Anda di halaman 1dari 31

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN ALUR PIKIR

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian Konsep ini belum banyak dilakukan. Namun peneliti menemukan

penelitian terdahulu yang saling berhubungan dengan judul yang diangkat oleh

peneliti, antara lain : Christina, 2015 yang meneliti tentang “Implementasi Kebijakan

Pendamping Desa Dalam Peningkatan Pembangunan Desa di Kecamatan Kalirejo

Kabupaten Lampung Tengah”. Metode yang digunakan peneliti adalah metode

kualitatif deskriptif, jenis data merupakan data primer dan data sekunder yang

diperoleh dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Christina menunjukan kinerja

pendampingan yang dilakukan oleh Pendamping Desa belum maksimal. Pada

indikator prestasi kerja (achievement) Pendamping Desa belum memperlihatkan hasil

yang positif, karena pelaksanaan pendampingan tidak dilaksanakan dengan baik.

Belum maksimalnya kinerja pendampingan dikarenakan keahlian dari pendamping

desa masih sangat rendah dan tidak memiliki pengalaman kerja. Kemudian perilaku

terkait pertanggung jawaban kerja pendamping desa tidak sesuai dengan pelaksanaan

kerja yang sesungguhnya. Kepemimpinan terkait dengan koordinasi bidang

pembangunan yang dilakukan oleh pendamping desa dengan kepala desa tidak

dilaksanakan.
9

Kemudian terdapat penelitian yang dilakukan oleh Rezaldi, 2018 yang

meneliti tentang “Implementasi Kebijakan Pendamping Desa Di Desa Balaroa

Pewunu Kecamatan Dolo Barat Kabupaten Sigi” Metode yang digunakan

peneliti adalah metode Deskriptif Kualitatif. Data yang dikumpulkan

menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil dari penelitian menunjukan bahwa implementasi kebijakan

pendamping desa di Desa Balaroa Pewunu belum berjalan dengan baik.

Adapun faktor penghambat keberhasilan kebijakan ini adalah kurangnya

informasi yang diterima oleh masyarakat sehingga masih ada masyarakat yang

tidak mengetahui tentang pendamping desa. Dari aspek sumber daya adalah

kurangnya tenaga pendamping desa, serta kurangnya partisipasi masyarakat

dalam mensukseskan program dari pendamping desa.


10

Tabel 2.1
Perbedaan dan Persamaan Penelitian Terdahulu

Nama
Peneliti/Tahun/Judul Fokus Metode
Penelitian penelitian Hasil penelitian
Penelitian

Christina/2015/ Implementasi Metode Hasil dari penelitian menunjukan kinerja yang


Implementasi Kebijakan penelitian dilakukan oleh pendamping desa belum
Kebijakan desa dalam desa dalam yangdigunakan memperlihatkan hasil yang positif, karena
pembangunan desa di peningkatan adalah kualitatif pelaksanaan pendamping tidak dilaksanakan
pembangunan deskripti. Data degan baik. Belum maksimalnya kinerja
kecamatan kalirejo
desa yang tenaga pendamping desa dikarenakan prestasi
kabupaten lampung
dikumpulkan kerja pendamping desa belum memperlihatkan
tengah menggunakan hasil yang positif, keahlian yang sangat
teknik observasi, rendah, tidak memiliki pengalaman kerja.
wawancara, dan
dokumentasi.

Rezaldi/2018/ Implementasi Metode Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa


implementasi kebijakan penelitian yang implementasi kebijakan pendamping desa di
kebijakan pendamping pendamping digunakan Desa Balaroa Pewunu belum berjalan dengan
desa di desa balaroa desa adalah deskriptif baik. Adapun faktor penghambat keberhasilan
kualitatif. Data kebijakan ini adalah kurangnya informasi yang
pewunu kecamatan
yang diterima oleh masyarakat sehingga masih ada
dolo barat kabupaten
dikumpulkan masyarakat yang tidak mengetahui mengenai
sigi menggunakan pendamping desa. dari aspek sumber daya
teknik observasi, adalah kurangnya tenaga pendamping desa,
wawancara, dan serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam
dokumentasi mensukseskan program dari pendamping desa.

Febrianto S. Baso Implementasi Metode


kebijakan penelitian yang
Implementasi kebijakan digunakan
desa
pendamping desa di desa adalah.
maku kecamatan dolo Kualitatif
kabupaten sigi deskriptif. Data
yang
dikumpulkkan
menggunakan
11

teknik observasi,
wawancara dan
dokementasi

2.1.2. Landasan Teori dan Kepustakaan Relevan

Berdasarkan matriks diatas dapat dilihat beberapa perbedaan dan

persamaan antara peneltian yang dilakukan oleh penulis dengan kedua penelitian

terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Maria Chris Tina. tahun 2017

terdapat persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu

menggunakan metode pendekatan kualitatif dekriptif dan teknik pengumpulan data

ialah wawancara, observasi, dan dokumentasi serta teori yang digunakan untuk

penelitian dengan menggunakan George C. Edward III. Sedangkan perbedaannya

terdapat pada fokus dan lokus penelitian. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh

Rezaldi mempunyai persamaan dengan penelitian penulis adalah teknik pengumpulan

data dengan melakukan wawancara, observasi, dan dokumentasi dan metode yang

digunakan kualitatif deskriptif adapun perbedaan penelitiannya yaitu teori yang di

gunakan, lokus penelitian yang berbeda dan hasil penelitian yang juga berbeda.

2.1.2.1. Dinamika Perkembangan Administrasi Publik

Old Public Administration (OPA) pertama kali dikemukakan oleh Seorang

Presiden AS dan juga merupakan Guru Besar Ilmu Politik, Woodrow Wilson (1887-

1987). Beliau menyatakan bahwa bidang administrasi itu sama dengan bidang bisnis.

Maka dari iru munculah konsep Old Public Administration (OPA). Konsep ini
12

memiliki tujuan melaksanakan kebijakan dan memberikan pelayanan, dimana dalam

pelaksanaannya dilakukan dengan netral, professional, dan lurus mengarah kepada

tujuan yang telah ditetapkan. Ada dua kunci dalam memahami OPA ini, pertama

adanya perbedaan yang jelas antara politik dan administrasi. Kedua, perhatian untuk

membuat struktur dan strategi pengelolaan hak organisasi diberikan kepada

manajernya (pemimpin), agar tugas-tugas dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa OPA lebih menekankan kepada

kepentingan politik dan memberi porsi yang kecil kepada peran masyarakat, dengan

keterlibatan masyarakat yang sangat terbatas, sehingga sangat dirasakan ruang gerak

partisipasi masyarakat sangat sempit, yang pada gilirannya pelayanan kepada

masyarakat sangat tidak memuaskan.

Mulai tahun 1990-an administrasi publik mengenalkan paradigma baru, yaitu

Reinventing Government yang lebih dikenal sebagai New Public Management (NPM)

dan menjadi begitu popular ketika prinsip “Good Governance” diimplementasikan.

Paradigma NPM melihat bahwa paradigma terdahulu kurang efektif untuk

memecahkan masalah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Karena itu

Vigoda dalam Harbani Pasolong (2013:34), mengungkapkan bahwa ada tujuh

prinsip-prinsip NPM, yaitu sebagai berikut;

1) Pemanfaatan manajemen profesional dalam sektor publik.

2) Penggunaan indikator kinerja.

3) Penekanan yang lebih besar pada kontrol output.

4) Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil.


13

5) Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi.

6) Penekanan gaya sektor swasta pada penerapan manajemen.

7) Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam

penggunaan sumber daya.

New Public Management (NPM) dipandang sebagai pendekatan dalam

administrasi publik menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari

dunia manajemen bisnis dan disiplin lain untuk memperbaiki efektivitas, efisiensi,

dan kinerja pelayanan publik pada birokrasi moderen.

Kemudian pada tahun 2003 munculah paradigma baru, yaitu New Public

Service (NPS) oleh J.V. Denhardt dan R.B. Denhardt dalam Harbani Pasolong

(2013:35). Paradigma tersebut menyarankan meninggalkan prinsip administrasi

klasik dan New Public Management, beralih ke prinsip NPS.

J.V. Denhardt dan R.B. Dendhardt dalam Harbani Pasolong (2013:36),

mengemukakan bahwa administrasi publik harus:

“a). Melayani warga masyarakat, bukan pelanggan; b). Mengutamakan


kepentingan publik; c). lebih menghargai warga negara dari pada
kewirausahaan; d). Berpikir strategis dan bertindak demokratis; e).
Menyadari akuntabilitas bukan merupakan hal mudah; f). Melayani dari pada
mengendalikan; dan g). Menghargai orang, bukan hanya produktivitas”.
Seluruh paradigma tersebut menunjukkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir,

terjadi perubahan orientasi administrasi public dengan cepat. Kegagalan yang

dihadapi oleh suatu negara, telah disadari sebagai akibat dari tidak beresnya

administrasi publik. Ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengaruh

administrasi publik semakin tinggi. Dengan demikian, perkembangan administrasi


14

publik telah digambarkan secara garis besar dengan jelas, yang tampak cukup

kompleks dan sangat luas.

2.1.2.2. Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering kita dengar dalam

kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan-kegiatan akademis, seperti dalam kuliah-

kuliah ilmu politik. Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut public

policy. Kebijakan publik akan ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang

mengatur kehidupan bersama. Sebuah kehidupan bersama kemudian harus diatur,

tujuannya agar suatu dengan lainnya tidak saling dirugikan. Bukan sekedar diatur,

melainkan diatur oleh peraturan yang berlaku untuk semuanya dan berlaku mengikat

semuanya. Aturan tersebut yang secara sederhana kita pahami sebagai kebijkan

publik.

Secara umum, kebijakan digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor

(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau

sejumlah aktor dalam suatu bidang tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat

kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa,

namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang bersifat

ilmiah dan sistematis menyangkut kebijakan publik. oleh karena itu kita memerlukan

batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat.

Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang

dimaksud dengan kebijakan publik dalam literatur-literatur ilmu politik. Masing-


15

masing definisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Sementara di sisi

yang lain, pendekatan dan model yang digunakan oleh para ahli juga akan

menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan. Agar dapat

membedakannya, di bawah ini penulis akan mengemukakan beberapa pengertian

kebijakan publik menurut pendapat para ahli, yaitu sebagai berikut;

Harold Laswell dan Abraham Kaplan dalam Riant Nugroho (2008:53)

mendefinisikan kebijakan sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-

tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu.

James E. Anderson dalam Dwiyanto Indiahono (2015:17) mendefinisikan

kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi

pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Carl Friedrich dalam Budi Winarno (2012:20) memandang kebijakan sebagai

suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam

suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-

peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam

rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.

David Easton dalam Pandji Santosa (2009:26), mendefinisikan kebijakan

publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kepada seluruh masyarakat secara

keseluruhan.

William N. Dunn dalam Harbani Pasolong (2013:39), mengatakan bahwa

kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan

yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang
16

menyangkut tugas pemerintahan. Seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan,

pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.

Definisi lain tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye dalam

Budiman Rusli (2013:38) yang mengatakan bahwa kebijakan publik menyangkut

pilihan-pilihan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, baik untuk melakukan

sesuatu ataupun untuk tidak berbuat sesuatu.

Chaizi Nasucha dalam Harbani Pasolong (2016:39), mengatakan bahwa

kebijakan publik adalah kewenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan

yang digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan

untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan

perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis.

Definisi dari kebijakan publik di atas dapat dikatakan bahwa: (1) Kebijakan

publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah, (2)

Kebijakan publik harus berorientasi kepada kepentingan publik, dan (3) Kebijakan

publik adalah tindakan pemilihan alternatif untuk dilaksanakan atau tidak

dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan publik.

Kebijakan publik hadir dengan tujuan tertentu, yaitu mengatur kehidupan

bersama seperti yang dikemukakan di atas untuk mencapai tujuan bersama yang telah

disepakati. Dari sini kita bisa meletakkan “kebijakan Publik” sebagai “manajemen”

Pencapaian tujuan nasional.

Pada umumnya kebijakan dapat dibedakan atas empat bentuk, yaitu;

1. Regulatory, yaitu mengatur perilaku orang,


17

2. Redistributive, yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada, atau

mengambil kekayaan dari yang kaya lalu memberikannya kepada yang

miskin,

3. Distributive, yaitu melakukan distribusi atau memberikan akses yang sama

terhadap sumber daya tertentu, dan

4. Constituent, yaitu ditujukan untuk melindungi negara.

Ruang Lingkup studi-studi kebijakan publik pada umumnya mencakup :

1. Policy Analicis

2. Policy implementation

3. Policy evaluation

4. Policy Institutional process

Dalam bentuknya, kebijakan publik dapat dibagi menjadi tiga kelompok,

yaitu:

a) Kebijakan Publik Makro

Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau dapat juga dikatakan sebagai

kebijakan yang mendasar. Contohnya: (a). Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945; (b). Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang; (c). Peraturan Pemerintah; (d). Peraturan

Presiden; (e). Peraturan daerah. Dalam pengimplementasian, kebijakan public

makro dapat langsung diimplementasikan.

b) Kebijakan Publik Meso


18

Kebijakan publik yang bersifat meso atau yang bersifat menengah atau yang

lebih dikenal dengan penjelasan pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berupa Peraturan

Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan

Walikota, Keputusan Bersama atau SKB antar-Menteri, Gubernur dan Bupati atau

Walikota.

c) Kebijakan Publik Mikro

Kebijakan publik yang bersifat mikro, mengatur pelaksanaan atau

implementasi dari kebijakan publik yang di atasnya. Bentuk kebijakan ini misalnya

peraturan yang dikeluarkan oleh aparat-aparat publik tertentu yang berada di bawah

Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses kompleks karena

melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu,

beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi

proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Inilah yang

menjadikan kebijakan publik menjadi penuh warna, dan kajiannya amat dinamis.

Berbicara mengenai tahap-tahap kebijakan publik, Dunn menggambarkan tahap-tahap

kebijakan sebagai berikut:

1. Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda

publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk

dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.

2. Tahap Formulasi Kebijakan


19

Masalah kebijakan yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian

dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk

kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.

3. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para

perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut

diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur

lembaga atau keputusan peradilan.

4. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika

program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program

kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus

diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun

agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil

dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya

finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan

saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para

pelaksana (implementor), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang

Presiden; (e). Peraturan daerah. Dalam pengimplementasian, kebijakan public

makro dapat langsung diimplementasikan.

d) Kebijakan Publik Meso


20

Kebijakan publik yang bersifat meso atau yang bersifat menengah atau yang

lebih dikenal dengan penjelasan pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berupa Peraturan

Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan

Walikota, Keputusan Bersama atau SKB antar-Menteri, Gubernur dan Bupati atau

Walikota.

e) Kebijakan Publik Mikro

Kebijakan publik yang bersifat mikro, mengatur pelaksanaan atau

implementasi dari kebijakan publik yang di atasnya. Bentuk kebijakan ini misalnya

peraturan yang dikeluarkan oleh aparat-aparat publik tertentu yang berada di bawah

Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses kompleks karena

melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu,

beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi

proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Inilah yang

menjadikan kebijakan publik menjadi penuh warna, dan kajiannya amat dinamis.

Berbicara mengenai tahap-tahap kebijakan publik, Dunn menggambarkan tahap-tahap

kebijakan sebagai berikut:

5. Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda

publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk

dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.

6. Tahap Formulasi Kebijakan


21

Masalah kebijakan yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian

dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk

kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.

7. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para

perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut

diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur

lembaga atau keputusan peradilan.

8. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika

program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program

kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus

diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun

agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil

dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya

finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan

saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para

pelaksana (implementor), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang.

9. Tahap Penilaian (Evaluasi) Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau

dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu

memecahkan masalah.
22

Gambar 2.1
Bagan Proses Kebijakan Publik

Sumber: Dwiyanto Indiahono, Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis,


(2015:20)

2.1.2.3. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi yang merupakan terjemahan dari kata “implementation”,

berasal dari kata kerja “to implement”. Menurut Webster’s Dictionary (1979:914),

kata to implement berasal dari bahasa latin “implementum” dari asal kata “impere”

dan “plere”. Kata “implere” dimaksudkan “to fill up”; “to fill in”, yang artinya

mengisi penuh; melengkapi, sedangkan “plere” maksudnya “to fill”, yaitu mengisi.

Selanjutnya kata to implement dimaksudkan sebagai: pertama, membawa ke suatu


23

hasil (akibat); melengkapi dan menyelesaikan. Kedua, menyediakan saran (alat)

untuk melaksanakan sesuatu; memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap

sesuatu. Ketiga, menyediakan atau melengkapi dengan alat.

Apabila pengertian implementasi di atas dirangkaikan dengan kebijakan

publik, maka kata implementasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas

penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui

dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan.

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang strategis dalam proses

kebijakan publik. Suatu kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak

atau tujuan yang diinginkan. Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai

sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi

kebijakan. Namun dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan

merupakan tahapan yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan

yang dapat dipandang sebagai tahapan yang bersifat teoritis. Di bawah ini penulis

akan mengemukakan beberapa pengertian impelementasi menurut pendapat para ahli,

yaitu sebagai berikut;

Kajian klasik Mazmanian & Sabatier dalam Leo Agustino (2014:139)

mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai pelaksanaan keputusan biasanya

dalam bentuk undang-undang, tapi dapat pula berbentuk perintah-perintah atau

keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau pun keputusan badan peradilan.


24

Van Meter & Van Horn dalam Leo Agustino (2014:139) mendefinisikan
kimplementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau

swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan

dalam keputusan kebijaksanaan.

Udoji dalam Pandji Santosa (2012:42) mendefinisikan implementasi

kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada

formulasi kebijakan.

Ripley dan Franklin dalam Budi Winarno (2012:148) berpendapat bahwa

implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang

memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis

keluaran tang nyata (tangible output).

Sementara itu, Grindle dalam Budi Winarno (2012:149) juga memberikan

pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas

implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-

tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

Implementasi kebijakan merupakan sebuah cara agar suatu kebijakan dapat

mencapai tujuannya. Banyak orang beranggapan bahwa setelah kebijakan publik

disahkan oleh pihak yang berwenang, maka dengan sendirinya kebijakan tersebut

dapat dilaksanakan dan hasil-hasilnyapun akan mendekati seperti yang diharapkan

oleh pembuat kebijakan. Sedangkan pada kenyataannya, kebijakan yang dibuat oleh

pembuat kebijakan adalah kebijakan yang perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh
25

berbagai pihak sehingga mempunyai dampak yang sesuai dengan apa yang menjadi

tujuan awalnya.

Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah

yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau

melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Proses kebijakan secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.2
Bagan Proses Implementasi
26

Sumber: Riant Nugroho, Public Policy, (2008:433)

Proses implementasi juga diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan


Aparatur Negara Nomor: PER/04/M.PAN/4/2007 Tentang Pedoman Umum
Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi

Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah,

Lampiran 6. Berikut, di bawah ini merupakan gambaran prosesnya.

Gambar 2.3
Proses Implementasi Kebijakan
27

Sumber : lampiran 6 Peraturan Mentri Negara Pendayagunaan Aparatur


Negara Nomor: PER/04/M.PAN/4/2007

Dalam Implementasi kebijakan terdapat beberapa model proses implementasi.

Model implementasi ini pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk

menyederhanakan realitas implementasi kebijakan yang rumit menjadi lebih

sederhana sebagai hubungan sebab-akibat antara keberhasilan implementasi dengan

faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan implementasi tersebut. Berikut

adalah beberapa model proses implementasi yang dikemukakan oleh para ahli.
28

a. Model Merilee S. Grindle

Menurut Grindle dalam Leo Agustino (2016:142-145) keberhasilan suatu

implementasi kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaiannya dan juga

ditentukan oleh tingkat implementability yang terdiri atas isi kebijakan (Content of

Policy) dan lingkungan kebijakan (Context of Policy) (1980:5)

1) Isi kebijakan menurut Grindle adalah:

a) Kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan serta

sejauh mana kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap

implementasinya.

b) Suatu kebijakan harus menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh

pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.

c) Besarnya perubahan yang ingin dicapai melalui suatu implementasi dan

harus memiliki skala yang jelas.

d) Peranan penting pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan

diimplementasikan.

e) Suatu kebijakan harus didukung demi keberhasilan suatu kebijakan.

f) Pelaksanaan suatu kebijakan harus didukung oleh sumber daya agar

pelaksanannya berjalan dengan baik.

2) Lingkungan kebijakan menurut Grindle adalah:

a) Kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat.

b) Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa.

c) Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana.


29

Gambar 2.4
Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle

Sumber: Deddy Mulyadi, Studi kebijakan Publik dan Pelayanan Publik, (2016:67)

b. Model Van Meter & Van Horn

Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Van Meter & Van Horn

disebut dengan istilah A Model of The Policy Implementation. Proses implementasi

ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi dari suatu pelaksanaan kebijakan

yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi

kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan dengan berbagai
30

variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara

linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik.

Ada enam variabel menurut Van Meter dan Van Horn yang mempengaruhi

kinerja implementasi kebijakan publik, berikut penjelasannya.

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya

jika-dan-hanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan

sosio-kultur yang mengada ditingkat pelaksana kebijakan.

2. Sumber daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari

kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan

sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses

implementasi.

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan

organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik.

4. Sikap atau Kecenderungan (Disposition) Para Pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat

mempengaruhi berhasil atau tidaknya kinerja implementasi publik.

5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana


31

Koordinasi merupakan mekanisme sekaligus syarat utama dalam

menentukan keberhasilan pelaksana kebijakan.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang juga perlu diperhatikan guna menilai kinerja

implementasi kebijakan publik adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut

mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Oleh sebab

itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan

kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Gambar 2.5
Model Implementasi Kebijakan Van Meter & Van Horn

Sumber: Deddy Mulyadi, Studi kebijakan Publik dan Pelayanan Publik, (2016:73)
32

c. Model George C. Edward III

Model implementasi kebijakan ketiga yang bersperspektif top-down yang

dikembangkan oleh Edward III dikenal dengan istilah Direct and Indirect Impact on

Implementation. Menurut Edward III, ada empat variabel pendekatan untuk

menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu:

1. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group)

sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran

suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh

kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok

sasaran.

2. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan

kosisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk

melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut

dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan

sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi

kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas

menjadi dokumen saja.


33

3. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh

implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila

implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia dapat menjalankan

kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah

satu dari aspek sturktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya

prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP).

SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur

organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan

menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.

Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.


34

Gambar 2.6
Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III

Sumber: Deddy Mulyadi, Studi kebijakan Publik dan Pelayanan Publik, (2016:69)

2.1.2.4 Konsep Desa


Kata desa berasal dari bahasa India, yakni swadesi, yang berarti tempat asal,

tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup.

Desa merupakan suatu daerah kesatuan hukum, dimana di dalamnya tinggal suatu

masyarakat yang berkuasa berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa

merupakan satuan pemerintah terendah di bawah pemerintah kabupaten, namun

kedudukan desa sangat penting baik sebagai alat untuk mencapai tujuan

pembangunan Nasional ataupun sebagai lembaga yang memperkuat sktruktur

pemerintahan Negara Indonesia.

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa BAB 1 Pasal 1,

disebutkan bahwa;
35

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian desa

adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai satu kesatuan

masyarakat yang memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri berdasarkan

adat istiadat setempat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan memiliki posisi

di bawah pemerintah kabupaten.

2.1.2.5. Konsep Pendamping Desa

1. Pengertian Pendamping Desa

Pendamping Desa adalah sebuah jabatan dibawah Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia yang

pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Desa yang bertugas untuk

meningkatkan keberdayaan masyarakat di sebuah desa.

Dalam Peraturan Menteri No. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan

Desa, dijelaskan bahawa Pendamping Desa adalah kegiatan untuk melakukan

tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian,

pengarahan dan fasilitasi desa.

2. Tujuan Pendamping Desa

Tujuan dari Pendamping Desa menurut Peraturan Menteri No. 3 Tahun

2015 tentang Pendampingan Desa adalah sebagai berikut;


36

a. Meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa

dan pembangunan Desa;

b. Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam

pembangunan desa yang partisipatif;meningkatkan sinergi program

pembangunan Desa antar sektor; dan

c. Mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris.

3. Tugas Pendamping Desa.

Menurut Peraturan Menteri No. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan

Desa, Pendamping Desa bertugas mendampingi Desa dalam penyelenggaraan

pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Pendamping Desa melaksanakan tugas mendampingi Desa, melipui:

a. Mendampingi desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dab pemantauan

terhadap pembangunan Desa dan pemberdayaan mayarakat Desa;

b. Mendampingi Desa dalam melaksanakan pengelolaan pelayanan sosial

dasar, pengembangan usaha ekonomi Desa, pendayagunaan sumber daya

alam dan teknologi tepat guna, pembangunan sarana prasarana Desa, dan

pemberdayaan masyarakat desa;

c. Melakukan pengorganisasian di dalam kelompok-kelompok masyarakat

Desa;

d. Melakukan peningkatan kapasitas bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat

Desa dan mendorong terciptanya kader-kader pembangunan Desa tang

baru;
37

e. Mendampingi Desa dalam pembangunan kawasan perdesaan secara

partisipatif; dan

f. Melakukan koordinasi pendampingan di tingkat kecamatan dan

memfasilitasi laporan pelaksanaan pendampingan oleh Camat kepada

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

2.2 Alur Pikir

Sesuai dengan definisi pengertian konsep-konsep yang dikemukahkan untuk

mengarahkan peneliti maka penyusun menulis alur pikir yang dikemukahkan dalam

penelitian ini, Maka peneliti menggunakan model implementasi yang dikemukakan

oleh Edward III. Menurut peneliti, model implementasi menurut Edward III

merupakan model yang tepat untuk menggambarkan Implementasi Kebijakan

Pendamping Desa di Desa Maku Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi karena memiliki

keterkaitan dengan beberapa komponen yang dikemukakan oleh Edward III yaitu;

Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi dan Struktur Birokrasi.

Kurangnya komunikasi yang dilakukan oleh implementor menjadi salah satu

penghambat berjalannya proses implementasi kebijakan pendamping desa.

Komunikasi merupakan salah satu unsur penting dalam proses implementasi. Karena

dengan adanya komunikasi, maka masyarakat bisa menjadi tahu seperti apa kebijakan

pendamping desa tersebut. Kebijakan ini nantinya diharapkan dapat dapat

meningkatkan sumber daya manusia yang ada di desa tersebut. Sikap disposisi yang

dilakukan oleh implementor dinilai sudah berjalan dengan baik, hanya komunikasi
38

yang dinilai masih kurang. Birokrasi merupakan merupakan salah satu badan yang

paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan.

Berdasarkan hal yang telah dikemukakan di atas dan melihat dari definisi

pengertian serta konsep-konsep yang telah dikemukakan di atas, maka dalam

penelitian ini, peneliti menggambarkan alur pikir sebagai berikut:

Gambar 2.7

Model Implementasi Kebijakan Edwards III

Implementasi Kebijakan Pendamping Desa

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah


Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015
Tentang Pendampingan Desa

Implementasi Kebijakan

Edwards III dalam Dwiyanto Indiahono


1. Komunikasi
2. Sumber Daya
3. Disposisi
4. Struktur Birokrasi

Peningkatan dan pemerataan pembangunan dan


pemberdayaan masyarakat desa

Sumber: Dwiyanto Indiahono, (2009:33)

Anda mungkin juga menyukai