Anda di halaman 1dari 2

LO 6

Istilah mabrur berasal dari bahasa Arab. Kata dasar dari istilah ini adalah barra yang
mengandung empat makna: kebenaran, daratan, jenis tumbuhan, dan menirukan suara.
Dari maknanya yang pertama (yaitu kebenaran), kata barra diartikan sebagai
“ketaatan, menepati janji, kejujuran dalam cinta”. Dari sini dapat dimaknai bahwa seseorang
yang berderajat mabrur adalah: (1) orang yang senantiasa benar [karena selalu berpegang
teguh pada kebenaran]; (2) orang yang taat [karena ia membenarkan apa pun yang datangnya
dari Allah SWT yang ia taati]; (3) orang yang menepati janji [karena ia selalu membenarnya
ucapan dan janjinya]; dan (4) orang yang berpegang teguh dalam kejujuran.
Dari maknanya yang kedua (yaitu daratan), kata barra diartikan sebagai luas, padang
pasir, masyarakat manusia. Dari sini dapat dimaknai bahwa hakekat seseorang yang
berderajat mabrur adalah orang memiliki kebaikan-kebaikan yang teramat luas terhadap
sesama makhluk, yang keluasannya dalam kebaikan menyerupai lautan padang pasir yang
tidak bertepi. Dalam istilah Arab disebut at-tawassu’u fi fi’lil khair (memiliki keluasan dalam
kebajikan). Dari pemaknaan atas kata barra di atas, maka ulama berpendapat bahwa Bir Al-
Hajj atau kebajikan haji sebagai modal terbentuknya kemabruran haji adalah:
1. Niat yang benar, niat mulia, niat yang jernih, kehendak agung, arah yang selamat,
pikiran dan pandangan yang tidak kabur, niat dan amalan yang ikhlas semata karena
Allah SWT serta terhindar dari riya’, ujub, pamer dan sejenisnya seperti ingin
gengsinya naik karena menyandang gelar haji.
2. Haji yang dilakukan tidak bertentangan dengan tatacara haji yang pernah dituntunkan
Rasulullah SAW. Seluruh proses, urut-urutan, cara ibadah, dan doa-doa yang dibaca
sewaktu menjalankan ibadah haji hendaknya mengikuti cara yang dicontohkan Nabi
SAW. “Ikutilah cara berhajiku…,” sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat
Muslim, Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai.
3. Haji yang mabrur adalah haji yang dibiayai dengan harta yang halal. Dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah SAW menegaskan, “Jika seseorang
pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal, kemudian ia mengucapkan
labbaikallaahumma labbaik (ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-Mu),
akan berkata penyeru dari langit, ‘Allah menyambut dan menerima kedatanganmu
dan semoga kamu berbahagia; perbekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka
hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa. Jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia
mengucapkan labbaik, maka penyeru dari langit mengatakan, ‘Tidak diterima
kunjunganmu dan engkau tidak berbahagia. Bekalmu haram, pembelanjaanmu juga
haram, maka hajimu ma’zur (mendatangkan dosa), tidak diterima.”
4. Berbuat baik kepada sesama makhluk Allah SWT. Ketika Rasulullah SAW ditanya
oleh Sahabat beliau tentang Al-Birr (kebajikan), beliau menjawab, “Al-birru khusnul
huluq” (Al-Birr itu adalah akhlak yang bagus). Di saat lain ketika ditanya hal serupa,
beliau menjawab, “Birr Al-Hajj adalah ith’aamuth-thaaam wa thayyibul kalaam”
(memberikan makanan dan bagusnya ucapan). Ulama menegaskan termasuk dalam
khusnul huluq adalah nafkah yang halal, keadaan diri yang senantiasa penuh adab
(beradab), serta mewajibkan diri menetapi peraturan, dan kebaikan-kebaikannya
sangat luas, ibarat lautan padang pasir yang tidak bertepi.
5. Menjauhi segala perbuatan dosa seperti rafats (kotor, keji, saru, mesum, birahi, tidak
senonoh), fusuq (keluar dari jalan yang haq, sesat), dan jidal (perdebatan yang sia-sia,
adu-mulut, pertengkaran, mau benarnya sendiri).Hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menunaikan
ibadah haji ke Baitullah ini tanpa disertai perkataan kotor dan perbuatan dosa, maka ia
kembali seperti saat dilahirkan ibunya” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, An-Nas’i dan
At-Tirmidzi)
6. Yang paling agung dari Bir Al-Hajj adalah senantiasa berdzikir (dengan lebih banyak
dan lebih dahsyat), menyebut-nyebut asma, kesucian dan keagungan Allah di
sembarang tempat dan waktu, melebihi puji-pujian yang diberikan kepada
nenekmoyang atau orang-orang terdahulu.

7. Melanggengkan amal setelah pulang dari Tanah Suci. Haji mabrur akan selalu
mengulang dan mengulang kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan, serta tidak
kembali melakukan kemaksiatan. Jadi tugas haji mabrur adalah tidak sebatas beramal
saleh saja, tetapi menjaga semua amalnya agar tetap lestari, bahkan meningkat, dan
terhindar dari apa saja yang dapat merusak dan menggugurkan pahalanya. Musyrik,
riya’, amal yang tidak sesuai tuntunan agama, merasa paling berjasa di hadapan Allah,
mengganggu sesama makhluk, menentang dan meremehkan ajaran Allah, semuanya
dapat membatalkan amal dan kemabruran.

Dapus:
Hasan, Yusuf A. 2016. Menuju Haji Mabrur. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai