Anda di halaman 1dari 73

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. Pandangan Umum

Dalam kehidupan manusia, akan timbul berbagai persoalan baik itu yang

bersifat individu maupun umum. Terkadang pemecahan dari setiap persoalan tidak

semudah membalikan telapak tangan. Terutama jika itu menyangkut persoalan

kehidupan. Tentunya manusia sebagai mahluk yang bebas dan dalam kebebasannya

itu manusia juga dapat mengambil sikap untuk bertindak dari “apa yang seharusnya”

ditengah realitas “apa yang ada “. Ini tidak dapat dipungkiri akan muncul

ketegangan, konflik, namun juga sekaligus adanya kemungkinan-kemungkinan etis,

dimana manusia dapat mengambil keputusan secara dewasa dan bertanggung jawab,

seturut dasar-dasar iman Kristen.1

Manusia sebagai pribadi-pribadi yang bertanggung jawab, harus juga dapat

memahami secara realistis setiap persoalan-persolan zaman dan dunianya. Dengan

demikian setiap manusia dalam keterlibatannya dengan perkara hidup dapat

menyelami secara eksistensial dan dengan demikian sikap etis dapat diambil secara

bertanggung jawab.2

1
Martin L. Sinaga Dkk. (eds), 2001, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, hlm. 669.
2
Ibid, hlm. 670
2

Karena itu penulis mencoba untuk melihat, bagaiman seharusnya keputusan

etis yang diambil dalam masalah Aborsi yang tentunya sesuai dengan dan

berdasarkan pada ajaran kekristenan.

A. Latar Belakang Masalah

Masalah-masalah yang pemecahannya bersifat etis adalah persoalan yang

sangat pelik, terutama masalah Aborsi. Walaupun masalah ini telah lama ada dan

banyak pendapat yang telah dikemukakan. Namun terasa masih sangat relevan karena

hal ini terus dilakukan oleh mereka yang mengerti atau yang hanya sekedar mencari

untung.

Banyaknya aspek yang mendasarinya, membuat masalah Aborsi menjadi

begitu krusial. Masalah ini juga merupakan topik yang sangat emosional, sebab

menyentuh liku-liku seksualitas dan reproduksi yang sering melibatkan dilema-

dilema yang menyakitkan.3 Dalam Ilmu Etika ada enam sistem besar yang dipakai

dalam mengambil keputusan-keputusan yang dianutnya.4 Namun hal ini bukanlah

suatu jawaban atau pedoman yang baik, yang dapat digunakan oleh orang kristen

pada umumnya.

Jumlah Aborsi di Indonesia meningkat dengan pesat dari waktu ke waktu.

Jika pada tahun 1997, Prof. Dr. J. E. Sahetapy dan Prof. Dr. Farid A.M

menyimpulkan ada 1.000.000 jiwa korban Aborsi ilegal sebagai akibat kehamilan

yang tidak direncanakan, maka hanya sekitar 3 tahun kemudian Manado Post pada

3
John Stott, 1996, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK/OMF, hlm.402
3

bulan Mei 2000 menulis memperkirakan pada saat itu ada sebanyak 2.600.000 jiwa

korban Aborsi ilegal pertahun di Indonesia. Bahkan Media Indonesia terbitan 2

Oktober 2002 memperkirakan saat ini jumlah Aborsi di Indonesia telah mencapai

sekitar 3.000.000 janin pertahun.5

Keadaan ini semakin parah pada saat badai krisis ekonomi hebat menghantam

Indonesia pada tahun 1997 sampai saat ini. IMF (International Moneter Fund) dan

World Bank (Bank Dunia) memaksakan Indonesia sebagai negara kreditor dipaksa

untuk menerapkan “Menstruation Regulation” atau “ Pengaturan Siklus Haid” yang

sebenarnya sama dengan Aborsi untuk menekan pertumbuhan jumlah penduduk, dan

sekarang berganti nama menjadi “Hak Reproduksi Perempuan”. Akibatnya di

Indonesia menerapkan standar ganda yaitu “No Abortion” ( Tidak Pada Aborsi) akan

tetapi “Yes Menstruation Regulation” (Ya pada Pengaturan Siklus Haid).6

Hal ini biasanya menimbulkan suatu dilema-dilema sehingga banyak orang

termasuk orang Kristen menghindari pengambilan keputusan secara personal

maupun diskusi-diskusi terbuka mengenai masalah-masalah yang bermuatan etis.

Terutama yang menjadi taruhan dalam isu Aborsi adalah tak kurang dari ajaran iman

Kristen mengenai Allah dan manusia, atau lebih tajam lagi , kedaulatan Allah dan

kesucian hidup manusia. Selanjutnya masalah Aborsi menyangkut doktrin tentang

Allah maupun manusia.7

4
Norman L. Geisler, 2001, Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Malang: SAAT, hlm.28
5
Surat Terbuka, Gerakan Pro-Life, Surabaya
6
Ibid
7
John Stott, Op. Cit, hlm.402
4

Dengan demikian, jika kedaulatan ilahi maupun martabat manusia yang

dipertaruhkan dalam silang pendapat tentang Aborsi ini, maka tindakan bagaimana

yang harus dilakukan oleh orang-orang Kristen yang juga merupakan bagian integral

dari bangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan

masalah yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah: Karena begitu peliknya masalah

Aborsi ini dan tidak cukup hanya sistem etis yang menjawabnya. Maka diperlukan

suatu solusi pemecahan dan tanggung jawab orang kristen dalam menghadapi

masalah Aborsi.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah yang akan diambil oleh penulis dalam skripsi ini adalah

sikap Etis Teologis Kristen dalam menghadapi masalah Aborsi. Dan pengertian kata

dalam hal ini adalah sebagai berikut ; Etis adalah sesuai dengan etika bersusila,

beradab sesuai dengan ukuran nilai yang dianut masyarakat luas; Teologis adalah

sesuatu yang bersifat atau berdasarkan teologi; Aborsi adalah abortus yaitu terjadinya

keguguran (janin) sedangkan Kristen adalah ajaran agama mengenai Kristus.8

8
JS. Badudu, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
5

D. Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan penulisan Skripsi ini berdasarkan rumusan masalah diatas

adalah; Untuk mengetahui sejauh mana keputusan-keputusan yang diambil dalam

menghadapi masalah Aborsi di Indonesia secara Etis Teologis Kristen.Hasil

penulisan ini nantinya diharapkan memberikan kontribusi dan wawasan terhadap

orang Kristen khususnya dan para pembaca dalam mengambil keputusan secara Etis

Teologis Kristen.

E. Hipotesa

Sebagai kerangka berpikir untuk menyelesaikan masalah dalam penulisan

Skripsi ini, maka dirumuskan hipotesa sebagai berikut; Jika memahami masalah

Aborsi dengan benar dan sesuai dengan Etika Kristen, maka kegiatan Aborsi akan

dapat dihindari.

F. Metodologi Penulisan

Penulisan Skripsi ini mengunakan penelitian kepustakaan. Untuk

mendapatkan berbagai data yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian ini,

maka penelitian ini mengunakan metode dokumentasi dengan cara membaca berbagai

sumber bacaan berupa buku-buku, majalah, jurnal , internet yang membahas tentang

Aborsi. Dan data-data yang telah diperoleh akan dianalisis sedemikian rupa untuk

mendapatkan satu kesimpulan.


6

G. Sistematika Penulisan

Penulisan Skripsi ini akan disusun secara sistematis untuk mendapatkan suatu

hasil yang memuaskan , maka kerangka sistematis adalah sebagai berikut ini:

Pada Bab Satu akan membahas tentang pendahuluan dimana didalamnya

terdapat sub-sub judul sebagi berikut yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah,

batasan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, hipotesa, metodologi penulisan dan

sistematika penulisan

Pada Bab Dua akan membahas landasan teori dengan sub-sub judul sebagai

berikut pengertian-pengertian; sekilas sejarah Aborsi; pilihan-pilihan etis; permulaan

hidup manusia dengan sub judul teori janin dan pandangan-pandangan lain.

Pada Bab Tiga akan membahas tentang padangan terhadap Aborsi dengan sub

judul Aborsi dalam prespektif iman Kristen; Aborsi dalam prespektif etis sosial;

pertimbangan etika tentang Aborsi dan pandangan John Wesley tentang Aborsi.

Pada Bab Empat akan menganalisa bab-bab sebelumnya dan melakukan

pembahasan untuk mendapatkan suatu pandangan penulis tentang masalah Aborsi di

Indonesia dan solusi yang akan dikemukan didalam memgatasi masalah Aborsi.

Pada Bab Lima merupakan suatu kesimpulan dari keseluruhan isi Skripsi ini

dan kemudian saran-saran dari penulis dalam mengatasi masalah Aborsi di Indonesia

dalam prespektif Iman Kristen.

Daftar Pustaka merupakan referensi buku-buku, majalah, famlet, internet dan

jurnal-jurnal yang penulis gunakan sebagai sumber bacaan dan juga dapat sebagai

bahan rujukan para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian – pengertian

Banyak istilah-istilah yang sering dipakai untuk menelaah aborsi. Namun sering

kali antara istilah yang satu dengan lainnya tumpang tindih. Demikian juga, banyak

istilah yang digunakan untuk menghaluskan (euphemisme) istilah aborsi. Istilah-

istilah itu misalnya ; menghentikan kehamilan, mengeluarkan hasil pembuahan,

pengurangan embrio.

1. Aborsi

Kata aborsi diambil dari istilah bahasa latin yaitu Abortus Provocotus yang

secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Dengan kata lain yaitu

dengan sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam rahim seorang perempuan

yang sedang hamil. Kata abortus provocotus memiliki perbedaaan arti dengan

abortus spontaneus, yang memilki arti dimana kandungan seorang perempuan yang

sedang hamil dengan spontan gugur. Dari dua pengertian tersebut menimbulkan

presepsi antara “abortus yang disengaja” dengan “ abortus spontan”. Dalam bahasa

Indonesia, yang pertama disebut “pengguran kandungan”, sedangkan yang kedua

dinamai “keguguran”. Untuk menunjukan pengguran kandungan digunakan dengan

7
istilah “aborsi”, yang terbentuk berdasarkan kata dalam bahasa Inggris yaitu

abortion.9

Di Indonesia, ketika orang berbicara tentang “abortus”, maka yang

dimaksudkan adalah abortus Provocoutus (aborsi yang disengaja) dengan abortus

spontaneus (aborsi spontan) secara bersama. Hal ini pernah terdapat dalam surat

kabar yang menyatakan bahwa setiap tahun di Indonesia diperkirakan terjadi sekitar

2,3 juta abortus, diantaranya disebabkan oleh kegagalan kontrasepsi, kebutuhan yang

tidak mencukupi, kehamilan remaja, dan abortus spontan. Hal ini merupakan suatu

permasalahan kesehatan yangh serius, dimana abortus juga menyebabkan kematian

perempuan dewasa maupun remaja. Pendapat ini dikemukakan oleh Dr. Biran

Affandi, SpOG, ketua umum Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI)

dalam pertemuan koordinasi ke- 19 Kesehatan Reproduksi di Indonesia yang

diadakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di gedung Perserikatan Bangsa-

bangsa (PBB) Jakarta (Kompas, kamis 3 Mei 2000).10

2. Keguguran/ Miscarriage

Keguguran adalah berhentinya kehamilan sebelum bayi bisa hidup diluar

kandungan tanpa campur tangan manusia. Secara alamiah kurang lebih 30-50 % dari

jumlah sel telur yang dibuahi (zygot) akan mengalami keguguran oleh karena

9
K. Bertens, 2001, Aborsi Sebagai Masalah Etika, Jakarta: Grasindo, hlm.1
10
Ibid, hlm.2

8
berbagai macam sebab alamiah. Keguguran ini juga sering disebut aborsi spontan.

Dalam bidang moral dan hukum, keguguran semacam ini tidak menjadi suatu

permasalah, sebab kematiannya diluar kontrol manusia itu sendiri. Kalau berhentinya

kehamilan itu terjadi sesudah janin sudah bisa hidup diluar kandungan dan bayinya

hidup, maka disebut kelahiran prematur.11

3. AborsiTherapeutic/ Medicianis

Aborsi therapeutic adalah penghentian kehamilan dengan indikasi medis

untuk menyelamatkan nyawa ibu sijanin, atau menghindari si ibu dari kesusahan fatal

pada kesehatan/ tubuhnya bisa dikembalikan lagi. Disini terjadi suatu konflik hak,

yakni hak hidup janin dan hak hidup si ibu. Dalam pelaksanaanya, merupakan suatu

keadaan yang sulit dan dilematis, yang terpaksa harus memilih. Oleh karena itu harus

dicermati dengan benar apakah nyawa si ibu hanya bisa diselamatkan dengan cara

aborsi.12

4. Aborsi Kriminalis

Aborsi kriminalis adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup

diluar kandungan dengan alasan lain, selain treapeutic, dan dilarang oleh hukum.

Disetiap negara berbeda dengan pengertian aborsi ini. Dibeberapa negara aborsi boleh

dilakukan ketika usia janin masih dibawah 3 bulan, sedangkan di Indonesia semua

11
CB. Kusmaryanto, 2002, Kontroversi Aborsi, Jakarta: Grasindo, hlm.12
12
Ibid, hlm. 13

9
bentuk aborsi dilarang, kecuali alasan indikasi medis (treapeutic) adalah aborsi

kriminalis.13

5. Aborsi Eugenetic

Aborsi eugenetic adalah penghentian kehamilan untuk menghindari kelahiran

bayi cacat atau bayi yang mempunyai kelainan genetis. Eugenisme adalah ideologi

yang diterapkan untuk merdapatkan keturunan hanya yang unggul saja. Kreteria ini

jadi bermasalah jika diterapkan kepada manusia, sebab dengan ini berarti tidak dapat

menerima orang-orang yang memiliki kelemahan mental dan fisik dan mereka harus

dibunuh.14

Tentunya masih banyak jenis aborsi, namun beberapa pengertian diatas

memberikan suatu gambaran, tindakan aborsi adalah pembunuhan terhadap manusia.

Apalagi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara etis maupun teologis.

B. Dasar Alkitabiah

Semua orang Kristen bahwa Allah yang maha kuasa adalah satu-satunya

pemberi, pemelihara, dan yang berhak mengambil hidup manusia. Dipihak lain

“Allahlah yang berhak memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua

orang” ( Kis 17:25), dan didalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada ( Kis 17:28 ).

13
Log. Cit
14
Ibid, hlm. 14

10
Dan pemazmur mengatakan “apabila Engkau mengambil roh mereka, mereka mati

binasa dan kembali menjadi debu” ( Maz. 104:29 ).15

Dalam bahasa Ibrani kata yang digunakan unutk “keguguran” adalah yahtzah,

yang berarti melahirkan. Kata ini adalah kata yang digunakan secara tetap untuk kata

“melahirkan”. Sedangkan kata Ibrani untuk “keguguran” adalah shakol dan kata

yang digunakan untuk keturunan adalah yaled yang bearti anak. Kata ini merupakan

kata yang sama digunakan untuk bayi dan anak kecil ( Kej. 21:8, Kel. 2:3 ).

Disebutkan juga jika ada terjadi kecelakaan apapun yang menimpa baik ibu dan anak

hukuman yang sama diberikan “ nyawa ganti nyawa “ (ayat 23).Hal ini

mengungkapkan bahwa bayi yang lahir dianggap memiliki nilai yang sama dengan

ibunya.16

Dalam Mazmur 139 dengan pengungkapan-pengungkapan yang puitis dan

mengunakan bahasa yang figurative mengambarkan kemahatahuan dan

kemahahadiran Allah dan membuat pernyataan-pernyataan penting tentang

keberadaan kita sebelum dilahirkan.

“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku


dalam kandungan ibuku” (ayat 13)
“Aku direkam dibagian-bagian bumi paling bawah; mata-Mu melihat
selagi aku bakal anak” (ayat 16)

Disini mengambarkan bahwa bayi yang belum dilahirkan itu sepenuhnya manusia.

Bayi yang berada didalam kandungan dimaksudkan sebagai “diciptakan” (bara), kata

15
John Stott, Op. Cit,hlm.402
16
Norman L. Geisler, 2002, Etika Kristen Pilihan dan Isu, Malang: SAAT, hlm.185

11
yang sama digunakan oleh Alkitab didalam Kejadian 1 :12 menunjukan penciptaan

mereka seturut dengan “gambar Allah” ( imago dei ) .

Dalam pandangan pemazmur ini setidak-tidaknya ada tiga kebenaran yang

penting yaitu:

1. Berkenaan dengan ciptaan, “Engkaulah yang membentuk buah pinggangku;

menenun aku dalam kandungan ibuku” (ayat 13). Disini memakai dua

metafora dari kehidupan sehari-hari yakni juru tembikar dan penenun. Buah

pikiran seperti ini juga diungkapkan dalam Ayub 10 : 8 “Tangan-Mu lah

yang membentuk dan membuat aku”. Para penulis Alkitab tegas menyatakan

bahwa proses pertumbuhan janin bukan acakan atau bahkan bukan otomatis,

melainkan adalah karya ketrampilan kreatif Allah.

2. Kontinuitas ( Kesinambungan ), penulis mazmur berpikir bahwa ia sebagai

orang dewasa, mempunyai identitas yang sama dengan janin yang berada

dalam kandungan ibunya. Ia menyadari bahwa tidak ada diskontinuitas antara

keberadaan sebelum dan sesudah kelahiran. Artinya ia memilki pribadi yang

sama.

3. Persekutuan, penulis Mazmur sadar sepenuhnya akan persekutuan yang amat

personal dan khusus antara dirinya dengan Allah. Relasi “Aku-Engkau”

terungkap hampir dalam setiap baris. Bahkan hal ini dapat dimaknai sebagai

suatu perjanjian anugerah yang diprakasai Allah dan dipelihara oleh Allah.

Dengan demikian maka kita semua adalah yang sudah menjadi suatu pribadi

sejak dalam kandungan kita sudah dikenal dan diketahui oleh Allah.

12
Dengan adanya ketiga pengetian ini, memberikan suatu prespektif

Alkitabiah yang diperlukan sebagai titik tolak bagi pemikiran kita. Dalam tafsiran

Alkitab masa kini ayat 13 – 16 adalah penggambaran Allah yang serba berdaulat.

Allah adalah pencipta yang mengawasi baik struktur psikologis (buah pinggang, 13a)

maupun struktur fisik (menenun aku, 13b). ini merupakan kekuasaan adikodrati; ini

juga membuktikan pengenalan Allah yang sangat dalam terhadap ciptaan-Nya. Disini

juga mencakup suatu kebenaran bahwa Allah merencakan setiap kehidupan. Buah

pinggang (bagian dalam) juga memiliki pengertian suatu kedudukan emosi dan kasih

sayang (Bnd. Mazmur 73:21 ; Yeremia 12:2) ini merupakan unsur psikologis

manusia. Kata menenun (meliputi menggambarkan kegiatan langsung Allah

sehubungan dengan pertumbuhan janin; memberikan perlindungan atasnya sementara

ia bertumbuh; hal ini memiliki arti kepedulian Allah atas kerangka tubuh manusia.17

Dalam Perjanjian Baru, reprensi akan hal ini, yaitu ketika Maria bertemu

dengan Elisabeth yang keduanya sedang mengandung, bayi dalam kandungan

Elisabeth ( Yohanes Pembaptis ) “melonjak dalam rahimnya” sebagai pemberian

salam pada bayi Maria ( Yesus ). Dalam bahasa Yunaninya Lukas memakai kata

Brephos yang sama artinya untuk anak yang masih dalam kandungan (Luk. 1:41,44)

seperti yang kemudian hari dipakainya untuk bayi yang baru dilahirkan (Luk.

2:12,16) dan untuk anak-anak yang dibawa orang kepada Yesus untuk diberkati (Luk.

18:15).18

17
Tafsiran Alkitab Masa Kini 2,1999, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, hlm.280
18
John Stott, Op.Cit, hlm.418

13
Maka dapat dimengerti baik dalam Perjanjian Lama maupun

Perjanjian Baru, menjelaskan dengan jelas bahwa bayi dalam kandungan merupakan

suatu “pribadi” yang sama dengan manusia dewasa. Jika kita melakukan abortus

dapat diartikan juga sebagai “pembunuhan” mahluk hidup. Dalam Sepuluh Perintah

Allah, hukum yang ke lima jelas melarang kita untuk membunuh. Kata membunuh

disini dapat memiliki arti sebagai berikut:

a. Secara langsung, yaitu pembunuhan yang sudah direncanakan atau dengan

sengaja sebagai tujuan dari perbuatannya.

b. Secara tidak langsung, yaitu dilihat bukan dari tujuan perbuatan itu,

melainkan sebagai akibat perbuatan tertentu.19

Jika kita membunuh jelas kita tidak menghargai kehidupan manusia; tidak

menghargai hak hidup dan mempertahankan nilai kehidupan.

C. Teori Permulaan Hidup Manusia

Jika pada Deklarasi di Jenewa mendesak profesi medis unutk menghormati

setinggi-tingginya kehidupan manusiawi sejak permulaan. Maka akan timbul

pertanyaan, kapan hidup manusia dimulai. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh

Ilmu pengetahuan,namun tidak bisa menjawab ini tanpa IPTEK, khusunya ilmu-ilmu

Biomedis. Pengetahuan tentang terbentuknya embrio sekarang ini sudah sangat

mendetail, walalupun para ilmuwan masih menunjukan kekuranganya dalam

19
Al. Budyapranoto pr, 1999, Etika Praktis Berdasarkan 10 Perintah Allah, Yogjakarta : Yayasan
ANDI, hlm.25

14
pengetahuanya akan bidang ini. Bidang ini melampui wilayah ilmu pengetahuan

empiris, dan memasuki wilayah pembahasan filsafat.20

1. Pandangan Aristoteles

Berabad-abad lamanya pandangan ilmiah tentang proses terbentuknya embrio

mengikuti pendapat Aristoteles (abad ke-4 sM). Mengenai pertanyaan tentang

dimulainya hidup manusia, Aristoteles berpendapat prosesnya bertahap. Aristoteles

memakai contoh perkembangan tumbuhan. Dimana sperma laki-laki adalah unsur

aktif seperti benih ditanamkan kedalam rahim perempuan yang seolah-olah berfungsi

sebagai tanah (unsur pasif). Disitu benih bercampur dengan darah dalam rahim,

sehingga tidak terjadi lagi menstuarsi lagi.

Perkembangan embrio terjadi dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase

tumbuhan atau vegetatif, pada waktu itu embrio mempunyai jiwa vegetatif.

Aristoteles mengerti jiwa sebagai prinsip kehidupan dan karena itu tumbuhan

memiliki jiwa. Fase pertama ini merupakan konsekwensi dari model tumbuhan yang

dipilih oleh Aristoteles unutk menjelaskan permulaan pertama hidup manusia. Fase

kedua adalah fase animal. Selama fase kedua, embrio mempunyai jiwa animal atau

jiwa seperti hewan. Fase ketiga adalah fase insani dalam arti yang sebenarnya. Baru

disini embrio memiliki jiwa manusiawi. Untuk embrio laki-laki hal ini terjadi pada

hari ke- 40 (empat puluh) dan untuk embrio perempuan pada hari ke- 90 (sembilan

puluh). Beberapa ahli berpendapat hal ini mungkin observasi Aristoteles terhadap

20
Aborsi, Op.Cit, hlm.12

15
organ kelamin dalam embrio-embrio yang diperiksanya. Walaupun kemudian hari hal

ini tidak benar.

Pengaruh pandangan ini sangat besar dan bertahan sampai zaman modern.

Para ahli filsafat dan teologi, baik Kristen maupun Islam mengikuti pandangan ini

berabad-abad lamanya. Baru pada abad ke-16, pandangan ini mulai pudar, tepatnya

sekitar tahun 1620, seorang dokter dari Universitas Lauven, Belgia, bernama Thomas

Fienus menolak pendapat Aristoteles. Kemudian ia membuktikan bahwa embrio

sudah memiliki jiwa manusiawi sejak pembuahan. Pandangan ini kemudian memiliki

pengaruh yang besar dalam kalangan medis dan agama. Pada akhir abad ke-17,

miskroskop sudah banyak dipakai dan tentu langkah penting sekali unutk memajukan

penelitian biologi. Baru sekitar tahun 1827, Karl Ernest von Baer dapat melihat sel

telur perempuan dan ovum dan sekitar tahun 1875, unutk memastikan penggabungan

sel sperma dan sel ovum.21

2. Data Embriologi Modern

Pada saat pembuahan atau konsepsi, dimulainya kehidupan manusia yang

baru. Ketika spermatozoa dan oosit bertemu, mereka membuhkan waktu 22-32 jam

untuk meleburkan inti-inti selnya. Dan ketika selesai fusi sel ini telah terbentuk

mahluk hidup yang baru. Ovum yang telah dibuahi itu disebut zigot. Sebagai fusi dari

spermatozoa dan oosit, zigot merupakan suatu kesatuan genetic tersendiri yang

21
Ibid, hlm.13

16
memilki 46 kromosom, 23 dari ayah dan 23 dari ibunya. Zigot itu mempunyai

indentitas genetik. Ia memiliki sebuah “paspor” genetic tersendiri, yang membedakan

dari mahluk yang lainnya. Ia sudah menjadi hidup manusiawi yang tidak mungkin

berubah lagi. Banyak ciri manusia kemudian hari sudah ditentukan dalam zigot.

Semua ciri-ciri ini sudah ditentukan dalam gen-gen, sudah dipastikan dalam zigot,

walaupun perkembangan gen-gen kemudian hari juga dipengaruhi oleh lingkungan

dan pendidikan. Mulai dengan pembuahan, hidup sebagai manusia merupakan proses

yang berkesinambungan sampai matinya. Jika semua syarat terpenuhi dan proses

perkembangan berlangsung secara normal dan tidak terjadi perubahan kualitatif,

maka kehidupan akan terus berkembang sampai kematianya.22

Jadi kapan mahluk manusiawi yang baru itu merupakan individu ? Sesuai

dengan data ilmiah yang menjadi pertimbangan disini adalah zigot dan pembelahan

kedalam 8 – 16 sel ( disebut morula ) masih bersifat totipoten, artinya setiap sel bisa

menjadi apa saja. Membran yang akan membungkus embrio, plasenta atau ari-ari,

dan embrio itu sendiri. Totipotensi ini berlangsung selama tiga hari sesudah

pembuahan. Baru sesudah diferensiasi sel yang pertama pada prinsipnya semua sel-

sel yang semuanya mempunyai potensi sama seperti zigot awal dan mempunyai

indentitas genetic yang sama. Pada hari ke- 5 sesudah pembuahan, mulai terjadi

implantasi atau nidasi, bearti embrio muda pada perjalanannya ke dalam rahim, dan

mulai menempel pada dinding rahim (en dometrium ). Proses implatasi ini selesai

pada hari ke-15, baru sesudah impletasi selesai, embrio muda tidak bisa membelah

22
Loc.Cit

17
lagi menjadi kembar. Saat ini sudah terbentuk primitive streak (garis primitive) dan

untuk pertama kali temapat poros tubuh dan simetri bilateral.

Anne Mc Laren, seorang ahli embriologi terkenal memakai istilah “pra-

embrio” untuk menunjukan embrio muda sebelum implatarasi. Hal ini menimbulkan

kontarversi. Namun proses terbentuknya embrio seperti dilukiskan diatas tidak

selamnya berlangsung secara mulus. Data ilmiah menunjukan bahwa lebih dari

sepertiga zigot selama dua minggu pertama, hal ini biasanya tidak tersadari. Dari

kehamilan secara klinis, kira-kira 15 persen menggalami keguguran dan sekitar 50-60

persen aborsi spontan terjadi karena kelainan kromoson. Bisa terjadi juga embrio

muda tidak berjalan ke rahim, tetapi tertinggal dalam tuba fallopii ( kehamilan

ektopik ). Kemungkinan lain adalah terbentuknya hydatidiform mole atau “mola

hidatidosa” (pertumbuhan abnormal dari embrio dan plasenta). Dan dengan cara lain

lagi proses alami perkembangan embrio bisa gagal.23

3. Status Moral Embrio Muda

Dalam buku “When did I begin ? “, Norman Ford, setelah mempelajari semua

data embriologi moderen, ia sampai pada kesimpulan bahwa “aku” dimulai setelah

implantasi selesai dan primitive streak terbentuk, artinya 15-16 hari sesudah

pembuahan. Saat pembuahan sudah ada kehidupan manusiawi yang baru, tetapi

belum ada kehidupan personal. Namun walaupun embrio muda belum merupakan

23
Ibid, hlm.19

18
pesona dalam arti yang sebenarnya, ia memiliki potensi menjadi manusia yang baru.

Karena itu embrio muda tersebut sudah mempunyai status moral yang istimewa,

karena itu, embrio muda harus dihormati sebagai suatu pesona yang potensial. Dasar

untuk adalah individualitas genetiknya, yang mengakibatkan zigot serta embrio muda

berbeda dari semua sel atau kumpulan sel manusiawi yang lain.

Di Inggris ada komisi dibawah pimpinan Prof. Mary Warnock yang

mengeluarkan Report of The Committee Of Inguiry Into Human Fertilisation and

Embriology (1984) dan di Amerika Serikat ada Ethics Committee of American

Fertility Society yang menyusun laporan berjudul “ Ethical Considerations of The

New Reproductive Technologies (1986). Pada dasarnya kedua komisi tersebut

berpendapat bahwa selama dua minggu pertama lebih mudah ditemukan pengecualian

atas kewajiban kita untuk menghormati kehidupan manusiawi.24

Hal ini memperlihatkan bahwa kehidupan manusiawi dimulai saat terjadi

pembuahan. Tidak bisa dianggap bahwa janin yang sudah ada adalah suatu benda

atau belum manjadi manusia. Saat terjadi pembuahan itulah awal terjadinya suatu

kehidupan baru harus dihargai dan dihormati.

D. Perkembangan Sistem Etika

Pada umumnya sistem etika terbagi dalam dua kategori; yaitu non

absolutisme dan absolutisme. Didalam kategori yang pertama adalah antinomianisme,

situasionisme dan generalisme. Dalam kategori yang kedua adalah absolutisme total,

24
Ibid, hlm.22

19
absolutisme yang bertentangan dan absolutisme yang bertingkat. Untuk memahami

secara keseluruhan apakah etika itu maka dapat dijelaskan secara umum dan

perkembangan ilmu etika itu sendiri sebagai berikut :

1. Etika Umum

Dalam bahasa Indonesia, istilah “etika” dipakai dalam berbagai hubungan.

Etika bisa digunakan untuk menjelaskan apakah kelakuan dan tindakan seseorang

baik atau buruk. Atau untuk mengetahui norma-norma apakah yang digunakan oleh

seseorang untuk tindakan atau perbutannya. Untuk mengatakan apakah keputusan

seseorang benar atau tidak benar. Dalam percakapan sehari-hari, fakta-fakta,

kejadian-kejadian, kebiasan-kebiasan, keputusan-keputusan dan lain-lain, bukan saja

dibicarakan, tetapi di nilai secara etis.25

Etika juga dapat didefinisikan secara lain. Dapat dikatakan, bahwa yang kita

bicarakan dalam etika ialah pertanyaan tentang apa yang baik dan apa yang buruk,

tentang apa yang benar dan apa yang salah. Tindakan dan perbuatan manusia selalu

ditinjau dari sudut tersebut, yaitu dari apa yang baik dan apa yang buruk. Dapat juga

ditinjau dengan menggunakan tinjauan dan kreteria yang lain, misalnya kriteria yang

indah atau tentang yang bermanfaat.26

25
Ibid, hlm.2

20
2. Etika dan Moral

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata Yunani “ethos” dalam

bentuk tunggal mempunyai arti antara lain; tempat tinggal yang biasa, padang

rumput, kadang, kebiasaan, adat akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam

bentuk jamak “ta etha” artinya adalah kebiasaan. Dan Aristoteles (384-322sM)

mengunakan bentuk terakhir menjadi latar belakang terbentuknya masalah etika.27

Jadi jika dibatasi dari asal usul dari kata ini, maka etika berarti; ilmu tentang apa yang

biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Tetapi menelusuri arti etimologis

saja belum cukup untuk mengerti apa yang dimaksudkan dengan masalah etika.

Kata yang cukup dekat dengan kata etika adalah moral. Kata ini berasal dari

bahasa Latin “mos” (jamak: “mores”) yang bearti juga: kebiasaan, adat. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia 1998.28 Kata mores mempunyai arti yang sama. Jadi

secara etimologi kata moral dan etika memiliki arti yang sama. Ada perbedaan yang

menyolok dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ( Tahun 1993)29 etika dijelaskan

sebagai: “Ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral) “ sedangkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia yang Baru30menjelaskan arti kata etika sebagai

berikut:

1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban

moral (akhlak).

2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak.

26
J.L Ch. Abineno, 1996, Sekitar Etika dan Soal-soal Etis, Jakarta: BPK GM, hlm.1
27
K. Bertens, 1999, Etika, Jakarta : Gramedia, hlm.4
28
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998, Jakarta : P dan K
29
Poerwadarminta, 1953, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta

21
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

3. Etika Kristen

Etika bergerak pada lapangan kesusilaan, artinya ia berhubungan dengan

norma-norma yang seharusnya berlaku dengan ketaatan batiniah pada norma-norma

yang berlaku tersebut. Jadi etika termasuk dalam golongan ilmu pengetahuan

normatif. Ia memajukan tentang masalah apa yang baik. Dari cara pandang hukum

Taurat dan Injil: segala sesuatu yang dikehendaki Allah, itulah yang baik. Inilah yang

menjadi pokok etika teologi yang menjadi sumber mutlak dari pengetahuan etika

teologis adalah Alkitab. “mata” etika teologis harus terbuka untuk memperhatikan

kenyataan hidup, memperhatikan masalah-masalah etika, keadaan-keadaan sejarah

dan kemasyarakatan, dimana umat kristen hidup dalam negara tertentu. “telinga”

etika teologis harus terbuka pula untuk mendengarkan firman Allah yang tertulis

dalam Alkitab.31

Menurut beberapa ahli, etika kristen adalah etika yang bertolak dari hukum

Allah dan karena itu memilki sifat heteronom. Dalam etika Kristen iman bertumbuh

diatas akal budi (= rasio). Menurut beberapa teolog Protestan, memang seharusnya

manusia menaklukan diri – dengan hati dan akal budinya – pada Allah. Manusia tidak

memilki hak untuk “ meng- eks Komunikasikan” akal – budi (= rasio) nya dalam

ketaatan pada penciptannya.32

30
Kamus Besar, Op. Cit
31
J. Verkuyl, 1997, Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: BPK GM, hlm.10
32
Abineno, Op. Cit, hlm.14

22
Pandangan tentang manfaatnya peraturan-peraturan dan tentang manfaatnya

moral atau kesusilaan erat hubungan dengan pandangan hidup kita. Firman atau

perintah-perintah Allah menciptakan ruang untuk benar-benar bebas. Itulah sebabnya

para Rasul – dalam surat-surat mereka- berkata-kata tentang “perintah-perintah yang

membebaskan” (bnd. Yak. 2:12 ) dan tentang “ baik dan tidak haramnya segala

sesuatu yang diciptakan oleh Allah” ( 1 Tim. 4:4 ).33

Kitab suci merupakan sumber pengetahuan manusia akan Allah. Akan tetapi

manusia menjadikan dunia sebagai sumber segala pengetahuanya dengan

mengaibakan Allah sebagai penciptannya. Maka etika Kristen tidak akan dapat

menerimanya, melainkan akan menolak dan menentangnya.34

1. Antinomianisme

Antinomianisme yang secara harafiah berarti menentang atau sebagai

penganti hukum, menganggap bahwa tidak ada hukum moral yang mengikat, bahwa

segala sesuatu bersifat relatif. Antinomianisme etis memilki sejarah yang panjang.

Sedikitnya ada tiga gerakan dalam dunia kuno yang membangkitkan paham ini yaitu

prosesisme, hedonisme dan skeptisisme.35

33
Ibid, hlm.15
34
Ibid, hlm.16
35
Norman L. Geisler, Op. Cit, hlm. 34

23
a. Prosesisme

Filsafat Yunani kuno sangat mempergaruhi hal ini seperti Heraclitus, ia

percaya segala sesuatu di dunia ini ada di dalam keadaan yang secara konstan

berubah terus menerus. Juga Cratylus, karena begitu yakinnya bahwa semuanya

berubah terus menerus sehingga ia tidak yakin akan dirinya sendiri. Paham ini jika

ditetapkan dalam bidang etika, tidak ada hukum-hukum moral yang tetap. Setiap nilai

etis akan berubah seiring dengan situasi.36

b. Hedonisme

Kata ini berasal dari bahasa Yunani “hedone” yang memiliki arti kenikmatan.

Kelompok Epicurean Kuno memberikan dorongan pada etika relativitas, yang

membuat kenikmatan sebagai esensi kebaikan dan rasa sakit sebagai esensi kejahatan.

Jika hal ini diterapkan dalam bidang moral, maka apa yang secara moral baik bagi

seorang mungkin jahat bagi orang lain.37

c. Skeptisisme

Pandangan ini menaguhkan penilaian atas semua masalah. Orang-orang

skeptis bersikeras bahwa setiap masalah memilki dua sisi dan setiap pertanyaan dapat

36
Log. Cit
37
Log. Cit

24
dibantah terus menerus. Jika diterapkan dalam bidang etika hal ini berarti bahwa tidak

ada yang dianggap benar atau salah secara mutlak. 38

Pada abad pertengahan di dunia barat yang didominasi oleh pandangan

Kristen, masih memberikan kontribusi pada Antinomianisme. Pemikiran itu antara

lain:

a. Intensionalisme

Pada abad ke-12, Peter Abelard berpendapat bahwa suatu tindakan itu benar,

jika dikerjakan dengan maksud yang buruk. Jadi, kelihatan benar atau salah tindakan

tergantung pada maksud seseorang.39

b. Voluntarisme

Pada abad ke-14, William dari Ocklam berpendapat bahwa seluruh prinsip

moral dapat ditemukan dalam kehendak Allah. Jadi Allah dapat memutuskan secara

berbeda mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Namun penganut

Voluntarisme kristen mereka tidak dapat bersifat yakin bahwa hukum moral tidak

dapat berubah.40

c. Nominalisme

Penganut nominalisme percaya tidak ada bentuk-bentuk atau esensi yang

universal. Universal hanya ada dalam pikiran, bukan dalam realitas. Dunia

sebenarnya hanya bersifat individual. Jika alasan ini diterapkan dalam etika, maka

tidak ada yang namanya kebaikan atau keadilan. Yang ada hanya tindakan-tindakan

38
Log. Cit
39
Log. Cit
40
Ibid, hlm.35

25
keadilan individual yang berbeda dari yang lain, tetapi tidak ada hal seperti keadilan

itu sendiri.41

Pada masa modern ini dimanesfestasikan dalam tiga gerakan yaitu:

Utilarianisme, Eksistensialisme, dan Evolusionisme .

a. Utilitarianisme

Jeremy Bentham ( 1748-1832 ) meletakkan prinsip bahwa seseorang harus

bertindak untuk menghasilkan kebaikan bahwa seseorang harus bertindak

menghasilkan kebaikan yang paling besar bagi sejumlah besar manusia dalam waktu

selama mungkin. Dalam peristiwa apapun juga, tidak ada hukum-hukum moral yang

absolut. Semuanya tergantung kepada kenikmatan terbesar.42

b. Eksistensialisme

Soren Kierkegaard ( 1813-1855 ) adalah bapak paham ini. Dia menyakini

tidak ada alasan atau pembenaran moral untuk tindakan seperti itu, dan dalam hal ini

melampaui keputusan etis. Kemudian Paul Sautre berpendapat bahwa tidak ada

tindakan etis yang memiliki arti sebenarnya.43

c. Evolusionisme

Hal ini dipelopori Darwin, Herbeth Spencer yang meluaskan dalam teori

kosmik. Pada prinsip pokoknya adalah bahwa apapun juga yang membantu proses

evolusioner adalah benar dan apapun yang menghalanginya adalah salah.

41
Log. Cit
42
Log. Cit
43
Ibid, hlm. 36

26
Penganutnya yang terkenal adalah Adolf Hilter dengan bukunya “mein Kampt”

(1924).44

Pada masa kini beberapa gerakan didalam dunia sekarang menyumbang

moralitas yang tidak memiliki hukum. Tiga gerakan yang menonjol adalah

Emotivisme, Nihilisme dan Situasionalisme.

a. Emotivisme

A.J Mayer (1910-1970), memperlihatkan bahwa semua pernyataan etis itu

bersifat emotif. Maksudnya pernyataan tersebut sebenarnya hanya merupakan satu

ekspresi dari perasaan. Karena itu tidak ada hukum-hukum moral yang objektif dan

mengikat semua orang dimana-mana.45

b. Nihilisme

Friedrich Nietzsche (1844-1900) berkata “ Allah mati dan kita telah

membunuh Dia”. Pada saat Allah mati maka seluruh nilai-nilai yang objektif mati

bersama-sama dengan Dia. Kemudian dalam bukunya “ The Geneology Of Moral”

bahwa dia lebih suka menghendaki ketiadaan daripada tidak berkehendak sama

sekali.46

44
Log. Cit
45
Ibid, hlm.37

27
c. Situasionisme

Menurut pandangan ini segala sesuatu itu relatif yaitu bergantung pada

sistuasi orang itu. Menurut Joseph Flecther tidak ada prinsip-prinsip moral yang

berlaku unutk semua orang disegala zaman. Semua keputusan etis bergantung pada

situasi dan keadaan.

Bagaimanapun juga sebagai salah satu sistem etis yang cukup

memadai, antinomianisme telah gagal dengan berbagai alasan yang pertama,

menmyalahkan diri sendiri dan menyangkal nilai moral yang mengikat. Kedua,

paham ini terlalu bersifat subjektif, tidak menyediakan peraturan-peraturan yang

obyektif unutk permainan kehidupan.47

2. Situasionisme

Menurut Flethcer, posisinya bukanlah relativisme tanpa hukum, tetapi ada

satu hukum untuk segala sesuatu, yaitu hukum kasih. Penganut situasionisme

memilki satu hukum kasih (agape), banyak peraturan hikmat yang umum (sophia)

yang lebih kurang dapat diandalkan dan saat pengambilan keputusan tertentu

( kairos).

Ada empat prinsip yang digunakan dalam paham ini yaitu pragmatis,

relativisme possitivisme dan personalisme. Paham ini mengklaim dirinya sebagai

absolutisme satu norma. Namun bagaimanapun juga ternyata satu prinsip moral

sebenarnya adalah sesuatu yang formal dan kosong. Paham ini tidak memilki isi

46
Log. Cit
47
Ibid, hlm.38

28
sebelumnya atau terlepas dari situasi tersebut. Karena pada prinsipnya hukum moral

absolut yang kosong dalam prakteknya sebenarnya tidaklah lebih baik daripada tidak

ada hukum moral yang absolut.48

3. Generalisme

Generalisme modern adalah warisan dari hedonisme kuno, yang mempercayai

bahwa kenikmatan merupakan kebaikan terbesar (summun Bonum) bagi manusia.

Generalisme, dibandingkan dengan paham antinomianisme, memperdebatkan bahwa

beberapa prinsip moral yang mengikat, paham ini bersikeras bahwa tidak ada satupun

dari hukum-hukum moral yang bersifat mutlak. Kecuali ada beberapa ketentuan-

ketentuan moral yang objektif mengenai isi yang sesungguhnya yang mengikat

manusia disegala jaman, maka pada saat tertentu adalah mungkin bahwa tindakan

apapun dapat dibenarkan.49

4. Absolutisme Total
Meskipun ada aspek-aspek positif dari paham ini dan usaha-usahnya yang

mulia untuk memelihara hal-hal mutlak yang tidak berubah. Namun sikap ini tidak

realistis dan tidak mampu menghindarkan perubahan yang tidak terelakan dari hal-

hal yang mutlak untuk memberikan suatu jawaban yang memadai terhadap sejumlah

48
Ibid, hlm.72
49
Ibid, hlm.95

29
pertentangan-pertentangan Alkitabiah dan kehidupan yang nyata dari perintah-

perintah ilahi.50

5. Absolutisme Konflik

Pandangan ini yakin bahwa banyak hal-hal moral yang mutlak yang kadang

bertentangan. Pandangan ini berakar didalam dasar pikiran bahwa hukum-hukum

Allah itu bersifat mutlak dan karenanya tidak dapat dilanggar. Sebaliknya, pandangan

ini mengakui bahwa dunia ini telah jatuh dalam dosa. Dan didalam keadaan ini

terdapat dilema-dilema moral yang nyata. Namun demikian walaupun ada wawasan-

wawasan yang sangat membantu, pandangan ini nampaknya tidak mempunyai dasar

yang teguh mengenai dirinya dimana atas pandangan ini berdiri.51

6. Absolutisme Bertingkat

Didalam banyak hal pandangan ini meyakini hal-hal moral yang mutlak.

Hukum-hukum moral bersifat mutlak didalam sumber mereka, didalam bidang

mereka sendiri tidak terdapat konflik, dan bersifat mutlak dalam urutan prioritas

ketika ada satu konflik

50
Ibid,hlm.119
51
Ibid, hlm.140

30
Prinsip-prinsip dasar dari absolutisme bertingkat adalah: ada banyak prinsip-

prinsip moral yang berakar didalam karakter moral Allah mutlak; ada kewajiban-

kewajiban moral yang tinggi dan lebih rendah.52

Beberapa uraian tentang sistem etika yang berlaku didalam masyarakat. Pada

dasarnya, tidak memberikan jawaban yang tepat terhadap persoalan etika khususnya

bila ditinjau dari iman kekristenan. Masing-masing membela kebenaran yang

dianutnya, bukan berdasarkan nilai-nilai iman kristen yang hakiki. Apabila masalah

aborsi adalah masalah yang begitu rumit, jelaslah kita membutuhkan landasan yang

benar-benar murni secara Alkitabiah, tidak terpolarisasi dengan kepentingan-

kepentingan yang lain.

52
Ibid, hlm. 167

31
BAB III

MASALAH ABORSI

A. Sejarah Aborsi

Sepanjang sejarah umat manusia, aborsi dan juga infanticide (

pembunuhan anak kecil ) sering ditemukan diberbagai tempat dan kebudayaan.

Secara umum dahulu, aborsi hampir selalu dipraktikan diluar profesi medis atau

pinggiran profesi medis ; oleh “dukun” atau profesional medis yang tidak resmi,

seperti bidan. Salah satu alasan ialah bahwa kondisi kehamilan yang normal saat

itu tidak dilihatnya sebagai wilayah profesi medis. Ibu hamil tidak dianggap

sebagai orang sakit. Pengasuhan ibu hamil ditangani oleh bidan-bidan atau dukun

beranak. Baru sekitar abad ke-19 kehamilan mulai diterima sebagai kondisi medis

yang perlu ditangani oleh dokter.37

Profesi medis melalui organisasinya, misalnya, American Medical

Association ( AMA ) yang didirikan pada tahun 1847 dengan tegas menolak

aborsi. Sikap anti aborsi ini menandai juga ikatan-ikatan dokter yang terbentuk di

negara-negara lain dan memberikan dampak yang kuat atas kebijakan negara

masing-masing.

Di Amerika Serikat, sebelum tahun 1800 tidak ada satu pun negara bagian

yang memilki peraturan yang melarang aborsi. Yang menjadi alasan utama

dibentuknya Undang-undang anti Aborsi ( abad ke-19 )adalah kebijakan

kependudukan, bukan pertimbangan moral yang eksplesif, walaupun profesi

kedokteran ikut mendorong ke arah itu. Maka sekitar tahun 1900 semua negara

32
bagian di Amerika Serikat mempunyai peraturan anti-aborsi yang ketat. Demikian

juga dihampir semua negara dunia barat yang lain.38

Fenomena histories dimulai ketika Hippokrates dari Kos (abad ke-5/ ke-4

sM), orang Yunani Kuno yang digelari sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran” karena

memberikan landasan ilmiah kepada profesi kedokteran, merumuskan juga kode

etik kedokteran yang dikenal sebagai Sumpah Hipprokrates ( The Hippocratic

Oath ) yang menyatakan : “Aku tidak akan memberikan seorang wanita hamil

sarana yang abortif”. Walaupun ahli-ahli sejarah menjelaskan bahwa dokumen ini

agaknya dikeluarkan dari kalangan murid-muridnya, namun mereka mengakui

bahwa beberapa pokoran didalamnya langsung bersumber dari Hippokrates.

Sumpah Hippokrates ini sendiri bertentangan dengan tata nilai yang menandai

masyarakat Yunani pada waktu itu. Dalam kalangan Yunani kuno, aborsi dan

pembunuhan anak kecil diterima tanpa keberatan dan ramai dipraktekan. 39 Kunci

untuk mengerti larangan Hippokrates ini barangkali disajikan dalam kalimat yang

menyusul larangan aborsi tersebut yaitu : “Dalam kemurnian dan kesucian akan

kujaga kehidupan dan seniku”.

Pada tahun 1948 di Jenewa, Asosiasi Kedokteran Dunia ( WMA )

menuangkan deklarasi yang mempertahankan tradisi anti aborsi dengan

menegaskan: “I will maintain the utmost respect for human life from the time of

conception” ( saya akan berjuang penuh mendukung bahwa kehidupan manusia

dimulai saat pembuahan ). . Kata terakhir “from the time of conception” ( dimulai

saat pembuahan ) menjadi “from its beginning”( dimulai pada permulaan ) artinya

37
Op. Cit, Aborsi, hlm.5
38
Mary Anne Warren, 1989, The Abortion Struggle In America, Bioethics 3 nr.4, hlm.320-332
39
Ludwig Edelstein, 1943, The Hippocratic Oath ( Text, Translation and Interpretation ),
Baltimore : The Jhon Hopkins Press, hlm. 10-14

33
kapanpun kehidupan manusia dianggap dimulai, profesi kedokteran harus

menghormatinya sejak saat itu.

B. Aborsi Dan Permulaan Hidup Manusia

Ada etikawan yang berpendapat bahwa suatu syarat lain harus dipenui

lebih dahulu, sebelum kita bicarakan tentang kehidupan yang personal. Tidak

mungki dibayangkan pesona tanpa otak yang berfungsi. Jadi, kita boleh berbicara

tentang kehidupan manusia yang personal, bila fungsi otak tampak dalam

perkembangan embrio. Tentang pendapat ini perlu diakui bahwa fungsi otak

merupakan syarat bagi pesona dalam arti yang sebenarnya. Tetapi didalam embrio

fungsi ii sydah disajikan secara pontensial. Jika perkembangannya berlangsung

secara normal, fungsi otak akan tampak dengan sendirinya.40

Namun demikian, sepintas lalu boleh disebut lagi bahwa agama

mengaitkan permulaan hidup manusia baru dengan ensoulment atau penjiwaan,

yakni dimana saat manusia baru menerima jiwa rohani dan baka dari Tuhan. Hal

ini dapat dimaksudkan bahwa manusia lebih daripada hewan. Sifat rohani dan

baka tersebut merupakan cirri khas manusia, yang memungkinkan manusia

memilki kemampuan rasional dan kebebasan.

Bagi agama penting untuk menentukan saat terjadinya penjiwaan

tersebut. Dalam jaman pra modern, agama mengikuti pandangan Aristoteles,

bahwa terbentuknya embrio secara bertahap sesuai dengan perkembangannya.

Beberapa teolog berpendapat, seperti Thomas Aquinas (1225-1274), jiwa

manusia bersifat rohani dan baka, serta dicurahkan langsung oleh Tuhan dalam

40
Op. Cit, hlm.22

34
embrio tersebut. Setelah data-data embriologi diketahui, agama harus memikirkan

kembali saat penjiwaan. Norman Ford dan cukup banyak teolog Kristen lain

berpendapat dengan terbentuknya individualitas personal, yaitu hari ke 15 atau ke

16 sesudah pembuahan.41

C. Aborsi Dari Sudut Medis

Ilmu kesehatan dalam prakteknya tidak terlepas dari berbagai keputusan-

keputusan etis didalamnya. Di sekitar tahun 1970-an, muncul suatu disiplin ilmu

baru yang muncul yaitu Bioetika, yang mempelajari tingkah laku manusia dalam

lingkup ilmu pengetahuan yang terkait erat dengan kehidupan manusia. Disiplin

ilmu ini hampir mencakup semua etika medis tradisional namun tidak terbatas

pada masalah moral klasik dalam kedokteran ( pengguran, sterilisasi, penggunaan

obat bius, hak pasien untuk mengetahui kebenaran,rahasia jabatan ) dan lain-

lain.42 Juga sekitar tahun 1985, Mennonite Mutual Aid ( MMA ) di Goshen,

Indiana, membentuk komite penilaian etika kesehatan ( Health Ethics Review

Committee ) untuk menolong MMA dan pendukungnya dalam menetukan

tanggapan yang tepat terhadap dilema etis yang dihadapi sehubungan dengan

perawatan medis.43

Namun sejarah aborsi lebih panjang dari dua hal tersebut diatas. Sekitar

pertengahan abad ke- 20, peraturan hukum anti aborsi dibanyak negara mulai

banyak dipersoalkan. Di Swedia dan Denmark sudah melegalisasi aborsi beberapa

tahun sebelum Perang Dunia ke II. Sesudah masa Perang Dunia ke II berakhir,

41
Ibid, hlm.24
42
Edouars Bone, 2001, Bioteknologi dan Bioetika, Yogjakarta : Kanisius, hlm. 24
43
John Rogers ( Penyuting ), 2001, Etika Medis Suatu Prespektif Kristen, Jakarta : BPK GM,
hlm.xvii

35
Jepang adalah negara pertama yang mengizinkan aborsi, seperti Rusia, Cina dan

banyak negara komunis lainnya beberapa tahun kemudian dan disusul oleh

negara-negara lain secara bertahap. Dengan legalisasi ini asosiasi kedokteran

dunia menghadapi suatu situasi baru dan pada tahun 1970 mengeluarkan sebuah

deklarasi pada Majelis Umumnya di Oslo, Norwegia. Deklarasi ini kemudian

disebut dengan nama Statement On Therapeutic Abortion. Dalam deklarasi Oslo

ini dinyatakan bahwa di negara-negara yang mengijinkannya menurut hukum,

aborsi hanya boleh dilakukan secara terapeutik. Artinya keputusan untuk

mengakhiri kehamilan harus disetujui oleh dua dokter yang berkompeten dengan

memenuhi persyaratan hukum setempat. Akan tetapi, deklarasi ini tidak mengikat

dokter setempat yang menolak aborsi.44

Jadi, asosiasi kedokteran dunia hanya mengijinkan aborsi terapeutik. Dan

sesudah deklarasi Oslo ini tidak pernah diperluas lagi. Samapai meliputi aborsi

non terapeutik. Deklarasi Oslo pada butir ke 2 ( dimana timbul pemahaman )

bahwa aborsi terapeutik dilakukan untuk menyelamatkan nyawa si ibu. Hal ini

menimbulkan konflik kepentingan, yaitu kepentingan vital si ibu dengan

kepentingan vital si anak dalam kandungan. Hal ini menimbulakan interpretasi

yang lebih luas tentang aborsi terapeutik. Dalam konsistusi dari Organisasi

Kesehatan Dunia ( WHO ) tahun 1946 memberikan interpretasi yang luas tentang

kesehatan, yaitu : “ Kesehatan adalah keadaan kesejahteraan fisik, psikhis, dan

sosial yang menyeluruh dan bukan semata-mata ketiadaan penyakit atau

kelemahan “ pengertian kesehatan secara holistik ini banyak ditentang. Namun di

Indonesia sendiri banyak dipengaruhi oleh hal ini.45

44
K. Bertens, OP. Cit, hlm.10
45
Ibid , hlm. 11

36
Akhirnya interpretasi tentang kesehatan tidak semudah itu, sebenarnya

secara implisif diakui oleh deklarasi Oslo, dengan ditetapkan bahwa dokter yang

beranggapan keyakinanya tidak mengijinkan dia untuk menganjurkan atau

melakukan aborsi, boleh mengundurkan diri dan menunjuk kolega yang

kompeten. Jadi aborsi bukanlah masalah kesehatan biasa, berbagai konflik

kepentingan dan kesulitan hati nurani akan makin mempersulit hal ini.

Secara medis, aborsi dimengerti sebagai pengertian kehamilan selama

janin belum viable, belum dapat hidup secara mandiri diluar rahim, artinya

sampai kira-kira usia janin berumur 24 minggu atau sampai awal trimester ke tiga.

Tetapi dalam hal ini – usia janin bukan merupakan kreteria yang paling

menentukan karena pertimbangan yang tidak kalah penting adalah adalah berat

dan panjang janin. Dan yang terpenting adalah tersedianya teknologi modern

seperti yang dipakai dalam Unit Rawat Intensif Neonatal. Dengan memakai

teknologi canggih, kini janin dapat diselamatkan beberapa minggu sebelum usia

24 minggu. Dipandang dari segi medis – teknis, aborsi paling mudah dilakukan

dalam trimester pertama kehamilan. Yaitu pada saat usia janin 7-12 minggu

dengan istilah Kuret Isap ( suction curettage ). Disini cukup memakai anestesi

lokal dalam serviks sedangkan ketika usia janin berumur 13-20 minggu biasanya

dipakai metode dilatasi ( dilation and evacuation atau D and R ). Bagi si ibu,

metode ini lebih berat dan harus disertai anestesi total. Hal ini hanya dapat

dilakukan klinik yang terampil. Sesudah abad ke 20 metode yang dipakai adalah

Instillation Abortion ( Instilasi Aborsi ) dimana cairan yang mematikan si vetus

disuntikan dalam rongga amnion, lalu isi rahim dikeluarkan secara alami. Aborsi

37
trimester kedua keatas biasanya dilakukan dalam Rumah Sakit, agar setiap

komplikasi yang timbul segera dapat ditangani.46

Metode aborsi mengalami kemajuan, yaitu ketika pada tahun 1988 di

Prancis ditemukan pil aborsi atau RU-486. Nama kimianya adalah “Mifepristone”.

Pil aborsi ini dipakai di Eropa ( 11 dari 15 anggota UE (Persekutuan Eropa) ).

Menyusul kemudian pada tahun 2000 yang lalu, Amerika melalui Food and Drug

Administration ( Administrasi Makanan dan Obat ) menyetujui penggunaan pil

ini. RU-486 ini dianggap efektif guna mengakibatkan aborsi sampai tujuh minggu

sejak menstruasi terakhir. Perempuan harus mengunjungi dokter tiga kali. Pada

kunjungan terakhir ia mendapat obat yang memblokir hormon progesteron,

sehingga embrio mati. Dua hari kemudian ia harus ke dokter lagi agar

memperoleh obat yang mengakibatkan kontraksi dalam rahim, sehingga embrio

akan keluar secara alami. Sesudah tiga minggu, kunjungan terakhirnya ke dokter

harus memastikan bahwa aborsi berlangsung dengan lengkap. Metode ini

menjamin privasi bagi si perempuan, karena tidak perlu diklinik untuk melakukan

prosedur bedah.47

D. Aborsi Dari Sudut Hukum

Kini banyak negara di seluruh dunia memiliki Undang-undang yang

mengatur masalah aborsi. Di Inggris aborsi dilegalisasi pada tahun 1967 dengan

The Abortion Act ( Undang-Undang Aborsi ). Di Singapura aborsi legal mulai

diberlakukan pada tahun 1970. Di Amerika Serikat aborsi legal dimungkinkan

dengan keputusan terkenal dari Supreme Court mengenai Roe V. Wade pada tahun

46
K. Bertens, OP. Cit, hlm. 19

38
1973. Belanda mengijinkan aborsi legal sejak tahun 1976. Syarat dan cara

legalisasi aborsi di setiap negara berbeda misalnya ketentuan usia janin, syarat

lain yang sering ditentukan adalah mewajibkan konsultasi dengan dokter kedua

menunjuk beberapa rumah sakit atau klinik tertentu, pengawasan tertentu atas

pelaksanaan aborsi, mewajibkan konseling khusus untuk wanita yang meminta

aborsi, dan sebagianya.48

Di Indonesia dengan Undang-undang kesehatan tahun 1992 dengan jelas

mengatakan : “Kesehatan adalah keadaan – sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial

yang memungkinkan setiap orang hidup prodiktif secara sosial dan ekonomis”.

Pada pasal 1 ayat 1 “Jika seorang wanita hamil tidak ingin melanjutkan

kehamilanya, barangkali ia tetap dalam keadaan fisik yang prima, tetapi ia pasti

tidak “ dalam keadaaan kesejahteraan Psikhis dan sosial yang menyeluruh”. Jika

ia tidak sehat dalam arti itu tindakan terapeutik dapat diambil untuk memulihkan

kesehatannya.49

Pada draf Rancangan Undang-undang Kesehatan (RUU) tahun 2003

tertulis demikian. Pada Bab VIII tentang Kesehatan Reproduksi dicantumkan :

Pasal 52

1. Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental dan sosial

dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem fungsi, dan proses reproduksi

baik pada laki-laki maupun perempuan.

2. Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 tidak terbatas

pada saat hamil dan melahirkan juga mencakup masa sebelum dan sesudah

melahirkan dan masalah kesehatan sistem reproduksi sewaktu pertumbuhan

47
Ibid , hlm. 5
48
Aborsi, Log. Cit

39
sampai dewasa, kesehatan seksual, dan kesehatan setelah melewati masa

subur.

Pasal 53

Berkaitan dengan kesehatan repruduksi sebagaimana dimaksudkan dalam

pasal 52 :

a. Setiap orang mempunyai hak untuk dapat menjalani kehidupan reproduksi dan

kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan, atau kekerasan.

b. Setiap orang mempunyai hak untuk secara bertanggung jawab menentukan

kehidupan reproduksinya bebas dari diskriminasi, paksaan, atau kekerasan ;

c. Setiap orang mempunyai hak untuk secara bertanggung jawab menentukan

kehidupannya sendiri kapan dan seberapa sering ingin berepoduksi ;

d. Setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh edukasi, konseling dan

informasi mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat

dipertangungjawababkan agar dapat mengunakan hak-haknya sebagaimana

ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 54

Pemerintah berkewajiban menjamin tersediannya sarana pelayanan

kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau bagi masyarakat yang

memerlukan.

Pasal 55

1. Setiap layanan kesehatan, baik preventif, promotif, kuratif, maupun

rehabilatif, harus memperhatikan aspek-aspek yang khas dari kaum

perempuan, khusunya fungsi reproduksinya sehingga yang bersangkutan dapat

melaksanakan fungsi reproduksi secara sehat dan aman.

49
Ibid, hlm. 11

40
2. Penyelenggaran pelayanan reproduksi sebagimana dilaksudkan dalam ayat (1)

dan ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan dilaksanakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 56

1. Pemerintahan berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik

pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak mana, dan tidak

bertangging jawab, melalui peraturan perundang-undangan.

2. Pelayanan penguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak

bertanggung jawab sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) meliputi

tindakan;

a. Yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang

bersangkutan ;

b. Yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional;

c. Yang dilakukan tanpa mengikuti standar profesi yang berlaku ; atau

d. Yang dilakukan secara diskriminatif dan lebih mengutamakan pembayaran

daripada keselamatan perempuan yang bersangkutan.50

Baik dalam Undang-undang Kesehatan tahun 1992 dan Draf Rancangan

Undang-undang (RUU) tahun 2003, pada pasal 53 ( butir b, c ), pasal 54, pasal 56

( butir 1,2 ) memberikan indikasi dan peluang dilegalisasinya aborsi di Indonesia.

50
Surat Terbuka, 2004, Surabaya: Yayasan Pro Life, lamp. 1

41
E. Aborsi Dari Sudut Etika

Didalam ilmu etika adalah mencoba unutk memberikan berbagai alasan-

alasan untuk apa yang dilakukan oleh manusia. Hal ini menyangkut baik atau

buruknya suatu kelakuan manusia itu sendiri. Aborsi sendiri merupakan topik

yang sangat kontraversi dan menyangkut moralitas. Dalam hal ini maka

pembahasan tidak terlepas dari sudut etis secara murni dan netral. Beberapa

wacana yang timbul dalam hal ini adalah :

1. Wacana Hak

a. Hak Perempuan hamil

Bagi pihak yang menyetujui aborsi, pendekatan hak adalah jalur pemikiran

yang paling banyak ditempuh. Penekanan mereka bertitik tolak bahwa perempuan

mempunyai hak untuk menguasai dirinya sendiri. Artinya perempuan berhak

untuk melanjutkan kehamilannya atau tidak. Dalam hal ini pihak luar tidak boleh

ikut campur. Bahayanya adalah jika hal ini demengerti secara estrim maka timbul

hak yang mutlak. Akan tetapi, jika argumentasi dikemukakan dengan cara yang

lebih moderat, hak atas aborsi bisa dipertimbangkan dengan faktor-faktor yang

lain.

Banyak hal dapat dikemukakan tentang argumentasi ini. Pertama, tentu

tidak benar bahwa perempuan hamil boleh melakukan apa saja dengan tubuhnya.

Kedua, karena kondisi kehamilan diakibatkan oleh hubungan seksual, perempuan

hamil tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab atas kondisinya tersebut.

Ketiga, yang terpenting, janin dalam kandungan tidak bisa dikatakan merupakan

tubuh perempuan hamil. Janin tersebut adalah manusia baru dan karena itu harus

dihormati sebagai manusia.

42
b. Hak Janin

Hak ini biasa digunakan oleh mereka yang menolak aborsi. Namun ada

kesulitan-kesulitan secara nyata akan hal ini. Pertama, tidak dikatakan bahwa

janin mempunyai hak secara legal. Belum ada sistem hukum yang mengakui hak-

hak janin dalam arti hukum. Kedua, hak yang dapat dimaksudkan disini adalah

hanyalah hak moral. Hak moral merupakan hak dalam arti yang sesungguhnya,

walaupun tidak dapat dituntut secara hukum. Namun demukian, kalau janin belum

mempunyai hak yang sesungguhnya, tidak boleh dikatakan bahwa orang lain tidak

mempunyai kewajiban terhadap janin, khususnya mereka (laki-laki dan

perempuan) yang telah mengakibatkan kehidupan baru itu. Mereka dan kita semua

mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kehidupan baru.51

2. Polarisasi Pro-Kehidupan (pro-life) dan Pro Pilihan (Pro-

Choice)

Dalam menerapkan wacana hak di dalam kontek aborsi, telah terjadi

polarisasi antara kelompok anti aborsi yang telah menamakan dirinya pro-

kehidupan (pro-life) dan mereka yang menyetujui legalisasi aborsi atas

permintaan menamakan dirinya pro-pilihan (pro-choice).

Kelompok pro-pilihan cenderung percaya bahwa janin manusia merupakan

mahluk hidup yang tidak bersalah. Sebagaimana pandangan bahwa mahluk hidup

tak bersalah tidak boleh dibunuh dalam lingkup situasi apapun; kelompok

menegah mendukung kehidupan akan memperbolehkan pembunuhan semacam itu

dalam kasus-kasus tertentu.

51
K. Bertens, Op Cit, hlm. 26-28.

43
Kelompok pro-pilihan cenderung percaya bahwa janin itu bukanlah

mahluk manusiawi, atau dia (jikalau mahluk manusia) tidak mempunyai hak dan

kepentingan dan tidak logis dilukiskan sebagai tak bersalah ataupun bersalah.

Kelompok pro-kehidupan yang paling dikenal mempunyai profil tinggi,

adalah kelompok Kristen fundamentalis tertentu di Amerika, dan Gereja Katolik

Roma, dan para Klerus Islam. Akan tetapi, mereka bukan satu-satunya yang

melawan aborsi. Demikian juga banyak pengikut Mahatma Gandhi dan sejumlah

kaum ateis dan agnostik yang humanistik.52

Adapun beberapa alasan lain yang menjadi titik tolak pemikiran mereka

adalah ;

a. Alasan Pro Pilihan : Kepentingan, Kerugian, dan Hak-hak.

Kebanyakan karangan filsafat berbahasa Inggris mengenai topik aborsi

mendukung posisi pro- pilihan. Pada umunya mereka berpendapat bahwa janin

manusia tidak mempunyai hak dan kepentingan untuk dirinya.

Joel Finberg, seorang profesor di Amerika dalam bukunya The Problem Of

Abortion yang diterbitkan pada tahun 1973 dan juga Michael Tooley menerbitkan

A Defense Of Abortion and Infanticide, demikian juga dengan Ronald Dworkin

(1993) dalam bukunya Life’s Dominion : An Argument about abortion, euthanasia

and individual freedom, menyatakan bahwa kedua proposisi berikut ini benar :

Pertama, kehidupan manusia, termasuk kehidupan embrio, itu suci ; Kedua, setiap

wanita mempunyai hak mutlak untuk permintaan aborsi. Namun jika dilihat lagi

kedua proposisi ini bertentangan antara yang satu dengan lainnya.

52
Jenny Teichman, 1998, Etika Sosial, Jogjakarta : Kanisius, hlm. 103-105

44
Joel Finberg berpendapat bahwa janin tidak boleh dicederai, namun ia

merumuskan dicederai sebagai perintangan terhadap kepentingan dan menyatakan

bahwa janin tidak mempunyai kepentingan yang bisa dirintangi.

Michael Tooley menyatakan bahwa hanya mahluk-mahluk yang

mempunyai kepentingan dalam melanjutkan eksistensinya. Akan tetapi, untuk

memiliki keinginan seperti ini, ia melanjutkan, diperlukan konsep-konsep ; konsep

jati diri, pengalaman, eksistensi, kehidupan yang lestari. Maka jika sebuah janin

tidak mempunyai konsep sama sekali, jelas ia tidak mempunyai sakit. Dua premis

Tooley, bahwa kepentingan mengabaikan adannya hasrat tertentu, dan bahwa

hasrat ini mengandalkan konsep tertentu.53

b. Alasan Pro Kehidupan : Kehidupan dan Embriologi Manusiawi

David Brain menyatakan :

Saya tidak menyatakan bahwa argumen-argumen ini (yaitu


Menegenai kepentingan moral tahap-tahap dalam perkembangan
Janin) benar, melainkan hanya bahwa argumen-argumen itu
Paling sedikit dari jenis yang benar, jikalau pertanyaan me
Yangkut kapan individu dengan kehidupan manusiawi
……mulai muncul.54

Berbagai pertanyaan akan timbul apakah janin itu, maka dapat

disimpulkan bahwa janin itu adalah manusia, yang memilki entitas manusiawi.

Dalam tahap-tahap perkembangan janin, tidak terdapat pokok-pokok hukum yang

tegas yang dapat mencerminkan perkembangan bertahap. Namun dalam

organisme manusia dalam rahim in walaupun intuisi –intuisi bahkan dari pihak

pro- kehidupan (atau paling tidak sebagian dari mereka) mungkin mendukung

53
Ibid, hlm. 109-111

45
gagasan bahwa membunuh janin pada saat awal tidaklah seburuk menjalankan

pengguran terlamabat dan kemudian membunuh bayi takkala dia muncul dari

rahim ibunya.

Akan tetapi walaupun demikian janin mempunyai karakteristik genetis

manusia, potensi-potensi manusia, dan sifat-sifat khas dirinya – misalnya dia laki-

laki atau perempuan, besar atau kecil, kulit terang atau gelap, sehat atau tidak

sehat, dan sebagainya.

Tak ada satu alasanpun yang dikenal biologi untuk menyangkal bahwa ada

organisme manusiawi yang hadir sejak saat pengandungan, dan takada alasan

untuk berfikir bahwa organisme ini merupakan bagian dari sebuah yang lain

misalnya dari yang menjadi bagian dari sesuatu yang lain. 55

F. Beberapa Kasus Konkret

Supaya menjadi lebih jelas betapa sulitnya dilema moral yang ditampilkan

oleh masalah aborsi, maka akan dikemukakan beberapa kasus konkret. Kasus-

kasus ini bukan merupakan kasus individual (dalam arti dialami oleh orang-orang

tertentu), melainkan kasus menurut kategori kejadian. Tingkat kesulitan berbeda-

beda dan tidak semua orang akan memilih pemecahan yang sama. Tentunya,

banyak kasus lain yang terjadi. Disini hanya diberikan beberapa contoh yang

dapat mengugah pemikiran:

54
D. Braine, 1981, Why Abortion ? Dalam Light in Darkness, Disable Lives ? Papers in some
Contemporary Medical Problem. Dikumpulkan oleh komisi Medis, „Order Of Christian Unity‟,
London : Unity
55
Jenny Teichman, Op. Cit, hlm.112-116

46
a. Ibu Hamil dengan Kanker Rahim

Dalam kasus ini, biasanya seorang ibu hamil dan didiagnosis terkena

kanker rahim, maka ia harus dioperasi, artinya rahimnya harus diangkat (

hysterectomy ). Jika usia kehamilanya belum cukup, janin pasti akan mati.

Kasus seperti ini sudah lama dikenal dalam etika dan secara umum

dikatakan bahwa operasi itu boleh dilakukan walaupun mengakibatkan kematian

si janin. Dasar pertimbangan yang biasa digunakan disini adalah prinsip efek

ganda ( The Principle of Double Effect ). Artinya operasi ini mempunyai dua efek

sekaligus. Efek baik adalah si ibu akan sembuh dari penyakitnya, sedangkan efek

buruk adalah janin akan mati. Karena itu operasi yang diserati aborsi itu dapat

dibenarkan.

b. Kehamilan Ektopik Terganggu

Sering terjadi sesudah pembuahan, embrio muda tidak sampai pada tempat

yang semestinya dalam rahim, tetapi dalam perjalannanya ke rahim menempel

ditempat lain, biasanya dalam tuba Fallopii. Sementara itu, embrio muda tersebut

tumbuh terus menerus dan mengakibatkan problem san ibu. Kalau dibiarkan

berkembang ibu pasti akan mati dan janin tidak dapat diselamatkan. Kondisi ini

secara medis dinamakan “ Kehamilan Ektropik Terganggu” .

Berbeda dengan kasus sebelumya dimana rahim diangkat secara langsung

dan embrio tidak langsung. Disini aborsi dilakukan karena indikasi medis.

47
c. Pasien Jantung Yang Hamil

Para penderita jantung (wanita) biasnya dianjurkan dokter agar tidak

hamil, karena jantungnya tidak kuat untuk menahan kehamilan selama sembilan

bulan. Namun jika wanita ini hamil apa yang akan dilakukan ?

Biasanya jika resiko terlalu besar untuk si ibu, dengan jelas ada indikasi

medis untuk mengakhiri kehamilan. Jalan keluar yang lain adalah dengan istirahat

total ditempat tidur, maka resiko akan dibatasi sampai ke tingkat minimum. Dan

keputusan akhir sedikit banyak tergantung pada situasi konkret keluarga yang

bersangkutan.

d. Janin Anensetal

Ini adalah salah satu bentuk abnormalitas janin. Janin anensetal tidak

mempunyai otak atau hanya mempunyai batang otak jika dia lahir akan hidup

hanya beberapa bulan. Ia tidak akan pernah mencapai taraf kesadaran. Ia tidak

mempunyai masa depan sebagai manusia.

Kebanyakan pengamat tidak keberatan untuk melakukan aborsi dalam

kasus ini, dengan alasan bahwa janin anensetal bukan manusia dalam arti

sesungguhnya. Karena itu tidak ada arti untuk melanjutkn kehamilan ini.

e. Janin Cacat

Melalui pemeriksaan prenatal yang memakai USG (ultra sonogram) atau

beberapa metode lain (amnio centesis, biopsi chorion, fetuskopy) dapat dipastikan

bahwa janin dalam kandungan mempunyai cacat. Menurut ilmu kedokteran, 9-6

48
persen dari semua bayi yang lahir mempunyai kelainan tertentu dan kira-kira

separuhnya adalah kelainan serius. 56

Walaupun dalam praktek medis sekarang janin yang cacat berat diaborsi,

namun argumentasi moral untuk praktik ini tidak akan dapat meyakinkan semua

pihak. Tetapi perlu diakui, kreteria inipun dapat diinterpretasi dengan pelbagai

cara. Sebab tidak semua orang tidak mempunyai presepsi yang sangat berat –

ringanya suatu kelinan.

f. Kehamilan Karena Perkosaan

Perkosaan merupakan kejadian yang sangat traumatis untuk perempuan

yang menjadi korban perkosaan membutuhkan waktu lama untuk mengatasi

pengalaman traumatis ini. Jika perkosaan itu ternyata mengakibatkan kehamilan,

pengalaman traumatis itu bertambah besar.

Sesudah kerusuhan bulan Mei 1998 di Jakarta dan Solo, timbul diskusi

dalam masyarakat tentang boleh tidaknya dilakukan aborsi bagi korban perkosaan.

Ketua Umum IDI (Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan bahwa wanita hamil

akibat tidak perkosaan hanya dapat dilakukan bilamana terdapat indikasi medis

dan aborsi tanpa indikasi medis tetap dilarang.

g. Kehamilan Anak Remaja

Kehamilan anak remaja biasnya terjadi karena pergaulan bebas. Penelitian

menunjukan bahwa jumlah kehamilan remaja di semua negara tidak sama.

Menurut penelitian di Eropa, di Inggris terjadi 30,1 kehamilan remaja (teen

56
F. Abel e.a, 1988, Human Life : its beginnings and development, Paris : L‟ Hormattan, hlm. 117

49
Pregnancy) perseribu kelahiran. Di Jerman angka itu hanya 8,5 , di Spanyol 7,7 ,

di Prancis dan Italia 6,9 dan di Belanda 4,3.57

Salah satu faktor terpenting disini adalah pendidikan seks yang diberikan

kepada kaum muda. Penyuluhan seksual yang baik selama pendidikan di sekolah

menjadi cara yang cukup efektif mencegah kehamilan remaja.

h. Aborsi Karena Malu

Kasus ini adalah diamana pasangan yang belum menikah. Tanpa terduga

sebelumya, pasangan ini hamil, karena merasa malu karena dianggap aib hendak

menggugurkan kandungan.

Banyak orang berpendapat rasa malu, tidak seimbang dengan bobot

tindakan aborsi ; membunuh kehidupan manusiawi. Disini terlihat pertentangan

antara pandangan subjektif dan pandangan yang lebih obyektif.

i. Pengguguran Untuk Seleksi Jenis Kelamin

Banyak orang tua menantikan datangnya bayi mempunyai keinginan

terhadap jenis kelamin tertentu. Perbedaan kelamin ini juga dapat dipastikan sejak

minggu ke-9 atau ke-10 dalam perkembangan janin.

Namun dalam hal ini harus diakuinya kesetaraan kedua jenis kelamin.

Karena kesetaraan inilah harus diakui persamaan hak mereka dan tidak boleh

dilakukan diskriminasi. Dan tidak ada alasan apapun untuk tidak memngakui

kesetaraan jenis kelamin juga sebelum janin lahir.58

57
Newsweek, 21-6-1999
58
K.Bertens, Op. Cit, hlm.41-52

50
BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Perlunya suatu analisa yang menyeluruh terhadap setiap persoalan akan

memberikan suatu solusi yang terbaik, bukan hanya sebuah teori yang indah namun

tidak dapat digunakan. Seperti pernah diucapkan almarhum John Mackay. Sewaktu ia

menjabat presiden dari Princeton Theological Seminary, “Komitmen tanpa refleksi

membuat orang bertindak fanatik, sedangkan refleksi tanpa komitmen mematikan

setiap minat untuk bertindak”.83Tantangan aborsi di Indonesia akan dianalisa dan

dibahas secara etis teologis iman Kristen, yakni dengan jalan mengembangkan setiap

akal budi kristiani. Artinya, akal budi yang berdiri teguh diatas landasan praduga-

praduga asasi Alkitabiah. Hanya akal budi yang demikian dapat berpikir secara utuh

Kristiani tentang masalah-masalah dunia saat ini.

A. Dalam Prespektif Iman Kristen

Mengapa iman, menjadi sentral dalam hal ini. Karena kehidupan orang

kristen, segala tindakan dan perbuatannya tidaklah terlepas dari ukuran iman. Iman

merupakan dasar dari setiap perbuatan / tindakan didalam kehidupan. Didalam

Perjanjian Lama kata iman berasal dari kata aman, yang memiliki arti memegang

teguh. Kata inipun muncul dalam berbagai bentuk , misalnya dalam arti memegang

83
John Stoot, Op. Cit, hlm.17

51
teguh pada janji seseorang. Jika hal ini diterapkan pada iman Kristen , maka kata

iman adalah Allah harus dianggap sebagai yang teguh atau yang kuat. Iman juga

mengamini bukan hanya dengan akal saja, akan tetapi dalam tindakan juga. Harun

Hadiwijono, memberi arti iman lebih luas lagi yaitu mengamini dengan segenap

kepribadian dan cara hidupnya kepada janji Allah, bahwa ia didalam Kristus telah

mendamaikan orang berdosa dengan Allah, sehingga segenap hidup orang yang

beriman dikuasai oleh keyakinan yang demikian juga.84

Iman bukanlah sebuah persetujuan intelektual bahwa ajaran-ajaran tertentu

benar, tetapi bukan juga pengetahuan yang tidak dapat kita buktikan. Melainkan suatu

kepercayaan yang praktis pada sesuatu yang lebih dihargai daripada hal yang lain.

Iman merupakan suatu sentral yang memberi arti kepada seluruh kehidupan. Kita

beriman kepada hal yang kita pegang meskipun harus menyerahkan semua yang lain

karena obyek iman itu adalah Allah.85

Inilah yang harus mendasari setiap tindakan yang dilakukan dalam menagani

masalah aborsi. Sudut pandang iman Kristen yang bersumber dari Firman Allah itu

sendiri, harus menjadi acuan dalam pengambilan kepurusan terutama dalam masalah

aborsi. Karena perintah-perintah Allah harus dipahami dan dilakukan secara mutlak.

Dasar pemikiran yaitu percaya kepada Allah yang hidup. Aborsi, jelas adalah suatu

tindakan pembunuhuan terhadap mahkluk hidup, yaitu manusia. Karena pada

84
Harun Hadiwijono, 1997, Iman Kristen, Jakarta: BPK GM, hlm.17
85
Malcom Brownlee, 1996, Pengambilan Keputusan-keputusan Etis dan Faktor-faktor Didalamnya,
Jakarta : BPK GM, hlm.71

52
hakekatnya janin dalam kandungan adalah suatu pribadi yang dihargai sama dengan

manusia dewasa.86

Bukan pandangan yang menyatakan bahwa janin adalah sesuatu yang

berpotensi menjadi manusia,a

kan tetapi janin adalah manusia. Dan aborsi adalah pembunuhan terhadap manusia.

Alkitab baik itu dalam Perjanjian Lama (bnd. Maz.139:15-16) dan juga dalam

Perjanjian Baru (bnd. Luk. 1:41,44), menyatakan sejak pembuahan indentitas

manusia sudah terbentuk.87 Sebab sejak pembuahan tersebut janin bukan lagi hanya

sekedar sesuatu yang berpotensi menjadi manusia, akan tetapi merupakan manusia itu

sendiri yang memiliki potensi untuk berkembang akan mengaktualkan dirinya dengan

memfungsikan organ tubuhnya untuk berinteraksi dengan dunia sekitarnya.

Jadi bukan juga karena janin belum memiliki fungsi otak, maka janin

dianggap sebagai suatu benda. Agama tidak dapat membatasi kapan dimulainya suatu

penjiwaan manusia, berdasarkan asumsi-asumsi sementara ( yaitu hari ke 15 atau hari

ke 16 sesudah pembuahan ). Dalam Alkitab jelas disebutkan bahwa sejak dalam

kandungan Allah turut “menenun dan membentuk buah pinggang” ( bnd. Maz.

139:13 ) dan manusia diciptakan seturut dan segambar dan serupa dengan Allah (

imagodei ).88 Karena manusia itu serupa dan segambar dengan Allah berarti disini

ada sesuatu nilai “kekudusan” di dalam kehidupan. Maka, ketika kita membunuh

dengan cara melakukan aborsi terlihat disini tidak ada penghargaan terhadap

86
Baca : Kej. 21:8, Kel.2:3
87
Ibid, hlm. 76-77
88
Bnd : Pendapat beberapa etikawan yang menyetujui masalah aborsi (pada Bab III, Footnote 56)

53
kekudusan hidup dan mengingkari iman kristen karena melanggar hukum Allah

“jangan membunuh” ( dasa titah hukum kelima ).

Penghargaan yang sama juga diberikan kepada janin dan ibunya di dalam

Perjanjian lama yaitu apabila terjadi suatu kecelakaan yang menggugurkan janin

dalam kandungan hukum yang sama akan diberikan yaitu nyawa ganti nyawa.

Etika kristen didasarkan kepada pengajaran. Dalam Perjanjian baru,

pengajaran ini tampak dalam kehidupan Yesus. pada dasarnya ada dua prinsip yang

diajarkan oleh Yesus. Pertama, yaitu prinsip kasih, dan prinsip yang lain yaitu prinsip

moral yang sempurna. Kasih disini adalah mengasihi Allah dan sesama manusia.

Karakteristik erika moral Yesus tercermin dalam kehidupannya sendiri.89

Jika kita mengasihi sesama manusia ( janin ) dan sama seperti mengasihi

Allah, maka tidak mungkin ada tindakan aborsi sebab iman religius dipersembahkan

bukan kepada benda yang mati melainkan kepada pribadi yang hidup. Karena Allah

bersifat pribadi, bukan benda, maka iman kita memiliki dua arah yaitu pemeliharaan

Allah kepada kita dan kepercayaan kepada Allah. Hubungan ini diperdalam lagi

dengan sikap doa, yaitu keterbukaan kepada Allah dan kerelaan selalu merubah

rencana kita supaya sesuai dengan rencana Allah. Ini adalah sebagai suatu bukti

kesetiaan kepada Allah dengan cara memegang teguh kewajiban yang utama , yaitu

untuk melayani Allah sekalipun pelayanan itu berbahaya dan tidak popular.

89
Albert C. Knudson, The Principles of Christian Ethics, New York; Nasville: Abingdon – Cokesbury
press, hlm. 35-36.

54
a. Pandangan Aborsi Secara Medis

Pada pembahasan sebelumnya, kondisi aborsi di Indonesia terlihat lebih para

karena secara bersamaan pengertian aborsi secara tidak disengaja dan sengaja

dilakukan secara bersama-sama. Semakin meningkatnya jumlah aborsi di Indonesia

tidak terlepas dari medis, baik itu yang secara nyata-nyata dilakukan ataupun yang

dilakukan oleh profesi medis “pinggiran” ( yang justru membawa dampak yang lebih

parah ), karena keselamatan sang ibu juga ikut terancam. Dipihak lain masalah aborsi

di Indonesia merupakan pilihan yang sulit antara aborsi dilegalkan atau ditolak sama

sekali.

Tentunya seperti di negara-negara lain, profesi medis ( khususnya dokter )

terikat oleh sumpah dan memiliki kode etik tersendiri. Di Indonesia hal ini diatur

dalam kode etik kedokteran Indonesia ( Kodeki ) dan beberapa perangkat hukum

yakni KUHP dan UU No. 18 tahun 1981, kemudian diperbaharui dalam UU No. 23

tahun 1992, khususnya pasal 15 dan 80. Undang-undang tersebut berlaku sejak

tanggal 17 September 1992.90 Pada pasal 10 Kodeki menyebutkan :

“Setiap dokter harus senatiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insani”

Jelas pasal ini memberikan pedoman bahwa dokter tidak boleh melakukan aborsi,

sebab dokter harus melindungi setiap makhluk insani sejak dalam pembuahan hingga

kematiaannya. Dalam pasal lain menyebutkan, “setiap dokter harus menjunjung

tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter”91

90
CB. Kusmaryanto, Op. Cit, hlm. 37.
91
Lo.cit

55
Dalam uraian-uraian tersebut di atas terangkum suatu arti bahwa baik menurut

undang-undang negara maupun etika kedokteran, seorang dokter di Indonesia tidak

dibolehkan menggugurkan kandungan atau hal-hal lain yang bisa menghilangkan

nyawa manusia. Meskipun demikian, pelaksanaan aborsi di Indonesia bukan

berkurang akan tetapi semakin meningkat. Banyak klinik-klinik KB yang justru

dipakai untuk praktek pengguguran kandungan. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Prof. Dr. Budi Utomo, dkk. Menyebutkan bahwa 70% aborsi di desa dilakukan

oleh dukun, sedangkan di perkotaan sekitar 15%. Diperkirakan juga sekitar 70%

pelaku aborsi, sudah melakukan usaha sendiri untuk menggugurkan kandungan

sebelum datang ke klinik atau ke rumah sakit dengan berbagai cara, misalnya minum

jamu, memijar perut, memasukan benda-benda tertentu ke dalam perut dan lain-lain.

pembiayaan untuk aborsi biasanya berkisar antara 1-10 juta rupiah ( pada tahun 2001

).92

Tantangan aborsi di Indonesia bagai menguraikan benang yang kusut, sebab

banyak aborsi yang dilakukan secara ilegal yang sangat sulit untuk dikontrol baik itu

yang ditangani oleh dokter maupun tenaga medis tradisional ( dukun ). Yang bisa

dilakukan menurut pemikiran penulis adalah memperbaiki cara pandang, ahklak dan

moral. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius, namun disisi yang lain

banyak tindakan yang jauh dari sikap kereligiusan itu sendiri. Profesi medis disisi lain

sulit untuk dipersalahkan, namun keberadaan mereka ikut memeberi andil makin

banyaknya aborsi. Iman kristen jelas menyatakan bahwa segala tindakan kita harus

92
Ibid, hlm. 47.

56
bersumber pada Allah, yaitu dengan cara mengerti yang segala difirmankanNya

dalam segenap kehidupan.

Iman kristiani mengakui bahwa Allah turut membentuk manusia sejak dalam

kandungan dan larangan yang jelas dalam sepuluh perintah “jangan membunuh”.

Inilah yang menjadi landasan pemikiran bahwa dasar tindakan setiap orang kristen

adalah imannya kepada Allah. Dan aborsi adalah tindakan pembunuhan karena bayi

dalam kandungan adalah suatu pribadi yang nilainya sama dengan manusia dewasa.

Menurut H. Richard Nieburh, etika / prinsip moral kristen adalah berpusat pada

Tuhan yang berkuasa, yang bertindak, prinsip moral ini tidak hanya milik gereja,

tetapi juga untuk peristiwa-peristiwa politik, ekonomi dan sosial kehidupan. Orang

percaya telah hidup di dalam anugerah namun bila jatuh di dalam dosa panggilannya

tetap yaitu untuk meresponi tindakan Tuhan dimanapun itu diberikan kepada.93

Sikap medis ini, yang banyak ikut andil dalam pelaksaan aborsi. Banyak alas

an yang melatarbelakangi mengapa mereka melakukan hal itu. Salah satu sebab

adalah didasari sikap kemanuisaan yaitu untuk menolong. Juga begitu mudahnya

praktek aborsi ini dilakukan.94 juga diberikannya suatu keleluasaan untuk dokter

melakukan aborsi secara theraupeutik ( adannya indikasi medis ) sedangkan secara

illegal diberikan suatu bayaran yang cukup tinggi bila mau melakukannya. Kan

menjadi suatu pemandangan yang tidak seimbang jika hanya mempersalahkan profesi

medis. Karena banyak pihak yang ikut andil juga diluar profesi medis itu sendiri.

93
Paul Ramsey (ed), Faith and Ethics The Theology of H. Richard Niebuhr, New York : Harper an
Row, Publishers, hlm. 135-136.

57
b. Pandangan Aborsi secara Hukum

Di Indonesia, perangkat hukum yang diberikan cukup jelas. Melalui KUH

Pidana no. 18 tahun 1981, menegaskan bahwa segala macam aborsi dilarang dengan

tidak ada pengeculian.95 Secara singkat, menurut KUHP, yang dihukum dalam kasus

aborsi ini ada berbagai pihak, yakni:

1. Pelaksana Aborsi, yakni tenaga medis atau dukun atau orang lain dengan

hukuman maksimal 4 tahun atau 4 tahun ditambah sepertiga dan bisa dicabut hak

praktiknya.

2. Wanita yang menggugurkan kandungannya dengan hukuman maksimal 4 tahun.

3. Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab terjadinya

aborsi itu dihukum dengan hukuman yang bervariasi.96

Namun UU Kesehatan No. 23 tahun 1992, khususnya pasal 15, memberikan

celah untuk melakukan Aborsi bila ada indikasi medis, bahkan dalam draf. RUU

Kesehatan, tahun 2003 memberikan indikasi dan peluang dilegalisasinya Aborsi di

Indonesia. Kalau dicermati lebih dalam, ada beberapa hal yang menarik dari UU

Kesehatan ini.

1. Aborsi hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat (adanya indikasi medis),

sebagai cara untuk menyelamatkan ibunya. Jadi aborsi yang dilakukan oleh

karena alasan lain, jelas-jelas dilarang ( misalnya kehamilan diluar nikah dsb).

2. Indikasi medis disini berarti bahwa ada kemungkinan bahwa indikasi medis

Aborsi itu untuk menyelamatkan janin. Padahal hasil akhir Aborsi pasti kematian

94
Lihat : Sejarah Aborsi pada Bab II
95
CB. Kusmaryanto, SC, ibid, hlm.38

58
janin, bukan untuk menyelamatkan hidup janin. Indikasi medis ini sangat terbatas,

yakni hanya dalam keadaan darurat (adannya indikasi medis ) sebagai upaya

untuk menyelamatkan ibu (dan anaknya). Indikasi medis yang tidak

membahayakan nyawa ibu, tidak boleh menjadi alasan untuk menggugurkan

kandungan. Misalnya, bayi yang cacat tidak boleh menjadi alasan untuk

menggugurkan kandungan, sebab tidak membahayakan nyawa sang ibu.

3. Indikasi medis itu tidak sama dengan indikasi kesehatan. Oleh karena itu, alasan

demi kesehatan baik ibu maupun janin tidak boleh menjadi alasan untuk Aborsi.

Misalnya, ibu yang mengandung dan kesehatannya terganggu, akan tetapi

gangguan itu tidak mengancam nyawanya, maka ini tidak boleh menjadi alasan

untuk melakukan Aborsi.

4. Rumusan UU ini tidak mencukupi untuk menyelesaikan masalah Aborsi dewasa

ini, sebab UU Kesehatan ini tidak sejalan dengan KUHP. Dalam KUHP segala

macam Aborsi dilarang, sedangkan dalam UU Kesehatan, Aborsi Therapeutik

bisa dilakukan. Padahal, keduanya masih tetap berlaku dalam tata hukum

Indonesia sampai sekarang.

5. Perumusan Aborsi dalam UU ini tidak jelas. Pada umumnya, secara medis

Aborsi didefinisikan: Pengeluaran hasil pembuahan (kehamilan) dari rahim sebelum

janin bisa hidup diluar kandungan (umur 20-24 minggu). Dengan definisi ini, janin

yang dikeluarkan akan mati. Pengeluaran janin yang terjadi pada umur sesudah itu

dan janinnya mati, maka tidak disebut aborsi tetapi disebut pembunuhan bayi

96
log. cit

59
(infanticide). Sedangkan kalau bayinya hidup maka disebut kelahiran immature,

prematur atau bahkan mature.97

Di lain pihak, dalam perkara aborsi, perempuan selalu yang menjadi korban

utama dan dirugikan. Ini terlihat dalam hampir sebagian mereka yang diseret ke

pengadilan berkaitan dengan masalah Aborsi, umumnya adalah wanita. Padahal peran

orang yang ada disekitarnya dan masyarakat disekelilingnya sangat besar, sehingga

seorang wanita memutuskan untuk Aborsi. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan

perlakuan terhadap perempuan. Hukum harus ditegakkan dan dijalankan seadil-

adilnya dan harus bersifat jelas, bukan dualisme. Sebab Allah yang kita imani adalah

Allah yang maha kasih juga maha adil.

Yang menjadi dasar penyerahan bagi orang Kristen harus selalu kepada

kehendak Allah, karena Allah telah memberikan pengetahuan dan kemampuan untuk

mengambil tindakan yang tepat.98 Di Indonesia, menurut UU kesehatan tahun 1992

hanya diperbolehkan aborsi karena indikasi medis yang bertujuan semata-mata

menyelamtkan nyawa si ibu. Tetapi pada relalitanya aborsi dapat dilakukan karena

indikasi apa saja, asal pasien dapat membayar. Karena itu di Indonesia diskusi

tentang legalisasi aborsi sebaiknya tidak terlepas dari kerangka lebih umum yang

tidak terlepas dari “supremasi hukum”.

97
Yaitu kelahiran bayi lebih awal, diluar kebiasaan yaitu antara 7-9 bulan.
98
Norman Anderson, 1978, Issues of Life and Death, Illinois: Inter Varsity Press Downers Grove,
hlm.84

60
2. Dalam Perspektif Etis Teologis

Kehidupan manusia ditengah masyarakat memiliki kebertanggungjawaban

kepada Tuhan, manusia, masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Namun semuanya itu

akan berpusat pada tanggung jawab manusia kepada Tuhan. Hal ini mendasari

pemikiran dan juga tindakan etis teologis bagi setiap umat Kristen didalam

kehidupannya. Masalah aborsi mencakup semua keterkaitan dengan masalah diatas

baik bagi masyarakat, keluarga, diri sendiri ( yang melakukan aborsi ) dan terutama

lagi sebagai tanggung jawab kepada Tuhan yang menciptakan kehidupan itu karena

yang menjadi taruhan dalam masalah aborsi adalah kedaulatan Allah dan kesucian

hidup manusia.99

a) Dimensi kemasyarakatan dalam masalah Aborsi

Harapan utama disini adalah masyarakat dapat melindungi kehidupan.

Masyarakat (dalam hal ini negara) bertugas untuk menciptakan keadaan yang aman

dan sehat, sehingga warga tidak terancam akan dibunuh atau dilukai, dan dapat

menikmati kesehatan secara optimal (air minum yang sehat, tidak ada polusi

berlebihan, sistem pelayanan kesehatan diatur dengan baik, dsb). Tugas melindungi

kehidupan ini tentunya tidak terbatas hanya pada yang sudah lahir, namun yang

belum lahir juga. Dengan hal ini, negara akan menaruh perhatian khusus kepada

kondisi kesehatan ibu-ibu hamil, antara lain dengan mengakui hak cuti hamil. Dalam

99
Lihat : pendapat John stoot

61
rangka tugas ini pula, UU Anti Aborsi dapat dibenarkan, walaupun secara historis UU

Anti Aborsi yang kita kenal sekarang tidak selalu berasal dari motivasi melindungi

kehidupan saja. Tetapi seringkali memiliki motivasi yang lebih luas, seperti kebijakan

kependudukan. Bahkan ada beberapa negara yang secara ekstrem (Kanada)

mendekriminilisasi Aborsi.

Aborsi, tidak dapat kita sangkal, merupakan suatu tindakan memusnahkan

kehidupan manusia yang baru. Karena itu masyarakat yang peduli dengan kehidupan,

melarang segala tindakan Aborsi menurut hukum. Akan tetapi, melarang Aborsi

secara mutlak tidak memecahkan masalah. Menolak Abosri seringkali merupakan

satu sisi dari suatu situasi dilematis. Alasan lain yang biasa digunakan atau barangkali

dibutuhkan tetapi tidak tersedia secara resmi, akan mengakibatkan pasar gelap. Suatu

keniscayaan ekonomis dan sosial mendikte keadaan ini. Misalnya, jika aborsi

dilakukan oleh tenaga profesional membutuhkan biaya yang tinggi, namun jika tidak

menggunakan tenaga yang terlatih akan mengakibatkan kematian si ibu.

Menurut WHO, presentase Maternal Morality atau angka kematian ibu

(kematian ibu pada waktu hamil atau dalam proses persalinan) yang disebabkan oleh

Aborsi yang tidak aman diseluruh dunia, diperkirakan 13 persen. Di Indonesia

sendiri, Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi, yaitu sekitar 373/100.000 kelahiran

hidup (Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995) atau malah mencapai 390/100.000

kelahiran (World Development Indicators 1998, World Bank).100 Walaupun nilai ini

tidak sama di setiap propinsi . Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia menempati

100
Loc. Cit

62
urutan tertinggi. Tidak mengherankan bila mereka yang bertanggung jawab atas

kebijakan dalam bidang kesehatan merasa prihatin dengan tingginya AKI dan

berusaha keras untuk menurunkan angka tersebut. Maka pada konferensi PBB tentang

masalah kependudukan di Kairo (1994) dan pada konferensi Ke-4 PBB tentang

perempuan di Beijing (1995), yang menuntut Aborsi yang aman.

Tetapi, Argumen untuk legalisasi Aborsi ini pantas ditanggapi dengan kritis.

Jika Aborsi dilegalisasi di Indonesia, fasilitas ini akan tersedia di kota besar-besar

saja, tidak menjangkau sampai pelosok-pelosok pedalaman. Akan lebih berbahaya,

bila safe abortion menjadi selogan yang sangat memukau. Terlalu berfokus pada

legalisasi aborsi untuk menurunkan AKI justru dapat membelokkan perhatian

pengambilan keputusan dari masalah-masalah yang sebenarnya. Pada daerah-daerah

yang memiliki nilai AKI tertinggi, perlu diberikan penyuluhan secara intensif tentang

aborsi. Dan dapat mengunakan metode-metode KB yang aman dan praktis perlu

diperhatikan seoptimal mungkin. Sangat diharapkan dengan demikian angka AKI

akibat aborsi tidak aman akan menurun, karena aborsi tidak dibutuhkan.Nilai etika

adalah unutk melihat apa yang baik dan yang buruk dan kewajiban moral. Etika juga

bergerak pada lapangan kesusilaan, artinya ia berhubungan dengan norma-norma

yang berlaku dengan ketaatan batiniah pada norma-norma yang berlaku. Pandangan

yang baik menurut iman Kristen adalah segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah,

itulah yang baik.101

101
Lihat : Etika Kristen, pada Bab III.

63
Nilai inilah harus juga ikut memberi warna dalam norma yang berlaku

didalam masyarakat, apa yang dipandang baik oleh masyarakat haruslah bersumber

pada etika teologis sebagai alat ukur terhadap segala sesuatu yang baik.

b. Dimensi Keadilan Untuk Perempuan

Aspek lain dari permasalahan aborsi yang saat ini semakin penting yaitu

keadilan untuk perempuan. Secara biologis, hanya perempuan yang mengandung,

melahirkan dan menyusui. Namun perempuan harus berjuang sendirian mengatasi

setiap keadaan. Keadaan ini tentu tidak adil, dan masyarakat harus menaruh perhatian

khusus pada situasi mereka.

Dalam konteks ini, pertama yang harus diusahakan atas kualitas relasi nikah

antara suami isteri dapat ditingkatkan. Kehamilan dan KB harus menjadi tanggung

jawab pasangan secara bersama. Memupuk nilai-nilai manusiawi dalam perkawinan

harus menjadi suatu kebijaksaan (policy) khusus dalam masyarakat yang lebih peduli

pada kesejahteraan nasib perempuan.

Perempuan hamil yang belum menikahpun harus diperlakukan dengan adil.

Tidak dapat dibenarkan apabila remaja yang hamil dianggap sebagai aib keluarga,

tanpa memperhatikan laki-laki yang mengakibatkan keadaan tersebut. Suatu polemik

lain tentang pertanyaan, apakah seorang sisiwa perempuan yang hamil harus

dikeluarkan dari sekolah. Mengeluarkan siswa perempuan merupakan suatu tidak

ketidakadilan selain harus memikul beban biologis, ia bebankan lagi dengan seluruh

tanggung jawab moral. Menyadari ketidakadailan ini, kita justru harus berusaha

64
sekuat tenaga agar sekolahnya dapat dilanjutkan ( sesudah diijinkan cuti selama

setahun ) dan tetap ada masa depan yang lebih baik bagi remaja perempuan.

Akhirnya perlu diingat, masalah aborsi juga berkaitan dengan keadilan social

dan legalisasi aborsipun tidak akan mampu menjawab sebab ketidakadilan sosialpun

akan terus berlangsung. Namun hal ini tidak harus menjadi penghalang, orang kristen

harus diciptakan suatu keadilan sosial yang menyeluruh berdasarkan iman. Karena

pada hakekatnya Allah adalah Maha Adil. Maka dituntut sebagai orang yang percaya

ikut memberikan rasa keadilan kepada siapapun, bertindak adil kepada siapa saja

karena ini adalah manesfestasi dari iman Kristen.

3. Pandangan John Wesley

Secara khusus, memang tidak ada pandangan John Wesley secara khusus

terhadap kasus aborsi. Namun sebagai seorang Wesleyan, kita harus berani menggali

kekayaan pemikiran John Wesley sebagai seorang tokoh gereja dan pendiri Gereja

Methodist. Seperti motonya “ The World Is My Parish” ( dunia adalah tempat

pelayananku ). Bentuk pelayanan tidak akan pernah dibatasi oleh gedung, tempat atau

apapun juga dan masalah aborsi merupakan tanggung jawab bersama, dimana dituntut

kita sebagai orang Kristen ikut bertanggung jawab, terhadap setiap permasalahan

yang ada didalam masyarakat yang tentunya berdasarkan Firman Allah, seperti yang

dikatakan John Wesley “aku manusia satu buku” artinya pedoman kehidupannya

hanya berdasarkan pada Alkitab.

65
Christhoper P. Momany, dalam artikelnya “Wesley’s General Rules :
102
Paradigm For Modern Ethics” mengatakan bahwa perhatian pra modern Wesley

atas “tidak melakukan kejahatan” dan “melakukan kebaikan” mengharapkan

timbulnya debat terbaru yang terjadi antara teori-teori etika yang menekankan salah

satu dari antara teori-teori etika yang menekankan salah satu dari tidak

mengakibatkan kerugian atau kemurahan hati. Kemudian hal ini menimbulkan suatu

dialog tersendiri. John Wesley mewujudkan teologi yang sepesifik dan kegemaran

moral yang mengekspresikan hal-hal tersebut. Menurut James Fowler (1982) tentang

pertumbuhan iman John Wesley, menemukan suatu dinamika perjalanan spiritual

Wesley dan menunjukan kecenderungan untuk menggabungkan kutub pertentangan

dengan asumsi perhatian kepada kebiasaan.103 Implikasi praktikalnya, perhatian John

Wesley membawanya untuk keputusan-keputusan yang sangat sepesifik pada setiap

kategori. Tidak melakukan kejahatan merupakan penekanan penjauhan diri dari iblis

dan mengarahlan orang-orang Kristen Methodist jauh dari kelakuan-kelakuan yang

buruk seperti mengucapkan kata-kata kotor, mabuk, berkelahi, membeli atau menjual

barang-barang illegal, memuaskan kesenangan sendiri dan memperkaya diri.

Wesley mendasarkan petunjuknya untuk melakukan kebaikan berdasarkan

Galatia 6:10 dan menekankan dua tipe dasar perbuatan baik. Pertama, Wesley

menginstruksikan kepada pengikutnya untuk melakukan kebaikan jasmani kepada

orang lain dengan memberi makan yang lapar, memberi pakaian pada yang telanjang,

102
Christhoper P. Momany, 1993, in Wesleyan Theological Journal Volume 28, No. 1 & 2 Spring-Fail,
Wilmore; Kentucky: Wesleyan Theological Society, hlm. 7-17
103
Loc. Cit

66
mengunjugi dan menolong yang sakit, atau dipenjara. Ini merupakan refrensi yang

jelas dari Matius 25:35-39. Kedua, Wesley mendorong para pengikutnya untuk

melakukan kebaikan pada jiwa spiritual.

Dasar dari semua perbuatan baik adalah iman. Iman memberikan kehidupan

tubuh dan jiwa, memberikan hidup yang kekal, menghindarkan dari perbuatan dosa

dan kejahatan. Dan dasar dari iman adalah kasih. Dalam ajarannya tentang

kesempurnaan Kristen dijelaskan bahwa “ marilah kita menyucikan diri kita dari

semua pencemaran, jasmani dan rohani dengan demikian penyempurnaan kekudusan

kita dan takut akan Allah ( 2 Kor 7:1)”.

67
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Masalah Aborsi tidak hanya akan terbatas pada diskusi sebatas posisi-posisi

etika dengan argumentasi masing-masing. Tetapi harus juga diwarnai dengan ciri-ciri

ideologis, artinya tercampur unsur-unsur irasional yang tidak mungkin dijernihkan

dengan argumen-argumen yang menghimbau akal budi. Aborsi menjadi obyek

perjuangan seperti terjadi dalam konteks ideologis; ada yang pro dan ada yang kontra,

dengan cara yang sama radikalnya. Polarisasi antara gerakan pro life dengan pro

choice merupakan bukti jelas tentang kenyataan ideologis ini. Karena itu akan

menghasilkan diskusi yang tidak mudah berakhir dan bahkan akan terus berlangsung

terus untuk jangka waktu yang cukup panjang.

Bukan juga untuk terjebak dalam diskusi-diskusi ini, namun kita harus

berusaha sekurang-kurangnya dapat menghindari posisi yang berat sebelah. Inti dari

persoalan etis tentang Aborsi adalah terjadinya situasi konflik antara 2 kewajiban :

kewajiban menghormati hidup baru dalam kandungan, dan kewajiban membantu si

ibu serta keluarganya. Tidak dapat juga disangkal meskipun di negara kita segala

macam bentuk Aborsi itu dilarang, kecuali ada indikasi medis. Akan tetapi Aborsi

masih dilakukan secara luas, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-

sembunyi. Hal ini tentu mencemaskan, bahkan tendensi ini tidak akan berhenti sama

68
sekali, malah mengalami perkembangan. Akan tetapi, permasalahan intinya ada pada

mentalitas Aborsi yang ada di dalam masyarakat kita, yang melawan kehidupan

masyarakat dengan mudah membunuh sesamanya karena masalah yang sepele,

membakar orang hidup-hidup. Ini merupakan suatu ancaman kultur atau tepatnya

(meminjam istilah CB Kusmaryanto) “Kultur Kematian” (Kultur Kematian)102. Hal

ini ada kecenderungan tersebar luas.

Bahkan mentalitas Aborsi ini berkembang bersama mentalitas hedonisme,

gaya baru, orang maunya serba mudah, serba cepat dan serba menyenangkan. Nilai

tertinggi adalah having fun (bersenang-senang). Di satu pihak harus diakui bahwa

kesenangan dan kebahagiaan itu sendiri adalah suatu nilai hidup yang layak

diperjuangkan. Akan tetapi di pihak lain harus ditegaskan bahwa hal itu bukanlah

nilai tertinggi dalam faktor nilai hidup manusia. Ditambah lagi dengan beberapa

tendensi yang juga mulai tersebar di masyarakat kita, yaitu mendewakan otonomi dan

kebebasan segala bidang. Mem,ang otonomi dan kebebasan sebenarnya adalah ciri

keluhuran martabat manusia, namun ketika hal ini digabung dengan hedonisme akan

menjadi euphoria kebebasan yang justru menjadi keputusan yang egois dan

melecehkan martabat manusia.

Dalam mentalitas masyarakat semacam ini, Aborsi sering dipandang sebagai

hal yang perlu untuk dilakukan. Rahim yang sebenarnya diciptakan oleh Sang

Pencipta sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya kehidupan baru, sekarang ini

justru menjadi The Killing Field (ladang pembantaian). Tendensi ini pun,

102
CB. Kusmaryanto, op.cit, hlm.195

69
materialisme dan konsumerisme yang menandai zaman kita sekarang, profesi medis

tidak boleh membiarkan nilai-nilai luhur profesinya terkontaminasi dengan tendensi

modern tersebut, baik di bidang Aborsi maupun dalam konteks medis lainnya.

Yang menjadi pertanyaan lain adalah apakah dengan legalisasi Aborsi

(walaupun dengan syarat-syarat yang ketat) akan berhasil menurunkan angka

kematian ibu (AKI) di Indonesia. Slogan Safe Aborsion yang sering didengar saat ini,

harus ditanggapi secara realistis, bahwa sangat diragukan dengan legalisasi Aborsi

serta merta semua Aborsi yang tidak aman akan berhenti. Atau mungkin bisa

menjangkau kota-kota besar, akan tetapi daerah pedesaan (pelosok) tidak akan pernah

dijangkau. Kita tidak perlu menjadi seorang ahli kesehatan masyarakat untuk dapat

mengerti bahwa penurunan AKI membutuhkan strategi pelayanan kesehatan ibu

hamil yang sungguh-sungguh baik dan menjangkau daerah pedesaan. Strategi seperti

itu sudah pasti dipikirkan dan bahkan diusahakan. Janganlah strategi pokok itu

dikaburkan dengan harapan palsu yang tidak mungkin terpenuhi.

Masalah Aborsi memang masalah yang dilematis, namun prinsip utama yaitu

hormat sungguh-sungguh untuk kehidupan manusia harus ditegakkan sebagai suatu

prinsip etis yang fundamental dalam masyarakat. Umat Kristen sebagai bagian dari

masyarakat Indonesia dalam mengambil keputusan harus berdasarkan iman

keKristenan itu sendiri, sebagai sumber segala aturan dalam kehidupan. Bahwa Allah

yang maha kuasa adalah satu-satunya pemberi, pemelihara dan yang berhak

mengambil hidup manusia. Dan bayi yang belum dilahirkan adalah sepenuhnya

manusia, yang diciptakan seturut dengan “gambar Allah” (imago dei). Karena

70
manusia itu segambar dengan Allah maka disini ada konsep kekudusan di dalam

setiap kehidupan.

Penulis setuju dengan pendapat Eka Darmaputera103 pada prinsip kita

menolak pelaksanaan Aborsi. Namun jika diperhadapkan pada situasi dan kondisi

yang sangat sulit dengan sangat berat hati dan menyadari dimensi tragisnya,

pelaksanaa Aborsi dapat dilakukan sebaga isuatu kekecualian dan merupakan

alternatif yang paling akhir dan paling baik di dalam situasi ekstrem. Dan keputusan-

keputusan bukanlah keputusan orang per orang, tetapi secara bersama-sama bahkan

pada hakekatnya, seluruh masyarakat ikut bertanggung jawab.

B. Saran

Tentu saja, kalau kita hanya membuat larangan Aborsi tidak akan

memecahkan masalah secara tuntas. Sama halnya membakar temapt-tempat

pelacuran, ini pun tidak memecahkan masalah. Harus dicari jalan keluar yang lebih

bermartabat untuk memecahkan masalah yang ruwet ini. Perlu dipikirkan secara

bersama-sama bagaimana kita membantu wanita yang hamil diluar nikah, wanita

yang hamil karena perkosaan, wanita yang hamil lagi ketika anaknya sudah banyak,

wanita miskin yang mempunyai kesulitan ekonomi dalam membesarkan anak-

anaknya (single mother parent). Yang tak kalah penting ialah pendidikan masyarakat,

agar di satu pihak tidak gampang menghukum dan lebih berbelas kasihan kepada

wanita yang mengalami kesulitan semacam ini. Akan tetapi di pihak lain juga jangan

71
sampai pesimistis, yang mengijinkan dan menghalalkan perilaku seksual yang

menyimpang.

Sebagaimana berlaku semboyan “lebih baik mencegah daripada mengobati”,

pencegahan ini dapat dilakukan dengan mengubah paradigma dalam bertingkah laku

seksual. Cara yang efektif yaitu dengan pendidikan seks yang baik. Pendidikan seks

diarahkan kepada penghargaan akan martabat hidup manusia dan martabat seksualitas

manusia, agar dipergunakan sebagaimana dimaksudkan oleh Sang Pencipta.

Seksualitas manusia adalah sebuah anugerah yang merupakan bagian integral dari

hanya penciptaan manusia dan dunia. Sehingga seksualitas harus dipergunakan dalam

rangka kerjasama dengan Sang Pancipta untuk menciptakan manusia baru secara

bertanggung jawab dan bermartabat.

Orang Kristen atau Gereja, seyogyanya ikut andil dalam masalah ini, tidak

hanya menutup mata, tidak mau tahu, atau hanya bisa melarang. Namun harus

memberikan solusi yang tepat misalnya seperti Mother Theresa, dalam pelayanannya

ketika wanita-wanita India hendak menggugurkan kandungannya. Ia meminta kepada

mereka untuk tidak menggugurkan kandungan, tetapi meminta bayi yang dilahirkan

untuk diasuh dan dipelihara olehnya. Dengan harapan iman bahwa Allah pasti

memiliki setiap rencana dalam kehidupan manusia. Dengan kata yang sederhana,

siapa tahu kelak bayi-bayi yang hendak di Aborsi itu menjadi pemimpin bangsa dan

dunia.

103
Martin L. Sinaga,dkk. (penyunting), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia Teks-teks Terpilih
Eka Darmaputera, Jakarta : BPK Gunung Mulia, hlm.788

72
Ini adalah undangan terbuka yang berlaku bagi kita semua yang berkehendak

baik, untuk mengembalikan status anak sebagai anugerah yang tak ternilai dari Sang

Pencipta, yang harus kita terima dengan penuh syukur dan terima kasih. Kita harus

bersyukur karena Sang Pencipta sudah memberikan kepercayaan yang begitu besar

kepada kita untuk ikut serta dalam karya penciptaan manusia baru, megasuh, dan

memelihara anak dalam hidup kita. Dengan cara demikian, anak akan menjadi

sumber rahmat dan berkat bagi keluarga, masyarakat dan seluruh umat manusia.

73

Anda mungkin juga menyukai