Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

ASMA BRONKIALE

PEMBIMBING

Omar Akbar, dr.

PENYUSUN

Nadia Izzati Shalahuddin, dr.

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP

RS TNI AU dr. M. SALAMUN

KOTA BANDUNG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang melibatkan


inflamasi pada saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara, dan dialami oleh 22 juta
warga Amerika. Inflamasi saluran nafas pada asma meliputi interaksi komplek dari sel,
mediator-mediator, sitokin, dan kemokin. 1
Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak
napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episode
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.2

Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian.


Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai
propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10
penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan empisema.
Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan empisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru
2/1000.2
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E

Umur : 42 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

No. RM : 304618

Tanggal diperiksa : 03 Desember 2021 Pukul 20.00 WIB

Anamnesis

Alloanamnesis

Keluhan Utama

Sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 1 hari SMRS pasien mulai mengeluhkan sesak napas dan batuk-batuk. Sejak 2
jam SMRS sesak napas yang dirasakan makin berat. Sesak napas timbul bila pasien terpapar
udara dingin. Sesak terutama timbul pada malam dan pagi hari, sehingga mengganggu
aktivitas dan tidur. Sesak napas bertambah bila pasien batuk. Batuk pasien berdahak dengan
warna bening kental. Napas pasien berbunyi “ngik”.

Sesak napas dikatakan lebih baik bila dalam keadaan duduk dan pasien merasakan
sesak napas lebih berat dalam keadaan berbaring. Keluhan lain seperti panas badan, keringat
malam hari, penurunan berat badan dan mual muntah disangkal pasien. BAB dan BAK
dirasakan biasa, tidak ada keluhan lainnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pernah sakit seperti ini sebelumnya. Pasien memiliki riwayat asma, obat yang dipakai
adalah Symbicort Turbuhaler 2 x 1 semprot dan ventolin inhaler apabila terjadi serangan.

Riwayat Penyakit Keluarga

Terdapat anggota keluarga dengan riwayat asma yaitu ayah pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis

Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 118/79 mmHg

Frekuensi nadi : 88x/menit

Frekuensi nafas : 48x/menit

Suhu : 36,7oC

SPO2 : 89%

 Kepala
Bentuk : Normochepali

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks
cahaya (+/+)
 Hidung : nafas cuping hidung (+/+)
 Mulut : mukosa basah, tidak pucat, faring tidak hiperemis
 Leher

KGB : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

 Thorax

Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, retraksi (-)

Palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri

Perkusi : sonor di semua lapangan paru

Auskultasi : suara nafas vesikuler dengan ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), Ronchi
(-/-), bunyi jantung I & II normal, murmur (-)

 Abdomen

Inspeksi : bentuk normal, simetris, datar, scar (-)

Palpasi : supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus normal

 Ekstremitas

Superior & Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, tidak ada edema
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hemoglobin : 13,4 g/dl

Hematokrit : 42 %

Leukosit : 11.000/mm3

Trombosit : 331.000/mm3

V. DIAGNOSA KERJA

Asma Bronkiale serangan akut berat

VI. TATALAKSANA

Tatalaksana di IGD:

 Nebulizer combivent + pulmicort


 Injeksi Metilprednisolon 1 ampul
 O2 Nasal canul 4 liter
 Observasi tanda-tanda vital

Karena sesak sudah berkurang dan SpO2 97% pasien disarankan untuk rawat jalan

Obat pulang: Salbutamol 2 x 4 mg dan melanjutkan terapi inhalasi

VII. PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad Bonam

Ad functionam : Dubia ad Bonam


Ad Sanationam : Dubia ad Malam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Dan Etiologi Asma

Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan
sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak- anak,
terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan
ini menjadi sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota
dengan kota yang lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar
antara 5 – 7 %.4,5

Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma.


Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun
keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan
reaksi kulit terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara,
dan dapat pula disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon
positif terhadap tes provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.5

Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus


tersering dari eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut secara biologis dapat
merusak struktur daripada saluran nafas melalui aktifitas proteolitik, yang selanjutnya
menghancurkan integritas dari tight junction antara sel-sel epitel. Sekali fungsi dari
epitel ini dihancurkan, maka alergen dan partikel lain dapat dengan mudah masuk ke
area yang lebih dalam yaitu di daerah lamina propia. Penyusun daripada tungau-
tungau pada debu rumah ini yang memiliki aktivitas protease ini dapat memasuki
daerah epitel dan mempenetrasi daerah yang lebih dalam di saluran pernafasan. 3

Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi juga


merupakan pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif. Kira-kira 25%
sampai 30% dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini menyimpulkan
bahwa merokok ataupun terkena asap rokok akan meningkatkan morbiditas dan
keparahan penyakit dari penderita asma. Terpapar asap rokok yang lama pada pasien
asma akan berkontribusi terhadap kerusakan dari fungsi paru, yaitu penurunan kira-
kira 18% dari FEV 1 selama 10 tahun.Pasien asma yang memiliki kebiasaan merokok
akan mempercepat terjadinya emfisema. Mekanisme yang mendasari daripada efek
rokok pada pasien asma dijelaskan pada tabel 1.1

2.2 Patofisiologi Asma

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan


proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu hiperresponsif
dari bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan4,5

2.2.1 Penyempitan Saluran Napas

Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada
saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. 3

Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator.
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting
pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan
struktural atau disebut juga ”remodelling”.3 Proses inflamasi kronik pada asma akan
menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses
penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan

pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel
parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung
yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut berkontribusi
dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan
perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodelling.2

Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan


yang menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses
remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal
terjadinya proses ini kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik,
dikatakan proses remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari
remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik
di dalam dan sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau
hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.5
2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas

Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis


yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang

bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum


diketahui dengan pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos
saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang
menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran
respiratorik selama kontraksi otot polos.6,7

2.3 Faktor Pencetus Asma

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host


factor) dan faktor lingkungan. 2

a. Faktor host

 Genetik

 Obesitas

 Jenis kelamin

b. Faktor lingkungan

 Rangsangan alergen.

 Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.

 Infeksi.

 Merokok

 Obat.

 Penyebab lain atau faktor lainnya.

2.4 Gambaran Klinis Asma


Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala
lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja,
nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin.
Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul
musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala
juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen,
udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga
mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah,
merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan
penderita, atau pekerjaan.4

2.5 Diagnosis Asma2,3

Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas
yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :

- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.

- gejala timbul/memburuk di malam hari.

- respons terhadap pemberian bronkodilator.

Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga


(atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit
dan pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat meningkatkan
kecurigaan terhadap asma adalah :

1. Di dengarkan suara mengi (wheezing)  sering pada anak-anak

Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi


diagnosis sama, apabila terdapat :

1. Memiliki riwayat dari:

a. Batuk, yang memburuk dimalam hari

b. Mengi yang berulang


c. Kesulitan bernafas

d. Sesak nafas yang berulang

2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam

3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu

4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau
penyakit atopi
5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :

a. Bulu binatang

b. Aerosol bahan kimia

c. Perubahan temperatur

d. Debu tungau

e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)

f. Beraktivitas

g. Serbuk tepung sari

h. Infeksi saluran pernafasan

i. Rokok

j. Ekspresi emosi yang kuat

6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas


dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian
penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada
pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas. 2,3

Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas,


reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung
hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan
spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain
yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran
status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi
spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini tidak terlalu
bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam mengidentifikasi faktor
pencetus.2,3

2.6 Klasifikasi Asma2,3

3 Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan

Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan)2


Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
 Gejala < 1x/minggu  ≤ 2x/bulan  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
 Tanpa gejala diluar serangan  APE ≥ 80% nilai terbaik
 Serangan singkat  Variabilitas APE < 20%
II. Persisten
Ringan Mingguan APE ≥ 80%
 Gejala > 1x/minggu, tapi <  > 2x/bulan  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
1x/hari  APE ≥ 80% nilai terbaik
 Serangan dapat mengganggu  Variabilitas APE 20-30%
aktivitas dan tidur
 Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
III. Persisten
Sedang Harian APE 60-80%
 Gejala setiap hari  >1x/minggu  VEP1 60-80% nilai prediksi
 Serangan menggangu aktivitas  APE 60-80% nilai terbaik
dan tidur  Variabilitas APE > 30%
 Membutuhkan bronkodilator
setiap hari

IV. Persisten
Berat Kontinyu APE ≤ 60%
 Gejala terus menerus  Sering  VEP1 ≤ 60% nilai prediksi
 Sering kambuh  APE≤ 60% nilai terbaik
 Aktivitas fisik terbatas  Variabilitas APE > 30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Penderita dalam Pengobatan2

Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian


Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Gejala dan faal paru dalam pengobatan Intermiten Pesisten ringan Persisten
sedang
Tahap I: Intermiten Intermiten Persisten ringan Persisten
Gejala < 1x/mggu sedang
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/bln
Faal paru normal diluar serangan
Tahap II: Persisten Ringan Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat
Gejala >1x/mggu, tapi <1x/hari
Gejala malam >2x/bln, tapi <1x/mggu
Faal paru normal diluar serangan
Tahap III: Persisten Sedang Persisten sedang Persisten berat Persisten berat
Gejala setiap hari
Serangan mempengaruhi tidur dan aktivitas
Gejala malam >1x/mggu
60%<VEP1<80% nilai prediksi
60%<APE<80% nilai terbaik
Tahap III: Persisten Berat Persisten berat Persisten berat Persisten berat
Gejala terus menerus
Serangan sering
Gejala malam sering
VEP1≤60% nilai prediksi, atau
APE≤60% nilai terbaik

3.1 Penatalaksanaan Asma

Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang


dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen
program penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen
pengobatan yang dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola
hidup sehat.2

EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu
sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor
pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan
serangan asma di rumah.
PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.

A. Pemantauan tanda gejala asma.

B. Pemeriksaan faal paru


IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS
Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.

MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG


Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam
menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu
dipertimbangkan:

1. Medikasi (obat-obatan)

2. Tahapan pengobatan

3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega.

A. Pengontrol

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,


diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol adalah:

a. Glukokortikosteroid inhalasi

Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan komponen


yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang menyebabkan asma. Pada
tingkat vascular, glukokortikosteroid inhalasi bertujuan menghambat terjadinya
hipoperfusi, mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa udem, dan
pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis).4
Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid
inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki
kualitas hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis
orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran nafas atas.

b. Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai


pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif menggunakan
steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus
diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka
panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan
otot.

c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan


antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui
reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi
pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga
kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Efek samping
umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi.

d. Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti


antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi
dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol,
dimana pemberian jangka panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga
digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi
yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari
atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek
samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti
takikardi, aritmia dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin
dapat menyebabkan kejang bahkan kematian.

e. Agonis β2 kerja lama

Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi otot
polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan
mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian
inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik
dibandingkan preparat oral. Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis β2
kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2
kerja lama inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam,
memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega)
dan menurunkan frekuensi serangan asma.
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih
sedikit atau jarang daripada pemberian oral.

f. Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis
semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme
kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.

B. Pelega

a. Agonis β2 kerja singkat

Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot
polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast
dan basofil. Efek sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka
dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek
samping.

b. Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah


dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek
bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat
untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan
respon terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.

c. Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan


asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat
refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering
di mulut dan rasa pahit.

d. Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.

C. Tahapan penanganan asma

Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat tercapai
tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy.

D. Pengobatan berdasarkan derajat berat asma Tabel 3. Pengobatan Sesuai Berat


Asma2

Semua tahapan : ditambahkan agonis β2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-4x/hari

Berat Asma Medikasi Pengontrol Alternatif/Pilihan Lain Alternatif Lain


Harian
Asma Tidak perlu - -
Intermiten

Asma Glukokortikosteroid  Teofilin lepas lambat -


Persiste inhalasi (200-400ug  Kromolin
n BD/hari atau  Leukotrien modifiers
Ringan equivalennya)

Asma Kombinasi inhalasi  Kombinasi inhalasi  Ditambah agonis


Persisten glukokortikosteroid (400- glukokortikosteroid (400- β2 kerja lama oral,
Sedang 800ug BD/hari atau 800ug BD/hari atau atau
equivalennya) dan agonis equivalennya) ditambah  Ditambahkan
β2 kerja lama teofilin lepas lambat, atau teofilin lepas
 Kombinasi inhalasi lambat
glukokortikosteroid (400-
800ug BD/hari atau
equivalennya) ditambah
agonis β2 kerja lama oral,
atau

 Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800ug BD atau
equivalennya) atau

 Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800ug BD
atau equivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers

Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/


Persisten Berat glukokortikosteroid
(>800ug BD/hari atau metil prednisolon oral
equivalennya) dan agonis selang sehari
β2 kerja lama, ditambah ≥1 10 mg ditambah agonis β2
dibawah ini: kerja lama oral, ditambah
teofilin lepas lambat
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral

Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian
diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol

MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT


Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.

Tabel 4. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut1

Gejala dan Berat Serangan Keadaan


Tanda Akut Mengancam
Ringan Sedang Berat Jiwa

Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat

Posisi Dapat tidur terlentang Duduk Duduk membungkuk

Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata

Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk,


gelisah,
kesadaran
menurun

Frekuensi < 20/menit 20-30/menit > 30 menit


nafas

Nadi < 100 100-120 > 120 Bradikardia

Pulsus - ± + -
paradoksus 10 mmHg 10-20 mmHg > 25 mmHg kelelahan
otot

Otot bantu - + + Torakoabdo


nafas dan minal
retraksi paradoksal
suprasternal

Mengi Akhir ekspirasi paksa Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent chest
ekspirasi

APE > 80% 60-80% < 60%


PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg

PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg

SaO2 > 95% 91-95% < 90%

Tabel 5. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat
Pengobatan1

Serangan Pengobatan Tempat pengobatan


Ringan Terbaik: Di rumah
Aktivitas relatif normal Inhalasi agonis β2 Alternatif:
Berbicara satu kalimat dalam 1 Kombinasi oral agonis β2 dan Di praktek dokter/ klinik/
nafas teofilin puskesmas
Nadi < 100
APE > 80%
Sedang Terbaik:
Jalan jarak jauh timbulkan gelaja Nebulasi agonis β2 @ 4 jam Darurat gawat/RS Klinik
Berbicara beberapa kata dalam 1 Alternatif: Praktek dokter Puskesmas
nafas - Agonis β2 subkutan
Nadi 100-120 - Aminofilin iv
APE 60-80% - Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik

Berat Terbaik: Darurat gawat/RS Klinik


Sesak saat istirahat Nebulasi agonis β2 @ 4 jam
Berbicara kata perkata dalam 1 Alternatif:
nafas - Agonis β2 sc/iv
Nadi > 120 - Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc
APE < 60% atau 100 L/dtk
Aminofilin bolus dilanjutkan drip Oksigen
Kortikosteroid iv

Mengancam jiwa Seperti serangan akut berat Darurat gawat/RS


Kesadaran berubah /menurun Pertimbangkan intubasi dan ICU
Gelisah ventilasi mekanik
Sianosis
Gagal nafas
KONTROL SECARA TERATUR
Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma
jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke ahli
paru pada keadaan-keadaan tertentu.Jika asma tidak terkontrol pada pengobatan yang
dijalani, maka pengobatan harus di naikkan. Secara umum, perbaikan harus dilihat
selama 1 bulan. Tetapi sebelumnya harus dinilai tehnik medikasi pasien, kepatuhan
dan usaha menghindari faktor resiko. Jika asma sebagian terkontrol, dipertimbangkan
menaikkan pengobatan yang tergantung pada keefektifan terhadap pengobatan yang
ada, keamanan, dan harga serta kepuasan pasien terhadap pengobataan yang dijalani
pasien. Dan jika, asma berhasil dikontrol selama minimal 3 bulan, pengobatan dapat
diturunkan secara gradual. Tujuan nya adalah mengurangi pengobatan. Monitoring
tetap penting dilakukan setelah asma terkontrol, karena asma dapat tetap dapat
terjadi eksaserbasi apabila kehilangan kontrol.3
D. Bronkial thermoplasty (BT)

Bronkial thermoplasty adalah suatu intervensi yang dilakukan bagi pasien


asma untuk mengkontrol energi termal ke dinding saluran pernafasan selama prosedur
bronkoskopy, yang menyebabkan penurunan daripada massa otot halus pada saluran
pernafasan. Peningkatan massa dan kontraktilitas dari otot halus merupakan
mekanisme yang dapat memperparah keadaan asma yaitu dengan meningkatkan
bronkokonstriktor dan obstruksi saluran pernafasan, penurunan jumlah dan/atau
kontraktilitas dari otot halus pada saluran pernafasan akan menyebabkan perbaikan
dari gejala asma itu sendiri.10
Daftar Pustaka

1. Megan Stapleton, PharmD, Amanda Howard-Thompson. Smoking and Asthma.


JABFM May–June 2011 Vol. 24 No. 3, p.313-322
2. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto, E.
et al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
3. N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. House dust mite extract
downregulates C/EBPa in asthmatic bronchial smooth muscle cells. Eur Respir J
2011; 38: 50–58
4. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. (2010),
Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, Ontario Canada.
5. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi,
I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi
Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.
6. I. Bara, A. Ozier, J-M. Tunon de Lara, R. Marthan and P. Berger. Pathophysiology of
bronchial smooth muscle remodelling in asthma. Eur Respir J 2010; 36: 1174– 1184
7. McFaden, ER. (2005), Asthma, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL. Draunwald,

E. Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of Medicine, 16th ed, Vol 2,
McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.

8. Chesnutt, MS. Prendergast, TJ. (2007), Lung, In: McPhee, SJ. Papadakis, MA. (eds)
Current Medical Diagnosis and Treatment, 46th ed, McGrawHill, Philadelphia, pp:
230-241.
9. G. Horvath and A. Wanner. Inhaled corticosteroids: effects on the airway
vasculature in bronchial asthma. Eur Respir J 2006; 27: 172–187
10. Mario Castro, Adalberto S. Rubin, Michel Laviolette. Effectiveness and Safety of
Bronchial Thermoplasty in the Treatment of Severe Asthma. Am J Respir Crit Care
Med Vol 181. pp 116–124, 2010

Anda mungkin juga menyukai