Anda di halaman 1dari 24

Case Based Discussion (CBD)

Thalassemia dengan Anemia Gravis


HALAMAN JUDUL

Disusun Oleh:
Ade Guvinda Perdana 1813020030

Pembimbing:
dr. Fajar Danu Aji, Sp. A

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT ANAK


RSUD DR. SOESELO SLAWI KABUPATEN TEGAL
PERIODE 14 DESEMBER 2020 – 23 JANUARI 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Case Based Discussion (CBD) yang berjudul:
“Thalassemia dengan Anemia Gravis”

Yang disusun oleh:


Ade Guvinda Perdana 1813020030

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. Fajar Danu Aji, Sp. A.

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Ilmu Anak
Periode 14 Desember 2020 – 23 Januari 2021

Slawi, 0 Januari 2021


Pembimbing

dr. Fajar Danu Aji, Sp. A.

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.


Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat-Nya yang begitu
besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case Based Discussion
(CBD) yang berjudul ”Thalassemia dengan Anemia Gravis” pada Kepaniteraan
Ilmu Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soeselo.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada dr. Fajar Danu Aji, Sp. A selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya sehingga laporan kasus ini dapat
terselesaikan.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan dan
memahami lebih lanjut mengenai “Thalassemia dengan Anemia Gravis” serta
salah satunya untuk memenuhi tugas yang diberikan pada Kepaniteraan Ilmu
Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soeselo.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan kasus ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi berbagai pihak.

Slawi, 0 Januari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................................ iii
DAFTAR ISI................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................2
1. Thalassemia................................................................................................................. 2
A. Definisi..................................................................................................................................... 2
B. Patofisiologi........................................................................................................................... 2
C. Klasifikasi.............................................................................................................................. 6
D. Stadium................................................................................................................................ 12
E. Diagnosis.............................................................................................................................. 13
F. Pemeriksaan Penunjang................................................................................................ 13
G. Diagnosis Banding........................................................................................................... 13
H. Penatalaksanaan............................................................................................................... 13
I. Komplikasi.......................................................................................................................... 14
J. Prognosis.............................................................................................................................. 14
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................... 15
BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 17

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Thalassemia adalah kelainan bawaan dari sintesis hemoglobin. Presentasi


klinisnya bervariasi dari asimtomatik sampai berat hingga mengancam jiwa.
Dahulu dinamakan sebagai Mediterannian anemia, diusulkan oleh Whipple,
namun kurang tepat karena sebenarnya kondisi ini dapat ditemukan di mana saja
di seluruh dunia. Seperti yang akan dijelaskan selanjutnya, beberapa tipe berbeda
dari thalassemia lebih endemik pada area geografis tertentu.
Pada tahun 1925, Thomas Cooley, seorang spesialis anak dari Detroit,
mendeskripsikan suatu tipe anemia berat pada anak-anak yang berasal dari Italia.
Beliau menemukan adanya nukleasi sel darah merah yang masif pada sapuan apus
darah tepi, yang mana awalnya beliau pikir sebagai anemia eritroblastik, suatu
keadaan yang disebutkan oleh von Jaksh sebelumnya. Namun tak lama kemudian,
Cooley menyadari bahwa eritroblastemia tidak spesifik dan esensial pada temuan
ini sehingga istilah anemia eritroblastik tidak dapat dipakai. Meskipun Cooley
curiga akan adanya pengaruh genetik dari kelainan ini, namun beliau gagal dalam
menginvestigasi orangtua sehat pada anak-anak yang mengidap kelainan ini.
Di Eropa, Riette mendeskripsikan mengenai adanya anemia mikrositik
hipokromik ringan yang tak terjelaskan pada anak-anak keturunan Italia pada
tahun yang sama saat Cooley melaporan adanya bentuk anemia berat yang
akhirnya dinamakan mengikutinya namanya. Sebagi tambahan, Wintrobe di
Amerika Serikat melaporkan adanya anemia ringan pada kedua orangtua dari anak
yang mengidap anemia Cooley. Anemia ini sangat mirip dengan kelainan yang
ditemukan Riette. Baru setelah itu anemia Cooley dinyatakan sebagai bentuk
homozigot dari anemia hipokromik mikrositik ringan yang dideskripsikan oleh
Riette dan Wintrobe. Bentuk anemia berat ini kemudian dilabelisasi sebagai
thalassemia mayor dan bentuk ringannya dinamakan sebagai thalassemia minor.
Kata thalassemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalassa yang berarti ‘laut’
(mengarah ke Mediterania), dan emia, yang berarti ‘berhubungan dengan darah’.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Thalassemia
A. Definisi
Thalassemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan
herediter di mana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai
polipeptida terganggu.
B. Patofisiologi
Thalassemia adalah kelainan herediter dari sintesis Hb akibat dari
gangguan produksi rantai globin. Penurunan produksi dari satu atau lebih
rantai globin tertentu (α, β, γ, δ) akan menghentikan sintesis Hb dan
menghasilkan ketidakseimbangan dengan terjadinya produksi rantai globin
lain yang normal.
Karena dua tipe rantai globin (α dan non-α) berpasangan antara
satu sama lain dengan rasio hampir 1:1 untuk membentuk Hb normal,
maka akan terjadi produksi berlebihan dari rantai globin yang normal dan
terjadi akumulasi rantai tersebut di dalam sel menyebabkan sel menjadi
tidak stabil dan memudahkan terjadinya destruksi sel. Ketidakseimbangan
ini merupakan suatu tanda khas pada semua bentuk thalassemia. Karena
alasan ini, pada sebagian besar thalassemia kurang sesuai disebut sebagai
hemoglobinopati karena pada tipe-tipe thalassemia tersebut didapatkan
rantai globin normal secara struktural dan juga karena defeknya terbatas
pada menurunnya produksi dari rantai globin tertentu.
Tipe thalassemia biasanya membawa nama dari rantai yang
tereduksi. Reduksi bervariasi dari mulai sedikit penurunan hingga tidak
diproduksi sama sekali (complete absence). Sebagai contoh, apabila rantai
β hanya sedikit diproduksi, tipe thalassemia-nya dinamakan sebagai
thalassemia- β+, sedangkan tipe thalassemia- β° menandakan bahwa pada
tipe tersebut rantai β tidak diproduksi sama sekali. Konsekuensi dari
gangguan produksi rantai globin mengakibatkan berkurangnya deposisi Hb

2
pada sel darah merah (hipokromatik). Defisiensi Hb menyebabkan sel
darah merah menjadi lebih kecil, yang mengarah ke gambaran klasik
thalassemia yaitu anemia hipokromik mikrositik. Hal ini berlaku hampir
pada semua bentuk anemia yang disebabkan oleh adanya gangguan
produksi dari salah satu atau kedua komponen Hb (heme atau globin).
Namun hal ini tidak terjadi pada silent carrier , karena pada penderita ini
jumlah Hb dan indeks sel darah merah berada dalam batas normal.
Pada tipe trait thalassemia- β yang paling umum, level Hb A2
(δ2/α2) biasanya meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan rantai δ oleh rantai α bebas yang eksesif, yang mengakibatkan
terjadinya kekurangan rantai β adekuat untuk dijadikan pasangan. Gen δ,
tidak seperti gen β dan α, d iketahui memiliki keterbatasan fisiologis dalam
kemampuannya untuk memproduksi rantai δ yang stabil; dengan
berpasangan dengan rantai α, rantai δ memproduksi Hb A2 (kira-kira 2,5-
3% dari total Hb). Sebagian dar i rantai α yang berlebihan digunakan untuk
membentuk Hb A2, dimana sisanya (rantai α) akan terpresipitasi di dalam
sel, bereaksi dengan membran sel, mengintervensi divisi sel normal, dan
bertindak sebagai benda asing sehingga terjadinya destruksi dari sel darah
merah. Tingkat toksisitas yang disebabkan oleh rantai yang berlebihan
bervariasi berdasarkan tipe dari rantai itu sendiri (misalnya toksisitas dari
rantai α pada thalassemia-β lebih nyata dibandingkan toksisitas rantai β
pada thalassemia-α).
Dalam bentuk yang berat, seperti thalassemia- β mayor atau anemia
Cooley, berlaku patofisiologi yang sama dimana terdapat adanya
substansial yang berlebihan. Kelebihan rantai α bebas yang signifikan
akibat kurangnya rantai β akan menyebabkan terjadinya pemecahan
prekursor sel darah merah di sumsum tulang (eritropoesis inefektif).
Kelainan dasar dari semua tipe thalassemia adalah
ketidakseimbangan sintesis rantai globin. Namun, konsekuensi akumulasi
dari produksi rantai globin yang berlebihan berbeda-beda pada tiap tipe
thalassemia. Pada thalassemia- β, rantai α yang berlebihan, tidak mampu

3
membentuk Hb tetramer, terpresipitasi di dalam prekursor sel darah merah
dan, dengan berbagai cara, menimbulkan hampir semua gejala yang
bermanifestasi pada sindroma thalassemia- β; situasi ini tidak terjadi pada
thalassemia- α.
Rantai globin yang berlebihan pada thalassemia- α adalah rantai γ
pada tahun-tahun pertama kehidupan, dan rantai β pada usia yang lebih
dewasa. Rantai-rantai tipe ini relative bersifat larut sehingga mampu
membentuk homotetramer yang, meskipun relatif tidak stabil, mampu
tetap bertahan (viable) dan dapat memproduksi molekul Hb seperti Hb
Bart (γ4) dan Hb H (β4). Perbedaan dasar pada dua tipe utama ini
mempengaruhi perbedaan besar pada manifestasi klinis dan tingkat
keparahan dari penyakit ini.
Rantai α yang terakumulasi di dalam prekursor sel darah merah
bersifat tidak larut (insoluble), terpresipitasi di dalam sel, berinteraksi
dengan membran sel (mengakibatkan kerusakan yang signifikan), dan
mengganggu divisi sel. Kondisi ini menyebabkan terjadinya destruksi
intramedular dari prekursor sel darah merah. Sebagai tambahan, sel-sel
yang bertahan yang sampai ke sirkulasi darah perifer dengan intracellular
inclusion bodies (rantai yang berlebih) akan mengalami hemolisis; hal ini
berarti bahwa baik hemolisis maupun eritropoesis inefektif menyebabkan
anemia pada penderita dengan thalassemia- β.
Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan
produksi dari rantai γ, yang mampu untuk berpasangan dengan sebagian
rantai α yang berlebihan untuk membentuk Hb F, adalah suatu hal yang
menguntungkan. Ikatan dengan sebagian rantai berlebih tidak diragukan
lagi dapat mengurangi gejala dari penyakit dan menghasilkan Hb
tambahan yang memiliki kemampuan untuk membawa oksigen.
Selanjutnya, peningkatan produksi Hb F sebagai respon terhadap
anemia berat, menimbulkan mekanisme lain untuk melindungi sel darah
merah pada penderita dengan thalassemia- β. Peningkatan level Hb F akan
meningkatkan afinitas oksigen, menyebabkan terjadinya hipoksia, dimana,

4
bersama-sama dengan anemia berat akan menstimulasi produksi dari
eritropoetin. Akibatnya, ekspansi luas dari massa eritroid yang inefektif
akan menyebabkan ekspansi tulang berat dan deformitas. Baik penyerapan
besi dan laju metabolisme akan meningkat, berkontribusi untuk menambah
gejala klinis dan manifestasi laboratorium dari penyakit ini. Sel darah
merah abnormal dalam jumlah besar akan diproses di limpa, yang
bersama-sama dengan adanya hematopoesis sebagai respon dari anemia
yang tidak diterapi, akan menyebabkan splenomegali masif yang akhirnya
akan menimbulkan terjadinya hipersplenisme.
Apabila anemia kronik pada penderita dikoreksi dengan transfusi
darah secara teratur, maka ekspansi luas dari sumsum tulang akibat
eritropoesis inefektif dapat dicegah atau dikembalikan seperti semula.
Memberikan sumber besi tambahan secara teori hanya akan lebih
merugikan pasien. Namun, hal ini bukanlah masalah yang sebenarnya,
karena penyerapan besi diregulasi oleh dua faktor utama: eritropoesis
inefektif dan jumlah besi pada penderita yang bersangkutan. Eritropoesis
yang inefektif akan menyebabkan peningkatan absorpsi besi karena adanya
downregulation dari gen HAMP, yang memproduksi hormon hepar yang
dinamakan hepcidin, regulator utama pada absorpsi besi di usus dan
resirkulasi besi oleh makrofag. Hal ini terjadi pada penderita dengan
thalassemia intermedia.
Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif
dapat diperbaiki, dan terjadi peningkatan jumlah hormon hepcidin;
sehingga penyerapan besi akan berkurang dan makrofag akan
mempertahankan kadar besi.
Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis),
absorpsi besi menurun akibat meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal
ini tidak terjadi pada penderita thalassemia-β berat karena diduga faktor
plasma menggantikan mekanisme tersebut dan mencegah terjadinya
produksi hepsidin sehingga absorpsi besi terus berlangsung meskipun
penderita dalam keadaan iron overload.

5
Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon
lain bernama ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan
makrofag menuju plasma dan menghantarkan besi dari plasenta menuju
fetus. Ferroportin diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah
hepsidin. Hubungan ini juga menjelaskan mengapa penderita dengan
thalassemia-β yang memiliki jumlah besi yang sama memiliki jumlah
ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah mereka mendapat transfusi
darah teratur atau tidak. Sebagai contoh, penderita thalassemia-β
intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah memiliki jumlah
ferritin yang lebih rendah dibandngkan dengan penderita yang
mendapatkan transfusi darah secara teratur, meskipun keduanya memiliki
jumlah besi yang sama.
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan
kuat dengan protein pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload,
seperti pada thalassemia berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas
ditemukan di plasma. Besi ini cukup berbahaya karena memiliki material
untuk memproduksi hidroksil radikal dan akhirnya akan terakumulasi pada
organ-organ, seperti jantung, kelenjar endokrin, dan hati, mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada organorgan tersebut (organ damage).
C. Klasifikasi
1) Thalassemia-α
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis
globin- α banyak ditemukan di Afrika, negara di daerah Mediterania,
dan sebagian besar Asia. Delesi gen globin- α menyebabkan sebagian
besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin- α pada individu
normal,
dan empat bentuk thalassemia- α yang berbeda telah diketahui sesuai
dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat gen ini

6
a. Silent carrier thalassemia- α
- Merupakan tipe thalassemia subklinik yang paling umum,
biasanya ditemukan secara kebetulan diantara populasi,
seringnya pada etnik Afro-Amerika. Terdapat 2 gen α yang
terletak pada kromosom 16.
- Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada kromosom 16
menghilang, menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita
sehat secara hematologis, hanya ditemukan adanya jumlah
eritrosit (sel darah merah) yang rendah dalam beberapa
pemeriksaan.
- Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan
pemeriksaan elektroforesis Hb, sehingga harus dilakukan tes
lain yang lebih canggih. Bisa juga dicari akan adanya kelainan
hematologi pada anggota keluarga (misalnya orangtua) untuk
mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap pada salah
satu orangtua yang menunjukkan adanya hipokromia dan
mikrositosis tanpa penyebab yang jelas merupakan bukti yang
cukup kuat menuju diagnosis thalassemia.

7
b. Trait thalassemia- α
- Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel
darah merah yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh
hilangnya 2 gen α pada satu kromosom 16 atau satu gen α pada
masing-masing kromosom.
- Pada bayi baru lahir yang terkena , sejumlah kecil Hb Barts (γ4)
dapat ditemukan pada elektroforesis Hb. Lewat umur satu
bulan, Hb Barts tidak terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF
secara khas normal.

c. Penyakit Hb
- Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α,
merepresentasikan thalassemia-α intermedia, dengan anemia
sedang sampai berat, splenomegali, ikterus, dan jumlah sel
darah merah yang abnormal. Pada sediaan apus darah tepi yang
diwarnai dengan pewarnaan supravital akan tampak sel-sel
darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer β (Hb H) yang
tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga
menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan
sebagai Heinz bodies.

8
d. Thalassemia-α mayor
- Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi
semua gen globin- α, disertai dengan tidak ada sintesis rantai α
sama sekali.
- Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai
α, maka tidak satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ 4)
mendominasi pada bayi yang menderita, dan karena γ4 memiliki
afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi-bayi itu mengalami
hipoksia berat. Eritrositnya juga mengandung sejumlah kecil
Hb embrional normal (Hb Portland = ζ 2 γ 2), yang berfungsi
sebagai pengangkut oksigen.
2) Thalassemia-β
a. Silent carrier thalassemia-β
- Penderita tipe ini biasanya asimtomatik, hanya ditemukan nilai
eritrosit yang rendah. Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan
merepresentasikan suatu thalassemia-β+.
- Bentuk silent carrier thalassemia-β tidak menimbulkan kelainan
yang dapat diidentifikasi pada individu heterozigot, tetapi gen
untuk keadaan ini, jika diwariskan bersama-sama dengan gen
untuk thalassemia- β°, menghasilkan sindrom thalassemia
intermedia.

9
b. Trait thalassemia-β
- Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal,
dan elektroforesis Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan
jumlah Hb A2, Hb F, atau keduanya.
- Individu dengan ciri (trait) thalassemia sering didiagnosis salah
sebagai anemia defisiensi besi dan mungkin diberi terapi yang
tidak tepat dengan preparat besi selama waktu yang panjang.
Lebih dari 90% individu dengan trait thalassemia- β
mempunyai peningkatan Hb-A2 yang berarti (3,4%-7%). Kira-
kira 50% individu ini juga mempunyai sedikit kenaikan HbF,
sekitar 2-6%. Pada sekelompok kecil kasus, yang benar-benar
khas, dijumpai Hb A2 normal dengan kadar HbF berkisar dari
5% sampai 15%, yang mewakili thalassemia tipe δβ.
c. Thalassemia-β yang terkait dengan variasi struktural rantai β
- Presentasi klinisnya bervariasi dari seringan thalassemia media
hingga seberat thalassemia-β mayor
- Ekspresi gen homozigot thalassemia (β+) menghasilkan
sindrom mirip anemia Cooley yang tidak terlalu berat
(thalassemia intermedia). Deformitas skelet dan
hepatosplenomegali timbul pada penderita ini, tetapi kadar Hb
mereka biasanya bertahan pada 6-8 gr/dL tanpa transfusi.

10
- Kebanyakan bentuk thalassemia- β heterozigot terkait dengan
anemia ringan.
- Kadar Hb khas sekitar 2-3 gr/dL lebih rendah dari nilai normal
menurut umur.
- MCV rendah, kira-kira 65 fL, dan MCH juga rendah (<26 pg).
Penurunan ringan pada ketahanan hidup eritrosit juga dapat
diperlihatkan, tetapi tanda hemolisis biasanya tidak ada. Kadar
besi serum normal atau meningkat.
d. Thalassemia-β° homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor)
- Memiliki gejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif
selama 6 bulan kedua kehidupan. Transfusi darah yang reguler
diperlukan pada penderita ini untuk mencegah kelemahan yang
amat sangat dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia.
Tanpa transfusi, 80% penderita meninggal pada 5 tahun
pertama kehidupan.
- Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang
menerima transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi
jaringan eritropoetik disumsum tulang maupun di luar sumsum
tulang. Tulang-tulang menjadi tipis dan fraktur patologis
mungkin terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang di wajah dan
tengkorak menghasilkan bentuk wajah yang khas.

11
- Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan
coklat kekuningan. Limpa dan hati membesar karena
hematopoesis ekstrameduler dan hemosiderosis. Pada penderita
yang lebih tua, limpa mungkin sedemikian besarnya sehingga
menimbulkan ketidaknyamanan mekanis dan hipersplenisme
sekunder.
- Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas
terlambat atau tidak terjadi karena kelainan endokrin sekunder.
Diabetes mellitus yang disebabkan oleh siderosis pankreas
mungkin terjadi. Komplikasi jantung, termasuk aritmia dan
gagal jantung kongestif kronis yang disebabkan oleh siderosis
miokardium sering merupakan kejadian terminal.
- Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia- β°
homozigot yang tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping
hipokromia dan mikrositosis berat, banyak ditemukan poikilosit
yang terfragmentasi, aneh (sel bizarre) dan sel target. Sejumlah
besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah
splenektomi. Inklusi intraeritrositik, yang merupakan presipitasi
kelebihan rantai α, juga terlihat pasca splenektomi. Kadar Hb
turun secara cepat menjadi < 5 gr/dL kecuali mendapat
transfusi. Kadar serum besi tinggi dengan saturasi kapasitas
pengikat besi (iron binding capacity). Gambaran biokimiawi
yang nyata adalah adanya kadar HbF yang sangat tinggi dalam
eritrosit.
D. Stadium
Terdapat suatu sistem pembagian stadium thalassemia berdasarkan
jumlah kumulatif transfusi darah yang diberikan pada penderita untuk
menentukan tingkat gejala yang melibatkan kardiovaskuler dan untuk
memutuskan kapan untuk memulai terapi khelasi pada pasien dengan
thalassemia- β mayor atau intermedia. Pada sistem ini, pasien dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu:

12
1) Stadium 1
Merupakan mereka yang mendapat transfusi kurang dari 100 unit
Packed Red Cells (PRC). Penderita biasanya asimtomatik, pada
echokardiogram (ECG) hanya ditemukan sedikit penebalan pada
dinding ventrikel kiri, dan elektrokardiogram (EKG) dalam 24 jam
normal.
2) Stadium 2
Merupakan mereka yang mendapat transfusi antara 100-400 unit PRC
dan memiliki keluhan lemah-lesu. Pada ECG ditemukan penebalan
dan dilatasi pada dinding ventrikel kiri. Dapat ditemukan pulsasi atrial
dan ventrikular abnormal pada EKG dalam 24 jam.
3) Stadium 3
Gejala berkisar dari palpitasi hingga gagal jantung kongestif,
menurunnya fraksi ejeksi pada ECG. Pada EKG dalam 24 jam
ditemukan pulsasi prematur dari atrial dan ventricular.
E. Diagnosis
Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas terutama
pada rahang sangat membantu. Anamnesis yang teliti dan terarah selain
membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti
diagnostik dan prognostic
F. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Temuan laboratorium
meliputi:

G. Diagnosis Banding
a
H. Penatalaksanaan
Penderita trait thalassemia tidak memerlukan terapi ataupun
perawatan lanjut setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi
sebaiknya tidak diberikan kecuali memang dipastikan terdapat defisiensi
besi dan harus segera dihentikan apabila nilai Hb yang potensial pada

13
penderita tersebut telah tercapai. Diperlukan konseling pada semua
penderita dengan kelainan genetik, khususnya mereka yang memiliki
anggota keluarga yang berisiko untuk terkena penyakit thalassemia berat.
Penderita thalassemia berat membutuhkan terapi medis, dan
regimen transfusi darah merupakan terapi awal untuk memperpanjang
masa hidup. Transfusi darah harus dimulai pada usia dini ketika anak
mulai mengalami gejala dan setelah periode pengamatan awal untuk
menilai apakah anak dapat mempertahankan nilai Hb dalam batas normal
tanpa transfusi
1) Transfusi darah
- Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan nilai Hb tetap
pada level 9-9.5 gr/dL sepanjang waktu.
- Pada pasien yang membutuhkan transfusi darah reguler, maka
dibutuhkan suatu studi lengkap untuk keperluan pretransfusi.
Pemeriksaan tersebut meliputi fenotip sel darah merah, vaksinasi
hepatitis B (bila perlu), dan pemeriksaan hepatitis.
- Darah yang akan ditransfusikan harus rendah leukosit; 10-15
mL/kg PRC dengan kecepatan 5 mL/kg/jam setiap 3-5 minggu
biasanya merupakan regimen yang adekuat untuk mempertahankan
nilai Hb yang diinginkan.
- Pertimbangkan pemberikan asetaminofen dan difenhidramin
sebelum transfusi untuk mencegah demam dan reaksi alergi.
2) Komplikasi transfusi darah
Komplikasi utama dari transfusi adalah yang berkaitan dengan
transmisi bahan infeksius ataupun terjadinya iron overload. Penderita
thalassemia mayor biasanya lebih mudah untuk terkena infeksi
dibanding anak normal, bahkan tanpa diberikan transfusi. Beberapa
tahun lalu, 25% pasien yang menerima transfusi terekspose virus
hepatitis B. Saat ini, dengan adanya imunisasi, insidens tersebut sudah
jauh berkurang. Virus Hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama
hepatitis pada remaja usia di atas 15 tahun dengan thalassemia. Infeksi

14
oleh organisme opurtunistik dapat menyebabkan demam dan enteriris
pada penderita dengan iron overload, khususnya mereka yang
mendapat terapi khelasi dengan Deferoksamin (DFO). Demam yang
tidak jelas penyebabnya, sebaiknya diterapi dengan Gentamisin dan
Trimetoprim-Sulfametoksazol.
3) Transplantasi Sel Stem Hematopoetik (TSSH)
Prognosis yang buruk pasca TSSH berhubungan dengan
adanya hepatomegali, fibrosis portal, dan terapi khelasi yang inefektif
sebelum transplantasi dilakukan. Prognosis bagi penderita yang
memiliki ketiga karakteristik ini adalah 59%, sedangkan pada
penderita yang tidak memiliki ketiganya adalah 90%. Meskipun
transfusi darah tidak diperlukan setelah transplantasi sukses dilakukan,
individu tertentu perlu terus mendapat terapi khelasi untuk
menghilangkan zat besi yang berlebihan. Waktu yang optimal untuk
memulai pengobatan tersebut adalah setahun setelah TSSH. Prognosis
jangka panjang pasca transplantasi , termasuk fertilitas, tidak
diketahui. Biaya jangka panjang terapi standar diketahui lebih tinggi
daripada biaya transplantasi. Kemungkinan kanker setelah TSSH juga
harus dipertimbangkan.
4) Terapi bedah
Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang
digunakan pada pasien dengan thalassemia. Limpa diketahui
mengandung sejumlah besar besi nontoksik (yaitu, fungsi
penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan sel darah merah
dan distribusi besi. Fakta - fakta ini harus selalu dipertimbangkan
sebelum memutuskan melakukan splenektomi. Limpa berfungsi
sebagai penyimpanan untuk besi nontoksik, sehingga melindungi
seluruh tubuh dari besi tersebut. Pengangkatan limpa yang terlalu dini
dapat membahayakan.
Sebaliknya, splenektomi dibenarkan apabila limpa menjadi
hiperaktif, menyebabkan penghancuran sel darah merah yang

15
berlebihan dan dengan demikian meningkatkan kebutuhan transfusi
darah, menghasilkan lebih banyak akumulasi besi.
Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan
lebih dari 200-250 mL / kg PRC per tahun untuk mempertahankan
tingkat Hb 10 gr / dL karena dapat menurunkan kebutuhan sel darah
merah sampai 30%.
Risiko yang terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak
prosedur sekarang dilakukan dengan laparoskopi. Biasanya, prosedur
ditunda bila memungkinkan sampai anak berusia 4-5 tahun atau lebih.
Pengobatan agresif dengan antibiotik harus selalu diberikan untuk
setiap keluhan demam sambil menunggu hasil kultur. Dosis rendah
Aspirin setiap hari juga bermanfaat jika platelet meningkat menjadi
lebih dari 600.000 / μL pasca splenektomi.
5) Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen
sebagai berikut : asam folat, asam askorbat dosis rendah, dan alfa-
tokoferol. Sebaiknya zat besi tidak diberikan, dan makanan yang kaya
akan zat besi juga dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat membantu
mengurangi penyerapan zat besi di usus.
I. Komplikasi
Pada thalassemia mayor komplikasi lebih sering sering di dapatkan
dari pada thalassemia intermedia. Komplikasi neuromuskular tidak jarang
terjadi. Biasanya pasien terlambat berjalan. Sindrom neupati juga mungkin
terjadi dengan kelemahan otot-otot proksimal. Terutama ekstremitas
bawah akibat iskemia serebral dapat timbul episode kelainan neurologik
fokal ringan, gangguan pendengaran munkin pula terjadi seperti pada
kebanyakan anemia hemolitik atau diseritropoitik lain ada peningkatan
kecenderungan untuk terbentuknya batu pigmen dalam kandung empedu.
Serangan pirai sekunder dapat timbul akibat cepatnya turn over sel dalam
sumsum tulang hemosiderosis akibat transfusi yang berulang-ulang dan
atau salah pemberian obat-obat yang mengandung besi. Pencegahan untuk

16
ini adalah dengan selatin azen misalnya desferal. Hepatitis paska transfusi
bisa dijumpai terutama bila darah transfusi atau komponennya tidak
diperiksa dahulu terhadap adanya keadaan patogen seperti HbsAg dan anti
HCV. Penyakit AIDS atau HIV dan penyakit Creutzfeldt Jacob dapat pula
ditularkan melalui transfusi.
Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan
penyakit jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis
karena peningkatan endapan melanin dikatalisasi oleh endapan besi yang
meningkat. Tukak menahun pada kaki dapat di jumpai deformitas pada
skelet, tulang dan sendi mungkin pula terjadi. Pembesaran limpa dapat
mengakibatkan hipersplenisme dan dapat menyebabkan trombositopenia
dan perdarahan.
J. Prognosis
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari
thalassemia, kondisi klinis penderita thalassemia sangat bervariasi dari
ringan bahkan asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa.
2. Anemia
A. Definisi

17
BAB III

LAPORAN KASUS

18
BAB IV
PEMBAHASAN

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of


Pediatrics. 17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.
2. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/
123456789/2063/08E00848.pdf?sequence=1&isAllowed=y
3. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/146/jtptunimus-gdl-ekowidyast-
7282-3-babii.pdf
4. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/146/jtptunimus-gdl-meistyliaw-
7294-5-daftarp-a.pdf
5. http://eprints.undip.ac.id/72330/3/
LAPORAN_KTI_VENANSIUS_ALVENT_22010115130132_BAB_II.pd
f

20

Anda mungkin juga menyukai