Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

RUANG LINGKUP ILMU FIKIH


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah : Ilmu FIQIH
Dosen Pengampu : H. Mugni Muhit, S.Ag., M.Ag.
NIDN : 2114077901

Disusun Oleh Kelompok 4 :


1. Mega Maulida
2. TatingRosmiati
3. Yudi Hidayat Noor

SEMESTER I
EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL MA’ARIF CIAMIS
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
Jl.UmarSholehDesaImbanagara Raya Kec. CismisKab. Ciamis,
Jawa Barat. Tlpn. (0265)772589

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Alloh SWT, dimana atas segala rahmat dan izin-nya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini khusus nya mata Ilmu Fiqih. Sholawat serta salam
tak lupa penyusun haturkan kepada junjungan kita Nabi semesta dan Muhammad SAW,
keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah penyusun dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun penyusun
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan di dalam makalah ini. Untuk itu
penyusun berharap adanya kritik dan saran yang membangun guna keberhasilan penulisan
yang akan datang.
Akhir kata, penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini, semoga segala upaya yang telah
dicurahkan mendapat berkah dari Alloh SWT. Amin.

Ciamis, 23 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar..................................................................................................................... i

Daftar Isi.............................................................................................................................. ii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................................ 2
1.4 Manfaat.............................................................................................................. 2

BAB 2. PEMBAHASAN.................................................................................................... 3

2.1 PENGERTIAN BUDAYA................................................................................ 3


2.1.1. Kedudukan Urf................................................................................................ 5
2.1.2. Kaidah Fiqhiyah Terkait Dengan Urf............................................................. 5
2.1.3. Pembagian Jenis Urf dan Beberapa Contohnya.............................................. 6
2.1.4. Syarat- ‘Urf Diterima Sebagai Dalil................................................................. 8
2.2 HUBUNGAN FIQIH DAN BUDAYA............................................................. 9

BAB 3. PENUTUP.............................................................................................................. 15

3.1 Kesimpulan........................................................................................................ 15
3.2 Saran.................................................................................................................. 15

Daftar Pustaka...................................................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah,

logis dan memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang

lebih merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang

merupakan pelaksanaan ritual-ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkup

sekolah, akan membentuk pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki

budi pekerti yang luhur. Sehingga memudahkan peserta didik dalam

mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman modern

sekarang semakin banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian

fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta didik membutuhkan dasar ilmu dan

hukum Islam untuk menanggapi permasalahan di masyarakat sekitar.

Tujuan pembelajaran Fiqih adalah untuk membekali peserta didik agar

dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan

menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan dalil aqli melaksanakan dan

mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar.

Agar kita tidak salah lagi memahami antara perbedaan, hubungan ilmu fiqih dengan
kebudayaan

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian budaya?
1.2.2 Bagaimana hubungan antara fiqih dan budaya?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui apa itu budaya
1.3.2 Untuk lebih memahami hubungan antara fiqih dan budaya
1.4 Manfaat

1
1.4.1 Setiap orang di harapkan memahami pengertian budaya
1.4.2 Setiap orang di harapkan dapat memahami hubungan antara fiqih dan budaya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KEBUDAYAAN

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal); diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi, dan akal manusia. Bentuk lain dari kata budaya adalah kultur yang berasal dari bahasa
Inggris yaitu culture dan bahasa Latin cultura.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan
secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda
budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, peristiwa itu membuktikan bahwa
budaya dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyelur Budaya Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya
ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang
dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai
yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya
seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Tiongkok.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan
pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang
dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang
lain. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.

 Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu


yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
 Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
 Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.

3
 Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.
 Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.
 Menurut M.Selamet Riyadi, Budaya adalah suatu bentuk rasa cinta dari nenek moyang
kita yang diwariskan kepada seluruh keturunannya.
 Menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, dan
tindakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki
manusia dengan belajar.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-
lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
1. Bahasa
Secara bahasa, kata al-'urf (‫ )العُرْ ف‬bermakna al-khairu (‫)الخيْر‬, al-ihsanu (‫)اإلحسان‬, dan ar-
rifqu (‫)الرِّ ْفق‬, yang semuanya bermakna kebaikan.

2. Istilah
Sedangkan secara istilah, al-'urf bermakna :

‫ُأ‬
ِ ‫ما ا ْعتاد النّاسُ وسارُاوا عل ْي ِه فِي ُم‬
ٍ ْ‫ور حياتِ ِه ْم و ُمعامالتِ ِه ْم ِم ْن قوْ ٍل أوْ فِ ْع ٍل أوْ تر‬
‫ك‬

“Apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka melawati kehidupan dan muamalat
mereka dengan hal itu, baik berupa perkataan, perbuatan atau hal yang ditinggalkan.”

Dan terkadang al-‘urf ini juga disebut al-‘adah (‫)العادة‬, atau kebiasaan yang berlaku di
suatu masyarakat tertentu.

3. Ada juga definisi al-urf yang lain, misalnya :

ُ ‫ول و تلقّ ْتهُ الطِّبا‬


‫ع ال ّسلِيْمةُ بِالقبُو ِل‬ ِ ُ‫وس ِم ْن ِجهّ ِة ال ُعق‬
ِ ُ‫في النُّف‬
ِ ‫ما اسْتق ّر‬
“Apa-apa yang menempati jiwa dari segi logika dan diterima oleh tabiat yang sehat.”

4. Antara Urf dengan Adat


Antara Urf dengan adat istiadat ada persamaan namun juga ada perbedaan. Adat
memiliki cakupan makna yang lebih luas. Adat dilakukan secara berulang-ulang tanpa
melihat apakah adat itu baik atau buruk.
Adat mencakup kebiasaan pribadi, seperti kebiasaan seorang dalam tidur jam sekian,
makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Adat juga muncul dari sebab alami,

4
seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah tropis, cepatnya tanaman berbuah di
daerah tropis. Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti suap,
pungli dan korupsi. “Korupsi telah membudaya, terjadi berulang-ulang dan dimana-
mana”.Sedangkan ‘urf tidak terjadi pada individu. ‘Urf merupakan kebiasaan orang
banyak.
Kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. Urf bagian dari
‘adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang
di daerah tertentu bukan pada pribadi atau golongan.
‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah
mentradisi. Misalnya harta bersama, konsinyasi, urbun dan lainnya.

2.1.1. Kedudukan Urf

Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
hukum yang berkaitan dengan mu’amalah dan selama tidak bertentangan dengan
syara'. Demikian pula ketika syariat menetapkan suatu ketentuan secara mutlak
tanpa pembatasan dari nash itu sendiri maupun dari segi penggunaan bahasa.
Seperti ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal
ulama Madinah dapat dijadikan hujjah. Demikian pula ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam
Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi
beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di
Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf shahih khash.

2.1.2 Kaidah Fiqhiyah Terkait Dengan Urf

Atas dasar itulah para ahli ushul fiqih membuat Kaidah-kaidah yang berhubungan
dengan 'urf, antara lain:
1. Kaidah Pertama
ٌ‫ال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai landasan hukum."

2. Kaidah Kedua

ِ ‫الَيُ ْن َك ُر تَ َغيُّ ُر ْال ُح ْك ِم بِتَ َغي ُِّر اَأل ْم ِكنَ ِة َواَأل ْز َم‬
‫ان‬

"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan


perubahan tempat dan masa.”

3. Kaidah Ketiga

ِ ْ‫ط لَهُ فِ ْي ِه َوالَ اللُّ َغةَ يُرْ َج ُع فِ ْي ِه ِإلَى ْالعُر‬


‫ف‬ ْ ‫ع ُم‬
َ ِ‫طلَقًا َوالَظَاب‬ ُ ْ‫ُكلُّ َما َو َر َد بِ ِه ال َّشر‬

“Setiap ketentuan yang diterangkan oleh syara’ secara mutlak dan tidak ada
pembatasnya dalam syara da tidak ada juga dalam ketentuan bahasa, maka
ketentuan itu dikembalikan kepada ‘urf”

5
2.1.3. Pembagian Jenis Urf dan Beberapa Contohnya

Para ulama membagi urf menjadi dua macam, yaitu urf yang bersifat
perkataan (qauli) dan yang bersifat perbuatan (amali).

1. Urf Qauli
Urf Qauli adalah ungkapan atau perkataan tertentu yang sudah dianggap
lazim memiliki makna tertentu oleh suatu masyarakat. Dimana boleh jadi
untuk masyarakat yang lain yang urfnya berbeda, maknanya bisa saja berbeda.
a. Dirham untuk Uang
Sebagai contoh, pada masyarakat tertentu sudah menjadi urf kalau
menyebut dirham berarti maksudnya adalah uang.
b. Dabbah untuk Hewan Berkaki Empat
Di masyarakat tertentu makna daabbah (‫ )دابة‬hanya terbatas pada hewan
yang berkaki empat. Padahal secara makna bahasa, daabbah adalah segala
hewan yang melata di atas bumi, termasuk ayam, ular dan lainnya.
c. Tha'am dan Burr
Ibnu Abidin menyebutkan bahwa di antara contoh urf qauli adalah ketika
orang Arab kata tha'am (‫)طعام‬, maka yang dimaksud bukan sekedar makanan,
tetapi burr (‫)بر‬, yaitu gandum. Sedangkan ketika mereka menyebut lahm (‫)تحم‬
maka yang dimaksud bukan sedekar daging melainkan daging kambing.
d. Dalam Perceraian
Sebagaimana kita tahu bahwa lafadz talak itu ada dua macam, sharih dan
kina’i. Lafadz sharih adalah lafadz yang secara tegas menyebutkan kata talak
atau yang searti dan tidak bisa diterjemahkan selain talak. Sedangkan lafadz
kina’i adalah lafadz yang sifatnya sindiran, atau bahasa yang diperhalus
sedemikian rupa, sehingga masih bisa ditafsirkan menjadi lain. Misalnya ketika
suami berkata kepada istrinya,”Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”.
Kalimat ini masih bersayap, bisa bermakna cerai dan bisa bermakna bukan
cerai.
Dalam hal ini, apakah kalimat ini bermakna cerai atau tidak, tergantung
dari ‘urf yang lazim dikenal di suatu masyarakat. Bila masyarakat di suatu
tempat sudah menganggapnya kalimat itu adalah cerai, maka jatuhlah talak
kepada istri. Dan bila urf di masyarakat itu tidak bermakna cerai, maka belum
jatuh talak.

2. Urf Amali
Sedangkan urf amali adalah perbuatan-perbuatan tertentu yang telah
menjadi kebiasaan di tengah masyarakat dan dianggap lazim dan sah
secara hukum.
a. Jual Beli Tanpa Lafadz Akad
Di antara contoh urf amali yang berkembang di tengah masyarakat
adalah akad transaksi yang tidak lewat lafadz perkataan, namun kedua
belah pihak, yaitu penjual dan pembeli, telah bersepakat dan saling rela
untuk bertransaksi.

6
Padahal kalau kembali kepada rukun jual-beli, seharusnya penjual
berkata,"Saya jual barang ini kepada Anda dengan harga sekian", lalu
pembeli harus menjawab dengan lafadz,"Saya beli barang ini dengan
harga sekian, tunai". Namun akad dengan lafadz ini nyaris tidak
digunakan oleh kebanyakan orang di masa sekarang ini, khususnya untuk
jual-beli yang ringan nilainya. Akad jual-beli seperti ini dalam ilmu fiqih
muamalat disebut dengan akad mu'athah (‫)معاطاه‬.
b. Mahar Muqaddam dan Muakhkhar
Di negeri Arab umumnya dikenal urf yang boleh jadi di negeri kita
tidak dikenal, yaitu mahar atau mas kawin dibagi menjadi dua
macam, yaitu muqaddam dan muakkhar. Mahar muqaddam adalah
mahar yang diberikan di awal perkawinan dan mahar muakhkhar
diberikan kemudian.

2.1.4. Syarat- ‘Urf Diterima Sebagai Dalil

Agar sebuah urf bisa diterima sebagai dalil dalam pengambilan hukum, para ulama
menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antara syarat-syarat itu antara
lain :
1. Tidak Bertentangan Dengan Nash
Syarat pertama bahwa urf itu tidak boleh secara langsung bertentangan dengan nash
syariah. Misalnya kebiasaan buruk di tengah masyarakat untuk melakukan riba dan
renten, tentu tidak bisa diterima sebagai ‘urf yang menjadi dalil.
2. Mengandung Maslahat
Syarat ketiga adalah bahwa urf tersebut mengandung banyak maslahat bagi
masyarakat. Misalnya, urf atau kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat bahwa
penjual dan pembeli tidak harus saling bercakap-cakap secara langsung dalam akad jual-
beli. Namun cukup dengan kode atau isyarat saja, asalkan keduanya sama-sama paham
dan mengerti serta saling bersepakat, maka hakikat akad jual-beli sudah dianggap sah.
Sebab kalau setiap akad jual-beli harus dilakukan dengan mengucapkan lafadz ijab dan
kabul, tentu akan merepotkan. Bayang seorang kasir di mini market yang melayani
ratusan pembeli dalam sehari. Kalau tiap pembeli membeli rata-rata 10 item, kita tidak
membayangkan bagaimana mulut kasir akan berbusa.
3. Berlaku Pada Orang Banyak
Syarat ketiga adalah bahwa urf itu berlaku pada banyak orang, dalam arti semua orang
memang mengakui dan menggunakan urf tersebut dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Kalau urf itu hanya berlaku pada sebagian kecil dari masyarakat, maka urf itu tidak
bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
4. Sudah Berlaku Lama
Syarat yang keempat bahwa urf itu harus sudah menjadi kebiasaan yang berlaku secara
kurun waktu yang lama. Dalam kata lain urf itu eksis pada masa-masa sebelumnya dan
bukan yang muncul kemudian.
5. Tidak Bertentangan Dengan Syarat Dalam Transaksi

7
Syarat terakhir bahwa urf itu tidak bertentangan dengan syarat transaksi yang
sudah baku dalam hukum fiqih muamalat.

2.2 HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN KEBUDAYAAN

Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa hukum itu berputar bersama ‘illah (alasan hukum)-
nya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum (al-hukm yadûru ma’a ‘illatih wujûdan wa
‘adaman). Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa perubahan fatwa dapat terjadi
dikarenakan adanya perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan. Jika pendapat ini
diikuti, hukum Islam bersifat responsif dan sekaligus adaptif.
Perubahan mengharuskan respons dari hukum Islam. Sebagai contoh, munculnya
cyptocurrency, seperti bitcoin, misalnya memantik diskusi fikihnya. Dampak teknologi informasi,
dalam beragam interaksi antarmanusia pun perlu dibahas; apakah bisa menikah dengan
bantuan konferensi video, misalnya. Atau, sahkah melakukan talak menggunakan aplikasi pesan
singkat?
Selain itu, penerapan fikih, seperti dicontohkan Rasulullah, tidaklah selalu saklek, kaku.
Sebagai contoh, lihat bagaimana kisah ketika Rasulullah ketika menentukan hukum bagi seorang
sahabat miskin yang berhubungan dengan istrinya di siang hari, padahal dia sedang berpuasa.
“Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut
mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa
yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku
sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau
memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa
dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi
juga menjawab, “Tidak”.
Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam
kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya
tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan,
“Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah,
tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR.
Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).
Budaya juga bersifat sama. Budaya adalah sistem adaptif (Keesing,1974), yang berkembang
sejalan dengan waktu.
Menurut Koentjaraningrat (1979), terdapat tiga wujud kebudayaan: (1) sebagai ide,
gagasan, nilai, atau norma; (2) sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat;
(3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ketiganya bisa kita sebut sebagai artifak yang

8
didefinisikan sebagai “humanly designed, socially objectified vehicles of functional meaning”
(Kessing, 1974).
Dalam Kamus Cambridge, entri ‘culture’ mempunyai beberapa nosi. Ada yang artian luas
mencakup seluruh hasil kerja intelektual manusia, ada yang spesifik terkait dengan seni. Tapi,
nampaknya semuanya sepakat, bahwa budaya tidak bisa dilepaskan dari produk dari manusia.
Saya juga melakukan pencarian daring dengan frasa “fikih budaya” dengan beragam
kombinasi, dan tidak banyak literatur yang bisa saya baca. Salah satunya adalah tulisan Prof. Idri
(2012) dari UIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau menawarkan tiga pendekatan. Pertama, fikih
budaya dalam dapat dibingkai dengan pendekatan historis. Hukum Islam yang sudah
dipraktikkan umat Islam dalam sejarah, bukan semata-mata sebagai aturan hukum syariat.
Kedua, pengembangan fikih budaya perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip bersifat absolut
dan universial. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah: prinsip kebebasan dan
pertanggungjawaban individu; prinsip kesetaraan derajat manusia di hadapan Tuhan; prinsip
keadilan; prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain; prinsip menepati janji dan
menjunjung tinggi kesepakatan; dan prinsip tolong menolong untuk kebaikan. Ketiga, dalam
merumuskan fikih budaya juga perlu menyeimbangkan antara pendekatan tekstual dan
kontekstual. Pendekatan tekstual-kontekstual ini dipilih untuk menyeimbangkan pemahaman
normatif-doktrinal di satu sisi, dan kontekstualisasi dengan unsur-unsur kesejarahan pada sisi
lain.
Karena berbudaya adalah untuk manusia, dan manusia diminta Allah membina kehidupan
yang baik (hayah thayyibah), maka demikian juga dalam berbudaya. Berbudaya juga seharusnya
untuk kebaikan.
Sebagaimana telah diketahui bersama, adat merupakan kebiasaan yang turun temurun dari
nenek moyang. Karena adat adalah suatu perbuatan atau ucapan yang diulang-ulang sehingga
menjadi kebiasaan, entah itu dalam suatu keluarga atau komunitas masyarakat dan daerah.
Oleh sebab itu sering kita dengar ada adat atau tradisi keluarga, yang artinya sesuatu itu sudah
dilakukan berulang-ulang dari nenek moyangnya dalam keluarga. Begitu juga dalam
masyarakat, ada adat atau tradisi masyarakat yang artinya sesuatu itu sudah dilakukan
berulang-ulang dari zama dulu hingga sekarang.
Dalam kajian ushul fiqh, adat memiliki arti perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang
atau aturan (perbuatan dan semacamnya) yang lazim diberlakukan atau dilakukan semenjak
dahulu, sehingga sudah menjadi satu kebiasaan. Sebagaimana adat diartikan sebagai berikut,
‫اع ْال َّسلِ ْي َم ِة‬ ‫ُأل‬
ِ َ‫س ِمنَ ْا ُموْ ِر ْال ُمتَ َك َّر َر ِة ْال َم ْقبُوْ لَ ِة ِع ْن َد الطِّب‬ ِ ُّ‫العّا َدةُ ِعبَا َرةٌ َع َّما يَ ْستَقِر‬.ْ
ِ ْ‫في النُّفُو‬
“segala sesuatu yang berulang-ulang terjadi yang mengakar dalam jiwa dan diterima secara
baik oleh naluri yang jernih.”
Syaikh Wahbah az-Zuhaili, mengutip pendapat Ibnu ’Abidin yang menjelaskan bahwa adat
yang semula berulang-ulang dari satu kesempatan kepada kesempatan yang lain, pada akhirnya
menjadi sesuatu yang dikenal dan menetap di jiwa dan akal, serta diterima tanpa adanya
keterkaitan dan qarīnah. Pada akhirnya, ‘adat semacam ini menjadi haqīqat al-‘urfiyyah.

9
Selain adat, dalam ushul fiqh ada istilah ‘urf. Kata ‘ur sendiri berasal dari kata ‘arafa-
ya’rifu-‘urfan, yang berarti mengetahui. Kemudian secara istilah Ushul Fiqh ‘urf didefinisikan
sebagai:

‫العُرْ فُ ه َُو َما يَتَ َعا َرفُهُ النَّاسُ َو يَ ِس ْيرُوْ نَ َعلَ ْي ِه غَالِبًا ِم ْن قَوْ ٍل َأوْ فِ ْع ٍل‬.ْ

“’Urf adalah sistem komonikasi atau perilaku yang telah dikenal dan dijalani oleh masyarakat.”

Musa Ibrahim dengan redaksi berbeda mendifinisikan ‘Urf juga semakna dengan definisi di atas,

‫ع ال َّسلِ ْي َمةُ بِاْلقَبُوْ ِل‬ ِ ْ‫العُرْ فُ ه َُو َما ا ْستَقَ َّر فِي النُّفُو‬.ْ
ُ ‫س َو تَلَقَّ ْتهُ الطِّبَا‬

“Sesuatu yang telah menetap dalam jiwa dan telah diterima dengan baik oleh naluri yang bersih
dan sehat”

Kemudian setelah memahami apa yang dimaksud dengan adat, perlu juga memahami dalil
tentang kebolehan menjadi adat sebagai dasar perbuatan umat Islam. Bagi para ulama, adat
tidak hanya sekedar diikuti saja, bahkan adat bisa dijadikan dalil bagi suatu perbuatan umat
Islam. Para ulama madzhab yang menjadi adat sebagai dasar hukum berargumen dengan ayat
Al-Qur’an sebagai berikut,

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


]199 : ‫ف َوَأ ْع ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهلِينَ [األعراف‬

”Jadilah engkau orang yang pema’af dan suruhlah orang-orang mengerjakan dengan ‘Urf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [QS. Al-A’rāf (7):199]

Yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat di atas adalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan
hal-hal yang biasa mereka lakukan sehingga jiwa mereka menjadi tenang dan damai. Hal ini juga
didasarkan pada perkataan Ibnu Mas’ud yang kemudian dikenal dengan Hadits mauqūf, yaitu:

‫ َما َرآهُ ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن‬.

“Apa yang dipandang oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik, maka menurut Allah
hal itu juga baik.“

Hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang telah dikenal sebagai hal yang baik di
kalangan kaum muslimin adalah termasuk perkara baik yang mendapat pengakuan dari Allah
swt. Tentu, pengakuan dari Allah sebagai bukti bahwa kebiasaan yang baik itu merupakan satu
kebenaran dan bisa dijadikan dalil.
Dari deskripsi ini, jelaslah bahwa persoalan adat atau tradisi sebagai bagian dari sumber
hukum Islam, dalam tataran praktis-‘amaliy kehadirannya senantiasa ada. Maka tidak heran
kalau kemudian terdapat sebuah kaidah:

ْ
ٌ‫ال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬.

“Adat kebiasaan itu bisa dijadikan dasar hukum.“

Lalu yang dimaksud dengan adat atau tradisi yang boleh dilakukan atau dijadikan dasar
hukum, adat atau tradisi yang bagaimana? Tentu, jika melihat adat atau tradisi tidak semuanya

10
bisa dilakukan terlebih dijadikan dasar hukum. Oleh sebab itu, ada adat atau tradisi yang baik
dan yang buruk.
Dalam ushul fiqh diistilahkan adat atau tradisi shahih yaitu kebiasaan masyarakat yang
tidak bertentangan dengan dalil syar`iy. Dalam arti, tidak mengharamkan sesuatu yang halal,
tidak membatalkan sesuatu yang wajib, tidak menggugurkan cita kemaslahatan, dan tidak
mendorong timbulnya mafsadah. Seperti kebiasaan masyarakat yang memberikan bingkisan
berupa kain atau perhiasan kepada kekasihnya –biasanya diberikan ketika bertunangan–
sebelum dilangsungkannya akad nikah, dimana semua itu dianggap sebagai hadiah bukan mas
kawin.
Kemudian adat atau tradisi yangfāsid, yaitu tradisi yang berlawanan dengan dalil syari’ah;
menghalalkan keharaman maupun membatalkan kewajiban, serta mencegah kemaslahatan dan
mendorong timbulnya kerusakan. Contohnya adalah kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah yang
mengubur anak perempuan hidup-hidup karena dianggap sebagai aib, atau tradisi taruhan,
menggandakan uang (rentenir), berpesta-pora, dan lain sebagainya. ‘Urf jenis kedua ini sudah
pasti tidak akan mendapatkan legitimasi syara’.
Berdasarkan dari pengertian, dalil-dalil, pendapat ulama dan pembagian adat dan tradisi,
sudah jelas bagi umat Islam Bali dalam mengikuti adat umat Hindu. Hanya cukup memilah dan
memilih adat yang bagaimana yang boleh diikuti sesuai hukum fikih dan adat seperti apa yang
tidak boleh sesuai ketetapan hukum fikih.

Dalam wilayah adat istiadat, fiqh mempunyai peran tersendiri yang begitu penting dalam
perumusan hukumnya. Fiqh seharusnya bersifat fleksibel dan tidak mengikat kepada satu
hukum tertentu. Namun yang terjadi di tengah masyarakat adalah fiqh terkadang di jadikan
sebagai norma dogmatis yang mana fiqh itu adalah suatu kepastian dan tidak bisa di ganggu
gugat dan orang yang sudah berbeda fiqhnya di anggap telah keluar dari ajaran agamanya.
Padahal di satu sisi fiqh adalah suatu ilmu yang dapat menjawab tantangan-tantangan
permasalahan di tengah masyarakat sesuai pengertiannya secara bahasa yang berarti
faham.sedangkan dalam pengertian syara’nya fiqh di artikan oleh hasbie as siddiqie sebagai
suatu ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang di peroleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Dalam pengertian ini di sebutkan bahwa fiqh itu hanyalah sebuah persangkaan atau penafsiran
terhadap dalil dari nash yang bersifat qoth’i (tetap) yaitu al qur’an dan hadist. Ini menjelasakan
bahwa produk fiqh itu tidak tetap, akan tetapi fleksibel dan bisa menjawab persoalan-persoalan
baru di tengah masyarakat yang sangat kompleks.
Dalam perumusannya fiqh juga mempunyai asas-asas yang bersifat sebagai landasan, atau
yang biasa di sebut dengan kaidah fiqh,di dalam kaidah fiqh pula terdapat satu kaidah yang
cukup populer yaitu al aadah muhakkamah yang berarti adat(kebiasaan) itu bisa di jadikan
sumber hukum. Penerapan kaidah ini juga tak lepas dari pemahaman bahwa syari’at islam itu
sendiri banyak yang di pengaruhi oleh adat masyarakat arab waktu itu. Teori al aadah
muhakkamah ini sendiri pertama kali di aplikasikan oleh imam abu hanifah meskipun belum
terpaparkan secara lengkap.
Sebagai contoh adalah ketika masyarakat baghdad waktu itu bertransaksi dengan tanpa
adanya ijab qobul, namun ini sudah menjadi kebiasaan dan masyarakat pun faham akan hal ini,
kalau di lihat secara zdohirnya maka kebiasaan ini bertentangan dengan hadist nabi yang
mewajibkan setiap transaksi jual beli itu harus di sertai akad, namun kalau di lihat dari

11
substansinya masyarakat baghdad saat itu sudah mengerti tanpa adanya sighot yang di
ucapkan,dan imam ab hanifah memperbolehkan akan hal itu.
Sebagai contoh lain, islam juga angat menghormati akan adat sebuah kelompok
masyarakat bahkan mengenai ibadah yang mana pada waktu itu ka’bah di anggap sebagai
tempat yang sangat keramat dan banyak di kelilingi oleh patung-patung sekaligus sebagai
tempat ibadah orang jahiliyyah,kemudian islam datang dengan memerintahkan shalat yang
mewajibkan menghadap qiblat sebagai pedoman, dan qiblat itu adalah ka’bah. Hal ini menurut
ulama’ karena islam menghormati ka’bah sebagai tempat ibadah yang menjadi adat kebiasaan
masyarakat jahiliyyah.
Selain dari pada peran budaya dalam konteks pensyariatan islam juga terdapat faktor-
faktor-faktor lain yang ada dalam hukum islam, salah sat faktor tersebut adalah maslahah.
Najmuddin at tufi seorng cendekiawan islam kontemporer menawarkan konsep maslahah
sebagai tinjauan hukum islam. Menurutnya inti dri seluruh ajaran islam yang termuat dalam
nash adalah maslahah bagi ummat manusia, karenanya bentuk kemaslahatan di syari’atkan dan
kemaslahatan itu sendiri tidak perlu mendapat dukungan dari nash.baik oleh nash terntu
maupun makna yang terkandung dalam suatu nash.
Maslahah adalah dalil paling kuat dalam menentukn hukum syara’, sekuat apapun nashnya
apabila di rasa bertentangan dengan maslahah maka maslahah yang harus di utamakan, hal ini
pernah di lakukan oleh sahabat ali RA ketika terjadi konflik kekuasaan antara ali dan muawiyah.
Tujuan utama di syari’atkannya hukum islam adalah untuk melindungi kemaslahatan
manusia, namun demikian hukum islam dalam hal ini bersifat umum yaitu nash yang qoth’i yang
tedapat di dalam al qur’an maupun hadist, sedangkan pemahaman terhadap nash-nash melalui
pemahaman bahasanya,sebab-sebab turunnya dan lain-lain di dunia keilmuan islam di sebut
dengan ijtihad, hasil ijtihad ulama’ terhadap nash terkadang berbeda,. bahkan hampir seluruh
ulama’ itu berbeda pandangan dalam memahami nash,ini tidak dapat di pungkiri karena
perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah yang harus di terima.
Dalam ruang lingkup ijtihad ini ulama’ tidak serta merta memberikan fatwa melainkan
dengan analisis yang tepat,hal terbesar yang perlu di pertimbangkan adalah maslahah,di mana
dalam hal ini seorang yang ijtihad harus mencakup keseluruhan aspek dari kemaslahatan yang
mencakup tiga hal yaitu maslahah dharuriyat,hajiyat dan tahsiniyat.
Di samping permasalahan tersebut memang harus ada peninjauan terhadap konsep
kemaslahatan, karena hampir semua pandangan manusia itu berbeda,belum tentu apabila ada
kelompok yang menganggap suatu perkara itu baik dan di anggap baik pula oleh kelompok yang
lain bahkan boleh jadi suatu perkara yang di anggap baik itu bisa jadi di benci dan di anggap
oleh kelompok lain. Ini berlaku dalam hal apapun baik dalam kehidupan beragama,berbudaya
mapun dalam keilmuan.
Dalam kehidupan berbudaya suatu kelompok pasti akan sangat membanggakan budaya
nenek moyangnya karena itu merupakan suatu identitas dan harga diri yang harus di jaga dan di
lestarikan. Tidak ada satupun yang dapat mempengaruhi budaya apalagi budaya itu sudah
melekat kuat yang di wujudkan sebagai simbol,. termasuk agama, yang dalam ini merupakan
suatu kemustahilan bagi agama untuk bisa secara langsung merubah mindset suatu budaya,
bahkan bisa di katakan agama harus melebur dulu dalam suatu budaya agar ia bisa di terima
secara terbuka, budaya di gambarkan sebagai norma dogmatis di mana budaya itu merupakan
harga mati yang harus di pertahankan dalam kehidupan bermasyarakat,yang sedari kecil kita
sudah di tanmkan oleh orang-orang tua kita agar menghormati budaya turun temurun yang di

12
wariskan nenek moyang kita,inilah salah satu alasan mengapa tugas ulama’ itu di katakan
sangat berat,di satu sisi harus berijtihad dalam memahami nashnash yang ada sedangkan di sisi
lain harus memecahkan masalah apabila nash bertolak belakang dengan budaya sehingga
hukum agama bisa di terima dengan baik sesuai dengan misinya untuk mensyi’arkan ajaran
agama sebagai pengganti dari para rosul.
Budaya berjilbab sendiri sudah ada sejak sebelum islam datang, masyarakat arab waktu itu
khususnya wanitanya selalu memekai jilbab atau khimar dalam tata cara berpakaian, bisa di
katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang terhormat di kalangan masyarakat arab, berbeda
dengan masyarakat romawi yang memang setiap harinya terbiasa tanpa jilbab, mereka lebih
suka rambutnya panjang dan terurai dan ini juga di anggap terhormat oleh paradigma
masyarakat romawi.
Hukum islam dan budaya berjilbab sangat berkaitan erat sampai-sampai jilbab sudah
menjadi sebagian dari simbol agama,jilbab bukan lagi di pandang sebagai budaya melainkan
suatuu dogma yang paten, bukan lagi budaya arab melainkan salah satu produk hukum islam.
Seiring berkembangnya zaman pula sekarang ada juga yang mengklasifikasikan beberapa model
jilbab,ada jilbab yang syari’ah dan ada juga yang tidak syari’ah.
Ini tak lepas dari sebuah paradigma berijtihad yang menganggap bahwa jilbab itu sudah
ada klasifikasinya dalam agama dan tida bisa di tawar lagi, apabila ada yang tak sesuai dengan
klasifikasi itu maka ia telah menympang dari ajaran agama. Padahal reaktualisasi keilmiahan
hukum islam juga perlu di perhatikan, alasan-alasan mengapa jilbab itu di perintahkan,sebab
apa yang melatar belakangi di perintahkannya jilbab, seberapa besarkah pengaruh budaya
dalam pensyari’atan jilbab, bagaimana apabila menghadapi sebuah masyarakat adat yang
pakaiannya tanpa jilbab, hal-hal ini yang perlu kita kaji ulang, bagaimana cara
mengaktualisasikan tujuan hukum islam sebagaiaman hadist nabi yang berbunyi ad-diinu
yusrun yang berarti agama itu mudah dan tidak mempersulit namun juga tidak
meremehkan,yang pnting bagaimana caranya substansi dalam ajaran islam itu sendiri tersirat
tanpa adanya perbedaan dengan suatu budaya.

13
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Pada dasarnya Ilmu fiqih dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan karena adanya ilmu
fiqih untuk memperbaiki manakala ada kebudayaan yang melenceng dari hukum islam
kalaupun kebudayaan itu adalah sebuah kebaikan maka sudah barang tentu akan di
kuatkan oleh fiqih itu sendiri

2. SARAN

Seyogyanya setiap mahasiswa muslim paham betul agar tidak salah menafsirkan dan
bisa menyikapi kebudayaan dan ilmu fiqih itu sendiri

DAFTAR PUSTAKA

https://id.m.wikipedia.org/wiki/BudayaBudaya

https://www.uii.ac.id/fikih-budaya-berbudaya-untuk-kebaikan/

https://www.aswajadewata.com/budaya-yang-dibolehkan-menurut-fikih/

https://www.kompasiana.com/amamur/56d5ce05f57a61b8240d34cf/fiqih-dan-budaya?page=2

14

Anda mungkin juga menyukai