Anda di halaman 1dari 13

Kandungan Fraksi Serat Wafer yang Berasal dari Silase Pelepah Kelapa Sawit yang

difermentasi Dengan Waktu Berbeda

Riki Saputra Ariadi, Dewi Febrina, Dewi Ananda Mucra

Jurusan Ilmu Peternakan, Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau, Indonesia.

Intisari

Pelepah kelapa sawit adalah limbah kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan.
Limbah tersebut sebagai sumber energi (karbohidrat). Akan tetapi, limbah kelapa sawit
memeiliki kandungan serat yang tinggi, seperti NDF, ADF, dan ADL. Perlakuan silase
diharapkan dapat menurunkan kandungan serat kasar pelepah kelapa sawit tersebut, dan
pembuatan wafer diharapkan dapat mempermudah dalam penanganan dan meningkatkan
lama simpan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan fraksi serat yang
terkandung di dalam wafer silase pelepah kelapa sawit yang difermentasi waktu berbeda.
Metode yang digunakan pada penelitian ini Rancangan Acak Kelompok dengan 4
perlakuan dan 4 ulangan dengan waktu fermentasi 0, 7, 14, dan 21 hari. Hasil penelitian
menunjukkan lama fermentasi dari 0 hingga 21 hari kandunga NDF tidak mengalami
perubahan, ADF menurun dari 37,16% menjadi 33,41%, selulosa menurun dari 23,67%
menjadi 16,97%, ADL meningkat dari 9,61% menjadi 14,59% dan kandungan
hemiselulosa meningkat dari 12,36% menjadi 14,61%. Perlakuan yang terbaik adalah
wafer yang berasal dari lama fermentasi 14 hari dengan kandungan ADL 8,37%, ADF
30,06% dan hemiselulosa 16,80%.

Kata kunci : fermentasi, fraksi serat, pelepah kelapa sawit, silase, wafer

Abstract

The oil palm frond is the oil palm by product which can be used as cattle feed. They are
considered as source of energy (carbohydrate). However, they have a high crude fiber
content, such as NDF, ADF and ADL. Silage treatment is expected to lower their crude
fiber content and manufacture of wafer hoped to make it easier to handle and improve a
lot of time. This aims to determine the content of fiber fractions contained in oil palm
frond silage wafer which in fermentation with different time. The method used in this
research was Random Design Group with 4 treatments and 4 replications with
fermentation times 0, 7, 14, and 21 days. The results showed that fermentation time from
0 to 21 days, NDF unchanged, ADF decreased from 37.16% to 33.41%, cellulose
decreased from 23.67% to 16.97%, ADL increased from 9.61% to 14.59% and the
hemicellulose content increased from 12.36% to 14.61%. The best treatment is wafer
from 14 days old fermentation with ADL 8.37%, ADF 30,06% and 16,80% hemicellulose.

Keywords : content fiber, fermentation, oil palm frond, silage, wafer

1
PENDAHULUAN dimana komponen fraksi serat terdiri
dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan
Pakan merupakan salah satu faktor silika (Elisabeth dan Ginting, 2004)
penentu keberhasilan usaha peternakan Kandungan serat dan lignin yang
baik dari segi kualitas maupun tinggi pada pelepah kelapa sawit
kuantitasnya. Pemberian pakan yang sehingga tidak dianjurkan diberikan
memiliki kualitas baik dan sesuai secara langsung pada ternak. Menurut
dengan kebutuhan ternak akan Rostini dan Zakir (2010). Hasil
menghasilkan ternak yang memiliki sampingan perkebunan sawit ini tidak
produktifitas yang tinggi. Ketersediaan dapat diberikan secara langsung pada
hijauan pakan pada musim hujan sangat ternak karena memiliki faktor
melimpah, sedangkan pada musim pembatas. Menurut Rostini dan Jaelani
kemarau sangat terbatas, sehingga (2011) penggunaan limbah sawit untuk
sangat diperlukan mencari alternatif lain ternak perlu menggunakan teknologi
untuk memenuhi kebutuhan hijauan bagi pengolahan yang tepat supaya dapat
ternak. dicerna oleh ternak. Selain itu pelepah
Salah satu alternatif untuk kelapa sawit memiliki kandungan serat
memenuhi kebutuhan hijauan pakan dan lignin yang tinggi hingga diperlukan
bagi ternak ruminansia adalah dengan perlakuan yang dapat menurutkan
memanfaatkan limbah yang berasal dari kandungan tersebut.
perkebunan kelapa sawit. Indonesia Salah satu perlakuan yang dapat
merupakan salah satu negara sebagai dilakukan untuk menurunkan kandungan
produsen kelapa sawit terbesar di dunia serat pada pelepah kelapa sawit adalah
dan Riau merupakan daerah dengan luas dengan membuat silase. Tujuan silase
perkebunan kelapa sawit terbesar di adalah untuk memaksimalkan
Indonesia. Pada tahun 2013 Provinsi pengawetan kandungan nutrisi yang
Riau memiliki luas perkebunan kelapa terdapat pada hijauan atau bahan pakan
sawit 2.399.172 meningkat pada tahun lainnya, agar bisa disimpan dalam kurun
2014 menjadi 2.411.820 dan pada tahun waktu yang lama (Direktorat Pakan
2015 luas lahan perkebunan kelapa Ternak, 2011). Menurut Simanihuruk
sawit mencapai 2.424.545 Ha (BPS, dkk (2008) teknologi silase dapat
2016). meningkatkan kandungan protein kasar
Salah satu limbah yang dihasilkan dan menurunkan kandungan NDF dan
dari perkebunan kelapa sawit yang ADF pelepah kelapa sawit, yang relatif
cukup potensial dijadikan pakan ternak besar. Berdasarkan penelitian
ruminansia adalah pelepah kelapa sawit Simanihuruk dkk (2008), pelepah kelapa
(Djajanegara dan Juniar, 2000). Limbah sawit yang telah menjadi silase
ini mengandung bahan kering, protein mengandung bahan kering 30,90%; Abu
kasar dan serat kasar yang nilai 11,73%; protein kasar 4,57%; NDF
nutrisinya dapat dimanfaatkan sebagai 58,73% dan ADF 37,36%.
bahan pakan ternak ruminansia (Mathius Untuk memudahkan dalam
dkk., 2004). penanganan dan meningkatkan lama
Kandungan nutrisi pelepah kelapa simpan perlu diberi penambahan
sawit tergolong rendah dengan protein perlakuan dengan membuat silase
kasar 3,44% dan kandungan fraksi serat pelepah kelapa sawit menjadi wafer. Hal
berupa Neutral Detergent Fiber (NDF) ini dikarenakan silase masih memiliki
71,90% dan Acid Detergent Fiber kandungan air yang tinggi yaitu 60-70%.
(ADF) 43,36% yang lebih tinggi bila Menurut Murni dkk (2015) bahan pakan
dibandingkan hijauan rumput dengan yang mengandung air cukup tinggi
NDF 67,18% dan ADF 31,00% sangat rentan terhadap pertumbuhan
(Simanihuruk dkk., 2007). Serat jamur dan pembusukan yang
merupakan komponen penyusun mengakibatkan terjadinya penurunan
terbesar dari pelepah kelapa sawit,

2
kualitas bila disimpan atau ditumpuk aluminium foil, dan lain-lain. Untuk
selama waktu tertentu. analisis fraksi serat menggunakan
Wafer merupakan suatu bentuk cawan crusibel, timbangan analitik,
pakan yang memiliki kandungan nutrisi fibertec yang dengan hot extraction dan
yang lengkap dalam bentuk fisik yang cold extraction, pemanas listrik, oven
kompak dan ringkas (Trisyulianti dkk., listrik, tanur, dan desikator.
2003). Pembuatan wafer merupakan Bahan yang digunakan dalam
salah satu alternatif bentuk penelitian ini berupa pelepah kelapa
penyimpanan yang efektif dan sawit, dedak padi, ampas tahu dan
diharapkan dapat menjaga molasses untuk bahan penyusun wafer.
keseimbangan ketersediaan bahan Bahan untuk analisis fraksi serat yaitu
hijauan pakan (Trisyulianti, 1998). aceton/alkohol 96%, air panas, Aquades
Pembuatan silase diharapkan 1 liter, octanol, H2SO4 72%, larutan
dapat menurunkan kandungan serat dan Neutral Detergent Solution dan larutan
lignin yang terkandung di dalam pelepah Acid Detergent Solution.
kelapa sawit, dan untuk memudahkan
dalam penanganan, pengemasan, dan Metode Penelitian
penyimpanan silase pelepah kelapa Penelitian ini merupakan penelitian
sawit dibentuk menjadi wafer. Hal ini eksperimen, semua data yang diperoleh
dikarenakan menurut Trisyulianti dkk di analisis dengan analisis Rancangan
(2003) wafer memiliki bentuk fisik yang Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari
kompak dan ringkas. 4 perlakuan dan 4 Kelompok. Perlakuan
yang dilakukan adalah pembuatan wafer
MATERI DAN METODE berbahan silase pelepah kelapa sawit
yang fermentasi dengan waktu yang
Waktu dan Tempat berbeda, dengan rincian perlakuan
Penelitian telah dilakukan pada sebagai berikut :
Desember 2017-Januari 2018 di
Laboratorium Agrostologi, Industri a. Perlakuan A, wafer yang berasal
Pakan dan Ilmu Tanah untuk pembuatan dari silase yang berbahan pelepah
wafer dan untuk mengetahui kandungan kelapa sawit yang difermentasi 0
fraksi serat dari wafer dilakukan di hari.
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia b. Perlakuan B, wafer yang berasal
Fakuktas Pertanian dan Peternakan dari silase yang berbahan pelepah
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif kelapa sawit yang difermentasi 7
Kasim Riau hari.
c. Perlakuan C, wafer yang berasal
Alat dan Bahan dari silase yang berbahan pelepah
Peralatan yang digunakan dalam kelapa sawit yang difermentasi 14
penelitian ini adalah baskom besar, hari.
timbangan duduk, pisau, kantong plastik d. Perlakuan D, wafer yang berasal
hitam, kamera, kertas, gunting, isolasi dari silase yang berbahan pelepah
putih, timbangan, leaf chopper, mesin kelapa sawit yang difermentasi 21
penggiling, mesin wafer, erlenmeyer, hari.
Nama Bahan Komposisi Komposis bahan penyusun
Bahan wafer bahan yang digunakan dalam
Pelepah kelapa sawit 47,00 pembuatan wafer yang berasal dari
Ampas Tahu 23,75 silase pelepah kelapa sawit yang
Dedak Padi 29,00 difermentasi dengan waktu yang
Molasses 0,25 berbeda dapat dilihat pada Tabel berikut
Total 100 ini.
timbangan analitik, batang pengaduk,

3
Prosedur Penelitian al. (2015) menyatakan jumlah bakteri
Prosedur dalam membuat silase asam laktat yang lebih tinggi dapat
pelepah kepala sawit meliputi : 1) menghasilkan air lebih banyak, karena
persiapan bahan, 2) pencampuran, 3) bakteri asam laktat dapat mengubah
pembungkusan, 4) tahap fermetasi glukosa menjadi air. Surono et al.
selama 0, 7, 14, 21, 5) penjemuran. (2006) menyatakan peningkatan
Prosedur pembuatan wafer silase kandungan air selama ensilase
pelepah kelapa sawit meliputi: 1) menyebabkan kandungan bahan kering
penggilingan silase pelepah sawit yang silase menurun sehingga menyebabkan
telah kering, 2) persiapan alat dan kehilangan bahan kering.
bahan, 3) Pencampuran, 4) pencetakan Semakin tinggi air yang
wafer, 5) pengkondisian wafer di ruang dihasilkan selama proses fermentasi,
terbuka 24 jam, 6) Analisis fraksi serat maka kehilangan bahan kering semakin
Peubah yang diukur meliputi meningkat, terlihat pada perlakuan A0
kadar: NDF, ADF, Selulosa, (tanpa fermentasi) dengan kandungan
Hemiselulosa, dan lignin bahan kering 24,93% dan terjadi
penurunan pada perlakuan A4 (lama
HASIL DAN PEMBAHASAN fermentasi 28 hari) dengan kandungan
bahan kering 20,01%. Peningkatan
Kandungan Bahan Kering kehilangan bahan kering juga
Rataan kandungan bahan kering dipengaruhi oleh peningkatan kadar air
dapat dilihat pada Tabel 4.1. berikut: yang berasal dari fermentasi gula
Tabel 4.1. Rata-rata Kandungan Bahan sederhana. Reksohadiprodjo (1987)
Kering Silase Eceng Gondok menyatakan proses fermentasi oleh
bakteri yang merombak karbohidrat
Perlakuan Bahan Kering menjadi senyawa-senyawa sederhana
(A0) 0 hari 24,93 ± 0,32d yang terlarut dan mudah dicerna
(A1) 7 hari 23,05 ± 0,42c mengakibatkan semakin banyak
(A2) 14 hari 22,02 ± 0,17b terbentuknya CO2 sehingga bahan kering
(A3) 21 hari 21,55 ± 0,46b mengalami penurunan.
(A4) 28 hari 20,01 ± 0,47a Kandungan bahan kering pada
Keterangan : superskrip yang berbeda perlakuan A2 (lama fermentasi 14 hari)
pada angka menunjukkan berbeda dengan A3 (lama fermentasi 21 hari)
sangat nyata (P<0,01) tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini
Data yang ditampilkan adalah rataan ± diduga pada lama fermentasi 14 dan 21
standar deviasi hari bakteri berada pada fase stationer
yaitu fase dimana bakteri yang hidup
Hasil uji lanjut menunjukkan sama dengan bakteri yang mati. Selama
perlakuan A1 (lama fermentasi 7 fase ini terjadi penurunan kadar pH dan
hari), A2 (lama fermentasi 14 hari), A3 peningkatan kandungan bahan organik
(lama fermentasi 21 hari) dan A4 (lama akibat dari aktifitas mikroorganisme
fermentasi 28 hari) berbeda sangat nyata yang saling berkompetisi dalam
(P<0,01) dengan perlakuan A0 (tanpa memanfaatkan bahan organik sebagai
fermentasi). Hal ini diduga semakin sumber nutrien selama fermentasi. Hal
lama proses fermentasi maka kadar air ini sejalan dengan pendapat Hidayat et
dan jumlah Bakteri Asal Laktat (BAL) al. (2016) bahwa selama fermentasi
semakin meningkat dengan terjadi proses pemecahan bahan-bahan
memanfaatkan substrat untuk organik untuk dijadikan sebagai sumber
berkembang biak, akibatnya kandungan nutrien mikroba. Pada saat jumlah
bahan kering yang dihasilkan selama sumber energi untuk mikroba kritis,
proses silase mengalami penurunan. Hal maka selanjutnya sel-sel
ini sejalan dengan pendapat Pratiwi et mikroorganisme yang diinokulasi pada

4
media tidak tumbuh untuk membelah (A1) 7 hari 14,12 ± 0,28a
diri menghasilkan individu baru. (A2) 14 hari 14,62 ± 0,05b
Hasil penelitian Tabel 4.1. (A3) 21 hari 15,07 ± 0,28c
menunjukkan kandungan bahan kering (A4) 28 hari 16,51 ± 0,08d
terendah terdapat di perlakuan A4 (lama Keterangan : superskrip yang berbeda
fermentasi 28 hari) yaitu sebesar 20,01% pada angka menunjukkan berbeda
dan kandungan bahan kering tertinggi sangat nyata (P<0,01) Data yang
terdapat pada perlakuan A0 (tanpa ditampilkan adalah rataan ± standar
fermentasi) yaitu 24,93%. Hal ini diduga deviasi
peningkatan lama fermentasi pada silase Hasil uji lanjut menunjukkan
eceng gondok, sebagian besar kandungan protein kasar pada perlakuan
mikroorganisme yang berkembang A0 (tanpa fermentasi) tidak berbeda
selama fermentasi akan berkurang nyata (P>0,05) dibandingkan A1 (lama
secara perlahan kecuali bakteri fermentasi 7 hari). Hal ini diduga pada
Clostridia yang toleran terhadap kondisi lama fermentasi 0 hari dan 7 hari
asam dan mampu merombak kandungan Bakteri Asam Laktat yang mengasilkan
bahan kering sehingga menurunkan enzim protease berada pada fase
kandungan bahan kering . Hal ini sejalan adaptasi (lag phase) dan belum mampu
dengan pendapat Djuarnani et al. (2005) berkembang biak secara optimal dalam
menyatakan penambahan EM4 pada merombak protein menjadi asam amino,
silase eceng gondok dapat menekan sehingga kandungan protein kasar masih
pertumbuhan mikroorganisme patogen rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat
yang merugikan. Menurut Saun dan Dwidjoseputro (2003) menyebutkan
Heinrich (2008), tingginya angka selain membutuhkan waktu agar dapat
kehilangan bahan kering dapat terjadi tumbuh dan berkembang, mikroba juga
karena adanya aktivitas proteolisis membutuhkan nutrisi untuk melakukan
bakteri Clostridia yang merombak aktivitasnya dalam merombak
bahan kering pada bahan. kandungan protein kasar.
Kandungan bahan kering eceng Kandungan protein kasar pada
gondok dengan lama fermentasi berbeda perlakuan A2 (lama fermentasi 14 hari),
dalam penelitian ini berkisar 20,01- A3 (lama fermentasi 21 hari) dan A4
24,93%. Hasil penelitian ini jauh lebih (lama fermentasi 28 hari) berbeda sangat
tinggi dibandingkan penelitian yang nyata (P<0,01) dibandingkan dengan
dilaporkan Riswandi et al. (2015) yang perlakuan A0 (tanpa fermentasi).
melakukan penambahan urea dan EM4 Peningkatan lama fermentasi 14, 21, dan
pada silase eceng gondok (Eichornia 28 hari meningkatkan kemampuan
crassipes) yang menghasilkan kadar mikroorganisme untuk tumbuh dan
bahan kering 7,27%-13,65 dan lebih berkembang serta memanfaatkan
tinggi dibandingkan penelitian Yunus sumber karbohidrat terlarut yang ada
(2017) pada pengaruh waktu fermentasi pada tepung kulit ubi kayu untuk
terhadap kandungan bahan kering dan menghasilkan enzim protease dalam
bahan organik silase pakan komplit merombak protein kasar sehingga
berbahan utama azolla dengan kandungan protein kasar mengalami
kandungan bahan kering yaitu 15,38%- peningkatan. Purwaningsih (2015)
19,02%. menyatakan semakin lama proses
fermentasi, jumlah bakteri asam laktat
Kandungan Protein Kasar akan meningkat karena mendapatkan
Rataan kandungan Protein Kasar nutrisi dari karbohidrat terlarut pada
dapat dilihat pada Tabel 4.2. berikut: tanaman dan komponen kimiawi pada
Tabel 4.2. Rata-rata Kandungan Protein dinding sel bakteri yang mempengaruhi
Kasar Silase Eceng Gondok peningkatan kadar protein. Hasil
Perlakuan Protein Kasar penelitian Tabel 4.2. menunjukkan
(A0) 0 hari 13,78 ± 0,41a kandungan protein kasar terendah

5
terdapat di perlakuan A0 (tanpa (P>0,05) dibandingkan A1 (lama
fermentasi) yaitu 13,77% dan fermentasi 7 hari). Hal ini diduga pada
kandungan protein kasar tertinggi lama fermentasi 0 hari dan 7 hari bakteri
terdapat pada perlakuan A4 (lama Asam Laktat (BAL) yang menghasilkan
fermentasi 28 hari) yaitu sebesar enzim selulase masih sedikit sehingga
16,51%. Peningkatan jumlah koloni belum mampu mendegradasi serat kasar
mikroba selama proses fermentasi secara secara sempurna. Hal ini sejalan dengan
tidak langsung dapat meningkatkan pendapat Pratiwi et al. (2015)
kandungan protein kasar karena mikroba menyatakan jumlah bakteri asam laktat
merupakan sumber protein sel tunggal yang sedikit menghasilkan gula
(Wuryantoro, 2000). sederhana yang dikonversi ke asam
Kandungan protein kasar silase organik menjadi lebih sedikit, sehingga,
eceng gondok dengan lama fermentasi kemampuan asam organik dalam
yang berbeda dalam penelitian ini mendegradasi komponen serat terutama
berkisar 13,78% - 16,51%. Hasil selulosa dan hemiselulosa menjadi tidak
penelitian ini lebih rendah dibanding optimal.
dengan penelitian yang dilaporkan Lama fermentasi 14 hari (A2)
Riswandi (2014) yang menambahkan menghasilkan kandungan serat kasar
tepung ubi kayu dan dedak padi pada yang sangat nyata ( P<0,01) lebih
silase eceng gondok (Eichornia rendah dibandingkan dengan perlakuan
crassipes) yang menghasilkan protein A1 (lama fermentasi 7 hari) dan A0
kasar 14,80% - 17,94%, namun lebih (tanpa fermentasi). Hal ini diduga pada
tinggi dibandingkan penelitian lama fermentasi 14 hari bakteri yang
Agustono et al. (2010) pada pengaruh merombak serat kasar berada pada fase
penggunaan kombucha terhadap pertumbuhan (Log phase), dimana pada
kandungan protein kasar dan serat kasar fase ini mikroorganisme atau bakteri
pada fermentasi eceng gondok memperoleh sumber energi yang cukup
(Eichornia crassipes) dengan untuk berkembang biak dan
kandungan protein kasar 13,40% - menghasilkan enzim selulase yang
15,99%. mampu memecah ikatan selulosa dan
hemiselulosa sehingga menurunkan
Kandungan Serat Kasar kandungan serat kasar. Hal ini sejalan
Rataan kandungan Serat Kasar dengan pendapat Hastuti et al. (2011)
dapat dilihat pada Tabel 4.3. berikut: menyatakan semakin lama waktu
Tabel 4.3. Rata-rata Kandungan Serat fermentasi, maka kesempatan mikroba
Kasar Silase Eceng Gondok untuk mendegradasi komponen serat
kasar semakin tinggi. Komar (1984)
Perlakuan Serat Kasar menyatakan penurunan kandungan serat
(A0) 0 hari 16,40 ± 0,27c kasar disebabkan karena adanya proses
(A1) 7 hari 16,18 ± 0,27c fermentasi yang berfungsi untuk
(A2) 14 hari 15,74 ± 0,19b merenggangkan ikatan serat dan
(A3) 21 hari 15,30 ± 0,22a memutus sebagian ikatan selulosa
(A4) 28 hari 15,00 ± 0,26a dengan lignin.
Keterangan : superskrip yang berbeda Kandungan serat kasar pada
pada angka menunjukkan berbeda perlakuan A3 (lama fermentasi 21 hari)
sangat nyata (P<0,01) tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
Data yang ditampilkan adalah rataan ± terhadap perlakuan A4 (lama fermentasi
standar deviasi 28 hari). Hal ini diduga pada perlakuan
ini bakteri berada pada fase stasioner
Hasil uji lanjut menunjukkan (Stationary phase) yaitu fase dimana
kandungan serat kasar A0 (tanpa bakteri yang hidup sama dengan bakteri
fermentasi) tidak berbeda nyata yang mati. Hal ini disebabkan karena
kandungan nutrisi yang berkurang

6
sehingga mengganggu pertumbuhan Keterangan : superskrip yang berbeda
individu baru, selain itu peningkatan pada angka menunjukkan berbeda
lama fermentasi yang berbeda sangat nyata (P<0,01)
mengakibatkan bakteri yang berperan Data yang ditampilkan adalah rataan ±
dalam memecah serat kekurangan energi standar deviasi
selama proses fermentasi karena telah
dimanfaatkan seluruhnya untuk Hasil uji lanjut menunjukkan
mendegradasi komponen-kompenen kandungan lemak kasar A0 (tanpa
nutrisi lainnya sehingga penurunan fermentasi) tidak berbeda nyata
kadar serat kasar tidak terlalu signifikan. (P>0,05) dibandingkan A1 (lama
Hal ini sejalan dengan pendapat Hastuti fermentasi 7 hari). Hal ini diduga
et al.(2011) yang menyatakan lama selama proses fermentasi bakteri yang
pemeraman 3 minggu pada fermentasi berperan dalam mendegradasi lemak
tongkol jagung menyebabkan zat nutrien masih berada pada fase adaptasi yang
yang sangat dibutuhkan oleh mikroba masih memanfaatkan karbohidrat
untuk pertumbuhannya mengalami terlarut pada hijauan untuk tumbuh dan
penurunan atau sudah menipis, sehingga berkembang biak sehingga belum secara
mikroba mengalami gangguan dalam optimal memecah komponen lemak. Hal
pertumbuhannya, sehingga akan ini sejalan dengan pendapat Hastuti
mempengaruhi proses degradasi serat. et al. (2011) menyatakan mikroba
Selanjutnya dijelaskan Sumarsih dan menggunakan energi dari karbohidrat
Waluyo (2002) lama fermentasi yang mudah dicerna sebagai langkah awal
meningkat menyebabkan kondisi untuk pertumbuhan dan
fermentasi yang tidak ideal lagi bagi perkembangbiakan. Rahman (2003)
aktifitas mikroba. menyatakan penurunan kandungan
Kandungan serat kasar silase lemak kasar dipengaruhi oleh laju
eceng gondok dengan lama fermentasi pertumbuhan mikroba oleh konsentrasi
yang berbeda dalam penelitian ini substrat dalam medium selama
berkisar 15,00%-16,40%. Hasil fermentasi berlangsung.
penelitian ini rendah dibandingkan Kandungan lemak kasar pada
penelitian yang dilaporkan oleh perlakuan A2 (lama fermentasi 14 hari)
Dharmawati et al. (2016) pada amoniasi nyata lebih rendah (P<0,01)
kulit pisang dengan lama fermentasi dibandingkan A0 (tanpa fermentasi) dan
berbeda yaitu 21,61%-23,89%, namun A1 (lama fermentasi 7 hari). Hal ini
lebih tinggi dibandingkan penelitian diduga pada lama fermentasi 14 hari
Sijabat (2016) yang memfermentasi bakteri berada pada fase pertumbuhan
kulit kopi dengan Effective yang memanfaatkan karbohidrat yang
Microorganisme 4 (EM4) dengan kadar mudah dicerna yang terkandung dalam
serat kasar 14,88%- 15,64%. zat aditif yang ditambahkan pada silase
untuk menghasilkan enzim lipase yang
Kandungan Lemak Kasar memecah ikatan lemak kompleks
Rataan kandungan Lemak Kasar menjadi ikatan yang lebih sederhana.
dapat dilihat pada Tabel 4.4. berikut: Hal ini sejalan dengan pendapat Sijabat
Tabel 4.4. Rata-rata Kandungan Lemak (2016) bahwa penurunan kandungan
Kasar Silase Eceng Gondok lemak kasar disebabkan oleh aktivitas
mikroba yang mendegradasi lemak
Perlakuan Lemak Kasar menjadi gliserol dan asam lemak yang
(A0) 0 hari 1,09 ± 0,05c digunakan sebagai sumber energi.
(A1) 7 hari 0,98 ± 0,11c Pratiwi et al. (2015) menyatakan,
(A2) 14 hari 0,73 ± 0,09b selama fermentasi berlangsung terjadi
(A3) 21 hari 0,60 ± 0,06a penurunan lemak kasar disebabkan oleh
(A4) 28 hari 0,58 ± 0,06a terpecahnya ikatan kompleks trigliserida
menjadi ikatan-ikatan yang lebih

7
sederhana antara lain dalam bentuk (A2) 14 hari 9,89 ± 0,04c
asam lemak dan gliserol. Sebagian dari (A3) 21 hari 9,61 ± 0,03b
asam lemak yang terbentuk akan (A4) 28 hari 9,23 ± 0,24a
menguap sehingga kadar lemak kasar Keterangan : superskrip yang berbeda
menjadi turun. pada angka menunjukkan berbeda
Perlakuan A3 (lama fermentasi 21 sangat nyata (P<0,01)
hari) dan A4 (lama fermentasi 28 hari) Data yang ditampilkan adalah rataan ±
tidak memberikan pengaruh nyata standar deviasi
(P>0,05) terhadap lemak kasar. Hal ini
diduga pada lama fermentasi 21 hari dan Hasil uji lanjut menunjukkan
28 hari zat aditif yang berperan sebagai peningkatan lama fermentasi dari A0
sumber energi bagi mikroba dan (tanpa fermentasi) menjadi A1 (lama
cadangan makanan yang ada telah fermentasi 7 hari), A2 (lama fermentasi
dimanfaatkan seluruhnya oleh bakteri 14 hari), A3 (lama fermentasi 21 hari)
atau mikroorganisme untuk tumbuh dan A4 (lama fermentasi 28 hari)
sehingga tidak terjadi penurunan lemak berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
kasar yang signifikan. Hal ini sejalan menurunkan kandungan abu silase eceng
dengan pendapat Supriyati et al. (1998) gondok.
menyatakan peningkatan lama Hal ini diduga pada lama
fermentasi berbeda menurunkan fermentasi berbeda mikroorganisme
kandungan lemak kasar karena sebagian mampu memanfaatkan karbohidrat
besar lemak dikonsumsi oleh terlarut dicerna sebagai sumber energi
mikroorganisme untuk pertumbuhannya. untuk bekerja secara aktif dalam
Menurut Rizal et al. (2006), merombak bahan organik serta
peningkatan jumlah starter Trichoderma menurunkan kandungan silika dan
dari 4% menjadi 8% dalam proses berbagai mineral lainnya sehingga
fermentasi daun ubi kayu menyebabkan kandungan abu mengalami penurunan.
penurunan kandungan lemak lebih Hal ini sejalan dengan pendapat Tilman
kurang 1%. at al. (1998) menyatakan peningkatan
Kandungan lemak kasar silase lama fermentasi menyebabkan sebagian
eceng gondok dengan lama fermentasi silika dan lignin terlarut dalam larutan
yang berbeda dalam penelitian ini basa sehingga dapat menurunkan
berkisar 0,58%-1,09%. Hasil penelitian kandungan abu pada bahan. Menurut
ini rendah dibandingkan penelitian yang Church dan Pond (1995), dipandang dari
dilaporkan oleh Hanum dan Usman segi nutrisi jumlah besarnya abu tidak
(2011) pada amoniasi jerami padi begitu penting, namun dalam analisis
dengan penambahan isi rumen yaitu proksimat data abu diperlukan untuk
1,75%-2,28%, dan penelitian Gazali menghitung atau mengukur nilai BETN
(2014) yang memfermentasi pakan (Bahan Ekstrak Tanpa Nitogen).
berbahan jerami padi, daun gamal dan Kandungan kadar abu silase
Urea Mineral Molases Liquid dengan eceng gondok dengan lama fermentasi
perlakuan berbeda dengan kadar lemak yang berbeda dalam penelitian ini
kasar 2,51%- 2,93%. berkisar 9,23%-10,83%. Hasil penelitian
ini rendah dibandingkan penelitian yang
Kandungan Abu dilaporkan oleh Hastuti et al. (2011)
Rataan kandungan Abu dapat pada amoniasi fermentasi tongkol
dilihat pada Tabel 4.5. berikut: jagung yaitu 3,11%-4,043, dan
Tabel 4.5. Rata-rata Kandungan Abu penelitian Mirwandhono et al. (2006)
Silase Eceng Gondok yang memfermentasi kulit ubi kayu
dengan Aspergillus niger yaitu
Perlakuan Abu 6,09%8,35%.
(A0) 0 hari 10,83± 0,12e
(A1) 7 hari 10,40± 0,24d Kandungan BETN

8
Rataan kandungan BETN dapat Kandungan BETN pada perlakuan
dilihat pada Tabel 4.6. berikut: A2 (lama fermentasi 14 hari), A3 (lama
Tabel 4.6. Rata-rata Kandungan BETN fermentasi 21 hari) dan A4 (lama
Silase Eceng Gondok fermentasi 28 hari) tidak memberikan
pengaruh nyata (P>0,01) terhadap
Perlakuan BETN kandungan BETN. Hal ini diduga
(A0) 0 hari 48,98 ± 0,36a peningkatan lama fermentasi
(A1) 7 hari 49,99 ± 0,66b mempengaruhi angka kandungan nutrisi
(A2) 14 hari 51,14 ± 0,26c lainnya seperti PK, SK, LK dan abu
(A3) 21 hari 51,39 ± 0,32c sehingga kandungan BETN meningkat.
(A4) 28 hari 51,57 ± 0,34c Menurut Tillman et al. (1998)
Hasil uji lanjut menunjukkan menyatakan kadar BETN merupakan
peningkatan lama fermentasi hasil pengurangan dari jumlah abu,
meningkatkan kandungan BETN. Hal protein kasar, lemak kasar dan serat
ini diduga peningkatan lama fermentasi kasar. Menurut Rohmawati et al (2015),
mampu meningkatkan kadar BETN Semakin lama waktu fermentasi nilai
karena, diduga mikroorganisme yang BETN semakin menurun karena nilai
terdapat pada silase selama proses BETN tergantung pada nilai nutrisi
fermentasi memanfaatkan kandungan seperti PK, LK, abu, SK, semakin tinggi
BETN yang merupakan karbohidrat nilai PK, LK, SK dan abu, maka nilai
yang mudah dicerna sebagai sumber BETN semakin rendah, dan sebaliknya.
energi untuk tumbuh dan berkembang Kandungan BETN silase eceng gondok
biak. Hal ini sejalan dengan pendapat dengan lama fermentasi yang berbeda
Kusumaningrum et al. (2012) dalam penelitian ini berkisar 48,98%-
menyatakan BETN dapat dikatakan 51,57%. Hasil penelitian ini lebih rendah
sebagai karbohidrat yang mudah larut dibandingkan penelitian yang
dan penyedia nutrisi bagi mikroba untuk dilaporkan oleh Syukur (2017) pada
tumbuh dan berkembang secara optimal. fermentasi dedak padi dengan
Kandungan BETN pada perlakuan A0 Mikrooranisme Lokal (MOL) pada lever
(tanpa fermentasi) berpengaruh nyata berbeda yaitu 55,13%-56,44%.
(P<0,01) terhadap perlakuan A1 (lama
fermentasi 7 hari). Hal ini diduga pada KESIMPULAN
lama fermentasi tersebut bakteri telah
berkembang dengan baik karena 1. Peningkatan lama fermentasi yang
memanfaatkan bahan aditif sebagai berbeda mampu meningkatkan
sumber karbohidrat sehingga dapat kandungan protein kasar dan BETN
mempengaruhi kandungan nutrisi yang serta menurunkan kandungan serat
dihasilkan dan berdampak pada kasar.
peningkatan BETN. Hal ini sesuai 2. Perlakuan terbaik pada penelitian ini
dengan pendapat Risma (2015) yang terdapat pada A4 (lama fermentasi 28
menyatakan pertumbuhan mikroba yang hari) karena mampu menurunkan
baik pada lama fermentasi berbeda akan kandungan serat kasar, dari 16,40%
mempengaruhi kandungan nutrisi silase. menjadi 15,00%, serta meningkatkan
Sutardi (2006) menyatakan tingginya kandungan protein kasar dari 13,77%
kandungan BETN sangat dibutuhkan menjadi 16,51% dan Bahan Ekstrak
oleh ternak unggas dalam menghasilkan Tanpa Nitrogen dari 48,98% menjadi
energi. Semakin banyak BETN, berarti 51,57%.
semakin banyak pula komponen bahan
organik yang dapat dicerna sehingga SARAN
semakin banyak energi yang dapat
dihasilkan. Dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
menguji umur simpan pada silase eceng

9
gondok dengan penambahan tepung Silase Limbah Sayuran. Buletin
kulit ubi kayu Pertanian Perkotaan. 4(1):1-12.
DAFTAR PUSTAKA
Barokah, Y. A. Ali., dan E. Erwan.
Agustono. S. Hidayat, dan Widya. P. L. 2017. Nutrisi Silase Pelepah
2010. Pengaruh Penggunaan Kelapa Sawit yang Ditambah
Kombucha terhadap Kandungan Biomassa Indigofera (Indigofera
Protein Kasar dan Serat Kasar zollingeriana). Jurnal Ilmu
pada Fermentasi Eceng Gondok Peternakan. 20(2): 59-68.
(Eichornia crassipes). Jurnal
Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Bidura, I. G. N. G., N. L. G. Sumardani,
2(2): 179-183. T. I. Putri, dan I. B. G. Partama.
2008. Pengaruh Pemberian
Akhadiarto, S. 2010. Pengaruh Ransum Terfermentasi terhadap
Pemanfaatan Limbah Kulit Pertambahan Berat Badan, Karkas
Singkong dalam Pembuatan Pelet dan Jumlah Lemak Abdomen
Ransum Unggas. Jurnal Teknik pada Itik Bali. Jurnal
Lingkungan. 11(1): 127-138. Pengembangan Peternakan
Tropis 33(4): 274-281.
Amalia, L., L. Aboenawan, L. E.
Budiarti, N. Ramli, M. Ridla dan Church, D.C. dan W.G. Pond. 1995.
A. L. Darobin. 2000. Diktat Basic Animal Nutrition and
Pengetahuan Bahan Makanan Feeding. Fourth Edition. John
Ternak. Laboratorium Ilmu dan Willey and Sons Inc., USA.
Teknologi Pakan Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Dhalika, T., A. Budiman., B.
Bogor. Bogor. Ayuningsih dan Mansyur. 2011.
Nilai Nutrisi Batang Pisang dari
Arsyad. F. 2017. Kualitas Fisik dan Produk Bioproses (Ensilage)
Nutrisi Eceng Gondok sebagai Ransum Lengkap. Jurnal
(Eichornia Crassipes) dengan Ilmu Ternak. 11(1): 17-23.
Lama Fermentasi yang Berbeda.
Skripsi. Program Studi Dharmawati. S. M. S. Djaya, dan David.
Peternakan. Fakultas Pertanian S. 2016. Kualitas Protein dan
dan Peternakan. Universitas Serat Kasar Kulit Pisang
Islam Negeri Sultan Syarif Kasi Amoniasi dengan Lama
Riau. Penyimpanan yang Berbeda.
Jurnal Budidaya Tanaman
Badan Pengendalian Dampak Perkebunan. 3(1): 34-39.
Lingkungan Sumatra Utara. 2003.
Eceng Gondok di Danau Toba. Djuarnani, N., Kristian dan Budi Susilo
Medan. Setiawan. 2005. Cara Cepat
Membuat Kompos. Cetakan
Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Pertama. Agro Media Pustaka,
Ubi Kayu Menurut Provinsi di Jakarta.
Indonesia, BPS Pusat, Jakarta.
Dwidjoseputro, D. 2003. Dasar-dasar
Bakrie, B., Y. Sastro., S. Bahar., U. Mikrobiologi. Penerbit
Sente., dan D. Andayani. 2014. Djambatan. Jakarta.
Perbandingan Efektifitas
Penambahan Onggok atau Tepung Gazali, M. 2014. Kandungan Lemak
Singkong dalam Pembuatan Kasar, Serat Kasar dan BETN
Pakan Berbahan Jerami Padi,

10
Daun Gamal dan Urea Mineral Pertanian yang Difermentasi
Molases Liquid dengan Perlakuan dengan Aspergillus niger. Animal
Berbeda. Skripsi. Jurusan Nutrisi Agriculture Journal. 1:109-119.
dan Makanan Ternak. Fakultas
Peternakan Universitas Mahmilia, F. 2005. Perubahan Nilai Gizi
Hasanuddin. Makassar. Tepung Eceng Gondok
Fermentasi dan Pemanfaatannya
Hanum, Z., dan Y. Usman. 2011. sebagai Ransum Ayam Pedaging.
Analisis Proksimat Amoniasi Jurnal. Ilmu Ternak dan
Jerami Padi dengan Penambahan Veteriner. 10: 90-95.
Isi Rumen. Jurnal Agripet. 11(1):
39-44. Mangisah, I., Tristiarti, W. Murningsih,
M. H. Nasoetion, E.S. Jayanti dan
Hastuti, D. Shofia. N. A. dan Baginda. I. Y. Astuti. 2006. Kecernaan
M. 2011. Pengaruh Perlakuan Nutrien Eceng Gondok yang
Teknologi Amofer (Amoniasi Difermentasi dengan Aspergillus
Fermentasi) Pada Limbah niger pada Ayam Broiler. J.
Tongkol Jagung sebagai Indon. Trop. Anim. Agric.,
Alternatif Pakan Berkualitas 31(2):124-128.
Ternak Ruminansia. Jurnal Ilmu-
Ilmu Pertanian. VII(1): 55-65. Mirwandhono, E. I. Bachari., dan D.
Situmorang. 2006. Uji Nilai
Hidayat, N. 2014. Karakteristik dan Nutrisi Kulit Ubi Kayu yang
Kualitas Silase Rumput Raja Difermentasi dengan Aspergillus
Menggunakan berbagai Sumber niger. Jurnal Agribisnis
dan Tingkat Penambahan Peternakan. 2(3): 91-95.
Karbohidrat Fermentable. Jurnal
Agripet. 14(1): 42-49. Mugiawati, R.E. 2013. Kadar Air dan
pH Silase Rumput Gajah pada
Hidayat, M.N., K. Kiramang., dan Hari ke-21 dengan Penambahan
Surati. 2016. Kandungan Bahang Jenis Additif dan Bakteri Asam
Kering, Serat Kasar dan Air Daun Laktat. Jurnal Ternak Ilmiah.
Eceng Gondok yang Difermentasi 1 (1): 201-207.
dengan Berbagai Level EM4 pada
Lama Waktu yang Berbeda. JIIP. Muhidin, N. H., N. Juli, dan I. N. P.
2 (2) : 162-170. Aryantha. 2001. Peningkatan
Kandungan Protein Kulit Umbi
Jatkauskas, J. dan V. Vrotniakiene. Ubi Kayu Melalui Proses
2004. Improvement of Grass Fermentasi. Jurnal Matematika
Silage Quality by Inoculant with dan Sains. 6(1): 1-12.
Lactic Bacteria and Enzymes.
Veterinarija Ir. Zootechnika. T. Nishino, N., H. Harada dan E.
28: 79 – 82. Sakaguchi. 2003. Evaluation of
Fermentation and Aerobic
Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Stability of Wet Brewers’ Grains
Jerami Sebagai Makanan Ternak. Ensiled Alone or in Combination
Yayasan Dian Grahita. Bandung. with Various Feeds as a Total
Mixed Ration. J. Sci. Food Agric.
Kusumaningrum, M., Sutrisno, C.I. dan 883: 557 – 563.
Prasetiyono, B.W.H.E. 2012.
Kualitas Kimia Ransum Sapi Pratiwi. I., F. Fathul, dan Muhtaruddin.
Potong Berbasis Limbah 2015. Pengaruh Penambahan
Pertanian dan Hasil Samping Berbagai Starter pada

11
Pembuatan Silase Ransum Fermentasi Daun Ubi Kayu
terhadap Kadar Serat Kasar, Limbah Isolasi Rutin dengan
Lemak Kasar, Kadar Air dan Trichoderma Viride terhadap
Bahan Eksrtak Tanpa Nitrogen Penyusutan Bahan Kering dan
Silase. Jurnal Ilmiah Peternakan Kandungan Bahan Organik, Abu,
Terpadu 3(3) : 116 - 120 Protein Kasar, Lemak Kasar dan
HCN. Stigma XIV (1):1-5.
Purwaningsih. I. 2015. Pengaruh Lama
Fermentasi dan Penambahan Rohmawati, D., Irfan. H. Djunaidi dan
Inokulum Lactobacillus E. Widodo. 2015. Nilai Nutrisi
plantarum dan Lactobacillus Tepung Kulit Ari Kedelai dengan
fermentum terhadap Kualitas Level Inokulum Ragi Tape dan
Silase Rumput Kalanja Waktu Inkubasi Berbeda. Jurnal
(Brachiaria mutica Ternak Tropika. 16 (1): 30-33.
(Forssk.)Stapf). (Skripsi) Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Sadahiro, O, O. Masaharu., P.
Islam Negeri Maulana Malik Pimpaporn, N. Sunee, K.
Ibrahim. Malang. Damrussiri dan H. Supanit. 2004.
Effect of a commercial in oculant
Rahman. 2003. Teknologi Fermentasi the fermentation quality of ABP
Industri.Penerbit: Arcan, Jakarta. silage in Thailand. 38:2.

Reksohadiprojo.s. 1987. Pakan ternak Saun, R. J. V. dan A. J Heinrich. 2008.


gembala. BPFE. Yogyakarta. Trouble Shoting silage problem.
In Procedings of the Mid-Atlantic
Risma, E. 2015. Kandungan Nutrisi Conference: Pensylvania, 26 May
Silase Mahkota Nanas yang 2008. Pen State’s Colage. 2-10.
Difermentasi dengan Penambahan
Berbagi Level Dedak. Skripsi. Sijabat. D. 2016. Perubahan Komposisi
Fakultas Pertanian dan Peternakan Kimia Kulit Buah Kopi yang
Universitas Negeri Sultan Syarif Difermentasi dengan Effective
Kasim Riau. Pekanbaru. Microorganisme 4 (EM4). Skripsi.
Fakultas Peternakan. Universitas
Riswandi. 2014. Kualitas Silase Eceng Jambi. Jambi.
Gondok (Eichhornia crassipes)
dengan Penambahan Dedak Halus Siri, S., H. Tabioka and I. Tasaki. 1992.
dan Ubi Kayu. Jurnal Effect of dietary fibre on
Peternakan. 3(1): 1-6. utilization of energy and protein
in chickens. Poult. Sci. J. 29: 23-
Riswandi. S. Sandi, dan R. Wulandari. 28.
2015. Penambahan Urea dan EM-
4 pada Eceng Gondok (Eichornia Sumarsih. S dan B. Waluyo. 2002.
Crassipes) terhadap Kualitas Pengaruh Aras Pemberian Tetes
Fisik, Derajat Keasaman (pH), dan Lama Pemeraman yang
Kehilangan Bahan Kering dan Berbeda terhadap Protein Kasar
Bahan Organik. Prosiding dan Serat Kasar Silase Hijauan
Seminar Nasional Lahan Sub Sorgum. Laporan Penelitian.
optimal. Fakultas Pertanian. Fakultas Peternakan. Universitas
Universitas Sriwijaya. Diponegoro. Semarang.
Palembang.
Sumarsih, S., C. I. Sutrisno., dan B.
Rizal, Y. Y. Marlida. N. Farianti. dan D. Sulistiyanto. 2009. Kajian
P. Sari. 2006. Pengaruh Penambahan Tetes Tebu sebagai

12
Aditif terhadap Kualitas Yunus. H. 2017. Pengaruh Waktu
Organoleptik dan Nutrisi Silase Fermentasi terhadap Kandungan
Kulit Pisang. Seminar Nasional Bahan Kering dan Bahan Organik
Kebangkitan Peternakan. Silase Pakan Komplit Berbahan
Semarang. Utama Azolla. Skripsi. Fakultas
Peternakan Universitas
Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid dan A Hasanuddin. Makassar.
Sinurat. 1998. Fermentasi Bungkil
Inti Sawit secara Substrat Padat
dengan menggunakan Aspergillus
Niger. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner. 3(3): 165-170.

Surono, M. Soejono, dan S.P.S. Budhi.


2006. Kehilangan Bahan Kering
dan Bahan Organik Silase
Rumput Gajah pada Umur Potong
dan Level Aditif yang Berbeda. J.
Indon. Trop. Anim. Agric. 31(1):
62-68.

Sutardi, T. 2006. Landasan Ilmu Nutrisi.


Departemen Ilmu Makanan
Ternak. Penerbit: Fakultas
Peternakan IPB, Bogor. Jilid 1.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie.1991.


Prinsip dan Prosedur Statistik
Suatu Pendekatan Biometrik. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Syukur, M. A. 2017. Kandungan Lemak


Kasar dan BETN Dedak Padi
yang Difermentasi dengan
berbagai Level Mikroorganisme
Lokal (MOL). Skripsi. Fakultas
Peternakan. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Wuryantoro, S. 2000. Kandungan


Protein Kasar dan Serat Kasar
Hay Padi Teramonisasi yang
Difermentasidengan Cairan
Rumen. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas
Air Langga. Surabaya.

Yitbarek, M. B. and B. Tamir, 2014.


Silage Additives : Review. Open
Journal of Applied Sciences 4:
258-278.

13

Anda mungkin juga menyukai