebut di atas dinyatakan sebagai hak-hak
dasar, hak-hak kemerdekaan manusia, maka hal itu merupakan sebutan yang
dari hukum kodrat rationalistis pada abad 18.
Pada abad 18 orang mengakui, bahwa terdapat hak-hak yang menurut
hukum kodrat seharusnya diberikan kepada tiap-tiap makhluk yang dilahirkan
sebagai manusia yaitu yang dinamakan hak-hak “pembawaan” atau “hak
kodrat” yang melekat erat-erat pada hakikat manusia yang merupakan hak-hak
manusia yang abadi, tetap dan tidak dapat dipindah tangan.

10
Tetapi pandangan hukum kodrat rasionalistis telah lama ditingalkan. Jadi yang
kini berlaku ialah bahwa hak-hak dasar sama halnya dengan hak-hak lainnya ialah
hanya dapat diperoleh berdasarkan hukum obyektif dan oleh karena itu dibatasi
bahkan dapat dibatalkan oleh hukum obyektif apabila hal itu dituntut oleh
kepentingan umum (masyarakat).

Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa kita menyangkal adanya azas-azas


nilai dan batiniah, yang juga harus dihormati oleh kekuasaan yang tertinggi dalam
suatu negara dan yang tidak dapat dilanggar dengan tiada menghilangkan dasar
susila pada kekuasaannya sendiri.
Hak publik ini meliputi pula hak-hak negara terhadap warga negaranya,
sepanjang hak-hak itu timbul dari hukum publik dalam arti obyektif, misalnya hukum
pidana, hak menarik pajak, hak memilih barang-barang orang dari kepentingan
umum (masyarakat) dengan syarat-syarat tertentu menghendaki dan seterusnya.

2. Sebagian dari hak-hak perdata ialah hak-hak yang berdasarkan pada hukum
perdata dalam arti obyektif yang meliputi:
a. Hak-hak kepribadian (persoonlijkheidsrechten)
Ialah hak-hak manusia atas dirinya sendiri yang terpenting antara lain: hak
manusia atas jiwanya, hak manusia atas raganya, atas kehormatannya dan
pelbagai hak dari pengarang sesuatu gubahan kesusasteraan, ilmu pengetahuan
dan kesenian misalnya hak untuk dinyatakan pencipta suatu pekerjaan.
11
b. Hak-hak Keluarga (familierechten)
Ialah hak-hak yang timbul karena hubungan keluarga terutama kekuasaan
suami atas isteri (marital, kekuasaan orang tua, perkawinan dan pengampuan). Hak-
hak kekuasaan ini tidak dimiliki orang untuk kepentingan sendiri, tetapi untuk
kepentingan orang-orang yang ditundukkan pada kekuasaan-kekuasaan tersebut.
Serta hak-hak tidak memberikan keuntungan berupa uang bagi yang berhak, dan
tidak mempunyai nilai uang serta tidak dapat dipindahtangankan.

b. Hak-hak Harta (vermogens rechten)


Ialah hak-hak yang mempunyai nilai uang: yang meliputi hak-hak kebendaan
(zakelijk rechten) dan hak-hak atas barang-barang tak berwujud.
1) Hak kebendaan (zakelijk rechten)
Ialah hak-hak harta benda yang memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu
benda. Kekuasaan langsung berarti terdapat sesuatu hubungan yang langsung
antara orang-orang yang berhak terhadap benda tersebut. Hak kebendaan ini
berbeda dengan hak-hak yang mana orang melakukan kekuasaan atas sesatu
benda berhadapan dengan orang lain, misalnya dalam hal sewa-menyewa, orang
yang menyewa mempunyai hak terhadap orang yang menyewakan, tidak
terhadap orang ketiga.

12
Benda dalam arti yuridis ialah sesuatu yang merupakan obyek hukum.
Hakikat benda (zaak) adalah sesuatu hakikat yang diberikan oleh hukum
obyektif. Walaupun demikian hukum obyektif tidak dapat memberikan hakikat
tersebut pada sesuatu yang tidak mungkin dapat dikuasai oleh menusia.
Misalnya matahari, bulan dan bintang tak akan pernah merupakan benda
dalam arti yuridis.
Menurut hukum Belanda (yang merupakan hukum sebagaian besar
berlaku di Indonesia) benda dibagi menjadi: benda berwujud (lichamelijke
zaken) ialah benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera, dan benda tak
berwujud (onlichamelijke zaken) ialah yang merupakan hak-hak subyektif.
Atau berdasarkan istilah Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku
Kedua Bab I bagian kedua Pasal 504 bahwa “tiap-tiap kebendaan adalah
bertubuh atau tak bertubuh”.

Hak kebendaan memberikan kekuasaan bermacam-macam sifatnya.


Kekuasaan tersebut dapat berupa pemakaian atau kenikmatan (gebruik of genot)
dari benda yang bersangkutan, sehingga sehubungan dengan sifat –sifatnya
sendiri, maka dipergunakan untuk memberikan nikmat kepada yang berhak.

13
Misalnya hak milik (eigendom) dalam Pasal 625 BW (Burgerlijke Wet boek) atau
dalam Pasal 570 KUHPerdata yang dirumuskan :
“Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan
leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan
sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum
yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain; kekuasaan itu dengan tidak mengurangi
kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepantingan umum berdasarkan atas
ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi”.

Karena hak milik tentang tanah sangat penting dan mempunyai sifat khusus, maka
juga diatur tersendiri dalam Pasal 571 KUHPerdata yang dirumuskan sebagai berikut :
Ayat 1 : “Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya, kemilikan atas
segala apa yang ada diatasnya dan di dalam tanah”
Ayat 2: “Di atas tanah bolehlah si pemilik mengusahakan segala tanaman dan
mendirikan setiap bangunan yang disukai, dengan tak mengurangi akan beberapa
pengecualian tersebut dalam bab keempat dan keenam buku ini”
Ayat 3: “Di bawah tanah bolehlah ia membauat dan mengali sesuka hati dan memiliki
segala hasil yang diperoleh karena penggalian itu, dengan tak mengurangi akan
perubahan-perubahan yang sekiranya harus diadakan berhubungan dengan perundang-
undangan dan peraturan pemerintah tentang pertambangan, pengambilan bara, sampah
terpendam dan sebagainya.
14
Hak numpang karang (recht van opstal) tercantum dalam Pasal 711 KUHPerdata
“Hak numpang karang adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung,
bangunan-bangunan dan penanaman di atas pekarangan orang lain”
Hak usaha (erfpacht) tercantum dalam Pasal 720 KUHPerdata “Hak usaha adalah
suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak
bergerak milik orang lain dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada
sipemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang maupun berupa
hasil atau pendapatan”

Perlu juga diketahui bahwa kekuasaan yang diberikan oleh hak-hak kebendaan,
selain mempunyai sifat yang bermacam-macam juga mempunyai pelbagai tingkat.
Kekuasaan yang terkuat dan terpenuh adalah hak milik (eigendom). Tetapi hak milikpun,
lebih-lebih hak milik barang tetap dibatasi oleh : hukum Obyektif, baik untuk kepentingan
purusa-purusa pribadi maupun untuk kepentingan umum dan hak-hak kebendaan
(personnalijke rechten) dan hak-hak orang lain.

Pembatasan-pembatasan tersebut misalnya suatu benda (tanah) dibebani


kerukunan pekarangan (erfdienstbaaheid) orang yang mempunyai pekarangan harus
memberikan orang lain melalui tanahnya yang disebut kerukunan pekarangan untuk
jalan orang. Misalnya lagi apabila suatu benda (tanah) dibebani hak usaha (erpacht).
Ciri khas hak milik tidak terletak dalam ketidak terbatasannya, melainkan dalam ketidak
ketentuannya.

15
Terhadap benda (zaak), orang yang mempunyai berhak untuk melakukan segala
tindakan, sepanjang kekuasaannya tidak dibatasi oleh hukum obyektif dan oleh hak
orang lain.
Dalam hal ini hukum yang berlaku di negara Belanda berlandaskan pendangan,
bahwa perlakuan kekuasaan individu dari orang yang memiliki tak lagi dibatasi, selain
untuk kepentingan masyarakat yang tak dapat dihindari, atau dengan perkataan lain
bahwa sebanyak mungkin orang baru dapat bebas berkuasa atas dan menarik
keuntungandari barang-barang meteriil, justru karena itulah maka orang
memperolehkeuntungan yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.
Itulah sebabnya juga bahwa hukum kita yang tercantum dalam Kitan Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Prdt) hanya mengakui sejumlah yang terbatas hak
kebendaan lainnya di samping hak milik.

Tiap-tiap hak atas sesuatu benda (zaak) seolah-olah mengurangi kekuasaan


orang yang memilikinya. Makin banyak terdapat hak-hak atas suatu benda, makin
banyak pula kekuasaan atas benda itu dirongrong dan karena itu akan menjadi
lumpuh. Hak-hak kebendaan lainnya, selain hak milik ialah hak gadai, hak hypotheek,
hak guna usaha, hak menikmati hasil, hak pengabdian pekarangan dan sebagainya.

16
2) Hak-hak atas barang-barang tak berwujud (rechten op immateriele goederen)
ialah hak-hak yang menganai hasil pikiran manusia; jadi sesuatu barang batin. Hak-
hak tersebut terdiri atas:
Hak cipta (auteursrecht) ialah hak mutlak dari pembuatan sesuatu pekerjaan
kesusasteraan, ilmu pengetahuan atau kesenian untuk diumumkan dan diperbanyak
dan hak aktroi (actrooirecht) ialah hak mutlak dari orang yang menemukan hasil
kepandaian atau cara bekerja yang baru, untuk dibawa dalam pergaulan guna
mencari hasil atau dijual.

3. Terjadinya dan Lenyapnya Hak-hak Obyektif

Fakta hukum
Telah dijelaskan di depan bahwa hukum subyektif ada, jika hukum obyektif
bertindak (bereaksi). Supaya hukum obyektif bergerak, supaya terjadi hukum
subyektif maka diperlukan terjadi suatu peristiwa atau fakta. Misalnya, peraturan yang
berbunyi: “pembeli wajib membayar harga pembelian”. Hal ini baru menimbulkan
sesuatu hukum subyektif/sesuatu kewajiban untuk membayar, bilamana benar-benar
diadakan sesuatu persetujuan jual beli.
Fakta tersebut tergantung pada terjadinya yang ditunjuk oleh hukum obyektif,
yang mana hukum obyektif itu mengakibatkan terjadinya atau lenyapnya hak-hak
subyektif akibat hukum lainnya yang disebut fakta hukum.

17
Fakta hukum dapat dibedakan fakta hukum lainnya dan perbuatan-perbuatan
manusia.
1) Fakta hukum yang bukan perbuatan manusia misalnya:
a) Kelahiran
Dengan adanya kelahiran, segera menimbulkan hak-hak, antara lain hak
anak terhadap orang tuanya untuk dipelihara dan dididik oleh mereka. Pasal 298
KUH Perdata ayat (1): “Tiap-tiap anak, dalam umur berapapun juga, berwajib
menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya”.
Ayat (2) :”Si bapak dan si ibu,keduanya wajib memelihara dan mendidik
terhadap anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk menjadi wali
tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan
dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka. Guna membiayai
pemeliharaan dan pendidikan itu. Terhadap anak-anak yang telah dewasa
berlakulah ketentuan-ketentuan tercantum dalam pembagian ketiga bab ini”

b) Kelahiran
Dengan matinya orang yang meninggalkan warisan, para ahli waris
memperoleh hak-haknya sepanjang ia tidak lenyap karena kematian si pewaris.
Pasal 833 ayat(1) KUHPerdata: “Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena
hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang
si yang meninggal”.
18
Pasal 838 KUHPerdata: “yang dianggap tak patut menjadi waris dan
karenanyapun dikecualikan dari pewarisan ialah :
(1) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh si yang meninggal;
(2) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah
telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal, ialah suatu
pengaduan telah melakukan sesuat kejahatan yang terancam dengan hukuman
penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat;
(3) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang
meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;
(4) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang
meninggal.

c) Berlangsungnya waktu
Hukum kita mengakui arti berlangsungnya waktu untuk memperoleh dan
lenyapnya hak dalam soal daluwarsa (verjaring). Daluwarsa (verjaring) dapat dibagi
dua macam yaitu sebagai berikut :
(1) Dalauwarsa Acquisitief, ialah daluwarsa sebagai alat untuk memperoleh hak
milik, atau sesuatu hak lainnya dengan syarat-syarat yang tertentu, disebabkan
berlangsungnya waktu yang tertentu.

19
Pasal 1963 KUH Perdata
Ayat (1): “Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasar suatu alasan hak yang sah,
memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau utang-piutang lain yang tidak
harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya, dengan daluwarsa, dengan
suatu penguasaan selama dua puluh tahun”.
Ayat (2): “Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun,
memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksakan untuk mempertunjukkan atas
haknya”

(2) Dalauwarsa Extinctief : ialah daluwarsa sebagai alat untuk dibebaskan dari suatu
kewajiban dengan syarat-syarat yang tertentu disebabkan berlangsungnya waktu yang
tertentu.
Pasal 1971 KUHPerdata
Ayat (1) :”Tuntutan-tuntutan tukang-tukang kayu, tukang-tukang batu dan lain-lain tukang
untuk pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah mereka”.
Ayat(2): “Pengusaha-pengusaha toko untuk pembayaran barang-barang yang telah
mereka serahkan, sekedar tuntutan-tuntutan ini mengenai pekerjaan-pekerjaan dan
penyerahan-penyarahan yang tidak untuk pekerjaannya si berhutang yang tetap,
semua itu berdaluwarsa denganlewatnya waktu lima tahun”

Soal daluwarsa juga memegang peranan dalam hukum pidana, baik hak dari
pemerintah untuk mengadakan tuntutan hukuman, maupun hak untuk melaksanakan
hukuman, lenyap disebabkan berlangsungnya waktu yang tertentu.
20
2) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia dapat dibagi seperti tersebut di bawah ini
a) Perbuatan hukum
Ialah perbuatan yang oleh hukum obyektif diikatkan pada terjadinya dan lenyapnya
sesuatu hak subyektif sebagai akibat perbuatan itu, karena hukum obyektif
menduga bahwa akibat yang demikian dikehendaki oleh orang yang berbuat.
Atau dengan perkataan lain tiap-tiap perbuatan hukum berdasarkan sesuatu
pernyataan kehendak yang dikuatkan oleh hukum obyektif.

Perbuatan hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu :


Perbuatan hukum sepihak ialah perbuatan-perbuatan yang cukup dengan
pernyataan kehendak dari satu orang saja yang berakibat hukum. Misalnya surat
wasiat ialah akte yang memuat pernyataan tentang apa yang dikehendaki oleh
seseorang, apa yang dilakukan sesudah ia mati (Pasal 875 KUHPerdata).
Penolakan dan penerimaan sesuatu warisan (Pasal 1094 dan Pasal 1103
KUHPerdata) Pasal 1057 KUHPerdata menolak warisan, penerimaan warisan
(Pasal 1047 KUHPerdata.

Perbuatan hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu :


Perbuatan hukum yang perpihak dua atau disebut juga perjanjian ialah
perbuatan hukum yang untuk itu diperlukan persesuaian pernyataan
kehendak dari dua orang atau lebih. Misalnya: tentang perkawinan dan surat-
surat perkawinan. Persetujuan pembatalan atau pembebasan perjanjian yang
mengakibatkan pembatalan sesuatu utang atau perjanjian. 21
b) Perbuatan – perbuatan lainnya
Dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :
(1) Perbuatan – perbuatan yang oleh hukum obyektif diikatkan sesuatu akibat,
bebas dari kehendak orang-orang yang berbuat, artinya tak peduli apakah
mereka menghendaki akibat tersebut atau tidak.
Contohnya zaakwaarneming: (perwakilan benda) artinya bahwa seseorang
secara sukarela dengan tiada memperoleh beban dari padanya untuk
memelihara kepentingan orang lain. Sebagai akibatnya undang-undang
mewajibkan untuk melanjutkan dan menyelesaikan pengamatan sampai saat
orang yang berkepentingan dimintai itu sanggup/mampu memenuhi sendiri.

(2) Perbuatan – perbuatan tanpa hak (Onrechtmatige handelingen). Pada


perbuatan-perbuatan ini hukum mengikatkan sesuatu akibat yang didak
diinginkan oleh orang yang berbuat, ialah untuk membayar kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan itu.
Pasal 1365 KUHPerdata :Tiap-tiap perbuatan tanpa hak, yang menyebabkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan mereka yang menimbulkan kerugian,
untuk membayar kerugian.

22
4. Hak dan Kekuasaan

a. Hak adalah kekuasaan


Undang-undang Dasar Negara belanda menyebutkan : “Hak-hak raja” dengan
nama “kekuasaan raja”. Demikian Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menyebutkan “hak-hak orang tua” terhadap anak-anaknya.
Perlu diketahui, bahwa tugas hukum ialah mengatur tata tertib dan
memberikan batas-batas kepada lingkungan-lingkungan kekuasaan perseorangan
dan golongan perseorangan agar supaya kepentingan-kepentingan mereka
yang bertentangan tidak mengakibatkan peperangan segala orang melawan
segala orang sehingga kekuasaan atau kemerdekaan tiap-tiap orang terancam
dengan kemusnahan, sebab walaupun orang bagaimana kuatnya, tetapi pada
suatu masa ia akan menemui seseorang yang lebih kuat dari padanya.

Tatanan tata tertib dan pembatasan tadi bermansuk juga menjaga


keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Dengan
demikian dapatlah dipersesuaikan kekuatan atau kemerdekaan yang satu dengan
kekuasaan atau kemerdekaan lainnya.
Tatanan tata tertib lingkungan-lingkungan kekuasaan perseorangan dan
golongan-golongan serta usaha mempertahankannya hanya dapat dilakukan oleh
kekuasaan yang lebih kuat dari kekuasaan segala individu atau segala golongan.
Kekuatan yang demikian inilah yang dinamakan hak yangdidalmnya terdapat seolah-
olah termasuk kekuatan-kekuatan fisik dan batin dari seluruh masyarakat.
23
Tetaplah kiranya apabila kekuasaan yang semacam itu kita sebut “alat bernafas
dari tiap-tiap masyarakat”. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa hak adalah
tidak lain daripada kekuasaan. Benar bahwa hak adalah kekuasaan, tetapi kekuasaan
tidak selalu merupakan hak. Contohnya: Pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya,
akan tetapi belum berarti pencuri tersebut berhak atas barang tersebut.

Kekuasaan dan hak saling berhadapan satu sama lain. Hal ini diperkuat oleh
Max Stimer (nama samaran dari John Smith) menguraikan ajaran-ajaran yang
biasa dipraktikkan oleh pencuri: “Sejumput kekuasaan lebih bermanfaat dari pada
sekarung hak”.

Biarpun demikian, masih ada yang menyangkal adanya perbedaan antara


kekuasaan dan hak (hukum). Menurut mereka hak tidak bersifat lain dari kekuasaan.
Hanya istilah hak daripada istilah kekuasaan. Antara lain Thrasymachus
menerangkan: “bahwa keadilan tak lain daripada apa yang berfaedah bagi orang
yang lebih kuat”.
Pada abad ke-19 ajaran bahwa hak tidak lain daripada kekuasaan. Lassalle
membela dalam pidatonya “Uber Verfassungswesen”. Dalam pidatonya bahwa
konstitusi sesatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis yang hanya
merupakan “secarik kertas” melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata
dalam suatu negara. Alat-alat kekuasaan yang terutama, yang bersifat menentukan di
antara segala alat kekuasaan.

24
Menurut Lassalle adalah tentara. Raja yang mempunyai kekuasaan memberi
perintah supaya tentara bergerak dan agar meriam-meriam dikeluarkan dari benteng,
raja dan meriam-meriam itulah merupakan bagian daripada konstitusi. Sebagian
konstitusi selanjutnya ialah kaum bansawan, bankir-bankir yang kaya, para penguasa
industri besar.
Karena mereka mempunyai pengaruh atas pemerintahan dan dengan demikian
dapat menggerakkan tentara dan meriam. Sebaliknya hanya sebagai kekecualian,
adalah hal-hal yang luas biasa yakni dalam revolusi, para pekerja dan orang kecil
merupakan bagian kecil dan konstitusi. Demikian pula seorang ahli huku negara dan
sosiolog.

Gumplowics, mengutarakan teorinya bahwa negara tak lain daripada “eine


Organisation der Herres Chaft einer minoritat Ubereine Majoritat”. Definisi ini menurut
Gumplowics cocok untuk negara. Hukum bersandar pada penaklukan yang lemah
oleh yang lebih kuat; hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang
kuat untuk mempertahankan kekuasannya.
Aliran positivistis yang kini masih dianut oleh banyak orang menyatakan bahwa
segala peraturan yang diberikan oleh kekuasaan negara, adalah hukum dan tidakada
hukum selain dari pada itu. Jadi menurut pandangan tersebut kepatuhan kepada
hukum tak lain dari tunduknya orang-orang yang lebih lemah kepada orang-orang
yang lebih kuat.

25
Berarti hukum adalah hak orang yang terkuat. Pandangan tersebut memuat
unsur-unsur kebenaran tetapi sedikit banyak sepihak. Pandangan tersebut memandang
kekuasaan terutama sebagai kekuasaan physik, kekuasaan menteriil, kekuasaan
lahir. Padahal dalam masyarakat terdapat pelbagai kekuasaan ialah : kekuasaan yang
baik dan kekuasaan yang jahat,
Kekuasaan physik (misalnya kekasaan tentara dan polisi), kekuasaan ekonomi
(misalnya kekuasaan modal kerja), kekuasaan batin dan susila (misalnya kekuasaan
kepribadian), kekuasaan agama dan Gereja, kekuasaan ilmu pengetahuan,kekuasaan
ada dan kebiasaan (kekuasaan yang dilakukan atas angota masyarakat oleh
pandangan – pandangan yang berlaku dalam masyarakat mengenai apa yang baik dan
buruk, patut dan tidakpatut, sopan dan tidak sopan).

Pandangan L.J. Van Apeldorn, hukum juga termasuk kekuasaan-kekuasaan


susila yang saling mempengaruhi antara kekuasaan-kekuasaan lain yang ada dalam
masyarakat. Menurut Van Apeldorn: kekuasaan physik, materiil bukanah anasir yang
hakiki dan essensial dari hukum, melainkan sesatu yang biasanya menjadi tambahan
hukum.
Tetapi sebaliknya kekuasaan susila merupakan anasir yang essensiil dari hukum
ialah kekuasaan yang diperoleh dari kaidah-kaidah hukum dari nilai yang diberikan
oleh masyarakat kepadanya dan berdasarkan itu biasanya kaidah-kaidah tersebut
dapat mengharapkan pentaatan dengan sukarela oleh anggota-anggota persekutuan
hukum.

26
Peratuan-peraturan yang dibentuk oleh kekuasaan yang merupakan kekuasaan
hukum adalah hukum, karena ia berkuasa atas suara hati orang-orang, jadi dapat
mengharapkan akan ditaati dengan sukarela.
Sebaliknya peratuan-peraturan yang dibentuk oleh seorang jagoan yang hanya
dapat memaksa penataan peraturan-peraturan tersebut dengan ancaman atau
dengan menggunakan alat-alat kekuasaan materiil, bukanlah hukum, karena
mengandung penindasan yang lemah oleh yang lebih kuat dan menciptakan sesatu
keadaan yang tidak dikehendaki oleh hukum.

Atau malahan antara huku dan kekerasan paksa saling bertentangan dan
kekerasan harus tunduk pada hukum. Inilah merupakan pikiran yang telah meresap
dalam bentuk undang-undang sejak dahulu kala. Salah satu undang-undang yang
tertua ialah masa raja Hammurabi dari kerajaan Babylonia kira-kira 200 tahun
Sebelum Masehi mengemukakan : Bahwa sebagai tujuan hukum ialah : yang kuat
tidak akan merugikan yang lemah.

Benar, terdapat gejala dalam sejarah hukum, bahwa hukum diciptakan oleh
kekuasan yang menurut hukum obyektif yang berlaku sebenarnya tidak berhak
untuk berbuat seperti itu.
Tetapi walaupun demikian peraturan-peraturan yang dibentuknya terlihat diakui
dan diikuti sebagai hukum, karena peraturan-peraturan tersebut pada umumnya
memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktik dan mengabdi kepentingan umum, oleh
karena itu dapat mengharapkan persetujuan secara diam-diam dari anggota-anggota
masyarakat persekutuan hukum.
27
Misalnya :
(1) Hukum Preatoris ialah merupakan hukum yang dimasukkan oleh preator
Romawi (yang tidak mempunyai bentuk undang-undang), untuk membantu
hukum yang ada, menambah dan memperbaiki untuk kepentingan umum,

(2) Hukum yang dibentuk oleh keputusan Hakim tertinggi (Hoge Raad)
Undang-undang Dasar Negara Belanda Pasal 172 ayat (1) menyebutkan,
bahwa kewajiban Hoge Raad adalah untuk menjaga anggota-anggota kekuasaan
kehakiman mentaati undang-undang, jadi menurut hukum Hoge Raad tidak
berhak membentuk hukum sendiri untuk mengisi luangan-liangan dalam undang-
undang, walaupun undang-undang itu menurut pandangannya memperlihatkan
kesalahan.
Tetapi walaupun Hoge Raad tidak berhak untuk melakukan hal itu, Hoge
Raad kerap kali menggunakan kekuasaan tersebut. Menurut kekuasaan halim di
negara Belanda, dengan bertindak demikian berarti berbakti pada kepentingan
umum, yang menuntut supaya hukum menyesuaikan diri pada kehidupan
masyarakat.
Karena rasa susila rakyat Belanda membenarkan tindakan Hoge Raad,
maka berarti kekuasaan Hoge Raad mematahkan hukum yang ada dan
menciptakan hukum baru.

28
(3) Terbentuknya tata tertib hukum baru oleh karena revolusi
Sebab dalam revolusi berarti mematahkan hukum dan menciptakan hukum
baru. Dalam revolusi dapat disertai atau tidak disertai alat kekuasaan-alat
kekuasaan materiil kekerasan.
Kekuasaan revolusi hanya menciptakan hukum, bilamana revolusi
bersandarkan pertimbangan susila dari suaatu bangsa serta apabila hukum yang
ada telah kehilangan sandarannya, sehingga hukum itu kehilangan sifat hukumnya
dan akhirnya dapat dikatakan kemenangan kekuasaan susila atau kekuasaan fisik.

Revolusi dapat dibenarkan apabila revolusi sungguh-sungguh berhasil dan


kekuasaan yang dapat bertahan diri itulah akhirnya menjadi hukum. Ajaran
Lassale Cs yang pada pokoknya menyatakan hukum sama dengan kekuasaan
dalam arti kekerasan, adalah benar-benar mengabaikan kekuasaansusila dari
hukum.

Walaupun memang benar kekuasaan dapat melahirkan hukum, tatapi tidak


kekal. Misalnya kekuasaan Napoleon tidak bertahan lama. Sama halnya
kekuasaan Hitler. Berbeda dengan kekuasaan hukum Romawi yang dapat
bertahan beberapa abad, karena dasarnya adalah kekuasaan batin dan
kekuasaan susila.

29
Walaupun kerajaan Romawi runtuh, namun kekuasaan susila tidak
ikit runtuh dan telah menjelma dalam kebudayaannya sampai kini masih
berpengaruh pada kita. Jadi walaupun telah lama lebih dari lima belas
abad sesudah bangsa Romawi kehilangan alat kekuasaan - alat
kekuasaan materiilnya, tetapi kekuasaan kebudayaannya masih tetap
menguasai duni antaralain kekuasaan hukum mereka.

Hal ini sejalan dengan pendapat Spinoza yang menyatakan:


“Kekuasaan yang bersifat menentukan, tidak terletak dalam hal dapat
mempergunakan meriam, tetapi terletak dalam kekuasaan terhadap suara
hati manusia”
Siapa yang mempunyai itu dapat pula memperoleh kekuasaan atas
meriam. Demikian pula Hume menyatakan: “Kekuasaan selalu terletak pada
orang-orang yang diperintah”.

30
Pengantar
ILMU HUKUM

Oleh :
Dr. Budiyono, S.H., M.Hum

1
BAB VII
SUMBER-SUMBER HUKUM

Perhatian sumber hukum dapat bermacam-macam tergantung dari sudut mana


meninjaunya. Titik berat pengertiannya akan tergantung dari siapa atau daari sudut
meninjaunya. Misalnya dari sudut filsafat akan berbeda dari sudut sejarah dan akan
berbeda pula tinjauan dari hukum dan sebagainya.
Berikut ini akan disajikan tinjauan pengertian sumber hulum dari sudut : Sejarah,
Sosiologi dan Antropologi budaya, filsafat, ekonomi dan dari sudut hukum.

1. Sumber hukum dari Sudut Sejarah

Bagi ahli sejarah menitikberatkan bagaimana perkembangan hukum


dalam sejarah. Untuk maksud ini ahli sejarah menggunakan dua jenis
sumber:
a. Undang-undang serta sistem-sistem hukum tertulis dari suatu masa,
misalnya pada abad ke-18, 19 yang mungkin oleh pembuat undang-
undang pada masa kini diperlukan untuk menetapkan undang-undang.
b. Selain tersebut di atas, ahli sejarah juga menggunakan dokumen-
dokumen, surat-surat dan keterangan-keterangan lain dari masa
lampau, misalnya abad 18, 19 yang memungkinkan ahli sejarah
mengetahui hukum yang berlaku pada masa tersebut,
2
Sejarah hukum mengatakan hukum tiada putusnya, hukum bersifat dinamis dan
kontinyu. Kedinamisan hukum terletak pada selalu berubah sesuai dengan
perubahan sosial. Tetapi walaupun berubah umumnya tidak sesuai dengan
perubahan politik, karena perubahan politik lebih cepat terjadi daripada perbuhan
segi-segi kemasyarakatan lainnya.
Untuk dapat memahami sungguh-sungguh mengenai hukum tidak cukup
mempelajari pasal-pasal dalam undang-undang saja, tetapi juga diperlukan
mempelajari sejarah terjadinya undang-undang yang bersangkutan, keadaan
masyarakat pada masa itu termasuk agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Hal ini dapat kita mengambil hikmah mempelajari sejarah yang dikemukakan
oleh seorang sarjana Inggris dalamilmu sejarah bernama Sir John Seeley
mengatakan : “maksud dan tujuan mempelajari sejarah adalah tidak lain agar supaya
kita bijaksana terlebih dahulu”.
Maka yang dimaksud oleh Sir John Seeley ialah bahwa semua kejadian di
dalam sejarah itu mengandung pelajaran-pelajaran, dan kita semua selalu bijaksana
setelah ada suatu peristiwa sejarah terjadi ituadalah logis dan terang.

Kita bukan keledai yang tertumbuk dua kali kepada tiang yang sama.
Tetapi justru untuk menjadi bijaksana lebih dahulu, sebelum sesuatu peristiwa
sejarah terjadi, (penggunaan ilmu sejarah oleh H. Roeslan Abdoelgani dalam
uraiannya pada penutupan Musyawarah Mahasiswa ke-1 IKIP Bandung
tanggal 19 Oktober 1963)

3
2. Sumber hukum ditinjau dari sudut Sosiologi dan Antropologi Budaya

Menurut ahli sosiologi dan ahli antropologi budaya yang menjadi sumber hukum
ialah faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan ekonomi,
pandangan agama, soal-soal phychologis pada masyarakat seruruhnya.
Faktor-faktor tersebut penyelidikannya memerlukan kerja sama dengan
pelbagai ilmu pengetahuan, misalnya ilmu ekonomi, ilmu sejarah, agama, dan
sebagainya.

3. Sumber hukum ditinjau dari Ilmu Filsafat

Menurut filsafat hukum, perkataan sumber hukum terutama dipakai dalam dua
pengertian : Sumber-sumber isi hukum dan sumber hukum untuk kekuatan
mengikat hukum. Hal ini berhubungan dengan pernyataan mengapa kita harus
mengikuti hukum ?

a. Sumber hukum isi hukum


Hal ini berhubungan dengan pernyataan apakah yang dipakai sebagai ukuran
untuk menguji bahwa hukum itu baik ?
1) Menurut pandangan hukum Theokratis sumber isi hukum adalah Tuhan.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan, bahwa karena pemerintah yang
menerapkan hukum, yang bertindak sebagai pengganti Tuhan di dunia.
4
2) Menurut teori hukum kodrat yang rasionalistis dari Hugo de Groot bahwa sumber
isi hukum adalah budi (rede)
3) Menurut aliran historis dalam ilmu pengetahuan hukum, pandangan yang lebih
modern muncul di Jerman, bahwa sumber isi hukum adalah kesadaran hukum
suatu bangsa, atau dengan perkataan lain ialah pandangan-pandangan yang hidup
dalam masyarakat menganai apa yang disebut hukum.
Pandangan – pandangan tersebut tumbuh atas pengaruh berbagai-bagai faktor-
faktor agama, ekonomi, politik dan sebagainya. Karena pandangan itu berubah-
ubah, maka hukumpun berubah juga. Konsekuensinya ialah bahwa tidaklah
terdapat ukuran yang berlaku obyektif untuk isi hukum, yakni yang dengan alasan
ilmiah dapat diterima oleh setiap orang.

b. Sebagai Sumber hukum untuk kekuatan mengikat hukum


Hak ini berhubungan dengan pertanyaan mengapa kita harus mengikuti hukum ?
Sebab-sebab kita taat pada hukum yairu sebagai berikut :
1) Menurut teori teokrasi (theocrattsche Theorien) Karena hukum adalah
kehendak Tuhan
Walaupun umumnya sudah jaman Renaissance orang mempertentangkan teori
yang terlepas dari pengaruh kepercayaan pada Ketuhanan, namun hingga kini
masih terdapat juga beberapa golongan yang mendasarkan kekuasaan hukum
atas kepercayaan pada Ketuhanan. Misalnya golongan yang beragama Islam,
Katolik, Kristen Protestan dan sebagainya.

5
2) Teori Perjanjian
Negara adalah suatu organisasi yang terbentuk karena sesuatu perjanjian
yang diadakan dengan sukarela antara orang dengan lainnya. Karena itu menurut
teori perjanjian hukum itu ditaati karena hukum itu adalah kemauan orang
seluruhnya, yang telah mereka sesahkan kepada suatu organaisasi yakni negara,
yang telah terlebih dahulu mereka bentuk dan mereka beri tugas membuat
hukum yang berlaku di masyarakat (mereka).
Atau dengan perkataan lain orang mentaati hukum, karena orang sudah
berjanji mentaatinya.

3) Teori Kedaulatan Negara (Theorie van de staatssouvereiniteit)


Menurut teori ini hukum ditaati karena negara yang menghendaki. Jadi hukum
adalah kehendak negara dan negara itu mempunyai kekuatan (macht, power) yang
tidak terbatas.
Menurut Han Kelsen dalam teorinya yang terkenal Reine Rechts Lehre dan
Stufentheorienya menyatakan bahwa orang taat pada hukum, karena orang
merasa wajib (keharusan, sollen) mentaati hukum sebagai suatu pemositipan
sesuatu Grundnorm yang telah diterima oleh masyarakat itu.

4) Teori Kedaulatan Hukum (Theorie van de recht ssouvereiniteit)


Teori yang dikemukakan oleh H. Krabe, maha guru dari Universitas Leiden
mengatakan “Orang taat pada hukum, karena itu ada sebab tiap-tiap orang
mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu, hanya kaidah yang
timbul dari perasaan hukum seseorang, mempunyai kekuatan (gezog)”.
6
Setelah mendapat kritik dari pelbagai pihak, maka H. Krabe mengubah teorinya
menjadi definisi baru yang dirumuskan : Hukum berasal dari perasaan hukum yang ada
pada sebagian besar dari anggota masyarakat. Teori kesadaran hukum orang dibela
oleh muridnya R. Kranenburg yang menyatakan bahwa sungguh-sungguh itu berfungsi
menurut suatu hukum (dalil) yang riil.

Hukum yang riil inilah yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang.
Perumusan Kranenburg ialah :”mengenai pembagian dasar-dasar keuntungan dan
kerugian, tiap-tiap anggota masyarakat hukum sederajat dan sama yaitu dalam hal :
seseorang tidak ada yang dahulu, melainkan setelah meletakkan dasar-dasar untuk
menimbulkan keuntungan istimewa atau kerugian istimewa.
Jadi tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-
dasar yang telah terlebih dahulu diletakkannya”. Teori ini dinamakan
ovendigheidspostulat (azas keseimbangan)

4. Sumber hukum ditinjau dari sudut Ekonomi

Bagi ahli ekonomi yang merupakan sumber hukum ialah apa yang tampak di
lapangan kehidupan ekonomi. Misalnya sebelum pemerintah membuatperaturan
dengan tujuan membatasi persaingan di lapangan dagang, maka ahli ekonomi
harus mengetahui apa yang dirasa pasti dan tidak yang tidak pasti mengenai
persaingan itu

7
Karl Marx mengemukakan benar-benar dan jelas tentang pentingnya
penghitungan ekonomi bagi pergaulan hukum, yang berarti bagi seluruh pergaulan
manusia. Dengan emikian maka turut sertanya pemerintah dalam penghitungan
ekonomi sebagai akibat dilaksanakannya policy dan program pemerintah sekarang,
maka makin lama makin perlu juga hukum dipelajari lebih intensif oleh para ahli
ekonomi.
Tetapi sebaliknya juga para ahli hukum perlu mengetahui lebih banyak persoalan-
persoalan ekonomi, supaya bersama-sama dengan ahli iekonomi dapat menentukan
tindakan-tindakan sebaik-baiknya dalam bidang ekonomi dan menciptakan suatu
hukum ekonomi yang sesuai dan bermanfaat bagi masyarakat.

Usaha ini bagi negara kita (Indonesia) pada dewasa ini antara lain oleh
Fakultas Hukum UNPAD telah dijalankan penelitian-penelitian mengenai
Hukum Ekonomi dan Pembangunan serta Hukum Ekonomi sosial dengan
maksud mengadakan inventarisasi darai peraturan-peraturan hukum yang erat
hubungannya dengan masalah ekonomi dan pembangunan di satu pihak, serta
hubungannya dengan segi-segi sosial dari perekonomian kita.

Oleh team peneliti yang diketuai oleh Sunaryati Hartono, mengelompokkan


peraturan-peraturan di bidang-bidang hukum seperti tersebut di bawah ini.

8
a. Hukum Ekonomi dan Pembangunan
yang meliputi:
1) Tanah
2) Bentuk-bentuk Usaha b. Hukum Ekonomi Sosial yang meliputi:
3) Penanaman Modal Asing 1) Obat-obatan
4) Kredit dan Bantuan Luar Negeri 2) Kesehatan dan Keluarga Berencana
5) Perkreditan dalam Negeri 3) Perumahan
(Perbankan) 4) Bencana Alam
6) Patent, Merk dan Transfer of 5) Transmigrasi
Knowledge
6) Pertanian
7) Asuransi
7) Bentuk-bentuk Perusahaan Rakyat
8) Impor – Ekspor
8) Bentuan dan Pendidikan Bagi
9) Pertambangan Pengusaha Kecil
10) Perburuhan 9) Perburuhan
11) Perumahan 10) Pendidikan
12) Pengangkutan 11) Penderita cacat
13) Perjanjian Internasional 12) Orang-orang miskin
13) Orang Tua dan Pensiunan.

9
Selanjutnya team Penelitian menyatakan bahwa dasar hukum dari hukum
Ekonomi Indonesia ditemukan setelah peraturan-peraturan di masing-masing bidang
penelitian disistematisasikan sebagai berikut :
a. Sejarah perkembangan hukum bidang yang bersangkutan di Indonesia
b. Filsafat Indonesia yang melatar-belakangi bidang hukum tersebut
c. Kebijaksanaan pemerintah di bidang itu
d. Pelaksanaan dari kebijaksanaan Pemerintah di bidang yang bersangkutan.

Dalam rangka analisis peraturan-peraturan hukum di bidang hukum ekonomi,


team peneliti Fakultas Hukum UNPAD telah menyimpulkan sebagai berikut :
a. Rencana-rencana Pembangunan Lima Tahun telah menjadi penyebab utama
timbulnya kaidah-kaidah hukum ekonomi Indonesia, kecuali di bidang Patent dan
Merk.
b. Kaidah-kaidah hukum yang baru ini untuk sebagian besar tidak lagi berpegangan
pada asas-asas hukum perdata maupun publik yang konvensional. Akan tetapi
dengan timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru timbul pula kaidah-kaidah baru
pranata-pranata baru, yang sulit sekali dipaksakan ke dalam sistem hukum
perdata maupun sistem hukum publik yang konvensional.

10
1) Kuasa Pertambangan, yang sekalipun bukan merupakan Zakelijk Recht dapat juga
dialihkan kepada orang lain, walaupun sebagai pengecualian dan atas dasar
kebijaksanaan.
2) Cara pembebasan tanah untuk keperluan perindustrian yang semula status
tanahnya adalah hak milik perseorangan, kemudian dengan pembayaran suatu
pungutan oleh yang berkepentingan dijadikan Tanah Negara untuk (dengan
pembayaran-pembayaran pungutan lagi) dirubah menjadi Hak Guna Bangunan,
yang haknya nota bene jauh berkurang daripada hak milik perseorangan semula
3) Persero, yang pada satu pihak (ke luar) dianggap sebagai Perseroan Terbatas
Swasta, akan tetapi di lain pihak (ke dalam) terikat pada kebijaksanaan
Peemrintah (dengan segala akibat yang menguntungkan maupun merugikan
perseroan terbatas), dan dengan pengawasan pemerintah dengan diangkatnya
Direktorat Jenderal Departeman yang bersangkutan sebagai komisaris persero
dan pegawai persero.
4) Sekarang telah dikenal surat-surat keputusan bersama menteri juga merupakan
hal yang baru yang tidak dikenal dalam hukum tata negara yang tradisional.

c. Di bidang hukum ekonomi perkembangan dalam 30 tahun tanpa disadari telah


mengarahkan hukum kita (Indonesia) menuju unifikasi hukum. Sekalipun unifikasi
itu masih jauh dari sempurna. Dalam rangka unifikasi hukum ini kiranya Undang-
undang Pokok Agraria memegang peranan yang penting.
Sejalan dengan unifikasi hukum itu perkembangan hukum kita telah merubah
corak dan sistem hukum yang lama (Pluralitis-Kolonialistis-Tradisionil) menjadi
sistem hukum yang benar-benar mulai didasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila
sebagai Grundnorm hukum Indonesia. 11
d. Karena perubahan yang terjadi, maka Ilmu Hukum dan Pendidikan Hukum di
Indonesia akan (harus) mengalami perubahan dan penyempurnaan yang cukup
fundamental pula, menjadi sistem hukum dan pendidikan hukum yang benar-
benara nasional.

e. Hukum Ekonomi Indonesia mempunyai dua aspek yaitu :


1) Hukum Ekonomi Pembangunan, yang menyangkut pengaturan dan pemikiran
hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan
ekonomi Indonesia secara nasional.
2) Hukum Ekonomi Sosial, yang menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum
mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional itu secara
adil dan merata, sesuai dengan martabat kemanusiaan (hak-hak asasi manusia)
menusia Indonesia.

Itulah hal-hal perubahan dalam bidang yang menyangkut sumber-sumber hukum


yang menyangkut ekonomi Indonesia pada dewasa ini

5. Sumber Hukum Menurut Anggapan Sarjana Hukum


Bahwa penilaian tentang suatu kaidah, (kaidah yang hendak memperoleh
kualifikasi kaidah hukum), dibuat dalam perasaan (keyakinan) individu atau terdapat
dalam pendapat umum (public opinion) atau pendapat kolektif, yang menjadi
resultante, perasaan-perasaan yang sama individu-individu (feiten) yang timbul dalam
pergaulan kemasyarakatan yang dapat mempengaruhi dan menentukan sikap
manusia.
12
Penghargaan itu bersifat menentukan petunjuk-petunjuk hidup apa dan mana
yang akan diterima dan harus diberi perlindungan sepenuh-penuhnya oleh
pemerintah. Penghargaan penilaian itu juga isi dari petunjuk hidup tersebut. Sumber-
sumber yang menentukan isi kaidah hukum (dalam hal yang konkrit adalah
tindakan manusia yang sesaui dengan apa yang dianggap seharusnya) yang disebut
sumber hukum materiil.

Akan tetapi sumber hukum materiil ini sebelum berlaku umum di masyarakat
(yaitu sebelum ditaati juga oleh mereka yang tidak secara sukarela menerimanya),
maka penghargaan yuridis tentang suatu peristiwa sosial tertentu harus diberi bentuk
(form) tertentu lebih dahulu. Sebelum mendapat suatu bentuk tertentu, maka
penghargaan/penilaian yuridis tersebut hanya merupakan “Suatu bayangan dalam
perasaan hukum atau pikiran orang saja”.
Jadi bentuklah yang memungkinkan suatu kaidah menjadi berlaku umum dan
ditaati juga oleh mereka yang menentangnya. Bentuk itulah yang memungkinkan
pemerintah mempertahankan kaidah tersebut menjadi suatu kaidah huku. Bentuk
itulah yang disebut sumber hukum formil.

Sarjana hukum praktis biasanya hanya memandang sumber hukum formil,


bilamana perlu, baru ia mau memperhatikan asal-usul hukum itu. Atau dengan kata
lain barulah ia memperhatikan sumber hukum materiil, yaitu perasaan hukum
seseorang atau pendapat orang banyak.

13
Bilamana ia memperhatikan asal-usul hukum itu (sumber materiil) maka ia
memasuki ke dalam lapangan ilmu sosial lainnya: Sosiologi dan Antropologi Budaya,
Filsafat, Ekonomi, Sejarah dan sebagainya.
Dari apa yang disebut di atas ternyata bahwa perlu sekali orang mengunakan
hasil penyelidikan ilmu-ilmu sosial yang lain, agar ia dapat menjadi sarjana hukum
yang sempurna. Memang benar pada hakikatnya ilmu-ilmu pengetahuan itu tidak
dapat dipisah-pisahkan satu sama lain dan saling membantu dan membutuhkan satu
sama lain.
Kita juga harus tidak boleh lupa bahwa sebagian dari sumber hukum materiil
(dengan tidak melihat bentuknya) menjadi kehendak suatu ruling class yang
menguasai masyarakat di waktu tertentu.

Telah dikemukakan beberapa kali pada bab yang lalu bahwa masyarakat selalu
berubah sesuai dengan perubahan perkembangan berpikir anggota masyarakat yang
bersangkutan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh dalam
uraiannya dalam Hukum Pidana yang berjudul “Belajar berpikir secara lain dari
pada yang selama ini dilakukan”.
Disimpulkan “Betapa pentingnya ilmu hukum pidana ini dikaitkan kepada
perubahan-perubahan masyarakat atau yang dilaksanakan oleh seorang ahli dengan
suatu sikap yang dijiwai oleh suatu kehendak untuk memandang dan berkeyakinan
bahwa dunia ini selalu menjadi lebih baik.

14
Dalam hubungan antara pembentuk undang-undang dan undang-undang di satu
pihak, dengan hakim dan petugas-petugas penegak hukum lainnya di lain pihak, kita
melihat bahwa di satu pihak pembentuk undang-undang tidak akan pernah mampu
menyiapkan dan mendugakan lebih dahulu mengenai kejadian-kejadian di hari yang
akan datang, apabila memperhitungkan dengan sempurna hal-hal seperti demikian itu,
sehingga betapapun undang-undang itu sempurnanya selanjutnya masih harus
dikerjakan oleh yang menerapkan undang-undang tersebut.

Artinya masih harus diperluas dan juga dilengkapi. Sebaliknya mereka yang
menerapkan undang-undang haruslah terikat kepada asas-asas dan perimbangan-
perimbangan kepentingan yang oleh undang-undang telah diberi suatu bentuk positif.
Jika demikian hanya pada pembentukan undang-undang dan penegak hukum,
maka pengemban ilmu pengetahuan hukum pidana juga harus mengambil sikap
demikian. Di satu pihak haruslah diemban sikap-sikap demikian. Di satu pihak
haruslah diemban tanggapan-tangapan sistematis dan normatif, sedangkan di lain
pihak harus diikuti jauh jadi penemuan-penemuan normatif sistematif yang bersifat
memola itu.

Pengemban-pengemban ilmu hukum pidana justru akan berusaha


memperebutkan keduanya itu dengan jalan mengadakan modifikasi-modifikasi
penyempurnaan dan jika perlu pemikiran-pemikiran baru atas teori-teori hukum
pidananya sehingga dapat disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat.
15
Pemikiran-pemikian seperti inilah seyogyanya harus menguasai pandangan-
pandangan dewasa ini baik mengenai penemuan hukum (bagi mkereka yang
menerapkan dan menegakkan hukum itu) dikaitkan kepada perubahan-perubahan
kehidupan masyarakat, maupun penciptaan dan pemikiran-pemikiran teori hukum baru
(bagi mereka sebagai pengemban ilmu hukum pidana).
Dengan pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran demikianlah baru
akanada suatu pertumbuhan hukum yang sifatnya dinamis, dalam batas-batas
kerangka perundang-undangan dan pertumbuhan seperti demikian itu membuat tidak
akan dapat dihindarinya bahwa dalam hukum pidana dan terutama praktik hukum
pidana di samping pertimbangan-pertimbangan ethis, pertimbangan-pertimbangan
politis, ekonomis dan sosial sifatnya serta mendapatkan tempat secara terang-
terangan.

Semua akan ditarik dari tempatnya yang sekarang ini atau sebelumnya,
yaitu sebagai suatu kenyataan dan kumpulan pengalaman di daerah
pembatasan dan ilmu hukum. Ke arah inilah kita harus bekerja di dalam
menyusun teori-teori hukum pidana dan jug adalam kerja sama dengan
bidang-bidang lainnya terutama ilmu-ilmu kemasyarakatan.
Jadi sumber hukum menurut Sarjana Hukum ada dua yaitu sebagai
berikut :
a. Sumber Huikum Materiil = Sumber hukum dilihat dari isinya
b. Sumber Hukum Folmil = Sumber hukum dilihat dari bentuknya

16
Menurut Van Apeldorn sumber hukum dalam arti formal ada tiga ialah :
a. undang-undang
b. Kebiasaan
c. Traktat
Di samping itu van Apeldorn menyebutkan faktor-faktor yang
membantu pembentukan hukum ialah :
a. Perjanjian
b. Peradilan
c. Ajaran hukum.

Menurut E Utrech, dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum


Indonesia menyebutkan sumber hukum dalam arti formil:
a. undang-undang
b. Kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan dari yang
berkuasa dalam masyarakat
c. Traktat
d. Yurisprudensi
e. Pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrin)
f. agama

17
Menurut Van Kan dan J.H. Beekhuis dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
menyebutkan sumber-sumber hukum ialah :
1) undang-undang (traktat dapat dimasukkan dalam undang-undang
2) Kebiasaan yang hidup
3) Hukum yang timbul dari persesuaian paham antar yang bersangkutan
4) Keputusan-keputusan hakim
5) Ilmu hukum (pendapat para sarjana hukum) hanya ikut membantu dalam
pembentukan hukum.

Undang-undang
Pengertian undang-undang biasanya dibagi menjadi dua, undang-undang
dalam arti materiil dan undang-undang dalam arti formil
1) Undang-undang dalam arti materiil ialah sesuatu keputusan pemerintah
disebut undang-undang karena dilihat isinya. Dengan perkataan lain tiap-tiap
keputusan pemerintah yang menetapkan peraturan-peraturan yang mengikat
secara umum.
Hoge Raad dalam putusannya tanggal 19 Jubi 1919 dalam pertimbangannya
memberi arti perkataan undang-undang dipakai dalam Pasal 99 R.O. “ialah
peraturan-peraturan umum yang ditujukan pada tiap-tiap orang yang berasal
dari instansi pemerintah yang memperoleh kekuasaan membentuk undang-
undang

18
Menurut Paul Laband, ahli hukum Jerman memberikan pengertian
undang-undang dalam arti meteriil ialah penetapan kaidah hukum dengan
tegas, sehingga kaidah hukum itu menurut sifatnya, sehingga kaidah hukum
itu menurut sifatnya menjadi pengikat.
Menurut Paul Lanband diperlukan dua anasir supaya sesuatu menjadi
undang-undang dalam arti materiil yaitu sebagai berikut :
1) Anasir yang disebut “Anordnung” ialah peraturan kaidah hukum dengan
tegas (penerapan resmi sesuatu lkaidah hukum, sehingga mengikat)
2) Anasir yang didebut “Rechtssats”, ialah peraturan (kaidah) hukum itu
sendiri

“Anordnung” dan “Rechtssats”, keduanya bersama-sama disebut


“Gesetzinkalt” ialah isi undang-undang. Isi undang-undang ini ditetapkan
oleh Presiden (Raja) bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen).
Rechtssats yang tanpa Anordnung masih merupakan bayangan
semata-mata tentang hukum di dalam perasaan hukum itu. Agar supaya isi
undang-undang berlaku di wilayah negara pada umumnya, terlebih dahulu
harus dilengkapi dengan suatu perintah undang-undang (Geesetzbehl)

19
Menurut Paul Laband hanyalah perbuatan perintah Undang-undang merupakan apa
yang disebut perbatan penetapan undang-undang sedang penetapanisi undang-undang
bukan perbuatan penetapan undang-undang (pengatut ajaran logisme sempit).
Menurut Buya, undang-undang dalam arti materiil ialah tiap keputusan pemerintah
(para penguasa, overheid) yang menurut isinya mengikat masing-masing penduduk
sesuatu daerah, dapat diberi nama undang-undang (dalam arti materiil). Misalnya:
peraturan pemerintah, peraturan pemerinah daerah tingak I dan daerah tingkat II.

1) Undang-undang dalam arti formil


Menurut L.J. Van Apeldorn
undang-undang dalam arti formil ialah keputusan pemerintah memperoleh
nama undang-undang karena bentuknya, dalam mana undang-undang itu
timbul. Tiap-tiap keputusan yang ditetapkan Raja/Dewan Perwakilan Rakyat /
Staten Generaal.

R. Utrecht:
undang-undang dalamarti formil ialah tiap keputusan pemerintah yang
merupakan undang-undang, karena dilihat dari cara terjadinya. Biasanya
undang-undang bersifat formil sekaligus bersifat materiil yaitu baik
dipandang bentuknya/cara terjadinya maupun karena mengikat tiap
penduduk sesuatu daerah: Misalnya undang-undang pemilihan umum,
Sebaliknya terhadap undang-undang dalam arti materiil; misalnya undang-
undang naturalisasi kewarganegaraan/seorang asing.
20
Secara materiil hirarchi undang-undang sebagai berikut :
1. UUD (Undang-Undang Dasar)
2. Undang-undang, termasuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Daerah
Yang menjadi dasar hirarchi tersebut di atas ialah azas bahwa yang kedudukannya
lebih rendah daripada kedudukan suatu peraturan lain, tidak boleh bertentangan
dengan peraturan lain itu

Apa sebenarnya Undang-undang Dasar ?


Undang-undang Dasar (konstitusi pada hakikatnya adalah suatu undang-
undang, yaitu sesuatu undang-undang yang derajatnya (dalam arti meteriil)
lebih tinggi dari pada derajat suatu undang-undang biasa.

Perbedaan antara Undang-Undang Dasar dan Undang-undang biasa ialah


sebagai berikut :
a. Undang-undang Dasar dibentuk menurut suatu cara yang istimewa; caranya
berlainan dengan cara pembentukan undang-undang biasa. Pembukaan
Undang-undang nasional yang harus ada itu dilakukan oleh suatu badan
kenegaraan yang istimewa bersama-sama dengan pemerintah (MPR
menurut UUD 1945, konstituante menurut UUDS 1950)

21
b. Karena antara lain dibuat secara istimewa itu, maka Undang-undang Dasar
dapat dikatakan sesuatu yang luhur, ditinjau dari satu politis, dapat dikatakan
bahwa Undang-undang Dasar adalah lebih tinggi. Undang-undang Dasar
adalah menjadi piagam yang menyatukan cita-cita bangsa, jadi dengan
demikian menjadi suatu “Frame work of the Nation”
c. Undang-undang Dasar memuat dalam garis besar dasar dan tujuan negara
apa yang ditetapkan dalam UUD untuk selanjutnya akan diselenggarakan
dengan Undang-undang.
Undang-undang yang dilaksanakan konstitusi ini dinamakan undang-undang
organik. Dengan perkataan lain suatu peraturan organik adalah suatu
peraturan yang untuk selanjutnya menyelenggarakan dasar-dasar yang
tercantum dalam dan yang menjadi tujuan suatu peraturan yang derajatnya
lebih tinggi.

22
23
24
25
Pengantar
ILMU HUKUM

Oleh :
Dr. Budiyono, S.H., M.Hum

1
BAB VIII
SIFAT ILMU HUKUM (YURISPRIDENCE)

1. Pengantar

Penulis tentang ilmu hukum berada dalam kedudukan yang menguntungkan


sekaligus tidak menguntungkan yang sanggup memberikan batasan-barasan pokok
persoalan dengan kebebasan yang agak lebih dari yang terdapat pada ajaran-ajaran
hukum lainnya. Pertentagan-pertentangan yang tajam timbul mengenai sifat dan
luasnya.
Ini tentu saja menimbulkan satu kesibukan, yang merupakan perlombaan yang
picik, yang berdampak merugikan, karena pertentangan menelan banyak tenaga,
yang seharusna dapat dipergunakan dalam mengejar pokok persoalan itu sendiri.

Ilmu hukum yang modern sangat memperhatikan lapangan-lapangan dari


ilmu-ilmu pengetahuan kemasyarakatan dan filsafat. Ilmu hukum masuk ke
dalam sejarah yang silam dan mencoba menciptakan satu kesegaran dari
kekacauan yang tumbuh subur dari sistem-sistem hukum yang bertentangan.
Luas lapangannya, yang meliputi banyak bacaan-bacaan dan ditulis dalam
bermacam bahasa, menyebabkan ilmu hukum merupakan suatu pokok yang
sulit untuk dikuasai dan mengandung bahaya.

2
Kalau dipelajari berlebih-lebih, mungkin dapat mengetahui masalah-masalah,
yang harus dihadapi, karena terlampau banyak tulisan-tulisan mengandung bahan-
bahan yang begitu kaya tentang pengetahuan mengenai masa yang silam dan
zaman sekarang, sehingga dapat membosankan, dan kurang dimengerti, kecuali
yang sama cerdasnya dengan penulis.
Tambah lagi, walaupun buku itu ditulis dalam bahasa yang biasa, kita kadang-
kadang cenderung untuk mengulangi celaan lama, bahwa bahasa diajarkan kepada
kita untuk menyembunyikan fikiran-fikiran kita.

Adalah benar, bahwa sukar untuk setiap sistem ilmu pengetahuan


mempergunakan istilah-istilah sehari-hari, karena kalau arti yang samar-samar yang
diberikan oleh manusia pada umumnya kepada istilah itu tidak diberikan arti yang
tepat, maka lazimnya terjadi kekacauan. Tidak mudah untuk memelihara satu neraca
pemakaian kata-kata biasa dalam arti yang tidak biasa/asing, maka akan
mendapatkan istilah yang membingungkan pembaca.
Misalnya seorang penulis mungkin mempergunakan istilah sehari-hari seperti
posseion (milik) semata-mata diberi muatan menurut pengertian sendiri, pasti akan
mendatangkan kekacauan kepada semua pembaca termasuk yang paling tajam;
sedangkan yang lain mendapatkan semacam alat teknik, sehingga perlu mengadakan
kamus.
Sebagaimana dalam politik modernisme adalah berlebih-lebihan. Beberapa
kesulitan tentang istilah-istilah seperti istilah law (hukum) mempunyai arti yang banyak.

3
Anehnya kesukaran ahli-ahli hukum adalah memelihara cita-cita (idea) yang
sudah usang dalam bahasa yang bagus dan sukar. Walaupun terdapat kesulitan-
kesulitan mengenai hal pokok, namun masalah-masalah ilmu hukum dapat
dijelmakan dalam bahasa yang boleh dikatakan sederhana, tentu saja perlu diakui
terdapat perbedaan pendapat terhadap pemecahan masalah yang sebenarnya.

Yurisprudence kadang-kadang dipergunakan semata-mata sebagai satu


synonim (kata pengganti) yang menyesatkan untuk law (hukum) kalau kita berbicara
tentang medical jurisprudence (hukum kesehatan). Ini bukanlah pemakaian istilah
yurisprudensi yang dimaksudkan dalam buku ini.
Yurisprudence adalah satu metode dari pelajaran yang istimewa, bukan dari satu
negara, tetapi dari cita-cita umum dari hukum sendiri. Hoplland menyatakan sebagai
ilmu pengetahuan formal dari hukum positif, hukum yang maujud.

Menurut Allen sebagai gabungan ilmu pengetahuan dari asas-asas pokok


hukum. Walau demikian mungkin adapat disifatkan sebagai pelajaran yang
mengenai hukum (law), walaupun istilah law kelihatannya mudah bagi orang-
orang yang bukan ahli, analisis menunjukkan, bahwa banyak macam pemakaian
dari kata ini.
Oleh sebab itu salah satu tugas utama ilmu hukum adalah mencoba
menerangkan tentang sifat hukum. Penyelidikan yang pertama kelihatannya cara
yang sangat logis ialah mentafsirkan law (hukum) kemudian membicarakan
lapangan ilmu hukum
4
Tetapi terdapat macam-macam cara untuk mendekatinya dan masing-masing aliran
ilmu hukum cenderung untuk menyusun pensifatannya sendiri-sendiri. Jadi, kalau kita
hanya mengambil suatu persoalan untuk tujuan-tujuan penjelasan, maka hukum
mempunyai dua macam aspek :
Ia adalah satu tubuh yang abstrak dari peraturan-peraturan dan huga satu mesin
kemasyarakatan untuk menjamin ketertiban dalam hidup bersama. Cara mendekati
sebaliknya ialah mengakuinya, bahwa kedua segi dari hukum ini harus diperhatikan.
Tetapi beberapa aliran melatakan titik berat yang berlebih-lebih pada segi yang pertama
(sifat), yang lain pada segi yang kedua (lapangan).
Jelasnya, satu ilmu hukum yang hanya memperhatikan peraturan-peraturan teoritis
dari buku-buku akan jauh berbeda dengan suatu yang mencoba mempelajari hukum
dalam keadaan bergerak. Oleh sebab itu satu pembahasan yang singkas dari aliran-
aliran ilmu hukum kelihatannya adalah jalan yang seterang-terangnya untuk mendekati
masalah ini.

Untuk meliputi pengetahuan dari banyak abad tidaklah mungkin, tetapi itu
juga tidakperlu kalau masalah-masalah tetap sama, sungguhpun jawaban-
jawabannya mungkin berlainan.
Dalam bab mengenai hukum alam kodrat akan dibicarakan aspek-asoek
tertentu dari sejarah dan ilmu hukum, sekarang kita akan memusatkan perhatian
kepada masalah sebagaimana kelihatannya sekarang.

5
2. Aliran Ilmu Hukum

Adalah biasa memisahkan ahli-ahli hukum dalam pelbagai aliran. Pembagian


yang demikian itu berguna selama ia terbatas pada persoalan mengemukakan secara
luas beberapa cara mendekati masalah itu yang paling baik,tetapi juga jelas, bahwa
banyak penulis akan menghindari diri dari ketentuan-ketentuan perbedaan yang paling
luas sekalipun yang diterima.
Kalau kita mengadakan pembagian yang terlalu kompleks, ia mengalahkan
obyeknya sendiri, karenanya tujuan dan pembagian adalah kejelasan, dan kalau
terlampau tajam sampai pada soal-soal kecil disebutkan, maka itu hanya akan
membawa kepada kekacauan. Mereka yang menginginkan pembahasan yang lebih
sempurna dianjurkan supaya mempelajari buku dari Dean Roscoe Pound
“Interpratation oaf Legal Hostory”

Sekarang pertentangan yang besar adalah mengenai batas-batas ilmu hukum


dan metode-metode yang dipergunakan.
Poincare berkata bahwa “hampir setiap thesis sosiologi mengemukakan satu
metode baru, tetapi penulisannya dengan sangat hati-hati tidak menetapkannya,
sehinga sosiologi adalah ilmu pengetahuan dengan jumlah metode yang paling
banyak,dan hasil-hasil yang paling sedikit”.

6
Celaan sama barangkali dilemparkan pula pada ilmu yang modern. Kalau kita dapat
memberikan sifat umum pada pertentangan itu dengan selalu mengingat, bahwa
keringkasan ataupun kecakapan selalu ada bahayanya, maka pembiaran yang sekarang
sedang berlangsung ialah antara ilmu hukum modern, ilmu hukum yang bertugas
(fungsional) atau sosiologis dari ilmu hukum yang teleologis.

Beberapa aliran memusatkan perhatiannya kepada teori yang abstrak, hukum


dangan keinginan untuk mendapatkan unsur-unsur dari suatu ilmu pengetahuan
yang murni, yang akan menempatkan ilmu hukum pada dasar yang pasti dari
faktor-faktor obyektif, yang merupakan kebenaran umum. Tidak ada dasar, yang
merubah keinginan seseorang dari pendangan-pandangan kesusilaan yang khusus
atau yang sosiologi.

Ahli hukum yang fundamental mengemukakan, bahwa bagaimanapun juga


faedah ilmu pengetahuan hukum murni yang demikian itu, semenjak Raison de’etre
hukum yang benar mengadakan jawaban terhadap masalah-masalah sosial.
Beberapa pengetahuan masalah ini diperlukan, walaupun kita hanya ingin memahami
sifat dari hukum.
Kita dapat menyelidiki apa yang dikerjakannya. Aliran Teleologis menekankan,
bahwa kumpulan kejadian-kejadian kehidupan sosial semata-mata adalah tidak
berguna.

7
Hukum adalah hasil dari akal manusia dan berhubungan erat dengan cita-cita
tujuan, oleh sebab itu aliran ini bertanya apakah yang merupakan tujuan tertinggi
yang harus diikuti oleh hukum ?
Acapkali bentuk ilmu hukum yang demikian ini diterangkan sebagai bersifat
kefilsafatan. Kelsen membangun ilmu pengetahuan hukum murni dan Von Savigni
teori sejarahnya atas dasar kefilsafatan.

Oleh sebab itu ia melepaskan kekacauan, kalau kita menerima nama yang
lain. Namun ia tidak menemukan hasil pekerjaan dari ahli filsafat dalam satu aliran
saja. Aliran-aliran ini lebih merupakan pembantu daripada penentang terhadap
desakan yang dogmatis (bersifat kepercayaan). Menurut penulis-penulis tertentu,
bahwa ada satu yang hanya satu jalan menunju kebenaran untuk menambah
pengetahuan kenyataan ini.
Dalam bagian-bagian yang berikut kita akan meninjau langkah darialiran-aliran
dimaksud. Tetapi untuk memahami kemajuan-kemajuan teori dalam sejarah perlu
untuk merubah cara bertindak yang murni logis. Tulisan-tulisan dari Bentham
memberikan titik permulaan yang menyenangkan.

3. Bentham (1748 – 1832)

Penghargaan yang penuh tidak selalu diberikan kepada J. Bentham sebagai


penegak dari aliran analistis Inggris. Bentham mempergunakan hampir seluruh
kehidupann untuk menulis.

8
Tetapi ia tidak begitu menyukai pengumuman dari salah satu hasil tangganya yang
paling penting tentang ilmu hukum dan hasil-hasil karya dimaksud baru diumumkan
dalam tahun 1945. karya Bentham “The limits of jurisprudence defenes” ditulis dalam
tahun 1782, diketemukan oleh Everet di Universitas College, London, ditelaah dan
kemudian diumumkan.
Tulisan ini menunjukkan betapa besarnya hutang budi Austin kepada Bentham dan
menegaskan bahwa Bentham tidak hanya seorang penuis mengenai tujuan hukum,
tetapi seorang analis, yang suka memperhatikan alat-alat sistem hukum.

Segi-segi yang banyak dari kegiatan Bentham dapat diketahui kalau membaca buah
penanya, Jeremy Bentham and The Law: Keinginannya akan pembaharuan didasarkan
pada ajran faedah, kesukaan-kesukaannya pada kondisifikasi didasarkan pada
kebenciannya terhadap Judge Madel Law (Hukum Hakim), memberikan pada
pekerjaannya satu pengertian yang bersifat panggilan.
Tindakannya terhadap kedaulatan sesuai dengan Austin: Penafsirannya tentang
hukum cukup luas untuk menangkap perundang-undangan bawahan dan peraturan-
peraturan tata usaha; analisanya tentang hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sudah
mendasar dan pernah dianggap hasil pendangan pada abad keduapuluh.

Bentham adalah seorang realis yang mempunyai peranan, dan tidak sabar
terhadap kesenian berpidato (rethoric) dengan mana Black stone dan penulis-
penulis abad ke 18 lainnya mengacaukan masalah tentang sifat hukum.

9
Bentham sangat mencela tuntutan-tuntutan hukum alam kodrat. Tetapi ia mempunyai
penggilannya sendiri, yaitu faedah (Utility) dan ia ingin menguji srtiap hukum untuk
melihat apakahia menuju kepada kekegembiraan yang terbesar dari jumlah yang
terbanyak. Ia mencoba menyelidiki dengan tajam membangun rencana-rencana dan
dalam sistem hukum supaya keburukan-keburukan yang sudah lama dihilangkan supaya
tiap-tiap hak harus dibenarkan oleh faedah.
Bentham menganalisa istilah-istilah hukum seperti kekuasaan, hak, larangan,
kewajiban, milik serta kemerdekaan dan ia mencoba menunjukkan apakah artinya dalam
dunia praktik. Tulisannya bermaksud memberikan pengantar yang mutlak bagi satu
kodifikasi sipil.

Austin mengambil dari Bentham alat analisa-analisa yang keduanya


berlangsung baik, tetapi Austin memandangnya sebagai keluar dari suasana ilmu
hukum yang sebenarnya. Akhirnya kedua segi dari tulisan Bentham masing-
masing menciptakan aliran yang terpisah-pisah. Analis yang murni suka
memperhatikan hukum saja dan penulis yang teleologis memperhatikan tujuan-
tujuan, yang harus dicapai oleh hukum. Adalah satu kekeliruan bagi ilmu hukum
Inggris, karena tulisan Bentham tidak diambil dalamkeseluruhannya.

Analisa-analisa dihalangi dengan tidak ada pandangan yang tajam dari politik
sosial. Suatu penyelidikan dari hukum obyektif tidak ada gunanya, kecuali kalau
didasarkan pada pengertian yang analistis dari hukum yang ada, tetapi dalam abad
ke 19 pengaruh ajaran Bentham dalam kejadian-kejadian dunia yang praktis, dan
kecenderungan untuk mengakuinya dalam teori ilmu hukum.

10
4. John Austin dan Aliran Imperatif

Dalam tahun 1832 John Austin sesudah mengikuti kuliah-kuliah di Universitas


of London, mengumumkan satu tulisan yang dinamakan The Province of
Jurisprudence Determined dan ditetapkannya dengan kekatan analisanya yang
benar. Sesudah ia meninggal, ia menjadi lebih terkenal, ia menjadi penegak apa
yang secara populer dinamakan Analitical School.
Nama ini agak menyesatkan, karena ia mengemukakan bahwa analisa-
analisanya semata-mata milik aliran ini, yang sebenarnya sebagai metode yang
universal ilmu hukum, oleh sebab itu Allen lebih suka menyebutnya Imperative
School, karena ini menekankan konsepsi Austin yang khusus tentang hukum.
Austin dalam beberapa hal ia adalah pelopor ilmu pengetahuan hukum yang murni,
karena ia menarik batas-batas ilmu hukum agak sempit.

Austin bukanlah tidak memperhatikan kesulitan peranan yang dijalankan


dalam kemajuan hukum; bahkan ia mengikuti banyak kuliah teori tentang faedah.
Tetapi karena ia berpendapat, maka Austin memutuskan untuk membantu ilmu
hukum sampai pada studi tentang hukum sebagainana adanya dan membiarkan
studi tentang bentuk-bentuk yang dicita-citakan hukum kepada “ilmu
pengetahuan tentang perundang-undangan” atau ilmu hukum filsofis, sebagai
kita seharusna namakan sekarang

11
Pengikut-pengikut Austin pun lebih keras dari gurunya dalam membatasi ilmu
hukum pada satu analisa peraturan yang mempunyai kekuatan. Kita akan
membicarakan pandangan-pandangan Austin dalam tiga pokok: 1) Dasar ilmu
hukum, 2) Metode ilmu hukum, 3) Hubungan hukum dan kesusilaan

a. Dasar Ilmu Hukum


Pembahasan Austin yang luas tentang hukum hendaklah dipandang sebagai
perintah dari souvereign (kekuasaan tertinggi). Hukum positif adalah peraturan
umum tingkah laku yang diletakkan oleh kekuasaan politik tertinggi kepada bawahan.
Cita-cita tentang perintah menuntut harus ada satu orang tertentu untuk mengeluarkan
perintah itu dan harus ada ancaman hukum kalau perintah itu tidak ditaati.
Tujuan Austin ialah untuk memisahkan secara tajam antara hukum positif dengan
peraturan-peraturan sosial seperti peraturan-peraturan kebiasaan dan kesusilaan
(morality).

Titik berat yang diletakkan pada perintah mencapai tujuan, karena peraturan-
peraturan menganai etika tidak diberikan oleh satu orang tertentu. Ilmu hukum
adalah ilmu pengetahuan umum tentang hukum positif dalam arti yang tajam
sebagaimana disifatkan oleh Austin.
Tetapi kalau hukum tiap-tiap negara didasarkan atas peraturan-peraturan dari
seseorang yang souvereign dalam negara itu, lalu apa dasar ilmu hukum itu ?
Kalau tiap-tiap souvereign dapat memerintahkan apa yang dikehandakinya,
apakah tidakakan terdapat perbedaan yang sangat besar di antara sistem-sistem
hukum ?
12
Apakah ada suatu unsur kesamaan atas nama satu pengetahuan umum dapat
dijadikan sebagai dasar ? Kalau kita mengambil sistem-sistem hukum dunia, yaitu dari
Tiongkok sampai Peru, kita akan menemukan pertentangan yang terbesar baik isi
peraturan-peraturan maupun pembagian hukum, dan bahasa teknis yang digunakan.
Oleh sebab itu apakah tidak seharusnya ilmu hukum dibatasi pada studi tentang
suatu sistem khusus, sehingga akan didapatkan ilmu hukum Inggris, ilmu hukum
Perancis, ilmu hukum Belanda, ilmu hukum Amerika dan sebagainya.

Austin kelihatannya tidak mempersoalkan masalah tersebut. Ia menerima


dengan tidak mengadakan suatu penyelidikan yang nyata, bahwa azas-azas
tertentu, cita-cita, dan perbedaan-perbedaan adalah biasa dalam semua sistem –
sistem hukum. Beberapa cita-cita adalah umum, karena tidak mungkin bersama-
sama membangun satu sistem hukum dengan mempergunakan, misalnya istilah-
istilah kewajiban, ketidakadilan, hukuman dan perbaikan.

Beberapa azas adalah sama untuk semua sistem-sistem hukum yang


sudah dibersihkan dan sudah matang, karena sistem itu tergantung pada azas-
azas umum faedah, yang diterima oleh negara-negara modern. Andaikata
dikemukakan, bahwa bangsa-bangsa zaman purbakala acapkali menerima
pandangan-pandangan yang bertentangan dengan yang diterima seakrang,
Austin tidak ragu-ragu dalam membatasi ilmu hukum pada sistem-sistem yang
lebih maju.

13
Analisis menunjukkan, bahwa dasar teori Austin adalah kurang kuat, karena :
Pertama : Adalah jelas, bahwa tidak ada peraturan-peraturan hukum yang universal
(sangat umum). Pada saat kita telah melepaskan diri dari beberapa azas, kita
berkata dengan ucapan yang legal: “itulah akhirnya satu unsur yang tidak
mutlak dari semua hukum”.
Beberapa penyidik-penyidik yang sabar tentang sistem-sistem hukum dari
Houyhnhums dalam kabut kepurbakalaan akan mendapatkan satu bagian
(fragment) dari batu atau tanah liat yang akan mengganggu semua keputusan-
keputusan kita.
Kedua : Hanya ada sedikit pengertian-pengertian yang sama untuk semua sistem-
sistem hukum, dan kalau kita membatasi analisa kita sampai kepada apa yang
menurut pikiran kita adalah umum (universal), kita menghadapi dua bahaya:

a. Kalau penyelidikan selanjutnya menunjukkan, bahwa tidak ada pengertian-


pengertian yang sama untuk semua sistem, maka tidak ada dasar sama sekali
untuk ilmu hukum.
b. Walaupun terbukti ada beberapa cita-cita adalah universal, ia merupakan dasar
yang agak sempit untuk ilmu pengetahuan umum. Banyak dari apa yang dianggap
oleh orang-orang Romawi adalah umum, sekarang dipandang sebagai satu
kejadian semata-mata dari keadaan khusus, dalam mana hukum Romawi
berkembang.

14
Dalam abad ke- 19 penulis-penulis acapkali menurunkan (decuctie) azas-azas hukum
universal yang tertentu, tetapi pandangan abad ke duapuluh menunjukkan, bahwa azas-
azas ini tidaklah umum tetapi hanya didasarkan pada kebutuhan ekonomi kapitalistis, yang
masih meletakan titik berat pada laissezfaire.
Peraturan-peraturan tentang milik, yang dalam tahun 1850 dianggap sebagai satu
axioma, sekarang tidak dipergunakan diRusia. Maka oleh sebab itulah diucapkan
kesangsian-kesangsian apakah mungkin menyusun suatu dasar untuk ilmu hkum yang
tidak akan dikesampingkan oleh perubahan-perubahan dalam keadaan-keadaan ekonomi
dan sosial.

Pemecahan masalah ini ialah bahwa walaupun hanya sedikit (kalau ada)
peraturan-peraturan hukum yang universal, tetapi akan ada juga azas-azas universal
dari ilmu hukum. Penerimaan-penerimaan ilmu hukum tidaklah sukar dalam semua
masyarakat, yang telah mencapai satu tingkat kemajuan tertentu, timbul satu
peralatan sosial, yang kita namakan hukum. Ilmu hukum terutama tidak
memperhatikan penyusunan ketentuan-ketentuan yang sama, juga tidak hendak
mendapatkan peraturan-peraturan yang diterima oleh semua bangsa-bangsa.

Tugas ilmu hukum ialah mempelajari sifat hukum, kemajuan dan hubungannya
dengan masyarakat. Dalam tiap-tiap masyarakat terdapat suatu gerak timbal balik antara
peraturan-peraturan yang abstrak dengan kehidupan masyarakat. Walaupun tidak dapat
dikemukakan unsur yang dama dalam sistem-sistem hukum akan tetapi masih
mempunyai tugas menyelidiki hubungan antara hukum kehidupan masyarakat.

15
Hukum adalah suatu perkembangan sosial untuk menundukan perselisihan-
perselisihan, menjamin dan mengatur kelanjutan hidup masyarakat. Untuk mencapai
tujuan ini masing-masing sistem harus memajukan satu metode tertentu dan satu alat
dengan satu kata-kata teknis serta pengertian-pengertian. Tekanan kebutuhan-
kebutuhan sosial yang harus diterima oleh hukum akan berbeda pada bangsa yang satu
dengan yang lain.
Tetapi ilmu hukum lebih mempelajari metode-metode dengan mana masalah-
masalah ini dapat dipecahkan daripada pemecahan-pemecahan yang khusus. Ilmu
hukum didasarkan atas percobaan, oleh karena itu mendapatkan azas-azas hukum
yang umum, dan membangun satu ilmu pengetahuan yang hendak menerangkan
hubungan antara hukum, pengertian-pengertian, dan kehidupan masyarakat.

Austin tidak menganalisa masalah ini secara tejam, karena baik dia maupun
pengikutnya salah berfikir bahwa apa yang sama pada bangsa tertentu dalam abad
ke-19, merupakan satu unsur yang universal dari semua sistem-sistem yang matang.
Munculnya di Soviet Rusia dengan sistem hukumnya yang didasarkan pada
filsafat kemasyarakatan yang mencela kapitalisme melepaskan kita dari kesalahan
mendatang bahwa apa yang sesuai untuk satu perekonomian khusus adalah satu
peraturan umum, ilmu hukum harus meluaskan lapangannya, karena kalau ilmu
hukum hanya berhubungan dengan peraturan-peraturan hukum yang universal saja,
ilmu hukum akan kekurangan bahan.

16
b. Metode Ilmu Hukum
Austin percaya, bahwa alat yang pokok ilmu hukum adalah analisa. Kekuasaan
hukum sebagai perintah dari souvereign (kekuasaan tertinggi) memberi jalan kearah
pemusatan sistem. Sistem yang matang (atau kadang-kadang dinamakan beradab),
karena seorang souvereign dengan alat-alatnya yang kuat dapat mempertahankan
hukum (hanya terdapat ada) apabila negara sudah mencapai tingkat kemajuan yang
cukup tinggi.
Tetapi sekarang makin diakui bahwa walauppun analisa adalah berfaedah, tetapi
tidak mencukupi untuk menjawab semua masalah-masalah ilmu hukum. Satu analisa
dari peraturan-peraturan yang statis lebih merupakan satu badan organis azas-azas
dengan kekuatan berkembang yang tidak dapat dipisahkan.
Hukum ayan ada, yang oleh beberapa pengikut Austin sangat dibanggakan, tidak
dapat begitu tajam dipisahkan dari hukum yang seharusnya ada, padahal hakim selalu
mempedomani hukum positif, peraturan yang seharusnya ada. Dari mana hakim
mengambil bahannya?

Beberapa orang dari aliran imperatif kelihatannya secara diam-diam menerima,


bahwa semua masalah-masalah hukum dapat dijawab dengan jalan menganalisa
peraturan-peraturan yang ada apa yang disebut metode deduktif. Aliran imperatif
merupakan pandangan yang terlalu sempit.
Karena azas-azas hukum kebiasaan tidak turun dari langit seluruhnya dan
berkembang sepenuhnya; juga kita tidak dapat berharap bahwa masa penciptaan
sudah lampau.
17
Positivisme yang berlebihan merupakan kenyataan, bahwa hukum tidaklah
berkembang atas dasar akal saja, tetapi juga berangsur-angsur membentuk peraturan-
peraturan baru sehingga sesuai dengan ukuran-ukuran sekarang.
Tidak dapat dikembalikan, bahwa kebenaran-kebenaran pokok yang demikian itu
dirasa di luar pengertian aliran imperatif. Keburukan-keburukan yang tetap ada dalam
ilmu hukum ialah menilai pandangan-pandangan lawan hanya menunjukkan kebodohan
mereka dan sebaliknya betapa cerdasnya penulis-penulis yang bersangkutan.
Apa yang ditegaskan disini hanyalah ingin menyatakan bahwa sistem analisis, yang
didasarkan pada ajaran Austin tidak cukup sebagai unsur untuk membangun ilmu
hukum dan cenderung memperbesar sifat yang statis dari peraturan-peraturan hukum.
Dipandangnya dapat memecahkan semua masalah-masalah hukum dengan jalan
deduktif dari peraturan-peraturan yang nyata dari hukum Inggris, dapat ditambah
dengan pinjaman dengan hati-hati dari ahli-ahli hukum Romawi

c. Hubungan Hukum dan Kesusilaan


Austin membedakan ilmu hukum (Jurisprudence) yaitu ilmu pengetahuan hukum
yang ada (dengan tidak melihat kebaikan atau keburukannya) dengan ilmu
pengetahuan tentang perundang-undangan yang didasarkan pada azas faedah.
Banyak pengikutnya mencela ajaran yang terakhir dan membanggakan bahwa mereka
mempelajari kenyataan-kenyataan dan tidak melayang dalam awan spekulasi. Ketika
Austin menulis ilmu hukum itu perlu dibatasi ruang lingkupnya karena pada waktu
terdapat kekacauan yang merajalela.

18
Tetapi sekarang kita dapat melihat bahwa penganut yang paling setiapun terhadap
analytical school, tidak berhasil memisahkan hukum yang ada dengan unsur-unsur yang
ideal (yang dicita-citakan). Seorang analis tidak mendapatkan azas-azasnya dan
klasifikasi dalam keadaan yang sudah sempurna, melainkan sudah mengadakan
penyelidikan yang lama dan cermat, tetapi suatu gambaran cita-cita dari hukum Inggris
dan Romawi.
Dengan tidak disadari oleh para analis melatakan sebagai tujuan yang tingi yaitu
hukum merupakan satu cita-cita harmoni (kesesuaian) atas dasar akal. Hukum yang
diperlakukan sebagai suatu sistem yang bergantung satu sama lain didasarkan pada
azas-azas yang tertentu dari mana peraturan-peraturan khusus dapat diturunkan. Tenatu
saja tidak ada sistem hukum yang sepenuhnya berdiri sendiri.

Tetapi suatu peraturan yang tidak dapat disesuaikan kedalam kerangka analisis dari
suatu kejadian sejarah atau penyimpangan akal, yang segera akan lenyap. Kekuatan di
dalam merupakan satu sifat yang diinginkan dalam sistem hukum, karena kalau hukum
berhubungan satu sama lain atas dasar akal, hukum lebih mudah dimengerti, diterapkan,
dan diluaskan dari peraturan-peraturan khusus.
Tetapi golongan analis menerima bahwa hukum berdiri sendiri atas dasar akal adalah
tujuan tunggal dari hukum. Ini tidak ditulis dalam begitu banyak kata, tetapi
ketidakbenarannya akan menjadi jelas. Tetapi penerimaan yang terselip didalamnya pada
aliran analisis mendasarkan pekerjaannya. Jelas bahwa hukum itu ada/tidak untuk
kepentingannya. Hukum itu karena banyak peraturan yang teoritis adalah menyimpang,
didasarkan pada pandangan-pandangan yang sehat politik umum.

19
Hukum Inggris yang tidak adil akan lebih konsekuen, kalau tanggungjawab tidak
timbul dalam keadaan tidak ada kesalahan, tetapi alasan-alasan keadilan yang kuat
membawa hukum kearah menciptakan instansi-instansi yang bertanggung jawab. Salah
satu kebaikan yang terbesar ahli hukum Romawi ialah bahwa ia tidak suka memaksakan
satu azas kepada pikirannya yang ekstrim, kalau hal ini hanya akan menghasilkan
ketidakadilan.

Jadi kritik atas Analytical School meletakkan titik berat pada dua kebenaran yang
kuat untuk ilmu hukum.
1) Hukum yang ada tidaklah berdiri sebagai satu badan dari peraturan-peraturan yang
diukur secara sempurna dan diturunkan dari beberapa azas yang pokok. Tekanan
sosial dari jaman yang silam membawa kepada penyimpangan yang dapat
diterima. Oleh sebab itu setiap usaha untuk menyesuaikan peraturan-peraturan
atas dasar yang logis dan mudah berkembang menjadi satu pelajaran, tidak dari
hukum yang ada, tetapi dari hukum yang seharusnya ada, kalau akal yang akan
menguasainya.
Tidak diketemukan, bahwa salah untuk mencoba membuat peraturan-peraturan
yang harmonis mungkin atas dasar akal. Semua yang ditegaskan ialah, bahwa
aliran analisis, di samping membangakan ia hanya memperhatikan kenyataan-
kenyataan saja, menyusun satu cita-cita dari logika self-consistenney (berdiri sendiri
atas dasar akal) dengan alat ia memajukan hukum.

20
2) Sangatlah sulit untuk setiap aliran penentang penyusunan satu cita-cita, yang dapat
dijadikan dasar untuk kritik membangun hukum. Aliran analistis membanggakan,
bahwa mereka hanya mempersoalkan hukum yang senyata ada, tetapi dengan
tidak disadari oleh cita-cita mereka, itu sebenarnya merupakan kekuatan yang
mendorong pekerjaan mereka.

5. Ilmu Pengatahuan Hukum yang Murni

Hampir satu abad kurun waktu yang memisahkan tulisan Hans Kelsen dengan
tulisan Austin. Kalau Austin didorong untuk menciptakan ilmu hukum yang kaku (rigid)
oleh karena kekacauan yang terdapat pada penulisan-penulisan sebelumnya. Tulisan
Hans Kelsen menunjukkan suatu reaksi terhadap aliran-aliran modern, yang telah begitu
jauh meluas sampai batas ilmu-ilmu pengetahuan kemasyarakatan.
Kalau Austin dengan tidak sadar merumuskan satu dilsafat yang luas, sedangkan
Hans Kelsen umum diakui membangun atas dasar ajaran Kant. Banyak ahli-ahli filsafat
menegaskan bahwa ilmu hukum harus mempelajari hubungan antara hukum dan
keadilan. Tetapi ajaran Kelsen tampanya hendak membahas “hukum dari kabut
metaphysis yang meliputinya sepanjang masa dengan spekulasi-spekulasi atau dengan
ajaran dari ius nature”.
Jadi Kelsen adalah seorang filosof yang berontak terhadap kecenderungan-
kecenderungan filosof yang lain kearah filsafat, akhirnya banyak berpengaruh. Kelsen
ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum yang murni, terlepas dari semua bahan
yang diperlukan dan memisahkan ilmu hukum dari ilmu-ilmu pengetahuan sosial.

21
Ahli ilmu pasti tidak memperhatikan cara bagaimana orang berpikir, baginya tidak
lengsung menjadi masalah apakah tulisannya dipergunakan untuk membangun satu
jembatan atau untuk mengolah satu sistem baru untuk memecah Bank Monte Carlo.
Begitu pula ahli hukum, kalau ia berilmu, harus mempelajari peraturan-peraturan hukum
terlepas dari semua keadaan-keadaan sosial.
Kelsen menolak untuk mensifatkan hukum sebagai suatu perintah, karena itu
menimbulkan pertimbangan-pertimbangan yang subyektif dan politis dan ia
menghendaki pengetahuannya benar-benar obyektif.

Pertama, Kelsen hendak memisahkan lapangtan ilmu hukum dari lapangan ilmu
pengetahuan alam kodrat. Yang terakhir berhubungan dengan sebab akibat; misalnya
Newton mencoba merumuskan satu asas umum yang akan menerangkan apa yang
sebenarnya terjadi dengan buah apel, kalau dahannya terlepas dari batangnya.
Hukum sebaliknya, tidak mencoba menguraikan apa yang terjadi, tetapi lebih
menerangkan peraturan-peraturan tertentu untuk meletakkan ukuran-ukuran dari
perbuatan-perbuatan yang seharusnya orang ikuti. Kalau X melanggar hukum pidana,
maka ia harus dihukum. Obyek studi yang tunggal untuk ilmu adalah sifat dari norma-
norma (ukuran-ukuran) yang diadakan oleh hukum.
Satu sistem hukum ada untuk dapat membebankan kewajiban-kewajiban pada
individu tertentu untuk mengetahui apakah dalam satu hal yang khusus ada satu
peraturan, dan bagi yang melanggarnya akan menerima satu hukuman ? Tetapi Kelsen
tidak mengikuti langkah Austin untuk mensifatkan hukum sebagaimana satu perintah.

22
Satu susunan hukum menjadi negara kalau ia mengadakan badan-badan untuk
menciptakan, mengumumkan dan mempertahankan hukum. Kalau kita memperhatikan
peraturan-peraturan yang abstrak kita teringat akan susunan hukum, kalau kita
menyelidiki lembaga-lembaga yang menjalankan hukum, kita teringat kepada negara.
Tetapi terhadap hal ini kita semata-mata melihat kepada barang yang sama dari dua
sudut.

Apabila kita tidak dapat menerima metode yang mudah untuk mensifatkan hukum
dalam istilah – istilah dari negara dengan apa kita dapat membedakan satu peraturan
hukum ? Norma-norma hukum tidak dapat diuji menurut isinya, masalah pokok yang
sebenarnya ia berhubungan semenjak hukum dapat meliputi suatu pokok pembicaraan.
Kecenderungan modern hukum adalah mengatur begitu banyak permasalahan penduduk,
berarti bahwa lapangan hukum setiap hari bertambah.
Walaupun demikian kita tidak dapat mensifatkan hukum dalam istilah-istilah keadilan,
karena tampak banyak peraturan-peraturan yang tidak adil, tetapi oleh sebab itu ia tidak
berhenti sebagai hukum. “Justice adalah satu cita-cita yang irasional” yaitu tidak dapat
dengan jelas disifatkan oleh akal dan oleh sebab itulah ia telah merupakan satu
pengertian menyenangkan untuk satu ilmu pengetahuan hukum yang murni.

Kelsen mendapatkan ukuran untuk menciptakan peraturan. Seorang hakim


dalam pengadilan yang tidak sah mungkin mengeluarkan keputusan yang sama
dengan hakim dari suatu pengadilan yang benar-benar berdasarkan hukum,
tetapi keputusan yang terakhir mempunyai kepastian hukum, sebab syarat-syarat
yang diterangkan oleh susunan hukum sudah dipenuhi.

23
Oleh sebab itu kita harus mengikuti kembali suatu tindakan hukum sampai pada satu
norma, yang memuat hukum yang kuat untuk menjamin perbuatan manusia. Dihukumnya
Jones dapat dibenarkan karena keputusan pengadilan pidana; pengadilan mempunyai
kekuasaan ini karena undang-undang hukum pidana; undang-undang hukum pidana
mempunyai akibat hukum karena adanya undang-undang hukum pidana.
Undang-undang hukum pidana mempunyai akibat hukum karena ia ditetapkan oleh
badan perundang-undangan yang berhak, yang diberi kekuasaan oleh konstitusi untuk
membuat undang-undang, tetapi bagaimana kita dapat menerangkan kekuasaan hukum
suatu konstitusi ? Apakah yang merupakan dasar hukum atas kekuasaan raja dalam
parlemen untuk merubah undang-undang.

Konstitusi akhirnya memepunyai asal yang istimewa untuk hukum. Walaupun


seluruh masyarakat sepakat untuk menerima satu konstitusi yang khusus, persetujuan
itu mempunyai kekuastan hukum, karena sampai saat konstitusi diterima cara
bekeranya hukum harus diciptakan belum lagi diletakkan. Satu revolusi dapat
memusnahkan satu konstitusi yang sudahtua, dan menciptakan yang baru, tetapi
kejadian yang demikian itu adalah di luar lapangan ilmu hukum.

Yang harus menerima hipotesa yang pertama atau groundnorm diluar mana ia tidak
berjalan. Kalau sudah diterima satu kali sebagai dasar, bahwa kehendak raja dalam
parlemen harus ditaati, kita dapat mengikuti kekuatan dari setiap peraturan hukum yang
khusus. Tetapi untuk menetapkan apakah yang merupakan groundnorm untuk suatu
negara, kita harus melangkah keluar dari ilmu hukum, melihat dunia kenyataan, dan
mendapat suatu hipotesa yang mempunyai beberapa perasaan dan kejadian.kejadian.

24
Tidak akan ada gunanya diumumkan kalau hipotesa yang pertama untuk USSR
merupakan kehendak dari raja yang harus ditaati. Tetapi harus dicatat, bahwa hipotesa itu
tidak perlu secara mutlak bersamaan dengan kejadian-kejadian. Di Inggris kehendak raja
dalam parlemen harus ditaati tetapi tidak seorangpun menggangap, bahwa setiap
anggota masyarakat benar-benar mematuhi hukum dalam setiap kejadian.
Ini menegaskan lagi bahwa hukum tidak menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi
tetapi meletakkan apa yang harusnya terjadi; ia harus menjamin satu kepastian hukum.

Jadi lapangan ilmu hukum adalah satu studi tentang sifat dari susunan norma-norma
dan kekuatan dari tiap-tiap norma yang lebih tinggi sampai kita mencapai hipotesa
pertama, yang dapat diterima oleh ilmu hukum dan tidak dapat diharapkan
pembuktiannya. Hipotesa yang pertama itu adalah abstrak, tetapi kalau kita menuruti
tangga norma-norma itu bersangsur-angsur menjadi konkrit (nyata) sampai kita mencapai
norma yang terakhir yang membebankan kewajiban kepada seorang patikelir.
Misalnya baik oleh keputusan pengadilan, perintah dari seseorang pegawai tata
usaha ataupun perbuatan kontrak antara dua orang penduduk. Tiga macam pelaksanaan
ini semata-mata menjalankan satu norma yang lebih tingi dan meletakkan paksaan pada
perseorangan.

Tampaknya sulit untuk dapat menghargai arti tulisan Kelsen, sebelum orang
memahami penjelasan dari teori itu, tetapi sekarang kita hanya berurusan dengan
hubungan dari teori ini, dengan masalah batas-batas ilmu hukum. Pokok persoalan
ilmu hukum adalah norma hukum dan semua ini yang praktis.

25
Semua masalah kesusilaan atau filsafat kemasyarakatan adalah diluar
pengamatan ahli hukum. Tuntutan bahwa Kelsen telah menciptakan satu ilmu hukum
yang universal dapat dibenarkan, tetapi apakah kita tidak dibiarkan tinggal dengan
tulang-tulang kering dari hukum yang telah dirampas daging dan darahnya, yang
memberikan kepadanya ?
Nilai yang besar dari tulisan ini adalah kekuatan mengkritik, semenjak Kelsen
sanggup menunjukkan, bahwa banyak penulis mempergunakan kehebatannya asas-
asas pertama ilmu hukum yang hanya merupakan anggapan-anggapan mereka saja.
Kelsen tidaklah sendirian dalam memberi “Politik menyamar sebagai ilmu hukum”.

Terhadap mereka, yang menentang pengumuman dari peraturan sysrat-syarat


perburuhan, karena ia mencampuri kemajuan cita-cita Neo Heglian bahwa hukum
harus memberikan kemerdekaan yang selalu bertambah kepada kehendak
perseorangan. Kelsen teliti dalam menunjukkan, bahwa hukum adalah satu senjata
yang dapat dipergunakan untuk mencapai banyak tujuan.
Memang menarik, bahwa sikapnya yang tidak memihak dalam pertentangan-
pertentangan susila dewasa ini, menyebabkan kaum konservatif menamakan Kelsen
sebagai seorang radikal yang berbahaya, dan golongan revolusioner mencap dia
sebagai seorang reaksioner. Tulisan Kelsen juga berharga dalam titik berat yang
diletakkannya, bahwa dalam menjalankan norma-norma hukum hakim mempunyai
banyak pertimbangan.

26
Adalah mungkin untuk setiap peraturan umum dapat mengadakan persiapan untuk
segala kemungkinan-kemungkinan dan peraturan umum harus dijadikan tempat oleh
mereka yang mempunyai kewajiban menerapkannya. Tetapi untuk memelihara suasana
tidak memihak, Kelsen menganggap semua pembicaraan tentang hukum alam kodrat
adalah diluar lapangan ilmu hukum dan juga penyelidikan sumber-sumber dari mana
hakim mengambil peraturan-peraturannya, kalau tidak ada kekuasaan untuk ini.

Kelsen menyebabkan ilmu pengetahuan hukum menjadi “murni” tetapi merampasnya


dari hubungan yang menarik dengan kehidupan sendiri. Benar, bahwa apa yang kita
dapatkan dari metode ini bukanlah satu teori dari perkembangan hukum, tetapi hanya
asas formal dari cita-cita yuridis. Dengan mengeluarkan keseluruhan hukum dari sosiologi
dan etika, ilmu hukum tinggal menjadi satu latihan batin dalam cita-cita yang abstrak.
Kebenaran terhadap ilmu pengetahuan yang murni atas pendapat Kelsen ialah,
kalau premis-premis (pendapat-pendapat) itu diikuti secara tajam, maka hasilnya
terlampau formil untuk dapat mengikuti ilmu mungkin ahli hukum keluar dari premis-
premisnya maka metode itu musnah.

Kelsen kelihatannya sangat tidak sabar terhadap setiap alasan, bahwa ilmu hukum
harus melayani kebutuhan hidup, maksudnya ialah untuk dapat memungkinkan kita
memahami sifat dari hukum dan negara. Tetapi yang sebenarnya bahwa metode
Kelsen tidak dapat memberikan kepada kita satu gambaran yang sebenarnya dari
hukum, karena ilmu hukum harus keluar dari susunan formil dari norma-norma untuk
mempelajari kekuatan-kekuatan sosial untuk menciptakan hukum.

27
Ajaran tentang hukum alam kodrat memang salah dipergunakan, tetapi oleh
sebab itu apakah ilmu hukum harus mengesampingkan seluruh masalah kesusilaan ?
Betul, Kelsen sendiri keluar dari batas-batas metodenya dalam membicarakan sifat
hukum internasional dan benar-benar mendasarkan pada cita-cita kesatuan dunia.
Juga kita tidak dapat memahami sifat yang sebenarnya tentang negara dengan
menunjukkan jalan formil yang murni saja.
Kesulitan-kesulitan yang bersifat filsafat yang terkandung dalam dunia kenyataan
tidak dapat dibicarakan di sini, tetapi ada baiknya ditunjukkan bahwa bagaimanapun
murninya ilmu pengetahuan hukum premis yang pertama untuk setiap susunan
hukum hanya dapat diketemukan dengan mempelajari kenyataan-kenyataan dalam
masyarakat tertentu.

Tidak seorangpun akan menyangsikan, bahwa Kelsen telah memberikan


sumbangan yang asli dantepat untuk ilmu hukum. Dalam tahun 1832 Austin telah
membuangkan banyak kayu mati dan satu abad kemudian Kelsen dengan kritik yang
tajam telah menunjukkan banyak kepalsuan. Tetapi tujuan ilmu hukum yang murni
adalah sempit, dan ia harus ditambah dengan yang lain yang lebih luas.

6. Aliran Historis
Aliran historis mendahului tulisan Kelsen, tetapi alasan mengundurkan
pembicaraan tentang these histories ialah, bahwa bertentangan dengan ajaran ilmu
pengetahuan hukum yang murni. Aliran historis menggangap hukum berhubungan
langsung dengan kehidupan masyarakat dan dengan demikian meletakkan dasar
atas aliran sosiologi modern dibangun.
28
Abad 18 adalah satu abad rasinalisme, orang percaya bahwa dengan jalan
kesepakatan, mungkin dapat menyusun satu badan hukum, yang umum dan tak dapat
diubah, yang dapat dipakai untuk semua negara, dengan mempergunakan sebagai
premis sifat manusia yang berdasarkan akal. Aliran historis sebagian adalah satu hasil
dari aliran kebangsaan yang timbul pada akhir abad ke 18, sebagai ganti dari individu,
penulis-penulis mulai melatakkan titik berat pada jiwa rakyat yaitu Volkgeist.

Dalam tahun 1814 satu program untuk aliran ini dikemukakan oleh Savigny.
Pusat perhatiannya ialah “bagaimana terjadinya hukum”. Sebagaimana juga bahasa,
berkembang berangsur-angsur dan sama dengan bahasa adalah satu hasil istimewa
dari jiwa bangsa, demikian pulalah keadaannya dengan hukum.
Sumber hukum bukanlah perintah dari souvereign, juga bukan kebiasaan-
kebisaaan masyarakat, tetapi kesadaran hukum yang dimiliki oleh tiap-tiap bangsa.
Kebiasaan mungkin merupakan bahan hukum, tetapi sumber yang sebenarnya
terletak lebih dalam, yaitu pikiran diri manusia, “kehidupan hukum” adalah rahasia
dari kekuatannya.

Dalam soal-soal dengan analisa yang langsung berhubungan, bahwa setiap


anggota dari masyarakat mempunyai satu keinsyafan tentang apa yang lurus dan
benar, walaupun menurut alamnya ia tidak mempunyai pandangan-pandangan tentang
soal-soal yang diluar pengalamannya. Jadi satu masyarakat akan menerima secara
instuitif (perasaan) peraturan-peraturan yang akan mengatur wesel, si petani
mempunyai ajaran-ajaran, yang harus diterapkan dalam pertanian.

29
Demikian pembahasan dari aliran historis, yang tentu saja membawa kearah
tidak mempunyai usaha untuk mengubah hukum. Perundang-undangan hanya dapat
berhasil, kalau ia sesuai dengan keyakinan dari bangsa yang bersangkutan. Kalau ia
bergerak lebih jauh, ia akan mengalami kegagalan.
Sehubungan aliran historis kepada masalah batas-batas ilmu hukum ialah, dapat
dipakai dan dapat dipahami dengan tidak menghargai keadaan sosial dimana ia
berkembang. Kemajuan hukum yang lambat sudah ditegaskan, begitupun
hubungannya yang erat, sifat-sifatnya yang khusus dari rakyat. Semenjak Savigny
menulis, nilai yang mungkin didapat dalam ilmu hukum dari metode historis diakui
sepenuhnya di Inggris.

Maine dan Vinogradoff dalam hidupnya memperhatikan masalah nilai untuk ahli
hukum dapat terlihat jelas dari hubungan yang erat antara hukum kebiasaan, sejarah
sosial dan politik Inggris.
Tetapi pendapat Savigny yang khusus ada hal-hal yang berlebihan yakni darimana
metode historis harus dibebaskan, kalau hendak memainkan bagiannya yang sebanrnya.

a. Beberapa kebiasaan tidak didasarkan pada kesadaran hukum dan masyarakat


dalam keseluruhannya, tetapi atas kepentingan-kepentingan sari satu golongan
kecil yang kuat misalnya perbudakan.
b. Terdapat beberapa peraturan berkembang hampir tanpa disadari, di sisi lain adalah
hasil dari usaha akal hukum serikat pekerja kita yang modern dicapai dengan
banyak perjuangan.

30
c. Hasil dan usaha ciptaan hakim dan ahli hukum tampak dipandang terlampau ringan.
Kehidupan rakyat mungkin memberikan bahan-bahan mentah, tetapi hakim harus
mematahkan hambatan dan membuat tepat bentuk hukum.
Terdapat kemungkinan untuk melebih-lebihkan interpretasi sejarah dari “Hakim
Agung”, sebab semua orang adalah anak-anak dari abad dimana mereka hidup. Tetapi
untuk menganggap hakim sebagai wakil yang pasif dari Volkgeist adalah sama
bahayanya. Baik dalam keadilan maupun dalam hukum kebiasaan, kita masih dapat
mengikuti pengaruh dari guru-guru jaman lampau, dan setiap orang yang bukan ahli
akan tercengang kalau diberitahu, bahwa ia mempunyai kesadaran hukum mengenai
peraturan-peraturan tentang peninggalan-peninggalan yang kebetulan atau
pembersihan-pembersihan yang kecil dari kejadian-kejadian yang terakhir.

d. Peniruan permainan peranan yang lebih besar dari apa yang dapat dibiarkan oleh
aliran historis. Banyak hukum Romawi dipinjam dengan sadar dan apabila
kesuksesan French Code sudah diakui, bangsa-bangsa lain banyak berhutang budi
kepadanya. Kalau Timur mulai mencampurkan secara cepat dengan cita-cita Barat,
ia dengan bebas memimjam kodifikasi dari Jerman dan Perancis.

Savigny sendiri tidak pernah dapat mengabaikan sama sekali jiwa atas
penerimaan hukum Romawi di Jerman. Theses, bahwa ahli-ahli hukum dalam
mengenyam peraturan-peraturan Romawi ke dalam hukum kebiasaan, semata-mata
merupakan wakil-wakil dari Volksgeist, akan ditertawakan petani-petani yang menuduh
doctoresiurs merampas petani dari hak-haknya yang biasa atas natah dengan
memasukkan peraturan-peraturan asing.
31
Savigny sendiri tidak pernah dapat mengabaikan sama sekali jiwa atas
penerimaan hukum Romawi di Jerman. Theses, bahwa ahli-ahli hukum dalam
mengenyam peraturan-peraturan Romawi ke dalam hukum kebiasaan, semata-mata
merupakan wakil-wakil dari Volksgeist, akan ditertawakan petani-petani yang menuduh
doctoresiurs merampas petani dari hak-haknya yang bisa atas tanah dengan
memasukkan peraturan-peraturan asing.

Akhirnya Savigny memperkuat apa yang dinamakan oleh Pound “Jusristic


Pessimism” perundang-undangan harus sesuai dengan kesadaran hukum, kalau
tidak akan gagal. Oleh sebab itu pembaharuan hukum yang insyaf berkurang
semangatnya. Kadang-kadang ada satu kecenderungan untuk berpikir kalau satu
kali perkembangan satu peraturan diikuti, maka sifat ini membenarkan adanya
peraturan itu.
Sangat mudah untuk menerima keburukan-keburukan di mana orang sudah
biasa karena tidak ada yang lebih banyak mengikuti pandangan daripada kebiasaan-
kebiasaan.

Pada suatu waktu di mana hukum pidana dari negeri ini dalam satu keadaan
yang akan dapat mencemarkan satu masyarakat yang setengah beradab dan hakim-
hakim tinggi serta penulis-penulis menulis tentang itu, bahwa itu kesempurnaan dari
pengetahuan manusia.

32
Oleh sebab itu metode yang historis dalam ilmu hukum harus ditambah dengan
pembahasan yang kritis didasarkan pada satu filsafat hukum, agar supaya dapat
dipelihara satu masa datang yang baik. Perkembangan tidak harus merupakan
kemauan dan salah satu dari bantuan-bantuan yang terbaik untuk pandangan kita
yang singkat dalam membicarakan hukum kebiasaan yang kita kenal, ialah perkenalan
dengan banyak sistem. Ini memang diakui oleh mereka yang mengikuti metode
hostoris yang sekarang ini

7. Aliran Yang Bertugas (The Functional School)

Dean Pound biasanya dihormati sebagai pemimpin Amerika dalam aliran ilmu
pengetahuan hukum sosiologis (Sosiological) pernah dipergunakan dalam hal ini,
kalau kita namakan metode yang bertugas akan lebih tepat dan kurang
mengacaukan. Ajaran yang pokok aliran ini ialah, kita tidak dapat mengerti apakah
barang suatu ini sebelum kita mempelajari apa yang dikerjakannya.

Dalam hal tidak ada kekuasaan, maka “premis mayor yang kurang jelas” atau
gambaran “sosial” dari hakim akan menentukan yang mana dari dua analogis yang
bersaingan seharusnya diterima. Kalau hakim seluruhnya mengesampingkan
masalah-masalah kepentingan sosial, dari kepatutan dan kesenggangan yang praktis,
setiap sistem hukum tidak akan bertahan.

33
Tetapi sikap apa akan diambil oleh ilmu hukum terhadap masalah yang pelik dari
nilai-nilai ini, yang memimpin kemajuan hukum? Kelsen mengesampingkannya untuk
memelihara metode ilmu pengetahuan, tetapi Pound beranggapan, bahwa ia harus
dianalisis dengan sungguh-sungguh untuk dapat memahami kemajuan hukum, dan
satu pengharaan terhadap kemajuan ia pandang sebagai satu kumpulan norma-norma
yang abstrak atau susunan hukum.

Ia juga satu perkembangan keseimbangan kepentingan-kepentingan yang


bertentangan dan menjamin kepuasan kebutuhan-kebutuhan yang maksimum dengan
pertentangan yang sekecil-kecilnya. Analogi rekayasa sosial (social engineering) adalah
satu yang lebih satu kali dipergunakan oleh Pound.
Tulisan Pound dipertimbangkan dengan baik, bersifat sabar dan mengutuk
scepticisme. Terhadap mereka yang bergembira bertentangan dengan kehendaknya
sendiri ia memberikan satu celaan yang tepat “dalam gedung ilmu hukum banyak
terdapat tempat”. Di sana lebih dari cukup lapangan untuk kita semua dan lebih dari
cukup pekerjaan.

Andaikata waktu dan tenaga yang dipergunakan untuk berdebat dipakai untuk
pekerjaan itu, ilmu hukum akan lebih dekat pada pelaksanaan tugas-tugasnya. Ia
tidak mengharapkan langit baru dengan satu goresan pena, tetapi mendesak supaya
hakim akan mempelajari akibat-akibat sosial yang sebenarnya dari lembaga-lembaga
hukum dan mencoba menjadikan peratuan hukum benar-benar berfaedah untuk
tujuan hukum mengapa diadakan. Bekerjanya hukum dalam masyarakat mungkin
sangat berbeda dengan hukum dalam buku-buku.
34
Apapun juga yang menjadi ukuran yang harus dipergunakan dalam mencapai
kompromi antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan, beberapa dari padanya
tak boleh tidak harus dikorbankan.
Pandangan Pound pada batinnya adalah relatif (tidak mutlak) oleh karena ia
menegaskan, bahwa ahli hukum tidak mempunyai hak tertinggi untuk menentukan
tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh hukum, tetapi hanya dapat dengan mencoba
mengusahakan kompromi-kompromi yang lebih untuk jaman dan keturunannya, karena
ia didasarkan tidak pada cita-cita yang mutlak, tetapi atas pandangan-pandangan yang
diadakan oleh masyarakat yang khususnya di waktu itu.

Sayap kiri aliran fungsional seringkali disebutkan aliran realistis. Tetapi beberapa
penulis menunjukkan cara pembahasan yang sama terahdap masalah-masalah
hukum, dan istilah realisme mengikuti pelopor-pelopor ilmu pengetahuan, mereka
sampai pada scepticisme Holmes J. dan Pound dianggap sebagai telah melihat
kenyataan, tetapi sebagai yang telah gagal untuk menerapkan terhadap ilmu hukum.

Jasa yang besar dari kedua ahli hukum ini adalah harmoni dan ilustrasi dari
tulisannya, karena timbangan yang sama berat diberikan kepada bangun hukum yang
logis dan pengaruh dari kekuatan-kekuatan sosial. Tetapi orang-orang realistis
meletakkan titik berat pada unsur yang tidak pasti dalam hukum dan peranan yang
dijalankan oleh sifat perseorangan hakim. Hukum disifatkan, tidak sebagai satu
kumpulan-kumpulan peraturan yang logis, tetapi dalam istilah-istilah perbuatan resmi.

35
Hukum adalah apa yang dikerjakan oleh pengadilan-pengadilan (atau pejabat-
pejabat lainnya), tidak apa yang diucapkan oleh mereka. Sampai saat satu pengadilan
melalui kejadian-kejadian tertentu, tidak ada hukum pada subyek yang masih ada,
sebab pendapat daripara pembela (lawyers) hanya merupakan satu pikiran tentang apa
yang hendak diputuskan oleh pengadilan.

Semenjak hukum disifatkan dalam istilah-istilah dari perbuatan resmi (dan tidak
ada peraturan-peraturan yang seharusnya memimpin perbuatan), dapat ditarik
kesimpulan, bahwa setiap kekuatan yang hendak mempengaruhi hakim dalam
mengadakan satu keputusan (baik korupsi, perencanaan yang kurang baik,
kelemahan terhadap sekte lain) adalah satu subyek yang sesuai untuk ilmu hukum.
Banyak celaan ditujukan kepada ahli-ahli hukum klasik karena tertipu oleh apa ayang
dikatakan pengadilan. Mereka bekerja dan tidak menyelidiki apa yang sebenarnya
mereka kerjakan.

Peraturan-peraturan hukum yang formil mempunyai arti yang kecil terhadap


kemajuan hukum. Setiap peraturan tidak memuaskan karena hubungan-hubungan
manusia terlalu banyak dan komplek untuk dapat dimasukkan dalam satu
perumusan hukum, oleh karena masyarakat selalu berubahm pendapat-pendapat
kesusilaan berkembang dan oleh sebab itu hukum berada dalam satu keadaan
yang terus menerus berubah.

36
Kata-kata tidak dapat dengan tepat menggambarkan kenyataan, dan
peraturan-peraturan tidak mempunyai arti yang terlepas dari penerapannya
dalam hal yang khusus, Judge Frank menuduh ahli-ahli hukum klasik terlalu
mengemukakan asas-asas hukum, penyaringan kata-kata pikiran-pikiran yang
tidak dewasa, menyebabkan peraturan-peraturan melebihi unsur dari kepastian
hukum.

Tulisan yang mula-mula dari aliran realistis acapkali diterangkan


secara salah; sekarang sesudah berlangsung sepuluh tahun, lebih mudah
untuk mendapatkan gambaran yang benar. Dalam tulisannya yang
kemudian, Judge Frank menerima satu pembahasan yang lebih lunak
(moderat). Ia lebih suka dinamakan seorang scepticus hukum yang
constructief dari pada seorang realist dan membagi aliran itu dalam dua
golongan:

a. Mereka, yang memperhatikan terhadap badan pengadilan apel dan


menunjukkan tidak terdapat kepastian hukum.
b. Mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengadilan biasa dan
menegaskan bahwa walaupun peraturan ditetapkan dengan baik,
tetapi hasil dari pemeriksaan jarang dengan tegas dapat dikemukakan
lebih dahulu, disebabkan karena pertentangan alat pembuktian
dengan kekuatan hakim untuk mendapatkan kenyataan-kenyataan.

37
Judge Frank menegaskan, bahwa ilmu hukum cenderung memusatkan
perhatiannya pada pengadilan-pengadilan apel dan tidak cukup menyoroti
ketidakpastian yang timbul dari kesalahan juridis dan teknis dalam mendapatkan
kenyataan. Walaupun demikian, sekarang setelah abu perselisihan yang terdahulu
telah menghilang, kelihatannya lebih berkurang perbendaan antara sayap kanan dan
kiri dan functional school yang menjadi anggapan dahulu.
Jiwa dari keduanya adalah ahli hukum harus mempelajari pelaksanaan hukum
dalam masyarakat. Satu penyelidikan yang realistis dari perkembangan yuridis tentu
saja sebagian dari pembahasan yang demikian itu. Walaupun demikian tak dapat
disangkal perbedaan-perbedaan dalam titik berat akan muncul antara berbagai
penulis.

8. Sosiologi Hukum

Ilmu pengetahuan hukum yang sosiologis dari Roscoe Pound harus


dibedakan dari apa yang dinamakan sekarang sosiologi hukum.
Kekacauan naturlijk (menurut alamnya) yang disebabkan oleh kesamaan
istilah-istilah ini adalah satu alasan tambahan untuk lebih menyukai nama-
nama functional school sebagai keterangan yang terbaik dari tulisan
Pound.

38
Sosiologi hukum disifatkan dalam banyak cara, tetapi perbedaan yang pokok
dengan ilmu pengetahuan hukum fungsional ialah sosiologi hukum menciptakan satu
ilmu pengetahuan dari kehidupan sosial sebagai satu kebutuhan dan untuk merangkap
sebagian besar dari sosiologi hukum dan ilmu politik. Tekanan pelajaran diletakkan
pada masyarakat dan hukum sebagai satu penjelmaan yang murni. Sedangkan
Pound lebih suka memusatkan perhatiannya terhadap hukum dan mengangap
masyarakat berhubungan dengannya.

Thus Ehrlich (1862-1920) membangun atas dasar yang diletakkan Savigny satu
teori yang luas, bahwa hukum tergantung pada penerimaan rakyat dan tiap-tiap
golongan menciptakan hukumnya sendiri yang hidup sebagai satu-satunya kekuatan
yang menciptakan. Segala sesuatu yang dikerjakan hakim adalah menetapkan dan
mensifatkan bahan mentah yang sudah diadakan masyarakat. Hakim
mempertentangkan hukum yang hidup dengan norma semata-mata untuk memberikan
keputusan. Pemutusan perhatian pada yang terakhir berarti meninggalkan jiwa yang
sebenarnya dari hukum.

Kodifikasi-kodifikasi mungkin secara teknis mempunyai kekuatan, dalam arti


bahwa suatu pengadilan akan menerapkan ketentuan-ketentuan undang-undang
kalau diperlukan dalam hal ini, tetapi acapkali satu masyarakat mengesampingkan
kodifikasi-kodifikasi yang hidup sesuai dengan peraturan-peraturan yang diciptakan
dengan persetujuan. Dalam bagian-bagian dari Austria hukum tertulis tidak
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kenyataan hidup masyarakat.
Perundang-undangan Perancis dan Rusia mungkin banyak persamaan tetapi hukum
yang pertama sangat banyak berbeda dengan yang kedua.
39
Perundang-undangan modern sudah berkembang jauh di atas kodifikasi Jerman.
Oleh sebab itu untuk memahami kehidupan hukum dari satu masyarakat, hakim harus
menambah studinya tentang kodifikasi atau keputusan-keputusan pengadilan dengan
satu analisis kejadian.kejadian. Mencoba mengekang hukum dari satu jaman atau satu
bangsa dalam bagian-bagian dari suatu kodifikasi kira-kira sama artinya dengan
mencoba membatasi air dalam satu tebat.
Air yang dimasukkan dalam tebat itu tidak lagi merupakan aliran yang hidup tetapi
satu bancah (pool) yang tertahan dan adanya sedikit air dapat dimasukkan ke dalam
tempat itu. Setiap penulis Inggris akan mengakui ini, tetapi akan mengangap bahwa
pengadilan memberikan gambaran yang sebenarnya beralasan dari hukum yang hidup.
Tetapi Ehrlich, mengambil kesimpulan bahwa ilmu hukum semata-mata merupakan
satu cabang dari sosiologi dan meluaskan batas ilmu hukum terlampau jauh.

Percobaan yang pertama harus mempelajari yang hidup persis (Juist) seperti
ahli psykologi mempelajari bagian dari tubuh yang hidup. Tidak mutlak, bahwa
hukum harus diciptakan oleh negara, atau diterapkan oleh pengadilan, bahwa ada
satu sistem dan paksaan hukum. Hukum yang sebenarnya tidak terdiri atas
ketentuan-ketentuan, tetapi dari lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh
kehidupan golongan-golongan yang senyatanya menciptakan hukum.
Ia menganggap, bahwa ahli hukum harus mempelajari pabrik, bank, jalan
kereta api, dan seribu satu bentuk kehidupan lainnya setiap bagian satu pabrik harus
dipelajari sehingga tidak ada perkembangan dari perbuatan dan perjalanan dapat
lepas dari pandangan ahli hukum. Dengan kekurangan nafas, seorang akan
bertanya apakah satu masa hidup akan cukup mempelajari satu industri.
40
Allen cenderung dengan tidak melecehkan usaha-usaha dari seorang ahli hukum
yang terpelajar, sungguh-sungguh dan asli, untuk menanamkan proyek yang demikian
“Megalomania jurisprudence”. Harus diadakan pembatasan sedikit banyaknya atau
ilmu hukum, bagaimanapun besarnya kesungguhan pengikutnya akan memboroskan
tenaganya di atas lapangan yang terlalu lepas.

Huntington Cairs juga mencoba menciptakan satu ilmu pengetahuan hukum


dengan meletakkan titik berat pada sosiologi. Ia menganggap bahwa ilmu
pengetahuan modern adalah satu cita-cita yang tidak berarti dan tidak berbuat dari
satu tujuan yang tidak sanggup mencapai kemajuan. Ilmu hukum sebenarnya adalah
satu ilmu pengetahuan yang diterapkan, dan dengan teknologi tidak pernah berhasil,
kecuali kalau didasarkan untuk mendapatkan satu ilmu yang murni.
Tidak ada ketentuan-ketentuan umum dapat diletakkan mengenai pengertian-
pengertian hukum atau peraturan-peraturan, ia berbeda dari bangsa-bangsa. Kalau
ilmu hukum hendak menjadi ilmu, ia harus diciptakan satu ilmu pengetahuan dari
masyarakat. Dasarnya haruslah tingkah laku manusia seperti dipengaruhi oleh dan
berhubungan dengan kekacauan.
Tidaklah mungkin untuk mengetahui bagaimana hukum bertindak kecuali kalau
kita mempunyai pengetahuan yang lebih besar tentang faktor-faktor yang
menyebabkan perubahan dalam masyarakat dan memimpin kemajuannya. Kalau hal
ini sudah dipahami, ilmu hukum sebagai teknologi dapat menerapkan peraturan-
peraturan ini untuk mencapai hasil-hasil yang berguna. Sekarang ahli hukum mencoba
membangun satu rumah, sebelum diletakkan sendi-sendinya.

41
Tentang hal ini ada baiknya untuk mengadakan beberapa penyelidikan umum
terhadap perbedaan-perbedaan Pound dengan orang-orang dari aliran realistis Cairs.
Banyak yang telah mengkritik aliran-aliran atas dasar, bahwa mereka sedikit
membicarakan dari setiap barang sesuatu kecuali hukum. Satu buku pengantar
tentang sosiologi tidak mungkin dijadikan satu tulisan tentang ilmu hukum dengan
semata-mata mengubah normanya. Satu pengetahuan tentang sifat dari tanah liat
mungkin berfaedah untuk seorang pembuat patung, tetapi dua puluh tahun yang
dipergunakan untuk analisa ilmu pengetahuan tentang bahan merupakan satu
kegagalan dari kecakapan seniman.

Manning dengan lucu menggambarkan ahli sosiologi dengan membandingkan


ia dengan seorang profesor dalam matematika, yang khawatir tentang jabatan-
jabatan di negaranya, mendesak mahasiswa-mahasiswanya membentuk satu
barisan pelopor dari ilmu pengetahuan yang menciptakan dan menegaskan bahwa
matematika tidak dapat dipelajari terpisah dari pembangunan kota. Tetapi apakah
kita tidak boleh memakai analogi yang lain? Seorang profesor ilmu kesehatan
berkata: “Anatomi adalah semua yang perlu diketahui”

Benar bahwa tuan akan mendapatkan pengetahuan dari satu analisa mayat dan
dalam praktik akan berhubungan dengan tubuh-tubuh mereka yang paling kurang
sampai saat mereka menerima perawatan tuan, masih hidup. Benar juga, bahwa
dalam hal ini si sakit mungkin terpengaruh bau kita harus meninggalkan mereka
sendiri.

42
Austin mengatakan, bahwa beberapa dari hal-hal ini akan mempengaruhi
pekerjaan tuan, tetapi ia dengan cerdas memuastkan perhatiannya pada anatomi saja.
Saya nasehati tuan untuk bertindak sedemikian rupa dan menyelamatkan pekerjaan
tuan untuk mempunyai ilmu pengetahuan dari setiap ilmu pengetahuan kecuali
anatomi. Tentu saja analogi tidak pasti, tidak juga berarti pasti, karena masing-masing
mengajukan pertanyaan apa arti hukum.

Sudah dikemukakan, bahwa hubungan antara hukum dan kepentingan-


kepentingan sosial mungkin berfaedah untuk dipelajari oleh ilmu hukum karena tiga
sebab:
Pertama, yang mungkin kita untuk memahami kemajuan hukum. Apa yang
dibutuhkan satu anggapan yang dogmatis, bahwa kepentingan sendiri mengenai
ekonomi menentukan kemajuan hukum, tetapi satu analisa yang tajam dari
tindakan yang silih berganti antara tradisi yang jahat dan yang baik, yang
meninggikan susunan logis hukum dan tekanan yang langsung dari tuntutan-
tuntutan sosial.
Tugas yang penting ialah memperhatikan perjuangan dan kepentingan-
kepentingan sosial modern untuk menjamin pengumuman keputusan-keputusan
di jaman yang silam, walaupun ada batas-batas yang sempit. Mencoba
menerangkan hukum atas dasar yang murni logis adalah sama dengan
menerangkan satu grafik dari getaran satu motor yang kencang yang tidak
memperhitungkan permukaan jalan.

43
Kedua, sungguhpun pandangan-pandangan manusia tentang kesusilaan dan kebutuhan-
kebutuhan sosialnya berubah dengan perubahan dari abad-abad, tetapi unsur
kepentingan manusia memberikan dasar kesamaan yang lebih besar dari yang
dilakukan oleh bangunan logis hukum. Perbandingan hukum sering menggambarkan
bahwa sementara teori-teori hukum dari dua sistem mungkin terpisah sama
jauh sebagai kutub masing-masing mungkin karena alasan kesengajaan terpaksa
berubah penerapan dari asas-asas teorinya, hingga akhirnya hasil-hasil praktis tidak
jauh berpindah.
Banyak keputusan-keputusan Romawi dalam Lex Aquilo tidak dipaksa sama
pengaruhnya dengan hukum Inggris yang tidak adil. Hukum Jerman menerima satu
teori subyektif tentang perjanjian. Inggris yang subyektif tetapi masing-masing
terpaksa menyesuaikan asas teorinya dengan kebutuhan-kebutuhan perdagangan.
Walaupun terdapat teori-teori yang berbeda peraturan-peraturan Inggris dan
Romawi tentang milik dibangun di bawah tekanan kebutuhan-kebutuhan dan keadaan-
keadaan yang tidak mungkin tidak sama sepenuhnya.

Ketiga, walaupun pandangan dari Kelsen ahli hukum jangan membicarakan masalah
kepentingan-kepentingan sosial adalah menarik dalam hal ia memperkuat ilmu hukum
yang tidak memihak. Namun demikian satu studi adalah penting untuk ahli hukum
untuk memungkinkan ia memahami sistem hukum.
Sebagai suatu masalah istilah semata-mata, tidak menjadi soal bagaimana sempitnya
ilmu pengetahuan kita yang murni, kalau ditambah dengan ajaran yang lebih luas.
Tetapi ada bahaya bahwa kalau kita memandang ilmu hukum benar-benar sebagai
ilmu pengetahuan hukum yang murni (menurut pengertian Kelsen) penyelidikan dari
maslah yang lebih luas akan hilang dari buku-buku yang diselidiki oleh ahli hukum.
44
Kita menghendaki hakim yang netral, tetapi hukum sendiri tidak dapat tidak memihak
(dalam satu arti) karena Raison d’etre yang sebenarnya lebih menyukai kepentingan
sosial yang satu dari pada yang lain. Apakah hakim kurang suka membuat satu
iktisar yang jelas, karena masalah kepentingan – kepentingan sosial yang termasuk
dalam masalah yang khusus dapat dibicarakan dengan bebas dari premisse mayor
yang kurang jelas ?
Politik umum adalah alasan pertimbangan yang kurang berbahaya kalau sebab-sebab
untuk sesuatu penerangan khusus dikemukakan dengan jelas, semenjak usaha yang
sungguh-sungguh untuk membenarkan satu keputusan dapat membatasi faedah dari
pertimbangan sebelumnya.

Kemajuan yang terbesar dari functional school adalah memasukkan kehidupan


baru baik kedalam studi ataupun kemajuan hukum. Satu permulaan yang memberikan
harapan sudah diadakan, yang membawa kita mengharapkan banyak dari masa
yang akan datang. Pelaksanaan yang sebenar-benarnya dari bagian-bagian yang
tertentu hukum sudah dipelajari secara mendalam.
Hasil yang paling berharga dapat merupakan satu pengertian baru dari metode
yuridis dan pandangan yang lebih luas baik tentang universitas-universitas ataupun
tentang badan pengadilan - pengadilan. Sekarang satu percobaan yang tertentu
sudah diadakan untuk mengajarkan hukum sebagai satu fungsi dari masyarakat
semata-mata, sedangkan pengadilan-pengadilan dapat membicarakan dengan bebas
sebab-sebab dari plitik sosial yang berada di belakang peraturan-peraturan tertentu
hukum.

45
Mungkin tidak ada peratuan hukum kebiasaan pernah menerima celaan yang
begitu hebat seperti ajaran dari pekerjaan umum yang sekarang diterima House of
Lord. Hasil-hasil yang jelek dari peraturan itu sudah dijelaskan dan walaupun tidak
sanggup untuk meniadakan seluruhnya.
Lord yang terpelajar itu mengurangi kekuasannya sampai ada ikatan dari
keputusan yang terdahulu. Hukum tata usaha mula-mula dipandang sebagai barang
sesuatu yang masuk dengan mendesak, sekarang dipelajari dengan kerelaan menuju
tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh pemerintah modern. Psikologi sudah
memperbaharui pembatasannya tentang masalah-masalah hukum pidana.

Kesulitan-kesulitan yang sebenarnya dari hukum konstitusi sekarang


dibicarakan dengan bebas, dan di Amerika Brandeis sementara berada di
pengadilan, menyakinkan Mahkamah Agung, bahwa kalau diadakan satu
serangan terhadap sifat yang konstitusional dari undang-undang (sebagai satu
campur tangan yang tidak berasal dengan kehidupan kemerdekaan dan milik),
pengadilan harus diijinkan mengamukakan pembuktian dari ilmu-ilmu
pengetahuan sosial yang akan menunjukkan hasil-hasil yang mungkin dari
perundang-undangan yang bersangkutan.
Penerimaan dari kesimpulan “Brandeis” berarti, bahwa pengadilan acapkali
memperhatikan masalah-masalah soaial yang sebenarnya dari pada membatasi
pada logika yang abstrak.

46
Semua ini harus ditempatkan sebagai pengaruh dari alisan-aliran fungsional dan
realistis, tetapi harus diakui, bahwa masalah metode belum lagi dipecahkan.
Huntington Cairs tidak dapat disangkal meletakkan satu lapangan yang terlampau
luas bagi ilmu hukum untuk pengertian ahli hukum. Tetapi banyak dari pendapatnya,
yang sebelum ilmu pengetahuan sosial sendiri memajukan satu ilmu hukum
fungsional, bekerja dalam kegelapan.

Hasil besar dari ilmu-ilmu pengetahuan fisika bertentangan sekali dengan


hasil-hasil yang tipis dari penyelidikan-penyelidikan sosial. Oleh karena itu timbul
penadpat bahwa kalu hanya metode yang tajam dari ilmu alam diterapkan
terhadap analisa dari kehidupan sosial, maka akan terdapat kemajuan yang besar,
tetapi 3 (tiga) pokok harus dicatat yaitu sebagai berikut :

a. Tidak ada kelicinan metode dapat menjamin terhadap seorang sosiolog


dengan hasil-hasil yang pasti sama dengan apa yang didapat oleh teman-
temannya sekerja dalam fisika atau kimia. Zat dari metode ilmu-ilmu
pengetahuan adalah percobaan yang dapat diawasi apabila keadaan-keadaan
tidak berubah, kecuali satu faktor.
Untuk seorang sosiolog jarang yang mungkin dapat mencapai percobaannya,
baik manusia mampunyai kehendak yang merdeka atau tidak, ia adalah satu
studi yang lebih komplek dari satu huruf kecil, dan kita tidak dapat
mengharapkan mendapatkan untuk ilmu-ilmu pengetahuan soaial pensifatan-
pensifatan yang tajam dan demontrasi yang umum dari ilmu pengetahuan alam.

47
b. Ahli ilmu semata-mata memperhatikan kejadian-kejadian; dalam masyarakat kita
tidak saja berhubungan dengan apa yang ada, tetapi dengan pelaksanaan dari
ukuran-ukuran yang berhubungan dengan apa yang seharusnya ada. Tidaklah
mungkin untuk menarik satu garis yang jelas antara kejadian dan cita-cita, sebab
masing-masing mempengaruhi satu sama lain. Tidak ada percobaan yang diawasi
pernah dapat menerangkan kepada kita, apa yang seharusnya merupakan tujuan
dari hukum.
Penyelidikan dapat memberikan hasil-hasil yang berguna, yang dapat memimpin
pemilihan kita, tetapi alasan yang terakhir untuk pemilihan dari satu bentuk
kehidupan sosial lebih dari yang lain adalah filsafat kita tentang nilai. Satu
masyarakat yang bijaksana tidak selalu menerima bentuk dari organisasi yang
akan menciptakan banyak kenyataan tingkat dari penderitaan manusia mungkin
terlalu tinggi.
Tetapi pemilihan antara kenyataan dan penderitaan manusia bukanlah suatu yang
dapat ditentukan penyelidikan, ia tergantung pada pandangan baru masyarakat
terhadap tujuan dan kehidupan sendiri.

c. Terdapat jarak yang lebar antara penyelidikan dan penerapannya. Dalam ilmu-ilmu
pengetahuan alam keuntungan – keuntungan pemakaian tenaga atom begitu
bersanya, sehingga tidak ada yang diijinkan menentang penerapannya. Dalam
ilmu-ilmu sosial pemakaian penyelidikan dapat bertentangan dengan kebodohan
dan pertimbangan-pertimbanga, jadi itu memperlambat tindakan.

48
Oleh sebab itu kemajuan dala, ilmu-ilmu sosial tidak dapat cepat, dan lebih sulit
berkembang untuk dapat memecahkan satu ilmu hukum yang luas. Ahli hukum tidak
dapat menerapkan semua lapangan ajaran sosial, dan sampai ada kesimpulan-
kesimpulan yang lebih jelas yang dapat ditariknya.
Ini ditekankan untuk memperkecil tulisan dari Pound dan Cairns, tetapi untuk
menjelaskan, bahwa kemajuan berjalan lambat serta adanya kesalahan ini tidak boleh
diletakkan pada ahli-ahli hukum saja.

Psychiatri hanya dapat dimajukan sesudah ilmu kesehatan mencapai satu tingkat
tertentu, dan kalau ilmu bukan ilmu sosial ia hanya dapat membuat kemauan-
kemajuan yang sebenarnya, kalau sudah diletakkan dasar-dasar yang lebih baik untuk
sosiologi sendiri.
Sampai sekarang kita mempunyai program-program yang besar, bebeapa hasil
empiris yang berguna, membangkitkan semangat baru ke dalam ilmu hukum dan satu
analisa yang realistis, tetapi bukan penciptaan yang sebenarnya dari ilmu
pengetahuan hukum.

9. Aliran Teleologis

Aliran teleologis memandang orang-orang fungsional sebagai meletakkan


pena, ketika pekerjaan baru akan mulai. Pound percaya bahwa tujuan hukum ialah
memuaskan kebutuhan sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-
kecilnya. Aliran yang kita bicarakan sekarang akan bertanya: apa yang dimaksud
dengan kepentingan-kepentingan atau tujuan hukum ?
49
Dalam pertentangan yang tidak dapat dielakkan oleh hukum dalam memberikan
pengorbanan satu sama lain ? Pound sendiri jelas memperhatikan tujuan hukum,
tetapi di dalam tulisannya kedua dari relativisme dan nilai-nilai yang mutlak sulit untuk
diselesaikan.
Ada dua asas pokok dalam usaha aliran ini:

a. Dapat dikemukakan bahwa satu jawaban yang benar harus diberikan terhadap
masalah kekuatan hukum; Austin berkata, bahwa hukum itu kuat, kalau ia
merupakan perintah dari seorang souvergein, seorang realist kalau hukum itu
berbentuk dalam satu keputusan dari satu pengadilan, tetapi bagi ahli-ahli filsafat
ini lebih merupakan jawaban-jawaban yang sepintas lalu.
b. Aliran ini menekankan, bahwa hukum berhubungan erat dengan keadilan, dan
harus diadakan beberapa percobaan untuk mengetahui satu ukuran yang mutlak
agar hukum dapat dipertimbangkan. Sadar atau tidak sadar kita semuanya
mempergunakan ukuran-ukuran kesusilaan dalam mempertimbangkan hukum.

Aliran analistis membangun satu cita-cita harmoni yang logis, sedangkan Pound
yang pragmatis (mementingkan faedah) mengangap hukum, harus memuaskan
sebanyak mungkin kepentingan-kepentingan sosial. Orang-orang realist sering
digerakkan oleh semangat yang tingi untuk memperbaharui hukum, denansatu
keinginan, bahwa hukum harus dijadikan senjata yang lebih berfaedah untuk
mengawasan sosial.
Kalau kita tinggal pada tingkat kejadian bahwa ini lebih merupakan anggapan-
angapan yang tidak dapat dibuktikan.
50
Pandangan-pandangan yang demikian itu didasarkan pada cita-cita apa hukum
seharusnya. Dengan cara yang sama, banyak orang mempertimbangkan satu perbedaan
atas dasar historis, yang menganggap bahwa satu cita-cita untuk hukum bahkan
dipatahkan. Beberapa ahli hukum historis memegang teguh cita-cita, bahwa semua
kemajuan adalah satu perkembangan kepada nilai-nilai yang lebih baik membukakan
anggapan-anggapan kesusilaan yang tidak sadar dari pikiran kita.
Alasan itu tidak dapat dibantah. Kesusilaan ditinjau secara luas adalah semata-mata
suatu percobaan untuk mendapatkan satu dasar untuk pertimbangan-pertimbangan nilai
yang selalu kita adakan.

Oleh sebab itu aliran ini bertanya: “Apakah seharusnya tujuan yang ideal hukum?
Apa yang memimpin kita dalam memaukan hukum? Functional school menunjukkan
perhatian yang agak sama karena ajaran Pound tentang ilmu sosial mengangap,
bahwa hukum harus dimajukan untuk menghadapi nilai-nilai sosial yang berubah.
Tetapi Pound dengan segera mengakui, bahwa filsafat telah gagal untuk
mengadakan satu skala yang ideal dari nilai-nilai dan apa yang dapat dilakukan oleh
ahli hukum yang terbaik ialah meneruskan tugas menyesuaian dengan kebutuhan
generasi diwaktu itu pemilihan ideologi-ideologi yang bertentangan adalah suatu untuk
masyarakat yang penting.

51
Aliran Teleologis cukup optimis untuk menganggap bahwa satu skala yang cukup
dari nilai-nilai dapat diketemukan sebagai satu dasar untuk kemajuan hukum.
Sebagian besar tulisan aliran ini terletak dalam lapangan filsafat, dan oleh sebab itu
ilmu hukum yang filosofis adalah satu yang sering dipergunakan.

Tetapi filsafat meliputi banyak aliran-aliran ilmu hukum kita temukan jejak dari
ajaran-ajaran pada Savigny, Kelsen dan Pound untuk menyebutkan tiga nama. Istilah
Teleological school lebih pantas, kalau ia meletakkan titik berat pada penyelidikan
fundamental tujuan hukum.

10. Perbandingan Hukum (Comperative Law)

Ilmu hukum biasanya dibedakan dengan perbandingan hukum, walaupun sulit


untuk melihat, bagaimana yang pertama terlepas dari yang terakhir. Walaupun
demikian, sejarah hukum juga penting untuk ilmu hukum, tetapi tidakseorangpun
mempertahankan bahwa keduanya adalah identik.
Terdapat sama banyak perbedaan-perbedaan mengenai sifat-sifat
perbandingan hukum seperti dengan ilmu hukum dalam beberapa penafsiran –
penafsiran perbandingan hukum profesor Gutteridge menekankan bahwa
perbandingan hukum menunjukkan satu metode pelajaran dan penyelidikan dan
bukan satu cabang yang terpisah atas bagian hukum.

52
Ia membedakan :
a. Perbandingan hukum yang menguraikan, yang tujuan utamanya ialah
mengadakan penerangan.
b. Perbandingan hukum yang mengharapkan, yang mempunyai satu obyek tertentu
dimukanya.

Perbandingan hukum secara relatif adalah satu disiplin baru dan isinya masih
dipersoalkan. Secara apriori tidak ada perbedaan antara ilmu hukum dan
perbandingan hukum.
Kedua pelajaran itu meliputi lapangan yang sama. Satu kumpulan semua
peraturan-peraturan dalam dunia yang mengenai wanita-wanita yang kawin akan
merupakan sesuatu yang berguna untuk perbandingan hukum praktis terbatas
sampai pada penyelidikan-penyelidikan yang menguraikan satu pandangan yang
teratur cita-cita dan metode-metode yang diinsyafi berlainan dalam sistem yang
sebenarnya.
Tetapi pembelaan-pembelaan terhadap perbandingan hukum tidak senang
dengan tugas yang rendah ini dan bertambah lama mereka menggali kedalam teori
metode hukum, semakin tidak dapat dibdeakan dari ilmu hukum.

53
11. Lapangan Ilmu Hukum

Oleh sebab kita mempunyai jawaban yang banyak terhadap masalah


lapangan ilmu hukum maka Kelsen dalam ajaran ilmu pengetahuan yang murni,
hendak memisahkan ilmu hukum dari kesusilaan dan sosiologi. Pound hendak
mempelajari hukum dalam keadaan bergerak dan seseorang sosiolog akan
berpaling kepada satu ilmu pengetahuan dari masyarakat sendiri. Aliran Teleologis
hendak mengatur inti dari metafisika untuk mendapatkan nilai-nilai mutlak
membangun atas dasar ini.

Tidak betul untuk menganjurkan, bahwa hanya satu jalan yang berfaedah bagi
ahli hukum untuk ditempuh. Masing-masing harus bekerja sesuai dengan keahliannya
sendiri-sendiri dan kesukaan perseorangan akan menentukan jalan keluar.
Bagi seseorang penulis ilmu hukum ajaran fungsional kelihatannya memberikan
hasil-hasil yang paling berguna, walaupun sudah ditegaskan bahwa hasil-hasil ini
masih terletak dalam masa datang, karena sebelum ilmu-ilmu kemasyarakatan
berkembang lebih jauh, ahli hukum menghadapi lapangan yang besar.
Satu kesulitan pokok yang lain adalah perbedaan dalam sistem - sistem hukum
yang sebenarnya dan kekuarangan pengetahuan tentang banyak kodifikasi-kodifikasi
di masa yang silam. Walaupun sudah dapat diketemukan satu copy yang sempurna
dari Twelve Tables, kita akan sedikit mengatahui kehidupan dari rakyat yang dapat
menerangkan pelaksanaan peraturan-peraturan ini.

54
Hasil – hasil tulisan abad ini pada pokoknya merusak. Banyak tuntutan –
tuntutan yang palsu diperlihatkan. Orang tidak mengharapkan lagi untuk
mendapatkan peraturan-peraturan hukum universal untuk menciptakan satu skema
pembagian yang tajam dimana semua sistem hukum dapat dimasukan atau untuk
mendapatkan beberapa asas-asas umum dari mana jawaban terhadap setiap
masalah hukum dapat diturunkan.
Akhirnya sifat yang sebenarnya komplek dari masalah sudah diakui dan itu
paling kurang adalah satu keuntungan. Asas sudah dibersihkan dan terdapat
pekerjaan yang berguna dimasa datang daripada mencari asas yang tidak berubah.

Ilmu hukum mencoba mendapatkan sebanyak mungkin metode hukum, untuk


mempelajari pengertian-pengertian hukum dan mengikuti pengaruh kekuatan –
kekuatan sosial atas kemajuannya. Ilmu hukum terutama tidak menunjukan
perhatiannya untuk mendapatkan kesemaan bentuk karena keaneka ragaman
mungkin lebih penting.
Kalau kita meletakkan tekanan tidak ada pengertian-pengertian hukum, tetapi
pada metode hukum yang dipergunakan oleh berbagai masyarakat untuk
menciptakan tata tertib, bayangan lama yang menakutkan dari keaneka warhaan
peraturan-peraturan hukum berakhir sebagai satu ilmu yang kacau, dan menjadi satu
faktor yang sangat penting.

55
Semua masyarakat-masyarakat yang sudah mencapai tingkat kemajuan tertentu
menciptakan satu sistem hukum untuk melindungi kepentingan – kepentingan hukum
menjadi lebih halus dan kepentingan – kepentingan yang dilindungi akan berubah.
Tidak ada dua negara akan tepat mengejar kemajuan yang sama dan belum ada
peraturan – peraturan universal yang dirumuskan untuk menerangkan semua
perubahan – perubahan hukum. Tetapi walaupun masalah itu adalah sulit tidak ada
alasan apa sebenarnya kita akan mencoba menjawabnya.

Secara ringkas ilmu hukum adalah satu studi yang fungsional (bertugas)
dari pengertian – pengertian yang memajukan sistem – sistem hukum dan dari
kepentingan sosial yang dilindungi hukum dan dari kepentingan – kepentingan
termuat masalah nilai. Oleh sebab itu jelas bahwa ajarang fungsional tidak
dapat berkembang memuaskan tanpa studi tambahan tentang tujuan dimana
masyarakat ada.

---------------- o0o -----------------

56

Anda mungkin juga menyukai