Anda di halaman 1dari 52

PERBANDINGAN HASIL PEMERIKSAAN HB ANTARA METODE

POCT DENGAN METODE FLOWSITOMETRI PADA


IBU HAMIL DI PUSKESMAS
TALANG

PROPOSAL

DISUSUN OLEH :
ALFIDA ROSITA
1905016

PRODI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


STIKes SYEDZA SAINTIKA PADANG
2020
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
DAFTAR TABEL ............................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................
1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................................
1.5 Ruang Lingkup ........................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anemia Pada Ibu hamil............................................................................
2.2 Hemoglobin .............................................................................................
2.3 Pmemeriksaan POCT ..............................................................................
2.4 Pemeriksaan Flowcitometri......................................................................

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Desain Penelitian .....................................................................................
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................
3.3 Populasi dan Sampel................................................................................
3.4 Variabel dan Definisi Operasional ...........................................................
3.5 Instrument Penelitian ...............................................................................
3.6 Teknik Pengumpulan Data.......................................................................

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut WHO (2018) 47,40% ibu hamil didunia menderita anemia,

dengan prevalensi yang lebih tinggi di negara berkembang yaitu 52% ibu hamil

menderita anemia, sedangkan prevalensi kejadian anemia di negara maju

yaitu

23%. Di Indonesia 37,1 % dari keseluruhan ibu hamil menderita anemia dengan

proporsi yang merata antara di pedesaan (36,4%) dan di perkotaan (37,8%).

Prevalensi anemia tersebut sangat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi

dan dapat menyebabkan proporsi berat badan bayi tidak ideal pada saat

dilahirkan (Riskesdas, 2018).

Sebanyak 48,9 % ibu hamil di Indonesia mengalami anemia atau

kekurangan darah. Dalam lima tahun terakhir, hampir seluruh ibu hamil di

Indonesia mengalami anemia dan terus meningkat setiap tahunnya sebanyak

11

%. Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil sebagian besar

penyebabnya adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan

haemoglobin. Keadaan kekurangan zat besi pada ibu hamil akan menimbulkan

gangguan atau hambatan pada pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak

janin (Riskesdas,

2018).

Prevalensi anemia selama kehamilan di Provinsi Sumatera Barat

yaitu sebesar 9,24% atau sekitar 1130 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Barat, 2018). Menurut data hasil studi di Puskesmas Talang

angka kejadian anemia selama kehamilan mengalami kenaikan dari tahun

2016 sampai tahun


2019, pada tahun 2016 terdapat 214 ibu hamil atau sebesar 8% dari total
ibu
hamil yang melakukan kunjungan mengalami anemia, selanjutnya pada
tahun

2017 terdapat 228 ibu hamil atau sebesar 9,2% yang mengalami anemia dan

pada tahun 2018 terdapat 254 ibu hamil atau sebesar 10% yang mengalami

anemia tahun 2019 terdapat 230 ibu hamil atau sebesar 11,3 % yang mengalami

anemia. Sementara sampa bulan oktober tahun 2020 terdapat data dari 210

orang terdapat

12% ibu hamil dengan anemia.

Anemia pada ibu hamil didefinisikan saat kadar Hb kurang dari 11

g/dl atau 11,5 g/dl berdasarkan trimester kehamilan. Namun, kadar Hb yang

kurang dari 10 g/dl mengindikasikan anemia di setiap trimester kehamilan yang

harus segera diatasi karena akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi ibu dan

janin (Capra dkk, 2013).

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada

pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak. Kadar Hb yang tidak normal dapat

mengakibatkan kematian janin dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, berat

badan lahir rendah dan kadar Hb tidak normal pada bayi yang dilahirkan. Hal ini

menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara bermakna

lebih tinggi dan kemungkinan bayi lahir dengan berat badan rendah serta premature

juga lebih besar (Kristyanasari, 2010)

Seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi pemeriksaan darah,

pemeriksaan hemoglobin semakin dipemudah dengan berbagai cara, mulai dari

cara yang sederhana hingga menggunakan instrumen yang canggih. International

Standardization in Haematology ( ICSH) telah merekomendasikan pemeriksaan

haemoglobin melalui metode Cyanmethemoglobin karena cara ini mudah

dan dapat menghitung semua jenis hemoglobin kecuali sulfahemoglobin.

Flow
cytometry banyak digunakan sekarang sebagai metode baku di laboratorium

klinik dengan instument Hematology Analyzer. Instumen ini dapat mengukur

berbagai jenis sel dan kadarnya, salah satunya yaitu kadar haemoglobin degan

cara mengukur konsentrasi dalam eritrosit, berdasarkan hukum Berr-Labert.

Salah satunya berupa instrumen Point of Care Testing ( POCT)

sebagai alat diagnostik penting yang digunakan di Puskesmas, terutama

untuk pemeriksaan kadar hemoglobin ibu hamil. Kelebihan dari Instrumen

POCT dapat mempermudah pengukuran kadar hemoglobin, mulai dari cara

pengambilan sampel yang mudah ( dapat menggunakan darah vena, arteri,

maupun perifer ), jumlah sampel yang sedikit ( sekitar satu tetes ) dan

instrumen dapat dibawa kemana-mana. Namun kekurangan dari alat POCT

ini adalah hasil yang didapatkan kurang akurat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Faishal fahmi (2015)

Perbandingan Estimasi Blood Loss, Hematology Analyzer dan Point-Of-Care

Testing dalam Keakuratan Pengukuran Hemoglobin Intraoperatif didapatkan hasil

terdapat perbedaan yang bermakna dalam akurasi penghitungan hemoglobin

intraoperatif antara EBL ( Estimasi Blood loss) dengan Hematology Analyzer,

sedangkan pengukuran dengan perangkat POCT memiliki keakuratan yang baik.

EBL berdasarkan rumus ABL () dengan target Hb 7 g/dL tidak bisa digunakan

untuk pengambilan keputusan transfusi intraoperatif karena tidak mempunyai

keakuratan yang baik.

Penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Gede Jaya Atmaja (2018)

yang berjudul Gambaran kadar Hemoglobin dengan Pemeriksaan


menggunakan
Metode Point Of Care Testing dan Hematology Analyzer didapatkan hasil bahwa

hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin menggunakan alat Point Of care Testing

lebih rendah dibandingkan dengan alat Hematology Analyzer.

Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan oleh Puspitasari, dkk ( 2020)

yang berjudul Perbedaan Hasil Pemeriksaan Hemoglobin Antara Metode Point

Of care Testing (POCT) dengan Metode Sianmethemoglobin pada Ibu Hamil

didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik

antara rata-rata hasil pemeriksaan hemoglobin metoda POCT dara vena dengan

metode Sianmethemoglobin darah vena.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melihat

perbandingan hasil pemeriksaan Hb antara metode POCT dengan Motode

flositometri pada ibu hamil di Puskesmas Talang tahun 2020.

1.2 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang diatas maka dapat ditarik suatu rumusan

masalah, bagaimana Perbandingan Hasil Pemeriksaan Hb Antar Metode POCT

Dengan Metode Flositometri Darah Vena Pada Ibu Hamil Di Puskesmas Talang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbandingan

Hasil Pemeriksaan Hb Antar Metode POCT Dengan Metode Flositometri Darah

Vena Pada Ibu Hamil Di Puskesmas Talang .


1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui kadar hemoglobin dengan metode POCT pada ibu hamil di

Puskesmas Talang

2. Mengetahui kadar hemoglobin dengan metode flositometri pada ibu

hamil di Puskesmas Talang

3. Mengetahui perbandingan hasil pemeriksaan heoglobin dengan


metode

POCT dan motode Flowfometri pada ibu hamil di Puskesmas


Talang.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Dapat Menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang telah didapat selama

pendidikan, menambah wawasan dan pengalaman penulis dalam melakukan

studi penelitian serta menambah pengetahuan dan keahlian penulis dalam

bidang pemeriksaan hematologi.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan tambahan informasi pada

masyarakat khususnya ibu hamil terkait metode pemeriksaan Hb pada

kehamilan .

1.4.3 Bagi Akademik

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan pustaka ilmiah bagi

kampus serta dapat dijadikan sebagai dokumen dan bahan perbandingan untuk

penelitian selanjutnya.

1.5 RUANG LINGKUP


Berdasarkan data diatas yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini

adalah Perbandingan Hasil Pemeriksaan Hb Antar Metode POCT Dengan Metode

Flositometri Darah Vena Pada Ibu Hamil Di Puskesmas Talang. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh ibu yang berkunjung ke Puskesmas Talang

pada bulan Desember 2020 – Januari 2021. Pengambilan sampel dalam penelitian

menggunakan metode acsidental Samplyng sebanyak 30 orang. Pengolahan data

dengan menggunakan SPSS dengan pengujian Independent T Test .


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia pada Kehamilan

2.1.1 Pengertian

Anemia adalah suatu penyakit kekurangan sel darah merah (WHO,

2011). Ibu hamil dikatakan mengalami anemia apabila kadar hemoglobin ibu

kurang dari 11g/dl pada trimester satu dan tiga, serta kurang dari 10,5 g/dl pada

trimester kedua (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Ada beberapa tingkatan anemia ibu hamil yang dialami ibu hamil

menurut WHO (2011), yaitu:

a. Anemia ringan: anemia pada ibu hamil disebut ringan apabila

kadar hemoglobin ibu 10,9 g/dl sampai 10g/dl.

b. Anemia sedang: anemia pada ibu hamil disebut sedang apabila

kadar hemoglobin ibu 9,9g/dl sampai 7,0g/dl.

c. Anemia berat: anemia pada ibu hamil disebut berat apabila

kadar hemoglobin ibu berada dibawah 7,0g/dl.

2.1.2 Tanda dan gejala anemia

Tanda ibu hamil mengalami anemia adalah pucat, glossitis, stomatitis,

eodema pada kaki karena hypoproteinemia. Gejala ibu hamil yang mengalami

anemia adalah lesu dan perasaan kelelahan atau merasa lemah, gangguan

pencernaan dan kehilangan nafsu makan (Tewary, 2011).


2.1.3 Tipe-tipe anemia

Menurut Waryana (2010) dapat anemia digolongkan menjadi

beberapa golongan, yaitu :

a. Anemia defisiensi gizi besi

Anemia jenis ini biasanya berbentuk normositik dan

hipokromik. Keadaan ini paling banyak dijumpai pada kehamilan.

b. Anemia megaloblastik

Anemia ini biasanya berbentuk makrosistik, penyebabnya

adalah karena kekurangan asam folat, namun jenis anemia ini jarang

terjadi.

c. Anemia hipoplastik

Anemia hipoplastik disebabkan oleh hipofungsi sumsum

tulang dalam membentuk sel-sel darah merah baru.

d. Anemia
hemolitik

Anemia hemolitik disebabkan oleh penghancuran

atau pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari pembuatannya.

2.1.4 Penyebab anemia

a. Penyakit infeksi

Perdarahan patologis akibat penyakit atau infeksi parasit

seperti cacingan dan saluran pencernaan juga berhubungan positif terhadap

anemia. Darah yang hilang akibat infestasi cacing bervariasi

antara 2-

100cc/hari,tergantung beratnya infestasi. Anemia yang disebabkan karena

penyakit infeksi, seperti seperti malaria, infeksi saluran pernapasan atas

(ISPA) dan cacingan terjadi secara cepat saat cadangan zat besi tidak
mencukupi peningkatan kebutuhan zat besi (Listiana, 2016).

Kehilangan besi dapat pula diakibatkan oleh infestasi parasit

seperti cacing tambang, Schistoma, dan mungkin pula Trichuris trichura. Hal ini

lazim terjadi di negara tropis, lembab serta keadaan sanitasi yang buruk.

Penyakit kronis seperti ISPA, malaria dan cacingan akan memperberat anemia.

Penyakit infeksi akan menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu

menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare serta dapat

menurunkan nafsu makan. Infeksi juga dapat menyebabkan pembentukan

hemoglobin (hb) terlalu lambat. Penyakit diare dan ISPA dapat menganggu

nafsu makan yang akhirnya dapat menurunkan tingkat konsumsi gizi (Listiana,

2016).

b. Umur

Ibu yang berumur dibawah 20 tahun dan lebih dari 35 tahun

lebih rentan menderita anemia hal ini disebabkan oleh faktor fisik dan psikis.

Wanita yang hamil di usia kurang dari 20 tahun beresiko terhadap anemia

karena pada usia ini sering terjadi kekurangan gizi. Hal ini muncul biasanya

karena usia remaja menginginkan tubuh yang ideal sehingga mendorong

untuk melakukan diet yang ketat tanpa memperhatikan keseimbangan gizi

sehingga pada saat memasuki kehamilan dengan status gizi kurang. Sedangkan,

ibu yang berusia di atas 35 tahun usia ini rentan terhadap penurunan daya tahan

tubuh sehingga mengakibatkan ibu hamil mudah terkena infeksi dan

terserang penyakit (Herawati dan Astuti, 2010).

Ibu hamil pada umur muda atau di bawah 20 tahun perlu tambahan
gizi yang banyak, karena selain digunakan untuk pertumbuhan dan

perkembangan dirinya sendiri juga harus berbagi dengan janin yang sedang

dikandung. Ibu

hamil dengan umur yang tua di atas 35 tahun perlu energi yang besar

juga karena fungsi organ yang makin melemah dan diharuskan untuk bekerja

maksimal maka memerlukan tambahan energi yang cukup guna mendukung

kehamilan yang sedang berlangsung (Kristiyanasari, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Dwi (2016), usia ibu hamil dapat

mempengaruhi anemia jika usia ibu hamil relatif muda di bawah 20

tahun, karena pada umur tersebut masih terjadi pertumbuhan yang

membutuhkan zat gizi lebih banyak. Jika zat gizi yang dibutuhkan tidak

terpenuhi, akan terjadi kompetisi zat gizi antara ibu dan bayinya.

c. Status gizi

Melorys dan Nita (2017) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa

terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil.

Kekurangan gizi tentu saja akan menyebabkan akibat yang buruk bagi ibu dan

janin. Kekurangan gizi dapat menyebabkan ibu menderita anemia, suplai darah

yang mengantarkan oksigen dan makanan pada janin akan terhambat, sehingga

janin akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena

itu, pemantauan gizi ibu hamil sangat penting dilakukan.

Menurut Muliawati (2013) penilaian status gizi dapat dilakukan

dengan menggunakan penilaian antropometri yang terdiri dari:


1) Tinggi badan

Tinggi badan dapat dijadikan sebagai salah satu syarat status

gizi ibu hamil disebut baik. Tinggi badan ibu hamil dianggap memenuhi

syarat, apabila memiliki tinggi minimal 145 cm.

2) Berat badan

Pertambahan berat badan secara teratur selama kehamilan yang

tercatat dan membandingkan hal tersebut dengan berat badan sebelum

hamil adalah salah satu metode untuk mengetahui atau memantau status

gizi seorang ibu hamil. Kenaikan berat badan yang ideal selama

kehamilan adalah 10kg hingga 12kg dengan perhitungan pada trimester

pertama kenaikan kurang lebih satu kilogram, trimester kedua

kurang lebih tiga kilogram dan trimester tiga kurang lebih enam

kilogram. Ibu hamil yang dapat mencapai kenaikan berat badan tersebut

ibu dapat dikatakan memiliki status gizi yang baik.

3) Lingkar lengan atas (LILA)

Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) adalah suatu cara untuk

mengetahui risiko kekurangan energi kronis wanita usia subur. Wanita

usia subur adalah wanita dengan usia 15 sampai dengan 45 tahun yang

meliputi remaja, ibu hamil, ibu menyusui dan pasangan usia subur

(PUS). Ambang batas LILA wanita usia subur (WUS) dengan resiko

kekurangan energi kronis (KEK) adalah 23,5cm, yang diukur dengan

menggunakan pita ukur.

4) Gizi atau nutrisi ibu hamil

Gizi pada masa kehamilan sangat penting, bukan saja karena


makanan yang diperoleh mempengaruhi kesehatan ibu dan bayi, tetapi juga

berpengaruh saat menyusui nanti. Kebutuhan energi untuk kehamilan

yang normal memerlukan kira-kira 80.000 kalori selama kurang lebih 280

hari.

2.1.5 Dampak anemia

a. Abortus

Penelitian yang dilakukan oleh Aryanti (2016) menyebutkan

bawah terdapat hubungan antara anemia dengan abortus. Hal ini disebabkan

oleh metabolisme ibu yang terganggu karena kekurangan kadar hemoglobin

untuk mengikat oksigen. Efek tidak langsung yang dapat diakibatkan oleh ibu

dan janin antara lain terjadinya abortus, selain itu ibu lebih rentan terhadap

infeksi dan kemungkinan bayi lahir prematur.

b. Ketuban pecah dini

Ketuban pecah dini dapat disebabkan oleh anemia karena karena sel-

sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen sehingga kemampuan jasmani

menjadi menurun. Anemia pada wanita hamil dapat meningkatkan frekuensi

komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal,

angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal

dapat meningkat oleh hal tersebut (Usman, 2017).

c. Perdarahan postpartum

Penelitian Frass (2015) dalam Rizky, dkk. (2017) yang melaporkan

bahwa terdapat hubungan antara anemia dengan risiko perdarahan postpartum.


Anemia pada kehamilan menyebabkan oksigen yang diikat dalam

darah kurang sehingga jumlah oksigen berkurang dalam uterus dan

menyebabkan otot- otot uterus tidak berkontraksi dengan adekuat sehingga

menimbulkan perdarahan postpartum, sehingga ibu hamil yang mengalami

anemia memiliki kemungkinan

terjadi perdarahan postpartum 15,62 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil

yang tidak mengalami anemia.

d. Kala I lama

Ibu bersalin dengan anemia akan lebih mudah mengalami keletihan

otot uterus yang mengakibatkan his menjadi terganggu. Apabila his yang

ditimbulkan sifatnya lemah, pendek, dan jarang maka akan mempengaruhi

turunnya kepala dan pembukaan serviks atau yang disebut inkoordinasi

kontraksi otot rahim, yang akhirnya akan mengganggu proses persalinan. His

yang ditimbulkannya sifatnya lemah, pendek, dan jarang hal ini di sebabkan

oleh proses terganggunya pembentukan Adenosin Trifosfat (ATP). Salah satu

senyawa terpenting dalam pembentukan ATP adalah oksigen. Energi yang di

hasilkan oleh ATP merupakan salah satu faktor yang berperan dalam terjadinya

suatu kontraksi otot. Anemia dapat menyebabkan jumlah sel darah merah

berkurang sehingga oksigen yang diikat dalam darah sedikit kemudian

menghambat aliran darah menuju otot yang sedang berkontraksi, sehingga

mengakibatkan kinerja otot uterus tidak maksimal (Ulfatul, dkk., 2014).

e. Berat badan lahir rendah (BBLR)

Penelitian yang dilakukan oleh Siti dan Siti (2018) menyebutkan bahwa
terdapat hubungan antara anemia dan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR).

Anemia pada kehamilan akan menyebabkan terganggunya oksigenasi maupun

suplai nutrisi dari ibu terhadap janin, akibatnya janin akan mengalami gangguan

penambahan berat badan sehingga terjadi BBLR.

Ibu hamil yang mengalami anemia pada trimester pertama berisiko

10,29 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia

dan ibu yang mengalami anemia pada trimester kedua kehamilan berisiko

sebesar 16 kali lebih banyak melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR)

daripada ibu yang tidak anemia (Labir, dkk., 2013).

2.2 Haemoglobin (Hb)

2.2.1 Pengertian Haemoglobin (Hb)

Haemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki

daya gabung terhadap oksigen dan membentuk oxihaemoglobin di dalam sel

darah merah. Sel darah merah berfungsi menyalurkan oksigen keseluruh

tubuh, jika Hb berkurang maka jaringan tubuh akan kekurangan

oksigen. Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses metabolisme. Zat

besi merupakan bahan baku pembuat sel darah merah. Ibu hamil

mempunyai tingkat metabolisme yang tinggi, misalnya untuk membuat

jaringan tubuh janin, membentuknya menjadi organ dan juga untuk

memproduksi energy ibu hamil agar tetap bisa beraktivitas normal sehari- hari

(Sin-sin, 2010).

Fungsi utama sel darah merah ialah mengikat dan membawa oksigen

dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh sel diberbagai jaringan. Untuk

memenuhi keperluan seluruh sel tubuh akan oksigen tiap saat yang

jumlahnya besar,
senyawa ini tidak cukup untuk dibawa dalam keadaan terlarut secara fisik

saja didalam air, dalam hal ini disebut dengan cairan serum.

Kelarutan oksigen secara fisik didalam darah sangat dipengaruhi oleh

tekanan parsial dari gas (PO2) serta oleh suhu. Kedua faktor ini merupakan

faktor lingkungan yang sangat mudah berubah-ubah. Oleh karena itu tidaklah

mungkin untuk memenuhi keperluan akan oksigen dalam jumlah yang besar

secara terus menerus, bila tubuh hanya mengandalkan kedua faktor ini.

Harus ada suatu mekanisme lain yang sedikit atau banyak membebaskan tubuh

dari kedua faktor tersebut.

Fungsi haemoglobin merupakan komponen utama eritrosit yang

berfungsi membawa oksigen dan karbondioksida. Warna merah pada darah

disebabkan oleh kandungan haemoglobin yang merupakan susunan protein

komplek yang terdiri dari protein, globulin dan senyawa yang bukan

protein yang disebut heme. Heme tersusun dari suatu senyawa lingkar yang

bernama porfirin dan bagian pusatnya ditempati oleh logam fesi (Fe). Jadi

heme adalah senyawa-senyawa porfirin-besi, sedangkan haemoglobin

adalah senyawa komplek antara globin dan heme.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Haemoglobin

2.2.2.1 Kecukupan Besi dalam Tubuh

Cakupan besi dalam tubuh dibutuhkan untuk produksi haemoglobin,

sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah

merah yang lebih kecil dan kandungan haemoglobin yang rendah. Besi juga

merupakan mikronutrien essensial dalam memproduksi haemoglobin

yang berfungsi
mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh untuk diekskresikan

ke dalam udara pernafasan, sitokrom dan komponen lain pada sistem enzim

pernafasan seperti sitokrom oksidase,

katalase dan peroksidase. Besi berperan dalam sintesis haemoglobin

dalam sel darah merah dan mioglobin dalam sel otot. Kandungan ±0,004 %

berat tubuh (60-70%) terdapat dalam haemoglobin yang disimpan sebagai

ferritin di dalam hati, hemosiderin di dalam limfa dan sumsum tulang.

2.2.2.2 Metabolisme Besi dalam Tubuh

Besi yang terdapat di dalam tubuh orang dewasa sehat berjumlah lebih

dari 4 gram. Besi tersebut berada di dalam sel-sel darah merah atau

haemoglobin (lebih dari 2,5 gram), myoglobin (150 mg), phorphyrin

cytochrome, hati, limfa dan sumsum tulang (>200-1500 mg). Ada dua bagian

besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk keperluan

metabolik dan bagian yang merupakan cadangan. Haemoglobin, mioglobin,

sitokrom serta enzim hem dan nonhem adalah bentuk besi fungsional dan

berjumlah antara 25-55 mg/kg berat badan. Sedangkan besi cadangan apabila

dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis dan jumlahnya 5-25 mg/kg berat

badan. Ferritin dan hemosiderin adalah bentuk besi cadangan yang biasanya

terdapat dalam hati, limfa dan sumsum tulang. Metabolisme besi dalam tubuh

terdiri dari proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan

pengeluaran (Zarianis, 2016).

2.2.3 Guna Haemoglobin dalam Tubuh

Menurut Depkes RI adapun guna Haemoglobin antara lain :


Mengatur pertukran oksigen dari dalam tubuh ke jaringan atau sebaliknya.

b. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke

seluruh

jaringan-jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.

c. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai

hasil metabolisme ke paru-paru untuk dibuang.

d. Untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan darah atau

tidak, dapat diketahui dengan pengukuran kadar haemoglobin.

2.2.4 Nilai Normal Haemoglobin (Hb)

Menurut Sutedjo (2009) nilai normal haemoglobin dalam darah, yaitu :

a. Laki-laki : 14-18 g/dl

b. Wanita : 12-16 g/dl

c. Anak-anak : 12-14 g/dl

d. Bayi : 12-24 g/dl

2.2.5 Pemeriksaan Kadar Haemoglobin (Hb)

Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan

paling sederhana adalah metode sahli, dan yang lebih canggih adalah

sianmethaemoglobin. Pada metode sahli, haemoglobin dihidrolisis dengan HCl

menjadi globin ferroheme. Ferroheme oleh oksigen yang ada diudara dioksidasi

menjadi ferriheme yang segera bereaksi dengan ion Cl membentuk

ferrihemechlorid yang juga disebut hematin atau hemin yang berwarna coklat.

Warna yang terbentuk ini dibandingkan dengan warna standar (hanya dengan

mata telanjang). Untuk memudahkan perbandingan, warna standard

dibuat
konstan, yang diubah adalah warna hemin yang terbentuk. Perubahan

warna hemin dibuat dengan cara pengenceran sedemikian rupa hingga warnanya

sama dengan warna standar. Disamping faktor mata, faktor lain misalnya

ketajaman, penyinaran dan sebagainya dapat mempengaruhi hasil pembacaan.

Metode yang lebih canggih adalah metode sianmethaemoglobin.

Pada metode ini haemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi

methaemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN²ˉ)

membentuk sianmethaemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca

dengan fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang

membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif.

2.2.6 Haemoglobin dalam Kehamilan

Kadar haemoglobin merupakan indikator biokimia untuk mengetahui

status gizi ibu hamil. Kehamilan normal terjadi penurunan sedikit konsentrasi

haemoglobin dikarenakan hipervolemia yang terjadi

sebagai suatu adaptasi fisiologis didalam kehamilan. Konsentrasi

haemoglobin >11 g/dl merupakan keadaan abnormal yang tidak berhubungan

dengan hipervolemia tersebut. Ketidakadaan hipervolemia yang terjadi malah

dapat mengakibatkan tingginya kadar haemoglobin ibu hamil. Kadar

haemoglobin ibu hamil yang tinggi juga dapat mengakibatkan gangguan

pertumbuhan dan perkembangan janin normal.


2.3. Metode Pemeriksaan Kadar Hemoglobin (Hb)

2.1.3 Point-of-Care Testing (POCT)

Point-of-care testing (POCT) didefinisikan sebagai “testing at or near

the site of patient care whenever the medical care is needed” atau pemeriksaan

pada atau dekat tempat perawatan pasien kapan pun diperlukan. Tujuan POCT

untuk memberikan informasi langsung ke dokter tentang kondisi pasien,

sehingga informasi ini dapat diintegrasikan ke dalam keputusan pengobatan

yang tepat dan cepat. Tujuan POCT adalah meningkatkan outcome pasien,

yaitu mengatasi kondisi kritis serta mengurangi morbiditas dan mortalitas

pasien. POCT dapat dilakukan dalam berbagai tempat, bukan hanya di rumah

sakit namun juga di rumah atau di lokasi lain.

Instrumen POCT bervariasi dan dapat dikategorikan “mudah

dipindahkan/diangkut”, “mudah dibawa” atau “mudah digenggam,” berdasarkan

format pemeriksaannya. Instrumen-instrumen POCT dibedakan atas

dasar metode pengujiannya. Sebagai contoh, glucose-meter dikategorikan

sebagai “electrochemical biosensor,” “reflectance photometry,” atau

“absorbance photometry.” Instrumen-instrumen ini selanjutnya dibedakan

oleh jenis reaksi kimia yang digunakan untuk mengukur glukosa, baik glukosa

oksidase atau enzim dehidrogenase glukosa.


Kelebihan dan Kekurangan POCT
Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan POCT
Kelebihan Kekurangan
1. Mengurangi waktu 1. Kekhawatiran tentang
penyelesaian (turnaround ketidaktelitian, ketidaktepatan dan
time) pengujian diagnostik kualitas instrument (potensi zat yang
2. Ketersediaan data yang cepat mengganggu)
3. Mengurangi kesalahan 2. Pemeriksaan bedside dilakukan
pemeriksaan pra- analisis dan oleh pihak selain petugas lab, yang
pasca-analisis kurang terlatih
4. Instrumen yang cukup 3. Masalah manajemen /jaminan
memadai dan mudah kualitas dan tanggung jawab yang
digunakan kurang jelas.
5. Volume sampel yang kecil 4. Biaya POCT dibandingkan dengan
untuk menu pemeriksaan yang pengujian laboratorium tradisional
besar 5. Kualitas pengujian tergantung pada
6. Lama perawatan pasien lebih operator-
singkat 6. Kesulitan dalam
7. Kenyamanan bagi dokter mengintegrasikan hasil tes dengan
8. Kemampuan untuk menguji sistem informasi rumah sakit atau
berbagai jenis sampel (yaitu, sistem informasi laboratorium (LIS)
kapiler, air liur, urin) 7. Kurangnya konektivitas
8. Rentang pengukuran yang lebih
sempit untuk beberapa analisis

Kelebihan POCT

Keuntungan pertama dari POCT adalah singkatnya waktu penyelesaian

(turnaround time/TAT) pemeriksaan sampel pasien. Rata-rata TAT yang

diharapkan oleh dokter yang menangani kondisi kritis adalah 5 sampai

15 menit. Waktu analisis sampel darah dapat bervariasi, bergantung pada

instrumen yang digunakan, jenis pemeriksaan dan jumlah pemeriksaan yang

dilakukan. Singkatnya TAT ini memungkinkan dokter memberikan pengobatan

yang tepat lebih dini, terutama terhadap pasien kritis, oleh karena penundaan

dapat berdampak nyata merugikan outcome pasien.


Keuntungan kedua dari POCT adalah pengurangan potensi kesalahan pra-

analisis dan pasca-analisis. Metode tradisional pemeriksaan

laboratorium semakin meningkat pula kemungkinan kesalahan pra-analisis.

Beberapa kesalahan pra-analisis dan pasca-analisis yang terkait

dengan pemeriksaan laboratorium tradisional dapat dilihat dalam tabel 2.2

berikut.

Tabel 2.2 Kesalahan Pra-analisis dan pasca-analisis


Kesalahan Pra-analisis Kesalahan Pasca-analisis

1. Kesalahan penanganan dan / 1.Pelaporan yang salah tentang

atau pemberian label pada hasil pemeriksaan pasien

spesimen pasien 2.Pencatatan hasil

2. Kontaminasi terhadap spesimen pemeriksaan pasien yang salah

3. Degradasi spesimen 3.Data yang hilang

karena keterlambatan spesimen 4.Pelaporan tertunda pada hasil-

4. pengolahan / pengujian dan / hasil yang kritis

atau tiba di laboratorium pusat

Penundaan dalam pengolahan dan pemeriksaan spesimen memungkinkan

sampel mengalami degradasi. Hasil pemeriksaan tidak mewakili kondisi aktual

pasien. Hal ini sering terjadi di RSCM untuk pemeriksaan gas darah, pH dan

glukosa. Pemeriksaan bedside segera akan mengurangi kesalahan pra-

analisis dan pasca-analisis sekaligus. Pemeriksaan bedside menghilangkan

penundaan waktu akibat transportasi spesimen dan keterlibatan beberapa orang

yang menangani spesimen pasien. Kesalahan pasca-analisis juga dapat

diminimalkan karena hasil dari pemeriksaan bedside segera tersedia untuk tim

medis dan dapat


dicetak atau disimpan ke dalam memori oleh instrumen. Selanjutnya,

hasilnya dicatat langsung ke grafik pasien.

POCT nyaman bagi dokter karena dapat dilakukan dengan cepat dan

hasilnya siap tersedia. Ketika menu POCT makin berkembang yang

dilatarbelakangi oleh kebutuhan klinis berdasarkan real-time, POCT mengambil

kendali pemeriksaan diagnostik. Instrumen POCT saat ini mudah

digunakan (user-friendly) yang memungkinkan semua tenaga professional

selain petugas laboratorium dapat menggunakan instrumen tersebut. Banyak

POCT yang cukup memadai dengan instruksi pada layar (on-screen) yang

mempromosikan kemudahan penggunaannya. Beberapa instrumen POCT yang

tidak butuh perawatan yang rumit (low maintenance) karena cukup

memadai, menggunakan bahan pemeriksaan sekali pakai dan bahan

pemeriksaan yang dapat segera diganti.

POCT juga menguntungkan karena hanya memerlukan volume

sampel yang kecil. Pasien berpotensi kehilangan 25-125 mL darah setiap hari,

atau hingga

944 mL darah setiap perawatan di rumah sakit, akibat phlebotomy untuk

pemeriksaan laboratorium biasa. Pemeriksaan darah serial sering dilakukan

di ruang operasi, ICU dan IGD, yang tanpa disadari mengurangi darah

pasien. Selama operasi jantung terbuka pemeriksaan darah serial dapat dilakukan

berkali- kali, setiap 15 sampai 30 menit.

Pemeriksaan serial darah pasien dengan gagal napas, ketidakseimbangan

asam-basa atau pada pasien yang menjalani operasi, akan menyajikan tren

pemantauan yang berguna untuk mengevaluasi apakah terapi yang diberikan saat

itu efektif atau tidak. Akan tetapi banyaknya volume darah yang diambil

untuk
pengukuran serial ini dapat merugikan. Dalam pengobatan pasien kritis,

meminimalkan kehilangan darah adalah sangat penting. Instrumen POCT mampu

melakukan sejumlah pemeriksaan dengan kehilangan darah minimal (hanya 40

uL), bergantung pada instrumen yang digunakan dan pemeriksaan yang

dilakukan. Strategi ini menghemat darah dan meminimalkan komplikasi

kesehatan serta dan transfusi yang tidak perlu.

Kekurangan POCT

Kekhawatiran yang muncul dengan POCT adalah akurasi dan kinerja

instrumen. Salah satu pertanyaan penting adalah apakah zat yang bercampur

dengan spesimen dapat memengaruhi kinerja instrumen. Perhatian ini terutama

berlaku dalam perawatan kritis, di mana perubahan gas darah, kadar pH, glukosa

dan obat- obatan dapat menimbulkan potensi masalah untuk biosensor

darah. Meskipun berbagai studi telah mendokumentasikan keakuratan hasil

POCT dibandingkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium, akurasi

instrumen yang berukuran kecil masih kontroversial (misalnya, pemeriksaan

glukosa bedside dengan perangkat genggam).

Studi terbaru telah melaporkan potensi pengaruh tekanan oksigen darah

tinggi atau rendah, hematokrit dan kadar pH, yang dapat menyebabkan

profesional yang bukan petugas laboratorium. Belum cukup bukti apakah

pengukuran oleh profesional yang bukan petugas laboratorium yaitu dokter dan

perawat, itu akurat dibandingkan dengan pengukuran oleh petugas laboratorium.

Studi telah melaporkan bahwa pengukuran yang dilakukan oleh profesional yang

bukan petugas laboratorium yang telah memperoleh pelatihan yang memadai,

itu dapat
seakurat seperti yang dilakukan oleh petugas laboratorium. Umumnya

pengukuran akurat jika operator telah dilatih dengan baik dalam jaminan

kualitas dan instrumen terjaga dengan baik.

Ada kekhawatiran tambahan bahwa profesional yang bukan petugas

laboratorium mungkin tidak memiliki pemahaman yang memadai atau apresiasi

tentang pentingnya kontrol kualitas dan jaminan kualitas untuk pengujian alat.

Profesional yang bukan petugas laboratorium mungkin tidak cukup bertanggung

jawab terhadap manajemen mutu dan peningkatan kinerja, sehingga berpotensi

memengaruhi hasil. Tim rumah sakit (yaitu dokter, perawat, teknisi medis,

terapis pernafasan, dan ahli patologi) penting mengetahui prosedur dan

keterbatasan penggunaan instrumen POCT secara tepat. Staf rumah sakit yang

bekerja dengan instrumen ini harus mengenal dan bertanggung jawab untuk

manajemen mutu instrumen mereka, untuk menjamin keandalan hasil

pemeriksaan.

Staf administrasi (yaitu, manajer perawat, koordinator program POCT dan

manajer program jaminan mutu) seharusnya tetap memperbarui kemahiran

operator POCT di fasilitas mereka, sebagaimana halnya mereka sanggup melatih

operator baru dan menilai kompetensi mereka. Manajemen mutu yang berkaitan

dengan pengukuran yang dilakukan oleh operator instrumen POCT bertujuan

untuk memastikan bahwa instrumen

akurat dan dapat digunakan secara optimal. Mengabaikan akurasi dan

presisi untuk pemeriksaan yang cepat tidaklah dianjurkan. Setiap institusi medis

harus memiliki komite penjamin mutu yang bertanggung jawab terhadap

kompetensi operator dan keputusan tentang standar kinerja yang diharapkan

dari
seluruh siklus pemeriksaan.

Untuk mengatur kinerja pemeriksaan laboratorium (termasuk POCT),

pemerintah federal Amerika Serikat mensyaratkan bahwa setiap institusi medis

memenuhi standar yang ditetapkan oleh Clinical Laboratory Improvement

Amendments of 1988 (CLIA ‟88). Kepatuhan terhadap regulasi Joint Commission

on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO, Oakbrook Terrace, IL

atau College of American Pathologists (CAP, Northfield, IL) itu bersifat tidak

wajib. Semua lembaga medis harus mematuhi undang-undang negara. Peraturan

pemeriksaan laboratorium ini membantu untuk memastikan kinerja instrumen

POCT yang berkualitas tinggi serta praktik pengujian diagnostik yang tepat oleh

operator. Kepatuhan pengendalian mutu (Quality Control, QC) adalah salah satu

dari sekian banyak pengawasan manajemen mutu yang digunakan secara rutin

dengan perangkat POCT.

Terdapat perdebatan yang berkembang tentang efektivitas biaya dari

POCT. Biaya untuk POCT dibandingkan untuk pemeriksaan laboratorium yang

terpusat mungkin kurang, lebih, atau bahkan tidak ada perbedaan. POCT

mungkin lebih mahal daripada pemeriksaan laboratorium, tetapi keuntungan

POCT dapat memperpendek lama perawatan pasien atau mengimbangi biaya

POCT, atau keduanya. POCT di ruang operasi efektif dari segi biaya untuk

evaluasi hemostasis dan manajemen transfusi. Dalam beberapa kasus, seperti

pemeriksaan cepat hormon paratiroid untuk operasi paratiroid, kecepatan

pemeriksaan sangat penting untuk mengurangi lama pasien di ruang operasi dan

mengurangi lama rawat inap. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa POCT

dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan waktu di unit gawat

darurat tetapi penelitian lebih


lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil ini.

Tabel 2.2 Komponen-komponen Biaya

POCT

1. Perlengkapan (misalnya, reagen, cartridge sekali pakai, test strip)

dan peralatan

2. Pelatihan dan pelatihan ulang untuk operator instrumen

3. Pemeliharaan instrumen, termasuk mengganti instrumen yang cacat

4. Tenaga kerja tambahan dari sebagian tenaga yang bukan petugas laboratorium

(misalnya perawat) untuk menjalankan pemeriksaan

5. Software baru yang memungkinkan hasil pasien yang bisa dimasukkan

ke dalam sistem informasi rumah sakit / laboratorium.

6. Troubleshooting instrument

7. Jasa konsultasi untuk masalah instrumentasi

8. Melakukan studi perbandingan instrumen baru dan metodologi

dengan instrumen yang ada

9. Akreditasi dan biaya pengujian kemahiran

10. Duplikasi, pemeriksaan berulang, verifikasi, dan validasi

glucose-meter melaporkan nilai glukosa yang lebih tinggi atau lebih rendah.

2.3.2 Hematology Analyzer

2.2.6.1 Prinsip Hematology Analyzer

Hematology Analyzer adalah alat yang digunakan untuk memeriksa darah


lengkap dengan cara menghitung dan mengukur sel-sel darah secara

otomatis berdasarkan variasi impedansi aliran listrik atau berkas cahaya terhadap

sel-sel yang diperiksa. Alat ini bekerja berdasarkan prinsip flow cytometer.

Flow cytometry adalah metode pengukuran [= metri] jumlah dan sifat-sifat sel [=

cyto] yang dibungkus oleh aliran cairan [= flow] melalui celah sempit.

Ribuan sel dialirkan melalui celah tersebut sedemikian rupa sehingga sel dapat

lewat satu per satu, kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel dan ukurannya.

Alat ini juga dapat memberikan informasi intraselular, termasuk inti sel.

2.2.6.2 Prinsip Impedansi Listrik

Berdasarkan variasi impedansi yang dihasilkan oleh sel-sel darah di dalam

microaperture (celah microchamber). Sampel darah yang diencerkan dengan

elektrolit diluent/Sys DIL, akan melalui microaperture yang dipasangi dua

elektroda pada dua sisinya (sisi vakum dan konstan) yang pada masing-

masing arus listrik berjalan secara kontinyu. Akan terjadi peningkatan resistensi

listrik (impedansi) pada kedua elektroda sesuai dengan volume sel (ukuran sel)

yang melewati. Impulse voltage yang dihasilkan oleh amplifier sirkuit

ditingkatkan dan dianalisis oleh sistem elektronik. Hemoglobin diukur

dengan melisiskan Red Blood Cells (RBC) dengan Sys LYSE membentuk

methemoglobin/cyanmethemoglobin dan diukur secara spektrofotometri pada

panjang gelombang 550 nm pada chamber. Hasil yang didapat dicetak

pada printer berupa nilai dan grafik sel.

Prinsip Light Scattering


Ini adalah metode di mana sel dalam suatu aliran melewati celah di mana

berkas cahaya difokuskan ke situ (sensing area). Apabila cahaya tersebut

mengenai sel, akan dihamburkan, dipantulkan, atau dibiaskan ke semua

arah. Beberapa detektor yang diletakkan pada sudut-sudut tertentu akan

menangkap berkas-berkas sinar sesudah melewati sel itu. Alat yang memakai

prinsip ini lazim disebut flow cytometer.

2.2.6.3 Prinsip Hematology Analyzer dalam Mengukur Hemoglobin

Reagen sulfolyser melisis sel darah merah dan bereaksi dengan

hemoglobin membentuk oxyhemoglobin yang dimodifikasi, konsentrasinya

diukur dengan melewatkan cahaya monokromatis. Cahaya yang diserap

berbanding lurus dengan konsentrasi hemoglobin. Semakin t inggi

konsentrasi suatu zat semakin banyak cahaya yang diserap. Hubungan antara

jumlah cahaya yang diserap dan konsentrasi larutan ditunjukkan dengan hukum

Beer, yang menyatakan bahwa besarnya penyerapan berkaitan langsung dengan

konsentrasi suatu zat. Analisis ini menggunakan spektrum

Spectrophotometry. Sulfolyser tidak mengandung bahan beracun seperti sianida

sehingga limbah yang dihasilkan aman untuk lingkungan.

Metode deteksi SLS-Hemoglobin (Sulfolyser Hemoglobin) menggunakan

sodium lauril sulfat (SLS) yang bebas sianida. Reagen melisiskan sel darah

merah dan sel darah putih pada sampel. Reaksi kimia dimulai dengan mengubah

globin dan kemudian mengoksidasi gugus hem, selanjutnya dapat mengikat

gugus
hidrofilik SLS ke dalam grup hem dan membentuk kompleks (SLS-HGB) yang

stabil dan berwarna, yang kemudian dianalisis menggunakan metode fotometri.

LED memancarkan cahaya monokromatik dan bergerak melalui cahaya

campuran yang diserap oleh kompleks SLS-HGB. Absorbsi (penyerapan) diukur

oleh sensor foto, yang sebanding dengan konsentrasi hemoglobin sampel.

Metode penyerapan fotometrik biasanya dipengaruhi oleh kekeruhan

sampel itu sendiri. Dalam sampel darah, kekeruhan dapat disebabkan karena

lipemia atau leukositosis. Dengan menggunakan metode SLS-HGB gangguan ini

dapat diminimalkan karena efek reagen POCT dalam Pengukuran Hemoglobin

Instrumen POCT yang digunakan untuk mengukur hemogobin menggunakan dua

prinsip teknologi, yakni : photometry dan electrochemistry. Prinsip photometry

diterapkan pada HemoCue Hb , Mission Plus Hb (produk ACON) dan STAT-Site

M Hgb (produk STANBIO), sedangkan prinsip electrochemistry diterapkan pada

HemoSmart Gold (produk ApexBio) dan Cera-Chek Hb Plus (produk Ceragem).

Microcuvette yang berisi sejumlah reagen tertentu yang kering dan

menampung sekitar 10 uL sampel darah itu berfungsi menggantikan fungsi

pipette, test tube dan measuring vessel. Variasi pengukuran batch-to-batch <

1,5%. Telah dipatenkan di lebih dari 25 negara. Tersedia dalam kemasan kotak

yang berisi 4 tube @50 pcs. Penyimpanan Hb 2019 Microcuvette sebaiknya

dilakukan pada temperatur ruangan (15 – 30 0C) yang kering dan tidak lembab.

Masa berlakunya :

 Tabung tertutup : 2 tahun dari tanggal


pembuatan

 Tabung terbuka : 3 bulan sejak


dibuka
 Paket individual : 15 bulan dari tanggal pembuatan

Reagen yang terdapat dalam microcuvette merupakan modifikasi dari

metode azidmethemoglobin assay, selain digunakan juga cyanmethemoglobin

assay untuk mengurangi toxic reagent dan untuk reaksi yang lebih cepat. Sampel

darah bias berasal dari pembuluh darah kapiler, vena atau arteri. Eritrosit yang

terhemolisis dengan sodium deoxycholate, akan mengeluarkan hemoglobin.

Hemoglobin ini dikonversi dengan sodium nitrite menjadi methemoglobin dan

kemudian digabungkan dengan sodium azide sehingga membentuk azide-

methemoglobin. Pengukuran berlangsung di dalam Hb 2019 Analyzer

dimana transmitansi dan absorbansi diukur.

Absorbansi yang diukur pada 2 panjang gelombang (570 nm and 880 nm)

itu berbanding lurus dengan kadar hemoglobin. Metode lain adalah

menggunakan Hematology analyzer adalah alat untuk mengukur sampel berupa

darah. Untuk beberapa rumah sakit sudah menggunakan alat ABX Micros 60

yang merupakan peralatan otomatis yang digunakan untuk peneriksaan

haematologi lengkap (DL). Alat ini dapat membantu mendiagnosis penyakit

yang diderita seorang pasien seperti kanker, diabetes, dll. Alat yang digunakan

untuk memeriksa darah lengkap dengan cara menghitung dan mengukur sel

darah secara otomatis berdasarkan impedansi aliran listrik atau berkas cahaya

terhadap sel–sel yang di lewatkan. Pemeriksaan hematologi rutin seperti

meliputi pemeriksaan hemoglobin, hitung sel leukosit, dan hitung jumlah sel

trombosit.

Pengukuran dan penyerapan sinar akibat interaksi sinar yang mempunyai

panjang gelombang tertentu dengan larutan atau sampel yang dilewatinya. Alat

ini bekerja berdasarkan prinsip flow cytometer. Flow cytometri adalah

metode
pengukuran (=metri) jumlah dan sifat- sifatsel (=cyto) yang dibungkus oleh

aliran cairan (=flow) melalui celah sempit ribuan sel dialirkan melalui celah

tersebut sedemikian rupa sehingga sel dapat satu persatu, kemudian

dilakukan penghitungan jumlah sel dan ukurannya. Alat ini juga dapat

memberikan informasi intra seluler termasuk inti sel.

Prinsip impedensi listrik berdasarkan pada variasi impedensi yang

dihasilkan oleh sel-sel darah di dalam mikrooperture (celah chamber mikro) yang

mana sampel darah yang diencerkan dengan elektrolit diluents / sys dII

akan melalui mikroaperture yang dipasangi dua elektroda pada dua sisinya (sisi

sekum dan konstan) yang pada masing-masing arus listrik berjalan secara

continue maka akan terjadi peningkatan resistensi listrik (impedansi) pada kedua

elektroda sesuai dengan volume sel (ukuransel) yang melewati impulst/voltage

yang dihasilkan oleh amplifier circuit ditingkatkan dan dianalisa oleh elektonik

system lalu hemoglobin diukur dengan melisiskan Red Blood Cels (REC) dengan

sys. LYSE membentuk methemoglobin, cyan methemoglobin dan diukur secara

spektro fotometri pada panjang gelombang 550 nm pada chamber. Hasil yang

didapat diprintout pada printer berupa nilai lain grafik sel.

Prinsip light scattering adalah metode dimana sel dalam suatu aliran

melewati celah dimana berkas cahaya difokuskan ke situ (sensing area). Apabila

cahaya tersebut mengenai sel, diletakkan pada sudut-sudut tertentu akan

menangkap berkas-berkas sinar sesudah melewati sel itu. Alat ini memakai

prinsip ini lazim disebut flow cytometri.

Keuntungan dari Hematologi analyzer


1. Efisiensi waktu : lebih cepat dalam pemeriksaan hanya membutuhkan

waktu sekitar 2-3 menit dibandingkan dilakukan secara manual.

2. Sampel :pemeriksaan hematologi rutin secara manual misalnya, sampel

yang dibutuhkan lebih banyak membutuhkan sampel darah (whole Blood).

Manual prosedur yang dilakukan dalam pemeriksaan leukosit

membutuhkan sampel darah 10 mikro, juga belum pemeriksaan lainnya.

Namun pemeriksaan hematology analyzer ini hanya menggunakan sampel

sedikit saja.

3. Ketepatan hasil :Hasil yang dikeluarkan oleh alat Hematologi analyzer

ini biasanya sudah melalui quality control yang dilakukan oleh intern

laboratorium tersebut., baik di institusi RumahSakit ataupun Laboratorium

Klinik.

Kerugian Hematologi analyzer adalah tidak dapat menghitung sel

abnormal. Pemeriksaan oleh hematologi autoanalyzer ini tidak selamanya mulus

namun pada kenyataannya alat ini juga memiliki beberapa kekurangan seperti

dalam hal menghitung sel-sel abnormal, seperti dalam pemeriksaan hitung

jumlah sel, bias saja nilai dari hasil hitung leukosit atau trombosit bisa saja

rendah karena ada beberapa sel yang tidak terhitung dikarenakan sel tersebut

memiliki bentuk yang abnormal.

Prosedur pemeriksaan metode Hematologi analyzer

1. Menyalakan alat ;

a. Tekan tombol power ON/OFF pada bagian kiri belakang alat.

b. Alat akan menampilkan start up, tekan YES

c. Lakukan pencucian alat terlebih dahulu dengan menekan menu

SERVIS-Concentrate Cleaning-YES

U667
2. Running control atau specimen pasien

a. Tekan tombol ‘’ID’’ untuk mulai melakukan pemeriksaan setelah

melakukan pencucian alat.

b. Siapkan control atau specimen pasien yang siap diperiksa

yang telah dihomogenisasi.

c. Isi ID pasien secara lengkap dan tekan YES

d. Masukkan sampel setelah jarum penghisap sampel keluar ke

bawah dengan menekan tombol belakang jarum penghisap sampel.

e. Tunggu sampai keluar hasil pada layar dan hasil terprint dari alat.

3. Mematikan alat

a. Pastikan terlebih dahulu bahwa alat telah dicuci sebelumnya

b. Tekan tombol menu untuk mematikan alat.


30
31
32
33
34
35
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 JENIS DAN DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian diperlukan untuk mencapai suatu tujuan atau

menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimental laboratorium dengan observasi analitik cross sectional yang

membandingkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin metode POCT dengan

metode Flowfotometri.

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Talang Kabupaten Solok.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember 2020 – Januari

2021.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoadmodjo,2014). Adapun yang menjadi objek penelitian ini

adalah seluruh ibu hamil yang melakukan pemeriksaan Hb di Puskesmas

Talang.
3.3.2 Sampel

Menurut Notoatmodjo (2014), sampel penelitian adalah bagian dari

populasi yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Dalam

penelitian ini teknik pengambilan sampel adalah dengan Aksidental

Sampling dimana seluruh ibu yang melakukan pemeriksaan Hb di jadikan

sampel penelitian dan bersedia menjadi obyek penelitian sebanyak 30 orang.

3.4 VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONA

3.4.1 VARIABEL

Variabel Dependen Variabel Independen

a. Metode POCT
Kadar HB
b. Metode Folwsitometri

3.4.2 DEFINISI OPERASIONAL

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Hasil Ukur Skala


Ukur Ukur
1 Kadar HB Kadar Hb dengan Formulir 0. Anemia Ordinal

didalam menggunakan Isian 1. Tidak

darah yang di alat Anemia

ukur dengan pemeriksaan

menggunakan HB

alah

flowcitometri

dan POCT
2 Metode Metoda observasi

POCT pemeriksaan

Hb sederhana

dengan

menggunakan

alat

sederhana

dengan

pengambilan

darah arteri

3 Metode Metoda observasi

Flowsitometri pemeriksaan

Hb dengan

menggunakan

alat canggih

dengan

pengambilan

darah vena

3.5 INSTRUMEN PENELITIAN

3.5.1 ALAT

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Tabung reaksi

b. Rak tabung reaksi


c. Hematologi analizer

d. Alat Hemoglonometer merk Easy Touch

GCHb e. Spuit 3 cc

f. Lanset

g. Kapas Alkohol

3.5.2 BAHAN

Bahan yang digunakan adalah Darah EDTA

3.6 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

3.6.1 METODA POCT

Tahap yang dilakukan dalam penelitian ini

a. Lakukan persiapan alat diantaranya lanset, kapas alkohol dan stik Hb.

Pastikan alat hemoglonometer dalam keadaan stand by

b. Lakukan fiksasi pada jari yang akan di ambil darah dengan

menggunakan kapas alkohol lalu keringkan

c. Tekan pangkal jari sampai darah keluar

d. Masukan darah ke stik

e. Masukan stik kedalam alat

hemoglonometer. f. Baca hasil

3.6.2 METODA FLOWFOTOMETRI

a. Hidupkan alat Hematologianalyzer

b. Persiapkan spuit dan tabung EDTA


c. Tentukan lokasi pegambilan darah vena ibu dan fiksasi dengan

kapas alkohol

d. Ambil darah dengan spuit sebanyak 1cc dan masukkan kedalam Tabung

EDTA

e. Masukan tabung EDTA kedalam alat

Hematologianalyzer f. Tunggu sampai hasil keluar

3.7 CARA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan hemoglobin

dengan menggunakan metoda POCT dan Metoda Flowfotometri

dimasukan kedalam tabel yang telah disediakan. Untuk menguji adanya

perbandingan pemeriksaan hemoglobin tersebut maka dianalisa dengan uji

T test independen dengan menggunakan SPSS 16.

Anda mungkin juga menyukai