Anda di halaman 1dari 6

Mardjono Reksodiputro

Makalah Pengarah (Keynote Address) Seminar Nasional:


Mendorong Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam
Pembaruan Hukum Pidana Indonesia
Universitas Pancasila, 17 Juli 2019

Pengantar
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) bukan hal baru lagi di Indonesia. Berbagai
tulisan dan diskusi telah disampaikan mengenai hal ini. Dari TOR yang disampaikan
Panitia saya menyimpulkan bahwa kali ini “keadilan restoratif” (selanjutnya K-R) ingin
didekati dengan sudut pandang “korban-kejahatan” (K-K). Dan dalam sesi ke-1,diskusi
ingin menggali bagaimana K-R dapat membantu pemberian keadilan kepada K-K.
Sedangkan dalam sesi ke-2 diharapkan dapat didiskusikan cara mencegah terjadinya
“K-K berulang”.

K-R memang penting dikaitkan dengan K-K, karena memang K-R dikatakan terbentuk
antara lain sebagai kritik terhadap Sistem Peradilan Pidana yang cenderung
mengabaikan peranan korban. Dan dalam situasi sekarang di mana DPR dengan
Pemerintah berada dalam tahap terakhir mendiskusikan suatu Rancangan KUHP
Nasional, yang akan merupakan pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, maka sudah
tepat bahwa gagasan K-R dengan sudut pandang K-K kita diskusikan di seminar ini..

Tentang Korban Kejahatan


Perhatian internasional terhadap K-K dalam Sistem Peradilan Pidana, tercatat sudah
ada sejak tahun 1940-an, misalnya oleh ahli kriminologi Hans von Hentig (1949) dan
Benjamin Mendelsohn (1956). Dalam periode ini sejumlah tokoh kriminologi
internasional sudah meminta perhatian dan memperjuangkan agar korban dberikan pula
perlakuan adil dari masyarakat, dibanding perhatian yang sangat besar yang telah
diberikan oleh para ahli kriminologi kepada hak-hak tertuduh dan narapidana, sebagai
akibat diterimanya pemikiran bahwa tujuan pemidanaan adalah rehabilitasi pelanggar
hukum (dan bukan bertujuan pembalasan dendam). Kemudian perhatian dunia ilmu
pengetahuan mulai meningkat pula dengan dilangsungkannya Simposium Internasional
Pertama tentang Viktimologi (1973) yang diselenggarakan oleh World Society of
Victimology. Sejak itu penelitian tentang korban delik mendapat perhatian serius, antara
lain tentang: peranan korban dalam terjadinya delik, hubungan antara pelaku dengan
korban delik, mengenai mudah “diserangnya” korban, kemungkinan menjadi korban-
kembali/terulang, peranan korban dalam proses peradilan pidana, ketakutan korban
terhadap terulangnya kejahatan, sikap korban terhadap peraturan hukum pidana dan
acara pidana serta proses penegakan hukum pada umumnya.1

Dalam kaitan penelitian seperti ini timbullah pemahaman tentang posisi korban dalam
suatu peristiwa kejahatan, antara lain adanya “latent victims” (mereka yang lebih
1
Lihat Mardjono Reksodiputro, 2007,Kriminologi dan Sistem Peradilan-Kumpulan Karangan –Buku
Kedua, Lembaga Kriminologi UI, hlm.71

1
cenderung menjadi korban daripada orang lain, seperti: anak-anak dan perempuan) dan
“victim-prone occupations” (pekerjaan yang cenderung lebih banyak menimbulkan
korban, seperti: supir taxi dan pelacur). Studi-studi seperti ini bertujuan untuk
melaksanakan usaha perlindungan dan pencegahan warga masyarakat menjadi
korban. Penelitian juga menunjuk adanya perbedaan dalam derajat kesalahan pada diri
korban, seperti: yang sama sekali tidak bersalah – yang menjadi korban karena
kelalaiannya – yang sama salahnya dengan pelaku – yang lebih bersalah daripada
pelaku – dan di mana korban adalah satu-satunya yang bersalah. Selanjurnya studi-
studi dalam bentuk “survai terhadap korban” (victim surveys) juga menjadi penting,
karena antara lain dapat mengungkapkan: bagaimana masyarakat yang pernah jadi
korban bersikap terhadap masalah kejahatan, misalnya: mengapa mereka tidak melapor
– bagaimana risiko seseorang untuk menjadi korban-kejahatan – adakah rasa takut dan
tidak aman terhadap kemungkinan terulangnya kejahatan pada mereka (meluasnya
“fear of crime’).

Di Indonesia perhatian terhadap korban ini dapat ditelusuri dari perhatian kriminolog
Paul Moedikdo dengan Teori Dialog-nya (awal 1960-an), dan kemudian diteruskan oleh
kriminolog Arif Gosita dengan makalahnya dalam Seminar Kriminologi Ke-III (Oktober
1976) di Universitas Diponegoro, Semarang. Juga PBB telah memberi perhatiannya
kepada masalah korban ini dengan menerbitkan UN Declaration on the Basic Principles
of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985). Dan dalam tahun 2002
diselenggarakan suatu Seminar Khusus tentang Victims and Criminal Justice – Asian
Perspective, di Keio University di Jepang, di mana diajukan dua makalah dari Indonesia
oleh Purnianti “Protection of Female Victim of Violence in Indonesia” , dan oleh
Mardjono Reksodiputro dan Mudzakkir “Victimization in Indonesia: An Expensive
Lesson”.2 Dalam tahun 2011 Departemen Kriminologi FISIP-UI menerbitkan buku yang
disunting oleh Prof. Adrianus Meliala, yang berisi 12 karangan para Dosen, berjudul
Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan.3

Gambaran singkat dan pasti tidak lengkap di atas, hanya ingin menjelaskan bahwa
perhatian ilmu pengetahuan Kriminologi dan Hukum Pidana di Indonesia terhadap
masalah korban-kejahatan ini, sudah berjalan lama. Namun, perhatiannya memang
masih sekedar dalam memahami peranan, sikap dan perasaan korban saja. Mengenai
kaitannya dengan Restorative Justice (K-R) belum terlihat dalam bahan pustaka di
atas. Selanjutnya akan dicoba menjelaskan tentang K-R ini.

Tentang Keadilan Restoratif


Pemahaman tentang situasi yang dihadapi korban tersebut di atas, telah menimbulkan
keinginan para ahli kriminologi dan hukum pidana, untuk membangun suatu sistem
peradilan pidana yang peka tentang masalah korban (a victim sensitive criminal justice
system). Mengapa ? Salah satu alasannya adalah bahwa peranan korban-kejahatan
2
Tatsuya Ota (Editor),2003, Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, Tokyo:Keio University
3
Adrianus Meliala (Penyunting),2011, Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan,
Jakarta: Penerbit FISIP UI Press.

2
untuk turut-serta menentukan bagaimana proses perkaranya itu, telah ter-abaikan dalam
sistem yang berlaku.. Dalam sistem ini korban hanyalah sekedar pelapor dan saksi yang
diperlukan negara. Proses selanjutnya telah diambil alih oleh negara, dalam hal ini oleh
kepolisian dan kejaksaan. Pertanyaan yang timbul adalah: mengapa korban tidak dapat
ikut menentukan jalannya proses penyelesaian perkaranya ? Pengecualian hanya ada
pada delik-aduan, di mana proses baru berjalan dengan pengaduan korban, dan yang
masih dapat dicabut oleh korban pada tahap sebelum sidang pengadilan. Jawaban yang
umum diberikan adalah: bahwa memberikan wewenang kepada korban turut
menentukan proses peradilan pidana, akan membuka kesempatan proses yang lebih
bersifat emosional (amarah korban dan publik- hal ini dapat menimbulkan “lynch
justice”- “main-hakim- sendiri”) dan menghalangi keinginan kita mempunyai sistem
peradilan pidana yang bersifat rasional.

Dalam kriminologi saya ingin merujuk kepada mashab kritikal (critical criminology) di
mana terdapat pemikiran tentang “kriminologi konflik”. Menurut mashab kritikal, maka
penanggulangan kejahatan (dalam arti luas) seharusnya dapat dilakukan melalui
masyarakat yang lebih demokratis (berarti dengan mengurangi proses konflik antara
yang “berkuasa” dengan yang “dikuasai”).Dalam mashab kritikal ini terdapat berbagai
macam teori kriminologi, yang dapat dinamakan teori-teori konflik-sosial, yang melihat
kejahatan itu sebagai fungsi dari konflik-konflik-sosial yang ada dalam masyarakat.
Misalnya, dalam tahun 1971, William Chambliss dan Robert Seidman menerbitkan
karangan mereka yang terkenal juga di Indonesia: “Law, Order and Power”, yang
merupakan referensi pula dari Prof.Satjipto Rahardjo dalam teori hukumnya yang
dikenal sebagai :Teori Hukum Progresif. Menurut Chambliss dan Seidman antara lain:
“penguasaan atas sistem politik dan ekonomi akan mempengaruhi bagaimana peradilan
pidana dilaksanakan, dan definisi tentang kejahatan akan dipengaruhi secara
menguntungkan oleh mereka yang menguasai sistem peradilan, oleh karena itu,
peranan konflik dalam masyarakat perlu dianalisa oleh ilmu pengetahuan yang netral”4..

Dengan mendasari pemikiran bahwa konflik-sosial adalah salah satu penyebab


kejahatan, maka diajukan pemikiran bahwa dengan meredusir konflik-sosial,kejahatan
dapat dikurangi dan salah satu caranya adalah melalui “restorative justice”.
Pendekatan K-R ini menekankan pada “non-punitive strategies to prevent and control
crime”, dan mengedepankan peranan korban kejahatan dalam mewujudkan strategi ini. 5
Disinilah terdapat hubungan antara Restorative Justice (K-R) dengan Viktimologi
(ilmu pengetahuan mengenai korban-kejahatan).

Eva Achyani Zulfa memandang K-R ini sebagai suatu filosofi pemidanaan.Dan sebagai
falsafah ini, K-R dapat diterapkan dengan membingkainya pada berbagai kebijakan,
gagasan program dan penanganan perkara pidana. Cara ini diharapkan akan
menimbulkan hasil yang menciptkan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat

4
Mardjono Reksodiputro (2010), Pemikiran Kriminologi:Restorative Justice, Makalah tidak diterbitkan,
disampaikan di Departemen Kriminologi FISIP-UI.
5
Ibid

3
dan dengan itu menjawab berbagai masalah yang dihadapi sistem peradilan pidana 6.
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, maka disinilah harus dilihat
hubungan antara Viktimologi, Keadilan Restoratif dan Sistem Peradilan Pidana.
Penelitian-penelitian di Indonesia dalam tema ini masih perlu banyak dilakukan.

Mendorong K-R dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia (Tema seminar ini)
Seperti disampaikan sebelumnya, maka K-R dapat juga didekati dengan pandangan
viktimologi, dalam arti bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP), korban dan orang
yang selamat dari suatu kejahatan (survivor) sering kali terlupakan atau terabaikan. Agar
SPP memperhatikan pula korban, maka di beberapa negara dalam hukum acara
pidananya dinyatakan tentang hak korban untuk mendapat victim impact statement
(VIC) dalam sidang peradilannya.Isinya menyatakan kerugian dan penderitaan yang
dialami korban akibat kejahatan tersebut. VIC ini harus diperhatikan oleh hakim dalam
memberi keputusannya. Dengan memperhatikan VIC, maka hakim dapat memberikan
kompensasi (bantuan keuangan dari negara - compensation) dan atau “restitusi” (ganti-
rugi dari pelaku - restitution ).Disini, maka K-R digambarkan bertujuan “to restore the
health of the community, repair the harm done, meet victim’s needs and require the
offender to contribute to those repairs” (mengembalikan kesejahteraan komuniti,
memperbaiki kerusakan yang terjadi, dan mewajibkan pelaku untuk turut menyumbang
guna perbaikan tersebut). Dasar pemikiran dalam K-R di sini adalah bahwa negara
turut bersalah dalam terjadinya kejahatan terhadap seorang warganya.

Pendapat yang lebih keras diajukan oleh John Braithwaite (2003) dalam Principles of
Restorative Justice, di mana dikatakannya bahwa dengan Restorative Justice”, perlu
diadakan: “a radical redesign of legal institutions, whereby the justice of the people will
more meaningfully bubble up into the justice of the law, and the justice of the law will
more legimately filter down to place limits on the justice of the people” (diperlukan
perombakan radikal dari lembaga-lembaga hukum, agar rasa- keadilan-masyarakat
akan meresap ke dalam rasa-keadilan-hukum secara lebih berarti, dan rasa-keadilan-
hukum akan lebih secara-sah meresap untuk membatasi rasa-keadilan -masyarakat).
Pendekatan Braithwaite di sini lebih cenderung menggunakan teori-teori konflik-sosial
yang melihat adanya diskriminasi dalam penegakan hukum terhadap kelompok-
kelompok “kelas-bawah” (lower class groups).

Kembali kepada pendapat Zulfa Achyani dalam disertasinya, perlu diperhatikan bahwa
kehadiran K-R dalam hukum pidana tidak bermaksud mengabolisi hukum pidana, tetapi
justru harus dilihat sebagai mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula,
yaitu pada fungsi ultimum remedium.

Penutup

6
Ibid

4
Tidak ada kesimpulan yang akan ditarik dari uraian saya ini, kecuali mengatakan bahwa
masih banyak yang perlu diteliti dan didiskusikan bilamana kita menginginkan agar
Hukum Pidana Indonesia (hukum materiil dan hukum formilnya) lebih memperhatikan
korban-kejahatan. Namun demikian akan diajukan juga beberapa saran:

A)Mungkin kita dapat mulai dengan memperluas tujuan SPP kita; dari yang tradisional
(dengan pendekatan offender centered) yaitu :

1)Mencegah warga masyarakat menjadi korban-kejahatan;


2)Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
3)Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
kembali kejahatannya;

dengan menambahnya melalui pendekatan korban (optik-korban), misalnya:

4)Memberikan kepada korban hak menerima kompensasi dan restitusi dan


melindunginya dari menjadi korban kembali;

B)Tetapi disamping itu, kita juga dapat menyempurnakan KUHP/WvS kita dalam pasal
82 (transaksi tentang hapusnya kewenangan penuntutan) ke dalam pasal baru dalam
R-KUHP Nasional yang masih ada di DPR, dengan pasal yang memungkinkan
dilakukannya penyelesaian kasus kejahatan diluar jalur peradilan pidana (seperti
dalam lembaga diversi pada UU No.11/2012 tentang Peradilan Anak). Contoh dapat
diambil dari pasal 74 KUHP Belanda, yang berbunyi (terjemahan bebas intinya): “…
Penuntut Umum berwenang sebelum dimulainya sidang pengadilan mengajukan satu
atau lebih syarat untuk mencegah penuntutan suatu tindak pidana. Dengan dipenuhinya
syarat (-syarat) tersebut, maka kewenangan menuntut menjadi hapus. Adapun syarat
(syarat) yang dapat diajukan adalah: …. (di sini dimasukkan syarat-syrat dilakukannya
proses Keadilan Restoratif dengan Korban dan Masyarakat).” Namun, dengan melihat
kondisi kepercyaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan sekarang ini, maka
K-R ini sebaiknya juga diawasi oleh hakim.

-Sekian dan terima kasih untuk perhatian yang telah diberikan-.

5
6

Anda mungkin juga menyukai