Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1.

September 2017

PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH


Oleh:
Rukiyati (rukiyati@uny.ac.id)
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Pendidikan moral di sekolah perlu dilaksanakan secara bersungguh-sungguh untuk
membangun generasi bangsa yang berkualitas. Walaupun peran utama untuk mendidik
moral anak adalah di tangan orang tua mereka, guru di sekolah juga berperan besar untuk
mewujudkan moral peserta didik yang seharusnya. Keluarga, sekolah, dan masyarakat
bersama-sama bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak muda agar bermoral baik
sekaligus pintar secara intelektual sehingga terwujud generasi muda yang unggul. Itulah
tujuan utama pendidikan sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles. Pendidikan moral di
sekolah harus dirancang komprehensif mencakup berbagai aspek, yaitu: pendidik, materi,
metode, dan evaluasi sehingga hasilnya diharapkan akan optimal.

Kata kunci: tujuan pendidikan, nilai moral, sekolah, komprehensif.

PENDAHULUAN timbal balik dengan yang lain dan


Sekolah merupakan lingkungan membentuk mikrosistem masing-
mikrosistem. Bronfenbrenner (1979: 22) masing.
mengatakan bahwa mikrosistem adalah Sebagai sebuah mikrosistem,
sebuah pola dari aktivitas, peran dan sekolah diperkirakan mempunyai
relasi interpersonal yang dialami oleh pengaruh yang kuat yang dapat dilihat
seseorang yang sedang tumbuh secara langsung dalam diri subjek didik.
berkembang di dalam setting tertentu Terlebih lagi di zaman sekarang, ketika
dengan karakteristik fisik khusus, yaitu banyak orang tua menaruh harapan
suatu lingkungan kehidupan yang di sangat besar terhadap sekolah untuk
dalamnya seorang individu meng- menjadikan anak-anaknya pintar dan
habiskan sebagian besar waktunya, baik. Sekolah yang baik merupakan
seperti keluarga, teman sebaya, sekolah keniscayaan agar pengaruhnya terhadap
dan lingkungan tetangga. Di dalam anak menjadi positif. Sekolah
mikrosistem ini, seorang individu merupakan bentuk pendidikan formal.
berinteraksi langsung dengan orang tua, Noeng Muhadjir (2003: 16-18)
guru-guru, teman sebaya dan yang lain. mengatakan bahwa ditinjau dari segi
Seorang anak bukan penerima pasif dari antropologi kultural dan sosiologi, ada
pengalaman, tetapi bersifat interaksi tiga fungsi utama pendidikan, yaitu

70
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

menumbuhkan kreativitas subjek-didik, pertumbuhan siswa sebagai manusia


menumbuhkembangkan nilai-nilai insani utuh, termasuk di dalamnya sisi kognitif,
dan Ilahi pada subjek didik dan satuan emosional, sosial, etik, kreatif dan
sosial masyarakat, dan meningkatkan spiritualnya
kemampuan kerja produktif pada subjek Berdasarkan pertimbangan di atas,
didik. Dengan kata lain, fungsi sekolah perlu dilakukan perencanaan terkait
terkait dengan upaya menumbuhkan pendidikan moral di sekolah yang
nilai-nilai akademik, nilai-nilai sosial bersifat komprehensif, yang melibatkan
dan nilai-nilai religius. Ketiga kelompok berbagai komponen: pendidik, materi,
nilai inilah yang sekarang menjadi metode, dan evaluasinya. Tulisan ini
wacana dengan istilah yang populer: akan membahas komponen pendidikan
kecerdasan intelektual, kecerdasan moral tersebut sebagai unsur penting
emosional dan kecerdasan spiritual. yang harus diperhatikan agar pendidikan
Sekolah yang baik adalah sekolah moral di sekolah dapat berjalan dengan
yang peduli dan fokus pada pendidikan lebih optimal.
moral atau pendidikan nilai di samping
kegiatan pengajaran ilmu. Amstrong METODE PENELITIAN
(2006: 17) mengemukakan teorinya Tulisan ini merupakan gabungan
tentang sekolah sebagai wahana antara teori dan hasil penelitian
pengembangan manusia (human lapangan. Rangkuman berbagai teori
development). Istilah “pengembangan” diambil dari hasil pemikiran dan
atau ”development” lebih berkonotasi penelitian para pakar pendidikan moral
pada upaya menumbuhkan, seperti Kirschenbaum, Thomas Lickona,
memerdekakan manusia dari beban, Darmiyati Zuchdi dan Nurul Zuriah
rintangan dan kesulitan. Istilah ini juga yang kemudian diinterpretasi dan
bermakna proses yang berlangsung terus disintesiskan oleh penulis sehingga
sepanjang waktu. Maka, pengembangan diperoleh kesatuan gagasan tentang teori
manusia dalam pendidikan dapat pendidikan moral di sekolah. Data
didefinisikan menjadi “keseluruhan lapangan diperoleh dari hasil penelitian
tindakan dan komunikasi lisan dan penulis (2012) di sebuah sekolah dasar
tertulis yang melihat tujuan pendidikan Islam di Sleman yang memfokuskan
lebih mengutamakan pada upaya pada pendidikan moral bagi siswa-
membantu, mendorong, memfasilitasi siswanya sebagai tujuan sekolah yang

71
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

penting di samping pendidikan membentuk siswa dapat mengajukan


intelektual. pertanyaan kritis, menghargai dialog
yang bermakna dan menjadi agensi
HASIL DAN PEMBAHASAN kemanusiaan. Peserta didik belajar
1. Pendidik Moral di Sekolah wacana tentang organisasi umum dan
Tidak dapat dipungkiri bahwa tanggung jawab sosial. Dalam konteks
pendidik utama di sekolah adalah guru. inilah, guru berfungsi untuk
Walaupun demikian, perlu disadari mewujudkan peserta didik agar menjadi
bahwa pendidik moral di sekolah tidak warga negara yang aktif dalam
terbatas pada guru semata. Di sekolah masyarakat yang demokratis. Hal
ada pegawai tata usaha, pramu kantor, tersebut juga diamanatkan di dalam
tukang kebun, dan komite sekolah. tujuan pendidikan berdasarkan Undang-
Semua subjek tersebut berperan untuk Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang
bersama-sama membangun moral siswa Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu
agar menjadi orang yang baik. guru juga bertugas untuk meningkatkan
Guru yang baik tentu saja sangat keimanan dan ketakwaan serta akhlak
strategis untuk terbentuknya moral siswa yang mulia dalam diri peserta didik.
yang baik pula. Sebagaimana dinyatakan Oleh karena guru adalah ujung
oleh Henry Giroux (1988: xxxiv) tombak untuk mewujudkan moral yang
sekolah berfungsi sebagai ruang publik baik dalam diri peserta didik, maka guru
yang demokratis. Sekolah sebagai terlebih dahulu harus bermoral baik
tempat demokratis yang didedikasikan pula. Dengan demikian, pendidikan
untuk membentuk pemberdayaan diri moral yang dilaksanakan oleh guru akan
dan sosial. Dalam arti ini, sekolah adalah lebih mudah diterima dan diteladani oleh
tempat publik bagi peserta didik untuk para peserta didiknya.
dapat belajar pengetahuan dan keahlian
yang dibutuhkan untuk hidup dalam 2. Materi Pendidikan Moral
demokrasi yang sesungguhnya. Sekolah
Pada intinya materi pendidikan
bukan sebagai perluasan tempat kerja
moral mencakup ajaran dan pengalaman
atau sebagai lembaga garis depan dalam
belajar untuk menjadi orang bermoral
pertempuran pasar internasional dan
dalam kaitan dengan diri sendiri, moral
kompetisi asing, sekolah sebagai ruang
terhadap sesama manusia dan alam
publik yang demokratis dibangun untuk

72
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

semesta serta moral terhadap Tuhan khusus sebagaimana telah dimasukkan


Yang Maha Esa (Zuriah, 2010). dalam kurikulum, baik intra maupun
Pendidikan moral terhadap diri ekstra kurikuler. Hanya saja perlu
sendiri yang penting diberikan kepada diwaspadai nilai-nilai moral agama
peserta didik berkaitan dengan nilai- harus dibarengi dengan sikap untuk tetap
nilai kebersihan diri, kerajinan dalam bertoleransi. Demikian itu dinyatakan
belajar/bekerja, keuletan, disiplin waktu. oleh Sukarno (Bahar, 1995: 16) sebagai
Pendidikan moral untuk sesama manusia ketuhanan yang berkebudayaan, yaitu
mencakup nilai-nilai moral sosial seperti ketuhanan dengan dasar toleransi, tidak
kerjasama, toleransi, respek, berlaku ada egoisme agama.
adil, jujur, rendah hati, tanggung jawab,
dan peduli. Pendidikan moral untuk 3. Metode Pendidikan Moral
hubungan manusia dengan alam semesta Kirschenbaum (1995: 31)
dapat diberikan dengan menguatkan mengusulkan 100 cara atau metode
nilai-nilai keseimbangan alam, menjaga pendidikan moral, yang dipayungi dalam
kelestarian alam, tidak merusak alam, lima kategori besar metode pendidikan
hemat, dan mendidik untuk moral yaitu penanaman (inkulkasi)
menggunakan kembali barang-barang nilai-nilai dan moralitas, modeling nilai-
bekas (daur ulang) dalam bentuk yang nilai dan moralitas, fasilitasi nilai-nilai
baru. Pendidikan moral untuk hubungan dan moralitas, kecakapan untuk
manusia dengan Sang Khalik penting mengembangkan nilai dan melek moral,
dilaksanakan terlebih Indonesia adalah pelaksanaan program pendidikan nilai di
negara yang berketuhanan Yang Maha sekolah.
Esa (pasal 29 UUD 1945). Indonesia Pendidikan moral pada masa
berbeda dengan negara sekuler dan sekarang menghadapi berbagai
negara komunis. Pendidikan agama yang tantangan seiring dengan kemajuan
di dalamnya sarat dengan nilai-nilai zaman yang ditandai oleh keterbukaan
moral diberi tempat yang khusus dan informasi dan kecanggihan teknologi.
penting. Nilai-nilai moral yang diajarkan Hal ini tentu berbeda sekali dengan masa
di dalam ajaran agama menjadi sumber lalu. Di lingkungan masyarakat religius
nilai bagi kehidupan masyarakat tradisional, moral diwariskan kepada
Indonesia sehingga di sekolah pun nilai- generasi berikutnya secara given yaitu
nilai moral agama tetap diberi tempat indoktrinasi. Artinya suatu ajaran moral

73
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

harus diterima karena memang sejak Schools mengidentifikasi “nilai-nilai


dahulu diajarkan demikian. Setelah itu, inti” bagi sekolah mereka (sekolah
ajaran tersebut dilaksanakan. Peran akal dasar), yaitu: keramahan, kejujuran,
sebatas berupaya memahami alasannya tanggung jawab, warga negara yang
dan konsekuensinya. bertanggung jawab, toleransi,
Anak-anak yang hidup sekarang patriotisme, belas kasih.
ini hidup di zaman modern akhir yang Kementerian Pendidikan Kanada
sangat jauh berbeda cara berpikir dan menyusun nilai-nilai target bagi tingkat
perilakunya dengan anak-anak di masa sekolah dasar dan SMP yaitu: belas
lalu. Indoktrinasi dipandang para ahli kasih, kerja sama, sabar, damai, ramah,
sebagai metode yang sudah usang dan kebebasan, murah hati, jujur, adil, setia,
tidak sejalan dengan semangat modern moderat, menghargai lingkungan hidup,
tersebut. Maka, ada metode lain yang menghargai orang lain, menghargai diri
lebih sesuai yaitu inkulkasi atau sendiri, tanggung jawab, disiplin diri,
penanaman nilai. peka, toleransi.
a. Inkulkasi nilai Membaca buku-buku sastra (novel,
Metode ini dapat dilaksanakan cerpen, dsb) dan non-fiksi (biografi,
dalam pembelajaran moral di sekolah kisah perjalanan/petualangan, dsb) dapat
maupun di dalam keluarga dengan menjadi salah satu cara ampuh untuk
berbagai cara. Kirschenbaum menanamkan nilai-nilai dan moralitas
mengetengahkan 34 cara inkulkasi nilai, dalam diri subjek didik. Misalnya, Diary
di antaranya adalah identifikasi nilai- of a Young Girl, karya Anne Frank yang
nilai target, membaca buku-buku sastra ditulis dalam persembunyiannya ketika
dan non-fiksi, bercerita. zaman Nazi mengandung pembelajaran
Program pendidikan moral dengan moral yang sangat kuat tentang belas
cara inkulkasi nilai dimulai dengan kasih dan toleransi. Setelah membaca
mengidentifikasi secara jelas nilai-nilai buku-buku tersebut, guru dan siswa
apa yang diharapkan akan tertanam dapat mengungkapkan nilai-nilai dan
dalam diri subjek didik. Hasilnya adalah masalah-masalah moral yang terdapat di
“nilai-nilai target” yang akan dicapai dalam bacaan tersebut.
dalam program pendidikan moral. Memberikan buku-buku yang
Misalnya, Baltimore County Public bermutu, buku cerita dan artikel untuk

74
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

dibaca para siswa adalah cara yang yang sangat akurat ditinjau dari
mudah dan penting untuk membangun perspektif historis, yaitu membangun
nilai moral dalam diri siswa, disamping makna dan menanamkan nilai-nilai yang
juga akan meningkatkan tujuan diinginkan, keyakinan moral, dan
pembelajaran secara akademik. karakter yang diinginkan dalam diri
Strategi lainnya adalah dengan pendengarnya (peserta didik).
bercerita (story telling) dimulai dari
rumah atau keluarga, tetapi dapat juga b.Metode keteladanan
dilakukan di sekolah, terutama di Keteladanan merupakan bentuk
sekolah-sekolah dasar. Pada zaman mengestafetkan moral yang digunakan
dahulu, sebelum tidur anak-anak oleh masyarakat religius tradisional, dan
diceritakan kisah-kisah yang ajaib dari digunakan pula oleh masyarakat modern
negeri dongeng sebagai pengantar tidur sekarang ini. Dalam masyarakat
sekaligus pendidikan moral. Biasanya tradisional, keteladanan diterima secara
cerita-cerita tentang binatang seperti Si terberi tanpa harus mengejar
Kancil dan Buaya, Si Kancil dan Kera, argumentasi rasionalnya; sedangkan
Si Kancil dan Kura-kura, dsb. Juga ada pada masyarakat modern sekarang
cerita-cerita seperti Putri Salju, Ciung keteladanan diterima dengan
Wanara, Jaka Tarub yang semuanya pemahaman dan argumentasi rasional
mengajarkan kebaikan. Juga ada cerita- (Muhadjir, 2004: 163). Orang tua dan
cerita heroisme atau kepahlawanan guru merupakan sosok yang harus
tokoh-tokoh besar dalam sejarah yang memberikan teladan baik kepada subjek
dikagumi dan patut dijadikan teladan. didik. Anak-anak lebih mudah meniru
Bercerita juga dapat dilakukan guru di perilaku dari pada harus mengingat dan
sekolah dengan tidak kalah menarik dari mengamalkan kata-kata yang diucapkan
orang tua siswa. Terlebih lagi di sekolah, oleh orang tua dan guru.
media untuk bercerita dapat dibuat
bersama-sama antara guru dan siswa c. Metode klarifikasi nilai
sehingga pembelajaran yang dihasilkan Dalam masyarakat liberal, moral
lebih mencapai banyak sasaran dan diperkenalkan lewat proses klarifikasi,
keterampilan serta lebih kreatif. penjelasan agar terjadi pencerahan pada
Kirschenbaum mengatakan bahwa subjek didik. Seberapa jauh sesuatu
metode bercerita merupakan metode moral diterima oleh anak, sangat

75
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak anak dibiarkan tidak mendirikan salat,
diberikan kebebasan untuk memutuskan sebelum anak sadar akan pentingnya
sendiri. Pendekatan klarifikasi nilai salat. Jika dibiarkan, maka
adalah salah satu contoh yang dikhawatirkan anak tidak akan
memberikan kebebasan untuk anak melakukan salat sampai ia dewasa. \
menentukan nilai-nilainya. Sebagaimana
dinyatakan oleh Sidney B. Simon, dkk d. Metode fasilitasi nilai
(1974: 6) bahwa pendekatan klarifikasi Guru dan pihak sekolah
nilai mencoba untuk membantu anak- memberikan berbagai fasilitas yang
anak muda menjawab beberapa dapat digunakan siswa agar dapat
pertanyaan dan membangun sistem nilai merealisasikan nilai-nilai moral dalam
sendiri. Di dalam bukunya: Values dirinya baik secara individu maupun
Clarification, Simon menjelaskan 79 berkelompok, misalnya fasilitas
strategi klarifikasi nilai yang dapat beribadah berupa mesjid dan mushola,
diterapkan, khususnya oleh para guru di fasilitas membuat kompos dari sampah
sekolah. Strategi-strategi yang disajikan sekolah, fasilitas berupa ruang diskusi,
di dalam buku tersebut disusun oleh perpustakaan dengan buku-buku cerita
Louis Raths yang diturunkan dari yang memuat nilai-nilai moral, dan
pemikiran John Dewey. Berbeda dengan sebagainya.
pendekatan teoritis yang lain, Raths Di sebuah sekolah dasar Islam
tidak mempermasalahkan isi dari nilai- terpadu di Sleman, di samping fasilitas
nilai yang dimiliki seseorang, tetapi umum yang telah banyak disediakan
lebih memperhatikan proses penilaian. oleh berbagai sekolah, terdapat pula
Fokusnya adalah bagaimana orang fasilitasi sarana prasarana kegiatan luar
sampai pada keyakinan tertentu yang kelas yang menjadi prioritas utama
dipegangnya dan membentuk pola untuk pengembangan moral dan
perilaku tertentu. kecakapan hidup anak seperti fasilitas
Di Indonesia, strategi klarifikasi untuk meluncur (flying fox), fasilitas
nilai telah diperkenalkan sejak tahun panjat tebing, fasilitas pohon-pohon
1980-an dan banyak para pendidik yang tanaman keras (untuk latihan memanjat).
mengkritik dan menolaknya. Hal-hal Kesemuanya disiapkan untuk latihan
yang tidak dapat diterima, adalah yang percaya diri, keberanian, bersyukur, dan
terkait dengan pilihan anak, misalnya rendah hati.

76
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

e. Metode keterampilan nilai moral mencakup tiga ranah tersebut. berupa


evaluasi penalaran moral, evaluasi
Keterampilan moral dalam diri
karakteristik afektif, dan evaluasi
peserta didik dapat diwujudkan dimulai
perilaku (Darmiyati, 2009: 51).
dengan pembiasaan. Lama kelamaan
Supaya tujuan pendidikan nilai
pembiasaan itu ditingkatkan dengan cara
yang berwujud perilaku yang diharapkan
peserta didik merancang sendiri berbagai
dapat tercapai, subjek didik harus sudah
tindakan moral yang akan diwujudkan
memiliki kemampuan berpikir/bernalar
sebagai suatu komitmen diri, action plan
dalam permasalahan nilai/moral sampai
mereka sendiri sebagai wujud realisasi
dapat membuat keputusan secara
diri menjadi orang yang baik dan
mandiri dalam menentukan tindakan apa
memperoleh hidup yang bermakna.
yang harus dilakukan.
Kantin kejujuran, berbagai kegiatan
Dalam hal evaluasi afektif, Dupon
sosial yang dirancang oleh siswa di
(Darmiyati, 2009: 54) telah menemukan
sekolah adalah contoh-contoh dari
tahap-tahap perkembangan afektif
metode keterampilan nilai yang selama
sebagai berikut:
ini telah banyak dilakukan di sekolah-
a. Impersonal, egocentric: tidak jelas
sekolah menengah. Hanya saja, perlu
strukturnya.
dikembangkan juga keterampilan nilai
b. Heteronomous: berstruktur uni-
ini untuk diterapkan oleh guru-guru di
lateral, vertikal.
sekolah dasar.
c. Antarpribadi: berstruktur horizontal,
bilateral.
4. Evaluasi Pendidikan Moral
d. Psychological-personal: menjadi
Di samping keempat aspek (isi,
dasar keterlibatan orang lain atau
metode, proses dan pendidik),
komitmen pada sesuatu yang ideal.
pendidikan nilai juga memerlukan
e. Autonomous: didominasi oleh sifat
evaluasi yang komprehensif. Evaluasi
otonomi.
dilakukan untuk mengetahui
f. Integritous: memiliki integritas,
ketercapaian tujuan. Tujuan pendidikan
mampu mengontrol diri secara sadar.
nilai meliputi tiga kawasan, yakni
Selanjutnya, dikatakan oleh
penalaran nilai/moral, perasaan
Darmiyati bahwa untuk menentukan
nilai/moral dan perilaku nilai/moral.
seseorang berada pada tahap
Maka, evaluasi pendidikan nilai juga
perkembangan afektif yang mana,

77
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

Dupont menggunakan instrumen yang akurat dengan melakukan observasi


menuntut adanya respons yang (pengamatan) dalam jangka waktu yang
melibatkan perasaan. relatif lama dan secara terus-menerus.
Selain itu, ada juga pengukuran Dari pengamatan tersebut dapat ditarik
dengan menggunakan skala sikap seperti kesimpulan apakah perilaku orang yang
yang dikembangkan oleh Likert atau diamati telah menunjukkan watak atau
Guttman dan semantic differential yang kualitas akhlak yang akan dievaluasi.
dikembangkan oleh Nuci, dan peneliti Misalnya, apakah orang tersebut benar-
lainnya. Walaupun dinamakan skala benar jujur, adil, memiliki komitmen,
sikap, karakteristik afektif yang beretos kerja, tanggung jawab, dan
dievaluasi dapat pula mencakup minat, sebagainya. Pengamat harus orang yang
motivasi, apresiasi, kesadaran akan sudah mengenal orang-orang yang
harga diri dan nilai. diobservasi agar penafsirannya terhadap
Cara mengevaluasi capaian belajar perilaku yang muncul tidak salah
dalam ranah afektif dapat dilakukan (Darmiyati, 2009: 55).
dengan mengukur afek atau perasaan Terkait dengan evaluasi
seseorang secara tidak langsung, yaitu pendidikan moral, dalam teori
dengan menafsirkan ada atau tidaknya pendidikan Islam juga menitikberatkan
afek positif (atau negatif) yang muncul pada evaluasi sikap dan perilaku. Samsu
dan intensitas kemunculan afek dari Nizar (2002: 80) mengatakan bahwa
tindakan atau pendapat seseorang. evaluasi pendidikan Islam secara
Di antara skala pengukuran yang keseluruhan lebih ditujukan untuk
ada, skala Likert paling banyak mengetahui penguasaan sikap dan
digunakan, sebab relatif lebih mudah perilaku dari pada penguasaan aspek
pengembangannya dan dapat memiliki kognitif. Penekanan ini bertujuan untuk
reliabilitas yang tinggi. Skala Likert mengetahui kemampuan subjek didik
telah diadaptasi dengan sukses untuk yang meliputi empat hal, yaitu:
mengukur berbagai karakteristik afektif. a. Sikap dan pengalaman peserta didik
Evaluasi pendidikan moral terhadap hubungan pribadinya
sebenarnya yang terakhir dan sangat dengan Tuhannya;
penting adalah perilaku. Perilaku moral b. Sikap dan pengalaman peserta didik
sangat sulit untuk dievaluasi. Perilaku terhadap arti hubungan dirinya
moral hanya mungkin dievaluasi secara dengan masyarakat;

78
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

c. Sikap dan pengalaman peserta didik SIMPULAN


terhadap arti hubungan Dari uraian yang telah
kehidupannya dengan alam dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa
sekitarnya; pendidikan moral di sekolah penting
d. Sikap dan pandangan peserta didik dilakukan oleh guru dan segenap
terhadap diri sendiri selaku hamba komponen warga sekolah agar tercapai
Allah, anggota masyarakat, serta pendidikan moral yang komprehensif.
khalifah Allah SWT. Komponen-komponen pendidikan moral
Keempat kemampuan dasar tersebut di sekolah yang lain yang tidak kalah
dijabarkan dalam beberapa klasifikasi penting adalah cakupan materi, variasi
kemampuan teknis, yaitu: metode, dan evaluasi yang menyeluruh.
a. Bagaimana loyalitas dan pengabdian Dengan memperhatikan komponen-
peserta didik kepada Allah dengan komponen tersebut, sekolah dengan guru
indikasi-indikasi lahiriah berupa sebagai peran utama dapat merancang
tingkah laku yang mencerminkan pendidikan moral secara lebih
keimanan dan ketakwaan kepada komprehensif sehingga hasilnya dapat
Allah SWT; dicapai secara optimal, yaitu
b. Bagaimana penerapan nilai-nilai berkembangnya nilai-nilai moral dalam
keagamaan dalam kegiatan kehidupan diri peserta didik sehingga mereka
bermasyarakat, seperti akhlak yang menjadi generasi muda yang berkualitas.
mulia dan disiplin;
c. Bagaimana peserta didik mengelola, DAFTAR PUSTAKA
memelihara serta menyesuaikan diri Armstrong, Thomas. 2006. The Best
School. Virginia: Association for
dengan alam sekitarnya, termasuk di Supervision and curriculum
dalamnya apakah ia merusak atau Development.
memberi makna bagi kehidupannya Bronfenbrenner, Urie. (1979). The
ecology of human development-
dan masyarakat di sekitarnya; Experiments by nature and
d. Bagaimana peserta didik memandang design. Diambil pada tanggal 18
Januari 2010 dari
dirinya sendiri sebagai hamba Allah books.google.co.id
dalam menghadapi kenyataan Darmiyati Zuchdi. (Juli 2008). Potret
masyarakat yang beraneka ragam pendidikan karakter di berbagai
jenjang sekolah. Proceding
budaya, suku dan agama. Seminar dan Lokakarya
Nasional Restrukturisasi

79
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. September 2017

Pendidikan Karakter. Pengabdian pada Masyarakat


Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta:
Yogyakarta. Edisi Khusus. Mei 2012.
_______________. (2009). Humanisasi Simon, Sidney B. dkk. (1978). Values
pendidikan – Menemukan clarification – a Handbook of
kembali pendidikan yang practical strategies for teachers
manusiawi. Jakarta: Bumi and students. Revised Edition.
Aksara. New York: Hart Publishing
Company, Inc.
Davidson, Matthew, et.al. (2007). Smart
and good schools. Education
week, November 2007. Diambil
pada tanggal 3 Maret 2008 dari:
http://www.edweek.org/ew/articl
es/2007
Giroux, Henry A. (1988). Teachers as
Intellectual - toward a critical
pedagogy of learning New York:
Bergin & Garvey.
Kirschenbaum, Howard. (1995). 100
Ways to Enhance Values and
Morality in Schools and Youth
Settings. Boston: Allyn and
Bacon.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for
character – How our schools can
teach respect and responsibility.
New York: Bantam Books.
Lovat, Terry. (2009). Values education
and quality teaching: two sides
of learning coin. Dalam Terry
Lovat & Ron Toomey (Eds.)
Values education and quality
teaching. [versi elektronik].
Diambil pada tanggal 15 Januari
2010 dari www.springer.com
Noeng Muhadjir. (2003). Ilmu
pendidikan dan perubahan
sosial. Yogyakarta: Rake
Sarasin.
Rukiyati. (2012). Pendidikan nilai
holistik untuk membentuk
karakter siswa di SDIT Nurul
Islam Yogyakarta. Jurnal
Cakrawala Pendidikan. Penerbit:
Lembaga Penelitian dan

80

Anda mungkin juga menyukai