Anda di halaman 1dari 10

Kronologi Peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984

Jakarta, CNN Indonesia -- Peristiwa Tanjung Priok adalah kerusuhan yang melibatkan tentara
dan warga di Tanjung Priok, Jakarta Utara pada 12 September 1984. Kerusuhan ini
merupakan salah satu kerusuhan besar yang terjadi pada masa Orde Baru.
Tragedi Tanjung Priok dihujani aksi penembakan yang menyebabkan 24 orang tewas dan 55
orang luka-luka. Namun, jumlah korban secara pasti tak diketahui hingga saat ini.

Kerusuhan Tanjung Priok berawal dari cekcok Bintara Pembina Desa (Babinsa) dengan
warga. Saat itu, Babinsa meminta warga mencopot spanduk dan brosur yang tidak
bernapaskan Pancasila. Ketika itu Pemerintah Orde Baru melarang paham-paham anti
Pancasila.
Selang dua hari, spanduk itu tidak juga dicopot oleh warga. Petugas Babinsa Sersan Satu
Hermanu lantas mencopot spanduk itu sendiri. Namun, saat melakukan pencopotan, petugas
Babinsa disebut melakukan pencemaran terhadap masjid.
Petugas Babinsa disebut tidak melepas alas kaki saat masuk ke dalam Masjid Baitul Makmur.
Kabar ini membuat warga berang dan berkumpul di masjid.
Pengurus Masjid Baitul Makmur, Syarifuddin Rambe, Sofwan Sulaeman, dan Ahmad Sahi
mencoba menenangkan warga. Namun, warga yang emosi membakar sepeda motor petugas
Babinsa.
Alhasil, Syarifuddin, Sofwan, Ahmad, dan warga yang diduga membakar motor yakni
Muhammad Nur ditangkap aparat.
Keesokan harinya, pada 11 September, warga warga meminta bantuan tokoh masyarakat
setempat yakni Amir Biki untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Amir Biki dan sejumlah warga mendatangi Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara.
Mereka meminta agar jemaah dan pengurus masjid dilepaskan. Permintaan ini tak ditanggapi.
Amir Biki pun mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim se-Jakarta untuk
membahas masalah tersebut. Dalam ceramahnya, Amir memberi ultimatum kepada aparat
untuk melepaskan keempat jamaah yang ditahan dan segera diantar ke mimbar sebelum pukul
23.00 WIB. Jika tak dituruti, Amir dan massa akan mendatangi Kodim.
Tuntutan itu tak juga dipenuhi. Amir pun membagi massa menjadi dua kelompok untuk
bergerak menuju Kodim dan Polsek.
Kedatangan massa mendapat adangan aparat militer bersenjata lengkap. Massa pun langsung
menuntut pembebasan. Situasi semakin memanas dan aparat pun melancarkan sejumlah
tembakan.
Korban jiwa pun berjatuhan. Laporan KontraS, sejumlah warga disekap dan siksa oleh aparat.
Sementara itu, lokasi penembakan langsung dibersihkan sehingga tak terdapat tanda-tanda
kerusuhan. Setelah penembakan, Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Try Soetrisno
bersama Pangkopkamtib Jenderal TNI LB Moerdani dan Menteri Penerangan Harmoko
memberikan pernyataannya terkait peristiwa berdarah di Tanjung Priok.
Pemerintah Orde Baru menyatakan bahwa Peristiwa Tanjung Priok merupakan hasil rekayasa
orang-orang yang menggunakan agama untuk kepentingan politik.
Namun, menurut KontraS, pemaparan jumlah korban yang disampaikan dan kesaksian para
saksi berbeda.
Penyelesaian masalah ini berlangsung lama. Sejumlah islah dilakukan pada tahun 2001.
Sejumlah persidangan dilakukan pada tahun 2003. Itulah sejarah peristiwa Tanjung
Priok atau tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984.
Komnas HAM: Kasus 27 Juli 1996 Belum Pernah Ditangani Sesuai Prosedur

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Imdadun Rahmat
mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan dukungan publik dan dukungan politik untuk
mendorong penuntasan kasus kerusuhan 27 Juli 1996. Menurut Imdadun, Komnas HAM telah
menyelesaikan proses penyelidikan kasus 27 Juli 1996 dan saat ini berkasnya telah diserahkan
ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan. "Peristiwa ini belum pernah ditangani oleh
aparat penegak hukum sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku," ujar Imdadun dalam
peringatan 20 tahun Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 di Kantor Sekretariat DPP PDI
Perjuangan, Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/7/2016). Imdadun
menjelaskan, sehari setelah 27 Juli 1996, Komnas HAM yang dipimpin oleh Baharudin Lopa dan
Asmara Nababan langsung melakukan investigasi. Dari hasil investigasi tersebut, Komnas HAM
menyatakan adanya dugaan pelanggaran berat HAM dalam kasus yang dikenal dengan istilah
Kudatuli tersebut. Kerusuhan itu mengakibatkan lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang
hilang. Adapun kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Komnas HAM juga
menilai terjadi enam wujud pelanggaran HAM oleh berbagai pihak. Pertama, pelanggaran asas
kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran
asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan
terhadap jiwa manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.

"Kami melihat ada dugaan pelanggaran berat HAM di sana. Rekomendasinya harus ada proses
hukum berupa pengadilan HAM ad hoc untuk dimintai pertanggungjawaban," kata Imdadun.
Imdadun juga menuturkan, berdasarkan penyelidikan lebih lanjut pada tahun 2003, Komnas
HAM menemukan fakta adanya indikasi yang mengarah pada pertanggungjawaban komando.
Menurut Imdadun, selain pelaku di lapangan, ada auktor intelektual yang memerintahkan
sekelompok orang menyerang kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Menteng,
Jakarta Pusat. Saat itu kantor PDI sedang dikuasai oleh pendukung Megawati. "Saat investigasi
lebih lanjut ditemukan ada indikasi yang mengarah kepada pertanggungjawaban komando.
Indikasi itu kuat sekali," ucapnya.   Peristiwa Kudatuli berawal dari upaya pengambilalihan kantor
DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta. Saat itu, kantor DPP
PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri berusaha dikuasai oleh
pendukung Soerjadi.

Megawati merupakan ketua umum PDI berdasarkan hasil Kongres Surabaya pada 1993 untuk
kepengurusan 1993-1998. Sedangkan Soerjadi terpilih berdasarkan hasil Kongres Medan pada
22 Juni 1996 untuk periode 1996-1998, sebulan sebelum Peristiwa 27 Juli terjadi.

Namun, hingga saat ini penyelesaian kasus hukum terhadap Peristiwa Kudatuli dianggap belum
jelas. Masyarakat masih bertanya-tanya mengenai dalang kerusuhan, juga siapa yang
seharusnya bertanggung jawab dan dihukum atas tragedi itu. Ironisnya, ketidakjelasan terhadap
penyelesaian hukum terkait peristiwa itu juga tidak terjadi saat Megawati Soekarnoputri menjabat
sebagai presiden sejak 2001 hingga 2004.
Namun, hingga saat ini penyelesaian kasus hukum terhadap Peristiwa Kudatuli dianggap belum
Tragedi Trisakti: Latar Belakang, Kronologi, dan Korban Penembakan

Pada Mei 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran yang merenggut nyawa


mahasiswa. Peristiwa bersejarah itu dikenal dengan nama Tragedi Trisakti. Tragedi Trisakti
ini menimpa mahasiswa saat sedang berdemonstrasi menuntut Soeharto untuk turun dari
jabatannya. Kejadian mengenaskan ini menewaskan empat orang mahasiswa Universitas
Trisakti. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan
Hendriawan Sie. Keempat pemuda tersebut tewas tertembak di dalam kampus. 

Latar Belakang Awal tahun 1998, perekonomian di Indonesia tengah terganggu. Hal ini
dipengaruhi oleh adanya krisis finansial Asia sepanjang tahun 1997 sampai 1999. Mahasiswa
kemudian melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung Nusantara, termasuk
mahasiswa Universitas Trisakti.

Kronologi Para mahasiswa melakukan aksi damai dari Kampus Trisakti menuju Gedung
Nusantara pukul 12.30. Sayangnya, aksi mereka dihalangi oleh Polri yang disusul dengan
kedatangan militer. Beberapa mahasiswa kemudian mencoba untuk bernegosiasi dengan
pihak Polri. Akhirnya pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur. Pergerakan ini diikuti
dengan majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru mereka
ke arah para mahasiswa. Karena panik, mereka tercerai berai, sebagian besar melarikan diri
dan berlindung di Universitas Trisakti. Aparat keamanan tidak berhenti melemparkan
tembakan peluru mereka. Satu per satu korban mulai berjatuhan dan dilarikan ke Rumah
Sakit Sumber Waras.
Penembakan Penembakan yang terjadi terhadap mahasiswa diketahui tidak hanya dilakukan
oleh aparat keamanan yang berada di hadapan para demonstran. Dalam berbagai dokumentasi
televisi, juga terlihat adanya tembakan yang berasal dari atas fly over Grogol dan jembatan
penyebrangan. Aparat keamanan tidak hanya menembaki mereka dengan peluru karet, tetapi
juga menggunakan peluru tajam. Wakil Ketua Komnas HAM, Marzuki Darusman, yang turut
hadir di kampus Trisakti menyatakan adanya serangan terhadap kemanusiaan dalam
menangani massa. Mahasiswa yang menjadi korban dilarikan ke Rumah Sakit Sumber
Waras. Suasana memilukan pun sangat terasa di Unit Gawat Darurat RS Sumber Waras. Dari
aksi penembakan ini terdapat enam korban yang tewas. 

Kemudian beberapa hari kemudian dipastikan ada empat mahasiswa Trisakti yang juga
menjadi korban.

Siapa Pelaku Penembakan Tragedi Trisakti? Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut,
ditemukan serpihan peluru kaliber 5,56 mm di tubuh salah satu korban mahasiswa
Universitas Trisakti, Hery Hertanto. Hasil otopsi Tim Pencari Fakta ABRI juga
mengungkapkan hasil yang sama. Namun, Kapolri yang menjabat saat itu, Jenderal Pol
Dibyo Widodo membantah jika anak buahnya menggunakan peluru tajam. Kapolda Metro
Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi hanya menggunakan tongkat pemukul,
peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata. Persidangan terhadap enam terdakwa beberapa
tahun kemudian juga tidak dapat menjawab siapa yang menjadi pelaku di balik peristiwa
nahas tersebut. Misteri penembakan ini masih terus menyelimuti sejarah kelam 12 Mei 1998.
Akan tetapi, empat mahasiswa yang tewas dalam Tragedi 12 Mei 1998 in dikenang sebagai
Pahlawan Reformasi oleh pihak kampus.  Nama empat mahasiswa itu diabadikan menjadi
nama jalan di Kampus Usakti, Nagrak, dan Bogor. 
Tragedi Semanggi I: Melawan Militerisme yang Berujung Brutalitas
Aparat

JAKARTA - Tragedi Semanggi I menjadi salah satu tonggak penting yang menandai
runtuhnya rezim otoritarian dan bangkitnya era demokrasi. Puncaknya terjadi pada hari ini 13
November 22 tahun lalu atau pada 1998. Dalam tragedi tersebut terpampang jelas bagaimana
brutalnya aparat yang menghujani para demonstran dengan peluru tajam. Perisitwa itu
menjadi momentum bahwa militerisme harus lenyap dari bumi Indonesia. 

Lengsernya Soeharto tak pelak membuat Indonesia betul-betul bebas dari masalah. Peran
Soeharto dianggap masih terlalu kuat pada proses pembentukan pemerintahan baru. Pada
masa transisi pemerintahan baru, masyarakat menganggap Orde Baru masih berupaya
menanam pengaruhnya.

Proses transisi dibuka dengan menggelar Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu dan
membahas agenda-agenda pemerintahan selanjutnya. Mahasiswa skeptis karena masih
menganggap pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan para anggota DPR/MPR masih
berbau Orde Baru.  

Oleh karena itu mahasiswa menolak Sidang Istimewa sekaligus menentang dwifungsi ABRI.
Saat itulah mahasiswa dan elemen masyarakat kembali turun ke jalan. 

Sejak 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat mulai bergerak dari Jalan Salemba.
Lalu bentrok dengan aparat pun tak dapat dihindari. Massa bentrok dengan Pamswakarsa di
kompleks Tugu Proklamasi. 

Lalu pada 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan peserta demosntrasi lainnya
bergerak menuju gedung DPR/MPR. Namu mereka tak berhasil menerobos barikade petugas.
Bagaimana tidak, satuan dari TNI, Brimob, dan Pamswakarsa bersatu untuk menghadang
massa. Dan bentrok pun terjadi kembali.

Puncaknya terjadi hari ini 13 November 22 tahun lalu atau pada 1998. Mahasiswa dan
masyarakat bergabung menuju Semanggi. Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang
bergabung diperkirakan hingga puluhan ribu. 

Namun tentunya aparat juga tak kalah persiapan. Kendaraan lapis baja dikerahkan untuk
membendung massa. Hal itu membuat masyarakat kocar kacir. Namun para mahasiswa
memilih bertahan. 

Bentrokan berdarah
Ketika mahasiswa bertahan, saat itulah aksi brutal terjadi. Petugas keamanan membredel
mahasiswa yang memilih untuk bertahan. Akibatnya mereka pun bergeletakan di jalan. 

Korban pertama yang diketahui meninggal dunia yakni seorang mahasiswa bernama Teddy
Wardhani Kusuma. Korban kedua penembakan adalah Bernadus R Norma Irawan, ia adalah
mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya. Bernadus tertembak di dadanya dari arah depan
saat menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya.

Mengutip berbagai sumber, penembakan tersebut terjadi dari pukul 3 sore hingga sekitar jam
2 pagi. Massa yang terus datang membuat pihak aparat melemparkan gas air mata. Tragedi
tersebut menyebabkan 15 orang meninggal, 7 mahasiswa dan 8 warga. 
Meski huru-hara terjadi, diketahui bahwa sidang istimewa tetap berjalan. Seolah-olah tokoh-
tokoh politik itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan
masyarakat ataupun mahasiswa. 

Kebohongan 
Tragedi Semanggi akhirnya dibawa ke meja bundar. Namun boro-boro menangkap pelaku
penembakan apalagi mengungkap dalangnya, Jaksa Agung Burhanuddin malah menyatakan
bahwa dalam peristiwa tersebut tak terjadi pelanggaran berat.  

Mengutip Kompas, baru-baru ini keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II menggugat


pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin ke PTUN Jakarta. Gugatan tersebut dilayangkan
setelah Burhanuddin mengatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk
pelanggaran HAM berat.

Pihak keluarga korban yang melayangkan gugatan yaitu Maria Katarina Sumarsih, ibunda
almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan dan Ho Kim Ngo, ibunda almarhum Yap
Yun Hap. 

Burhanuddin mengatakan bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran berat HAM
dalam rapat kerja dengan Komisi III pada pemaparan terkait perkembangan penanganan
kasus HAM pada Januari 2020.  Namun Burhanuddin tak menyebutkan kapan rapat paripurna
DPR yang secara resmi menyatakan peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk pelanggaran
HAM berat.

"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang
menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata
Burhanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan. 
Penculikan aktivis 1997/1998

Penculikan aktivis 1997/1998 yaitu peristiwa penghilangan orang secara paksa atau


penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang
pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998.
Peristiwa penculikan ini dipilihkan berlanjut dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei 1997,
dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, dan dalam periode tepat
menjelang pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei. Pada bulan Mei 1998, sembilan di selang
mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali.
Beberapa di selang mereka bercakap secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak
satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.[1]
Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi bagi Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1
orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13
lainnya masih hilang hingga hari ini.
Sembilan aktivis yang dilepaskan yaitu Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius
Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto
dan Andi Arief.
Ke-13 aktivis yang masih hilang dan belum kembali yaitu Petrus Bima Anugrah, Herman
Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail,
Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Mereka bermula dari
berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan
mahasiswa.[2]
Kesimpulan Komnas HAM
Kasus ini diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasar UU No 26/2000
Tentang Pengadilan HAM dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Luhur pada 2006. Tim
penyelidik Komnas HAM bagi kasus penghilangan orang secara paksa ini melakukan
pekerjaan sejak 1 Oktober 2005 hingga 30 Oktober 2006.
Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut yaitu 1 orang terbunuh, 11 orang
disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas
kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.
Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM pada 2006) berkeinginan supaya hasil
penyelidikan yang diperoleh dapat dilanjutkan oleh Kejaksaan Luhur bagi membentuk tim
penyidik, karena telah diperoleh bukti awal yang cukup bagi menyimpulkan terjadinya
kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, asisten tim ad hoc penyidik peristiwa
penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Lamria, menyatakan benar beberapa orang
dari 13 aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah benar di Pos
Komando Taktis (Poskotis) Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta.[3]
Komnas HAM menyimpulkan benar bukti awal pelanggaran HAM berat dalam kasus
penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan
dan kesaksian 58 korban dan warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta
seorang purnawirawan TNI.
Pada 22 Desember 2006 Komnas HAM berkeinginan DPR supaya mendesak Presiden
mengerahkan dan memobilisasi semua aparat penegak hukum bagi menuntaskan persoalan.
Ketua DPR Luhur Laksono pada 7 Februari 2007 juga berkeinginan Presiden Yudhoyono
memerintahkan Jaksa Luhur Abdul Rahman Saleh melakukan penyelidikan dan penyidikan
sesuai temuan Komnas HAM bagi menuntaskan kasus penculikan 13 aktivis.
Tim Mawar
Tim Mawar yaitu sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup
IV, Tentara Nasional Indonesia Tingkatan Darat. Tim ini yaitu dalang dalam operasi
penculikan para aktivis politik pro-demokrasi.
Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim mawar ke pengadilan Mahmilti II pada
bulan April 1999. Saat itu Mahmilti II Jakarta yang diketuai Kolonel CHK
Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis
Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya
sebagai anggota TNI. Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS)
Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf
Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan
memecat mereka sebagai anggota TNI.[4]
Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai
anggota TNI. Mereka itu yaitu Kapten Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi
Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara
Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1
tahun.[4]. Menurut pengakuan, Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang Kristiono di sidang
Mahkamah Militer, seluruh aktivitas penculikan aktivis itu dilaporkan bagi komandan
grupnya, yakni Kolonel Chairawan, tetapi sang komandan tidak pernah diajukan ke
pengadilan sehingga tidak dapat dikonfirmasi.[5]
Sementara itu tanggung jawab komando diberlakukan bagi para Perwira pemegang komando
pada saat itu. Dewan Kehormatan Perwira telah memberikan rekomendasi bagi Pimpinan
ABRI. Atas landasan rekomendasi itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan
Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran saat dinas TNI
(Pensiun). Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR. Serta Dan Group-4 Kolonel
Inf. Chairawan berupa pembebasan tugas dari jabatannya karena ketidak mampuannya
mengetahui segala aktivitas bawahannya.[6]
Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diumumkan para petinggi TNI saat itu
yaitu bahwa dari hasil pemeriksaan atas mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo
Subianto dan Mayjen Muchdi P.R. serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah
tegas-tegas dinyatakan bahwa penculikan tersebut dilakukan atas perintah dan sepengetahuan
para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya.
Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat
seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah
mengaku melakukan tindak pidana penculikan sehingga wajib diajukan ke mahkamah militer.
Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam temuan TGPF itu, dikatakan bahwa jika dalam
persidangan anggota Kopassus tersebut terbukti Prabowo terlibat, kesan Komandan Kopassus
dan juga kesan Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer.[7]
Kondisi tahun 2007
Keenam prajurit yang dipecat mengajukan banding, sehingga sanksi pemecatan belum dapat
dikenakan atas mereka. Sementara itu mereka tetap meniti karier di TNI dan meduduki
beberapa jabatan penting, rincianya sbb:
1. Bambang Kristiono: dipecat
2. Fausani Syahrial Multhazar: pada tahun 2007 menjabat Dandim Jepara dengan
pangkat Letnan Kolonel.[8]
3. Nugroho Sulistyo Budi:
4. Untung Budi Harto: tahun 2007 menjabat Dandim Ambon dengan pangkat Letnan
Kolonel.[9]
5. Dadang Hendra Yuda: pada September 2006 menjabat Dandim Pacitan dengan
pangkat Letnan Kolonel.[10]
6. Jaka Budi Utama: pada tahun 2007 menjabat Komandan Batalyon 115/Macan
Lauser [11]
7. Sauka Nur Chalid:
8. Sunaryo:
9. Sigit Sugianto:
10. Sukardi:
Sedangkan Kolonel Infantri Chairawan dipromosikan dijadikan Danrem 011 Lilawangsa [1].
Kabar terakhir dari Mayjen Muchdi PR yaitu kemunculanya dalam sidang pembunuhan
aktifis HAM Munir bagi dimintai keterangan mengenai keterlibatan dirinya
maupun BIN dalam pembunuhan tersebut.[12] Muchdi PR yaitu mantan Deputi V BIN pada
saat Munir terbunuh.[13]
Ketika kasus ini kembali mencuat, Panglima TNI menyatakan bahwa dari hanya satu dari
enam tentara yang dipecat yang telah benar-benar dipecat yaitu Mayor (inf) Bambang
Kristiono. Lima tentara lainnya dinyatakan terbebas dari hukuman pemecatan, dan hukuman
penjaranyapun dikurangi.
Panitia Khusus Penghilangan dan Pembunuhan Berencana Orang secara Paksa (Pansus Orang
Hilang)
Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang
Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana
memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang
diduga terlibat dalam kasus itu.
Saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI, Letjen
TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen TNI (Purn)
Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai Assospol Kassospol ABRI.[14]
28 September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang)
merekomendasikan pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Luhur, segera membentuk
Pengadilan HAM Ad Hoc bagi mengadili aktor-aktor di belakang penculikan aktivis pro
demokrasi pada tahun 1998-1999.[15]

Anda mungkin juga menyukai