Anda di halaman 1dari 8

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Tersedia online di www.sciencedirect.com

SainsLangsung

Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 164 (2014) 68 – 75

Konferensi Internasional Studi Akuntansi 2014, ICAS 2014, 18-19 Agustus 2014, Kuala
Lumpur, Malaysia

Rekonstruksi penilaian aset biologis: Sebuah studi kritis IAS


41 tentang akuntansi pertanian pada petani Indonesia

Rendra Kurniawan, Aji Dedi Mulawarman, Ari Kamayanti*


Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165 Malang 65145, Indonesia

Abstrak

Tulisan ini merupakan kajian mendalam tentang IAS 41 dari dua dimensi, dimensi teknis-teoritis dan dimensi makna secara
bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengantisipasi potensi bahaya dalam penilaian yang disebabkan oleh logo-sentrisme
moneter dalam akuntansi. Konsep yang ditawarkan didasarkan pada kondisi budaya yang ada di masyarakat Indonesia yang
diabstraksikan melalui etnometodologi. Konsep-konsep ini mewakili pandangan dan cara hidup petani Indonesia yang juga terkait erat
dengan siklus utilitas pertanian. Makalah ini menyarankan bahwa akuntansi pertanian dapat dilakukan meskipun tidak menggunakan
satuan moneter sebagai pendekatan penilaiannya.

© 2014 Penulis. Diterbitkan oleh Elsevier Ltd. Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND©
rs.HaiP
(ht2tp0:1//4crTeHAetivAekamuCTHaiHMHaiM nkamu.BHaiakuRSayaGS/HlieCDenBSkamuesE/akuBSkamue-vnSayaCe-RnLDT/D3..0/).

PPeeeeRR--RResetiapvSayaSayaeew NS
w kamukamunnDDeeRR RReeSSPPHaiHainnSSSayaSayaBBSayaSayaakuakuSayaSayaTTkamukamuHaiHaiFFTTHHeeSSCCHHHaiHaiHaiHaiakuakuHaiHaiFFAACCCCHaiHaikamukamunntatannCCkamukamu,
, USayanvSayaevReSRdiaSSayadiakamualaAkamulaSkamuiaS.ia.
kitakamuSayaSnSayaenSeSS,SUn Saya TkamuartaARM
,CCHaiHaiIIakueakuGeegedaridariBB

Kata kunci: Akuntansi; pertanian; petani; aset biologis; etnometodologi

1. Perkenalan

Menurut Suwardjono (2005, 274) penilaian adalah penetapan satuan ukur terhadap suatu benda untuk mewakili makna
tertentu atau khusus dari benda tersebut. Penilaian ditentukan oleh jumlah moneter yang harus melekat pada objek yang
terlibat dalam transaksi keuangan. Selanjutnya, penilaian bertujuan untuk merepresentasikan atribut-atribut aset tertentu
dengan menggunakan dasar penilaian yang sesuai (Suwardjono, 2005). Ini adalah aspek penting dan krusial dalam akuntansi.
Aset, ekuitas, dan kewajiban dapat disajikan dalam laporan keuangan karena penilaian telah menerjemahkan atributnya

* Penulis yang sesuai. Telp.: +6281555737916; faks: +62341567040.


Alamat email: arikamayanti@ub.ac.id

1877-0428 © 2014 Penulis. Diterbitkan oleh Elsevier Ltd. Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND (http://
creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/3.0/).
Peer-review di bawah tanggung jawab School of Accounting, College of Business, Universiti Utara Malaysia.
doi:10.1016/j.sbspro.2014.11.052
Rendra Kurniawan dkk. / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 164 (2014) 68 – 75 69

ke dalam bentuk kuantitatif, dengan satuan moneter sebagai indikatornya.


Demikian pula penerapan valuasi dalam dunia pertanian akan memungkinkan terjadinya pelaporan kinerja dalam bentuk
unit numerik dan moneter yang dekat dengan kegiatan ekonomi. Ada berbagai literatur tentang akuntansi pertanian di Barat
seperti Roberts (1903), Goodyear (1911), Bexel dan Nichols (1913), Finlay (1914), Scovil (1918), dan Warren (1918). Dalam
makalah tersebut, akuntansi pada awalnya digunakan sebagai alat dan sistem informasi yang berkaitan dengan kegiatan
pertanian. Seiring dengan perkembangan dunia Barat menuju abad 21, akuntansi pertanian membantu mengubah pertanian
sebagai bisnis. Akuntansi merupakan salah satu cara untuk memahami pertanian dalam konteks bisnis (Mulawarman, 2012).
Scovil (1921) lebih lanjut mengingatkan, bahwa petani harus menyadari bahwa bisnis mereka secara bertahap berubah
menjadi industri bermodal.
Pendefinisian pertanian sebagai bisnis menyebar ke berbagai belahan dunia melalui “kolonialisme”
akuntansi yang berbentuk harmonisasi dan konvergensi akuntansi. Praktik akuntansi keuangan
ditentukan oleh faktor lokal, sosial dan budaya, seperti sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, dan
bentuk organisasi di masyarakat (Triyuwono, 1998). Terjadinya kolonialisme akuntansi ini tidak lepas dari
kekuatan hegemoni kapitalisme dan ilmu-ilmu positif yang telah menjadi mainstream.
Karakteristik pertanian di Indonesia tentu berbeda dengan karakteristik pertanian di dunia Barat di mana
hegemoni kapitalistik berlabuh kuat. Standar akuntansi pertanian yang dibuat oleh negara-negara Barat, seperti IAS
41, mungkin tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Dengan demikian penerapan standar akuntansi asing
ke GAAP Indonesia bukanlah cara terbaik untuk membentuk standar akuntansi di Indonesia. Selain itu, logosentrisme
yang bercirikan oposisi biner lebih mengutamakan penilaian kuantitatif moneter yang dapat memicu ancaman.
Triyuwono (1998) menjelaskan sebagai berikut: “Penilaian atau pengukuran berdasarkan logika-entrisme aspek
moneter akan mengubah pola pikir seseorang menjadi pola pikir kapitalistik.”
Merujuk pada pendapat Triyuwono (1998) yang menjelaskan bahwa praktik akuntansi keuangan ditentukan oleh faktor
sosial dan budaya masyarakat setempat, dipandang urgen untuk menciptakan konsep akuntansi pertanian Indonesia
berdasarkan kondisi sosial budaya yang ada. Penciptaan konsep akuntansi yang berbasis pada budaya masyarakat setempat
akan memungkinkan praktik akuntansi pertanian dapat diterapkan. Penelitian ini mengajukan pertanyaan penelitian:
bagaimana rekonstruksi penilaian aset biologis dengan menggunakan kondisi kontekstual (sosial-spiritual-ekonomi) petani
lokal?

2. Metode penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma postmodern. Paradigma ini menurut kami adalah
paradigma yang cocok karena merupakan antitesis dari modernisme, yang melihat realitas baik secara objektif maupun
subjektif (Mulawarman, 2012). Kami menganalogikan IAS 41 sebagai bentuk modernisme, seperti akuntansi konvensional
yang ada saat ini. Dalam modernisme terjadi kegagalan dalam memberikan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.
Postmodern merupakan kritik terhadap modernitas yang mengubah cara berpikir manusia menjadi kaku dan tidak fleksibel
dengan berbagai fenomena sosial. Modernitas, demikian pula akuntansi modern juga cenderung kaku, kaku, dan tidak
toleran dengan realitas sosial. Dengan menggunakan paradigma yang berbeda, akuntansi holistik dapat direkonstruksi.
Apalagi untuk akuntansi pertanian Indonesia, dimana pertanian menjadi bagian dari budaya masyarakat, harus mampu
mengakomodir nilai-nilai yang ada tanpa sedikit memarginalkan fungsi dan tujuan petani di lingkungan alam setempat.
Dengan demikian, akuntansi pertanian (didahului dengan penilaian aset biologis) harus dibangun di atas pola nilai-nilai lokal
yang ada, bukan pada nilai-nilai yang memiliki sedikit relevansi dengan praktik lokal. Penelitian ini menggunakan
etnometodologi yang diperluas dengan metode penelitian dekonstruksi. Kajian dalam makalah ini akan dilakukan dalam dua
tahap. Tahap pertama adalah menemukan dimensi teknis dan dimensi makna (nilai disarikan dari praktik) melalui studi
etnometodologi. Dimensi teknis yang terkait dengan IAS 41 dari perspektif teoritis dieksplorasi. Kami akan melanjutkan untuk
menemukan dimensi makna untuk menggabungkan akuntansi dengan dimensi abstrak seperti nilai-nilai sosial, religiusitas,
dan spiritualitas.
Tahap kedua adalah dekonstruksi, nilai tambah dan apa yang kami temukan dari tahap pertama, terutama
berdasarkan studi etnometodologi untuk merekonstruksi konsep standar akuntansi pertanian yang diwakili
oleh IAS 41 sebagai simbol kolonialisme akuntansi. Komposisi dekonstruksi diperoleh dengan mengumpulkan
bukti empiris yang dianalisis dengan indeksikalitas dan reflektifitas sebagai instrumen analisis dalam
70 Rendra Kurniawan dkk. / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 164 (2014) 68 – 75

etnometodologi (Burrell dan Morgan, 1979:248). Melalui analisis indeksikalitas, kita akan melakukan observasi dan
menangkap apa yang secara implisit diberikan oleh para aktor dalam bentuk aktivitas yang tertata. Dengan analisis
reflektifitas, kita akan menemukan makna akuntansi pertanian melalui pernyataan aktor. Informan penelitian ini
berasal dari PT. Sapta Karya Damai, Bpk Sukardji (pembudidaya ikan), Bpk Yanto (petani sawit), KUD (Koperasi Unit
Desa) Dau, dan masyarakat tani di sekitar tempat tinggal penulis.

3. Menemukan dan berdiskusi

Dari data yang terkumpul, terdapat beberapa kesamaan karakteristik petani dalam mengelola entitas pertaniannya.
Kesamaan tersebut tampaknya dipicu oleh budaya dan adat istiadat sosial di masyarakat, serta interaksi yang didasarkan
pada kekerabatan dalam masyarakat petani. Masyarakat tani adalah sekelompok orang yang menjalankan entitas pertanian,
terbentuk karena timbulnya berbagai interaksi sosial ketika mengelola pertanian atau kegiatan pertanian. Masyarakat tani
tidak hanya terbatas pada pemilik tambak tetapi juga para pekerja yang terlibat langsung dalam pengelolaan tambak. Suatu
masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat tani apabila dalam masyarakat tersebut terdapat berbagai interaksi yang
berkaitan dengan kegiatan bertani. Konsep masyarakat tani sangat berbeda dengan konsep agribisnis dan industri pertanian.
Ketika kami melakukan penelitian di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur-Kalimantan Tengah, kami
menemukan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit serta petani membentuk masyarakat sosial yang mapan. Itu
dibentuk oleh pemukiman dan perumahan para pekerjanya di area perkebunan kelapa sawit. Berbeda dengan masyarakat
petani, interaksi masyarakat ini hanya didasarkan pada interaksi kerja/profesional. Masyarakat perusahaan hanyalah
masyarakat linier dengan satu tujuan, keuntungan perusahaan.
Dalam karakteristik pertanian (non-pemerintah) lainnya, motif yang berbeda melatarbelakangi munculnya berbagai
interaksi tersebut. Motif-motif tersebut adalah motif keagamaan, motif budaya, dan motif sosial. Dalam interaksi keagamaan,
agama dan keyakinan spiritual yang dianut merupakan motivator utama interaksi tersebut. Hal ini disebabkan oleh kesamaan
budaya dan kepercayaan agama dalam satu atau beberapa komunitas di wilayah tersebut. Uniknya, interaksi agama dan
interaksi budaya bisa saling menyatu. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan keagamaan yang masih berbalut budaya ataudan
sebaliknya dalam masyarakat setempat, seperti ritual sebelum melahirkan atas tanaman, festival (kenduri) dan makan
seremonial (selamatan) di berbagai desa di Jawa. Bentuk lain dari kegiatan pertanian spiritual adalah penggunaan sesaji (
sesajen) sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dalam upacara adat yang terkait dengan acara pertanian. Tentu
motif ekonomi pasti ada, namun diimbangi dengan motif lainnya. Hal ini menjelaskan bahwa petani dapat dikatakan sebagai
homo agama, homo ekonomius dan homo sosial pada waktu bersamaan. Bukti empiris yang kami temukan dapat dianalisis
dalam kerangka etnometodologi seperti terlihat pada Tabel 1.
Ciri selanjutnya adalah pola subsisten atau semi subsisten dari petani atau masyarakat agraris. Peran petani adalah
sebagai produsen dan konsumen dari hasil produksinya sendiri dalam pola usahatani ini. Sudah sering dijumpai banyak
petani dan peternak yang mengkonsumsi hasil pertaniannya sendiri. Secara rinci mereka tidak memperhitungkan berapa
banyak produk pertanian yang mereka konsumsi sendiri atau dinikmati bersama komunitasnya. Mereka tidak membebankan
biaya atau biaya. Tujuan pertanian subsisten tidak sepenuhnya komersial. Secara sosial, pertanian subsisten memiliki kearifan
tersendiri. Boleh dibilang, ini adalah bentuk pertanian yang humanis karena dalam pertanian semacam ini orientasinya lebih
diarahkan pada bagaimana pertanian terkait dengan kelangsungan hidup masyarakat.

3.1. Akuntansi dalam pertanian berbasis rakyat

Pencatatan (accounting) yang dilakukan oleh petani rakyat cenderung merupakan pencatatan tradisional. Jika ada
penerapan akuntansi, maka dibentuklah akuntansi sederhana seperti single entry atau pembukuan sederhana. Berdasarkan
ciri-ciri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sebagian besar entitas peternakan yang dimiliki oleh petani, seperti
peternakan, perikanan, kehutanan, dan peternakan dimiliki oleh swasta. Mayoritas entitas pertanian atau pertanian adalah
entitas kepemilikan. Dalam entitas milik pertanian berbasis rakyat ini, tidak ada pemisahan antara bisnis dan
Rendra Kurniawan dkk. / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 164 (2014) 68 – 75 71

petani sebagai pemilik entitas. Fenomena ini disebabkan karena bentuk pertanian subsisten yang
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok keluarga petani.

Tabel 1. Matriks Analisis Etnometodologi


Riset
Daya pemantulan Indeksikalitas
obyek
PT. Sapta • Penilaian aset didasarkan pada biaya historis • Aset diartikan sebagai alat produksi
Karya Damai • Aset biologis diklasifikasikan sebagai Aset yang Dapat Diproduksi dan • Gunakan rasionalitas linier dalam menilai dan memaknai
Aset yang Tidak Dapat Diproduksi utilitas aset biologis
• Penciptaan nilai aset melalui metode • Mengukur aset biologis dari aspek material
kapitalisasi • Hubungan yang terjalin antara orang dan aset hanya
• Pelaksanaan penyusutan menjadi aset biologis didasarkan pada tujuan profesional dan tujuan
menghasilkan uang
Pak Yanto • Akuntansi tidak digunakan di alur telapak tangan • Menggunakan intuisi dan pengalamannya dalam perhitungan biaya
• Menggunakan metode perhitungan sederhana

KUD Dau • Menggunakan standar penilaian skor tubuh • Bisnisnya berbasis masyarakat
sesuai dengan berat sapi untuk menentukan nilai • Menggunakan utilitas aset biologis untuk memberdayakan
sapi masyarakat atau komunitas lokal
• Penilaian aset biologis masih mengacu pada harga jual • Menggunakan feeling/spiritual dalam operasional kredit sapi, maka
yang ada di pasar KUD menempatkan peternak sebagai prioritas utama
• Metode penilaian aset pembawa adalah metode penilaian
aset habis pakai (sama)
Pak Sukardji • Menggunakan pembukuan sederhana untuk mencatat pengeluaran, • Fungsi konsumsi dan fungsi produksi berkorelasi
pendapatan, dan menghitung keuntungan atau kerugian

• Hanya mencatat pengeluaran vital, seperti benih ikan, • Hanya mencatat pendapatan yang direalisasikan ke uang
biaya pakan, dan biaya obat-obatan • Berorientasi pada pendapatan, bukan keuntungan

orang-orang • Utilitas dan manfaat aset biologis seringkali lebih


Petani (sebagai diprioritaskan daripada nilai uangnya
umum) • Komunitas atau masyarakat (pemangku kepentingan) diprioritaskan

• Pengeluaran untuk keperluan masyarakat, keperluan keagamaan, dan


keperluan tradisi tidak dicatat sebagai pengeluaran tetapi sebagai bagian
dari konsumsi dari pendapatan mereka karena dipandang sebagai
kesenangan bersama.

Dalam pertanian subsisten, seperti yang telah kami jelaskan, terdapat keterkaitan yang erat antara produksi dan konsumsi,
sehingga menyebabkan peleburan antara badan usaha dengan badan usaha swasta. Berikut pendapat Pak Yanto, pemilik perkebunan
kelapa sawit setempat, tentang pembukuan atau pencatatan:
“Tidak, tidak dicatat, karena kalau ada uang saya akan beli pupuk. Jika saya ingin menyuburkan tanaman saya maka saya
akan membeli beberapa pupuk. Agak berat juga karena saya hanya membeli pupuk jika saya punya uang. Tidak, (saya)
tidak pernah membuat (pembukuan), karena itu milik pribadi (perkebunan kelapa), jadi tidak perlu (melakukan
pembukuan).”
Pendapatnya menunjukkan kepada kita bahwa dia tidak perlu merekam. Selain kondisi keuangan yang cenderung tidak
stabil, Pak Yanto tidak perlu melakukan pencatatan atau pembukuan atau semacam pembukuan karena tidak perlu
mempertanggungjawabkan kinerjanya, bahwa perkebunan adalah milik pribadinya.
Dalam dunia pertanian berbasis rakyat, ada siklus utilitas. Siklus ini berputar di antara petani, aset biologis, dan
komunitasnya. Uang hanyalah salah satu dari banyak utilitas ini dan itu adalah utilitas termudah untuk diukur. Tetapi ada
utilitas lain seperti energi, pikiran, keyakinan, kepercayaan, dan utilitas abstrak lainnya yang tidak dapat diukur dalam
akuntansi. Misalnya jika harta biologis diurus oleh semua anggota keluarga, norma akuntansi harus melihat anggota keluarga
ini sebagai tenaga kerja dan sebagai beban yang harus dikompensasikan dengan uang atau gaji, sedangkan pada
kenyataannya petani tidak akan membayar setiap anggota keluarganya berdasarkan pada jam kerja mereka.
Kami terinspirasi oleh pemikiran Fritjof Capra (2004) dalam merekonstruksi dan membuka dimensi baru ini. Namun demikian kami
tidak sepenuhnya setuju dengan argumennya. Penjelasan Capra tentang perspektif, spiritualitas dan makna selalu dalam koridor
autopoiesis teori, di mana organisme hidup memiliki kemampuan untuk memperbaharui dirinya sendiri. Kami tidak setuju dengan
autopoiesis teori yang diungkapkan oleh Capra (2004). Kami menolak teori itu karena menurut pendapat kami, bahkan dalam tahap
material, organisme hidup tidak dapat beroperasi dengan sendirinya, bahkan mereformasi dirinya sendiri. Ada kekuatan mutlak yang
membuat makhluk hidup mampu melakukannyaautopoiesis. Kekuatan itu adalah kekuatan Tuhan.
72 Rendra Kurniawan dkk. / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 164 (2014) 68 – 75

Menurut Capra (2004), makna diartikan sebagai kesadaran reflektif dalam memahami interaksi simbolik dari berbagai
aspek yang menciptakan realitas sosial tanpa menyadari adanya kekuasaan yang mutlak. Kita cenderung mempertimbangkan
makna sebagai dimensi daripada sebagai perspektif. Para petani yang kami amati memiliki peran sebagaihomo sosialdan
religius. Masyarakat adalah hasil proyeksi kesadaran reflektif petani atas realitas sosial dan mereka bertindak dalam
komunitasnya, sedangkan religiusitas adalah titik kesadaran petani atas kekuasaan mutlak di alam semesta. Kesimpulannya,
yang kami maksud tentang perspektif spiritual adalah cara pandang terhadap suatu objek atau sesuatu yang tidak lagi
terpaku pada bentuk dan manfaat materialnya. Perspektif spiritual adalah cara memandang atau menilai, atau
mendefinisikan suatu objek berdasarkan adanya kekuatan mutlak yang berkaitan dengan manfaat objek tersebut. Perspektif
spiritual dapat dicapai melalui religiositas atau sosialitas, karena kedua aspek ini memungkinkan manusia menjadi peka
terhadap keberadaan kekuasaan mutlak.

3.2. Konsep Aset Biologis dan Rekonstruksi Penilaian

Sebelum suatu aset diukur, harus didefinisikan terlebih dahulu tentang aset biologis dan karakteristiknya sehingga
diperoleh konsep penilaian dan perlakuan akuntansi yang tepat. Secara fisik, aset biologis adalah tumbuhan atau hewan yang
dikuasai oleh badan usaha, diperoleh melalui pengorbanan baik ekonomi maupun non-ekonomi. Aset biologis dalam
perspektif makna adalah kumpulan utilitas yang terbentuk dari akumulasi utilitas oleh petani terhadap hewan dan tumbuhan
yang dipelihara, sebagai bagian dari siklus utilitas. Aset biologis dikuasai atau disimpan oleh entitas pertanian sehingga
petani atau entitas pertanian dapat mengambil manfaat dan utilitasnya. Utilitas yang terletak pada aset biologis adalah
utilitas religi, utilitas sosial, dan utilitas ekonomis. Utilitas keagamaan dan sosial dapat disebut sebagai utilitas spiritual.
Utilitas keagamaan dan sosial muncul karena adanya spiritualitas dalam diri petani. Bagi mereka, aset biologis bukan semata-
mata alat untuk mencari uang dan keuntungan (utilitas ekonomis) tetapi juga sebagai alat untuk mencapai kehendak Tuhan
dan sebagai alat untuk mempererat ikatan atau relasi sosial antar manusia dalam komunitasnya.

KEPERCAYAAN AGAMA ASET YANG DAPAT DIPRODUKSI

BIOLOGIS
UTILITAS SOSIAL ASET PEMBAWA
ASET ASET YANG TIDAK DAPAT DIPRODUKSI
(INVESTASI ATAU
KELOMPOK KAPITALISASI)
UTILITAS EKONOMIS

DAPAT DIKONSUMSI PERBAIKI ASET-


ASET INVESTASI

Gambar 1. Konsep aset biologis

Terkait dengan IAS 41 itu sendiri, ada beberapa keterbatasan. Keterbatasan pertama adalah bahwa IAS 41 memungkinkan
pengakuan pendapatan masa depan meskipun belum direalisasikan, perlakuan ini dapat memicu volatilitas pendapatan. Menurut sifat
aset biologis, masa manfaat tidak pasti karena dapat mati kapan saja oleh penyakit. Realisasi laba yang tidak pasti dapat menurunkan
keandalan pelaporan keuangan. Batasan kedua sebagaimana disebutkan oleh Aryanto (2012), IAS 41 melakukan generalisasi yang
berlebihan terhadap aset biologis. Pada dasarnya ditinjau dari kegunaan ekonomisnya, aset biologis dapat diklasifikasikan menjadi
dua jenis, aset pembawa dan aset habis pakai. Klasifikasi ini sangat penting karena akan berdampak pada perlakuan akuntansi
terhadap aset biologis. Sayangnya, IAS 41 tidak mengatur secara rinci tentang klasifikasi semacam ini, hanya sebagai nasihat, tidak
dalam prioritas utama standar ini. Aset pembawa adalah aset yang dipelihara untuk menghasilkan produk pertanian atau
menghasilkan aset biologis lainnya (pemuliaan). Aset habis pakai adalah aset yang
Rendra Kurniawan dkk. / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 164 (2014) 68 – 75 73

dipelihara, dibiakkan dengan tujuan untuk dijual pada umur tertentu sebagai hasil pertanian. Secara khusus aset produktif dapat
didefinisikan lebih lanjut menjadi aset yang dapat menghasilkan produk pertanian dan aset tidak produktif jika belum dapat
menghasilkan aset.
Utilitas religi dan sosial adalah utilitas yang tidak dapat dinilai dan direfleksikan dengan satuan moneter sebagai
indikator penilaian atau pengukuran. Uang tidak dapat digunakan untuk mengukur kedua utilitas ini karena kedua
utilitas ini bersifat kualitatif. Nantinya, utilitas spiritual akan membentuk modal spiritual, yaitu modal yang terbentuk
dari kontribusi utilitas aset biologis yang digunakan untuk tujuan spiritual dan sosial badan usaha atau pemiliknya.
Penciptaan modal spiritual tidak dapat diubah menjadi nilai moneter.
Dalam konsep penilaian aset arus utama, apapun jenisnya, nilai aset akan diukur dengan nilai moneternya. Untuk
perusahaan besar seperti PT Sapta Karya Damai, model valuasi moneter merupakan model valuasi yang paling cocok
karena memiliki orientasi yang sama dengan model valuasi ini: uang sebagai indikator terbaik. Dengan kata lain, bagi
perusahaan swasta, aset adalah instrumen untuk menghasilkan uang dan keuntungan, oleh karena itu model
penilaian arus utama menjadi metode yang paling rasional untuk diterapkan.
Tidak seperti perusahaan swasta, petani rakyat menganggap aset lebih dari sekedar untuk mendapatkan uang atau
keuntungan. Bagi mereka, aset, terutama aset biologis adalah kumpulan atau akumulasi dari banyak utilitas dan manfaat
yang dapat mereka rasakan atau manfaatkan. Asumsi mereka tentang aset biologis sebagai kumpulan utilitas dapat
dibuktikan melalui pertanian subsisten mereka yang fungsi konsumsi dan produksi saling terkait erat (Mubyarto, 1995). Petani
biasanya langsung mengkonsumsi hasil pertaniannya. Selain itu juga dapat digunakan untuk kegiatan pertanian lainnya
seperti pembuatan kompos, pakan ternak, atau untuk disumbangkan kepada masyarakat. Dengan demikian, metode
penilaian untuk mengukur atau menilai aset sebagai akumulasi utilitas diperlukan selain mengukur aset dari aspek moneter.

Penilaian aset biologis sebagai penilaian atas instrumen produksi yang dimiliki petani harus dilakukan dengan
menggunakan metode penilaian yang melihat aset dari perspektif petani, bukan dari perspektif pasar. Penilaian
berbasis biaya adalah penilaian yang sangat andal karena dibentuk oleh biaya yang terjadi di entitas pertanian.
Penilaian ini juga akan lebih objektif karena bebas dari asumsi dan estimasi. Objektivitas dari metode penilaian ini
tinggi karena pengorbanan ekonomi adalah aktual.
Penilaian berbasis biaya dapat mewakili aliran utilitas dari petani ke aset biologis melalui unit moneter. Biaya
mencerminkan pengorbanan ekonomi sebagai salah satu utilitas yang mengalir dari petani dalam merawat dan
menyiapkan aset biologis hingga dapat menghasilkan berbagai manfaat. Karena kemampuannya, kami menganggap
metode penilaian berbasis biaya lebih baik daripada metode penilaian nilai wajar. Sayangnya, konsep penilaian aset
biologis berbasis biaya hanya mengukur aset biologis dalam hal utilitas ekonomi serta penilaian nilai wajar pada IAS
41. Konsep aset telah diperluas ke dimensi makna dengan melihat aset sebagai akumulasi utilitas dan manfaat. .
Apalagi ketika atribut utilitas spiritual (religius dan sosial) melekat pada aset, maka penilaian harus diperluas ke
dimensi makna selain melakukan penilaian berbasis biaya. Kesimpulannya, cara untuk menilai besarnya manfaat
spiritual dari aset adalah dengan melaporkan kontribusi aset biologis sebagai pemanfaatan utilitas spiritual ke dalam
pelaporan kualitatif.
Utilitas spiritual terletak pada dimensi makna, sehingga cara terbaik untuk mengukurnya adalah
dengan memaknai atau mendefinisikan utilitas itu sendiri. Utilitas dapat didefinisikan ketika
dimanfaatkan yaitu dengan membentuk aset modal dari aset biologis. Sehubungan dengan itu, kami
menawarkan dua cara untuk mengukurnya. Pertama, pengukuran dapat dilakukan melalui proyeksi
(manusia) dan citra mental kita. Penilaian dengan media ini akan berangkat dari definisi utilitas dan
diterjemahkan melalui kata-kata yang dapat memberikan wawasan dan alasan tentang pemanfaatan
utilitas untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan sosial. Laporan akan dibuat dalam paragraf penjelasan
yang dapat disisipkan pada bagian khusus dalam catatan atas laporan keuangan.
74 Rendra Kurniawan dkk. / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 164 (2014) 68 – 75

BERBASIS BIAYA
PENILAIAN KUALITATIF
ROHANI PELAPORAN
KEGUNAAN ASET
BIOLOGIS KONTRBUSI
NON-
ASET PELAPORAN MONETER
PENILAIAN KUANTITATIF
EKONOMIS BERBASIS BIAYA PELAPORAN
KEGUNAAN PENILAIAN

Gambar 2. Konsep pelaporan dan penilaian aset biologis

Pilihan kedua adalah melalui informasi kuantitatif nonmoneter seperti laporan kontribusi, atau
menerjemahkannya ke dalam nilai moneter (moneter information) seperti laporan alokasi dana sosial-spiritual.
Penilaian moneter kuantitatif juga dapat dilakukan melalui laporan akuntansi konvensional. Keuntungan dari
penilaian ini adalah bahwa nilai moneter dari aset biologis (yang telah diukur) dapat diintegrasikan dengan informasi
akuntansi lainnya.

4. Kesimpulan

Konsep penilaian dalam akuntansi merupakan hal yang sangat penting karena dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pihak-pihak yang berkepentingan. Sayangnya, konsep penilaian juga memiliki beberapa potensi dalam menyeret akuntansi ke dalam
logosentrisme dan “single-ization” aspek materialisme dan moneter sebagai indikator penilaian. Konsep penilaian juga berpotensi
melemahkan entitas pertanian dengan menggunakan metode penilaian nilai wajar berdasarkan harga pasar seperti yang digunakan
dalam IAS 41. Selain penuh aksen logosentrisme, penilaian berdasarkan harga pasar tidak memiliki relevansi dengan usaha dan
pengorbanan entitas pertanian. untuk mendapatkan atau menciptakan aset biologisnya. Valuasi nilai wajar IAS 41 juga dinilai tidak
reliabel karena sarat subjektivitas tanpa argumentasi yang kuat.
Apa yang kami temukan sebagai hasil studi empiris menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia
memiliki caranya sendiri dalam menilai aset biologis. Petani tidak selalu menggunakan uang sebagai
indikator penilaian aset biologis atau indikator kinerja. Bagi mereka, aset biologis tidak cukup diukur
dengan uang, karena aset biologis merupakan akumulasi dari berbagai utilitas yang tidak hanya terdiri
dari utilitas ekonomis. Petani Indonesia juga memiliki cara tersendiri dalam mencatat akumulasi utilitas
ini. Jika dilihat dari perspektif akuntansi konvensional, tampaknya petani tidak memiliki kemampuan
dalam hal pencatatan dan kebutuhan mereka akan informasi akuntansi rendah. Sebaliknya, cara-cara
sederhana mereka yang telah lama diterapkan adalah cara-cara terbaik dalam akuntansi pertanian.

Jika praktik akuntansi keuangan terbaik ditentukan oleh faktor sosial budaya masyarakat setempat, sistem
ekonomi, sistem politik, sistem sosial, dan bentuk organisasi dalam masyarakat, maka sudah selayaknya jika standar
akuntansi pertanian dibentuk berdasarkan cara petani Indonesia. mengelola entitas pertanian mereka. Konsep siklus
utilitas, asumsi petani tentang pendapatan, dan bagaimana mereka mengabstraksikan makna dan nilai aset, lebih
relevan untuk menilai aset biologis daripada pendekatan top-down yang ditemukan dalam standar internasional.
Pada akhirnya, praktik akuntansi pertanian dapat lebih cocok untuk petani jika konsepnya dikembangkan dari petani
itu sendiri.

Referensi

Amir, V. (2012). Menuju Konsep Pendapatan Yang Akomodatif Di Bidang Pertanian [Dalam Perspektif Syariah] (Studi Kasus: PT Bisi
Internasional). Skripsi tidak.Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Malang. Ariyanto,
YH (2011).Kegagalan Teoritis IAS 41: Pertanian. Ikatan Akuntan Indonesia.
Rendra Kurniawan dkk. / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 164 (2014) 68 – 75 75

Bexel, JA, dan Nichols, FG (1913). Prinsip Pembukuan dan Akun Pertanian. Perusahaan Buku Amerika. New York-Cincinnati-
Chicago.
Burrell, G. dan Morgan, G. (1979). Paradigma Sosiologi dan Analisis Organisasi. Perusahaan Penerbitan Ashygate. Brookfield. Capra, F.
(2004).Koneksi Tersembunyi. Jalasutra. Bandung.
Finlay, WB (1914). Hukum Pajak Penghasilan dan Akuntansi Pertanian.Jurnal Akuntansi. (pra-1986) Juli. 18 hal 47-51. Goodyear, LE
(1911).Akuntansi Pertanian untuk Petani Praktis. Perusahaan Penerbitan Goodyear Marshall. Cedar Rapids. rendah.
Hines, RD (1989). Pengetahuan akuntansi keuangan, proyek kerangka konseptual, dan konstruksi sosial profesi akuntansi.
Jurnal Akuntansi, Auditing, dan Akuntabilitas, 22 (9): 72-92.
Mubyarto. (1995).Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta
Mulawarman, AD (2012). Akuntansi dalam Pusaran Kegilaan Neoliberal IFRS-IPSAS: Kritik IAS 41 dan IPSAS 27 tentang Pertanian.
Konferensi Internasional jika Akuntansi Kritis 2012. Baruch College. New York.
Mulawarman, AD (2012). Nyanyian Metodologi Akuntansi Ala Hidayat Nataatmadja: Melampaui Dunia Derridian mewah
Pemikiran Bangsa “Sendi”.Pelatihan Riset Akuntansi Multiparadigma - 4th UB International Consortium on Accounting. Malang. Roberts, JP
(1913).Buku Pegangan Bisnis Petani: Manual Akun Pertanian Sederhana dan Nasihat Singkat tentang Hukum Pedesaan. Edisi Enam.
Perusahaan Macmillan, New York. Suwardjono. (2005).
Teori Akuntansi. LP3ES. Yogyakarta.
Triyuwono, I. (1998). Akuntan dan Akuntansi: Kajian Kritis Perspektif Postmodernisme. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Malang.
Triyuwono, I. (2009). Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah. Rajawali Pers. Jakarta.
Warren, GF (1914).Manajemen Peternakan. Perusahaan Macmillan. New York.

Anda mungkin juga menyukai