Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS PRA KODIFIKASI

Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyusun makalah Sejarah perkembangan Pra kodifikasi Hadist.

Sholawat serta salam marilah kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai sang
pendidik sejati, serta para sahabat, thabi’in dan para ummat yang senantiasa berjalan sesuai risalahnya.

Tujuan penulisan makalah ini adalah tidak lain untuk lebih mengkaji dan memperdalam pengetahuan
kita tentang ulumul hadist.

Meskipun demikian kami mengakui bahwa apa yang kami sajikan ke dalam makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, kritik dan saran dari Bapak Habib bawafi
selaku dosen pengampu ulumul hadist, sangat kami harapkan untuk perbaikan selanjutnya, jikalau di
dalam makalah ini terdapat kebenaran dan kegunaan, semua itu berasal dari Allah SWT. Sebaliknya,
kalau di dalamnya terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan semuanya itu karena kekurangan dan
keterbatasan kami sendiri.

Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Habib Bawafi yang telah memberikan
kesempatan bagi kami untuk mengkaji materi ini.

Semoga makalah ini bermanfaat dan mendapat ridha dari Allah, aamiin.

Blitar, 20 Februari 2016

Penulis

KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I:

A. PENDAHULUAN……………………………………………1

B. LATAR BELAKANG……………………………………………...…1

C. RUMUSAN MASALAH……………………………...

D. TUJUAN PENULISAN………………………………......................

BAB II : PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN SEJARAH MASA PRA KODIFIKASI……..

2. HADIST PADA MASA NABI…………………………….

3. HADIST PADA MASA SAHABAT………………………

4. HADIST PADA MASA TABI IN………………………………

BAB III: PENUTUP

KESIMPULAN………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS PRA KODIFIKASI

A. PENDAHULUAN
Sejarah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari peristiwa penting masa lalu manusia.
Pengetahuan sejarah meliputi pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta
pengetahuan akan cara berpikir secara histories.

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad
SAW. Hadits merupakan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas.

Secara struktural maupun fungsional Hadis telah disepakati oleh mayoritas kaum Muslimin dari berbagai
mazhab Islam, sebagai sumber ajaran dan pedoman hidup yang menduduki posisi kedua setelah al-
Qur'an. Hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis yang ada telah melalui proses penelitian
ilmiah yang rumit dan mendapat perhatian yang khusus sejak dari masa pra kodifikasi sampai dengan
saat ini sehingga menghasilkan kualitas Hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya.

B. LATAR BELAKANG

Islam mengenal dua sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dan kedua al-
Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut. Al-Qur’an sejak
awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari
kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya,
sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisiatif para sahabat.

Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan
ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada
zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan
disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.

Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad
SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan
otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai
persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun
sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh atau tersedia secara materil
ketika Nabi Muahammad SAW. wafat. Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali
mengandung petunjuk yang praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai
aktivitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang
bersandar pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-
kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang
merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah.
Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari
referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut
dengan hadits.
C. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah sejarah masa pra kodifikasi hadist?

2. Bagaimanakah keadaan hadist pada masa nabi?

3. Bagaimanakah keadaan hadist pada masa sahabat?

4. Bagaimanakah keadaan hadist pada masa tabi in?

D. TUJUAN PENULISAN

BAB II

PEMBAHASAN

Ilmu Hadits Pra Kodifikasi

Masa pra kodifikasi hadits berarti masa sebelum hadis dibukukan, dimulai dari sejak munculnya hadits
pertama yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dengan rentang waktu yang dilalui masa pra kodifikasi
ini mencakup dua periode penting dalam sejarah transmisi hadits, yaitu periode rasulullah saw dan
periode Sahabat. Pada dua periode ini metode transmisi yang digunakan kebanyakan adalah metode
lisan. Meskipun demikian, tidak sedikit juga para Sahabat yang melakukan pencatatan hadits secara
personal, walaupun pada permulaan turunnya wahyu, Rasulullah Saw pernah melarang para sahabat
untuk mencatat selain al-Quran. Akan tetapi larangan tersebut bukanlah larangan yang bersifat mutlak,
atau larangan tersebut merupakan larangan yang bersifat sementara, sampai para Sahabat benar-benar
dapat membedakan antara Al-Quran dan Al-Hadis. Hal itu terbukti dengan adanya beberapa Sahabat
yang mendapatkan izin dari beliau untuk melakukan pencatatan hadits, seperti Abdullah bin Amr ra,
Rafi' bin Khadijah

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada masa pra kodifikasi ini sebagian besar hadits telah
ditransmisikan melalui lisan dan hafalan. Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi tingkat
keotentikan hadits-hadits tersebut. Karena para Sahabat yang menjadi agen transmiter dalam hal ini,
disamping sosok mereka yang sangat loyal terhadap Rasul Saw dan terpercaya, mereka juga dikaruniai
hafalan yang kuat, sehingga dengan itu, kemampuan mereka untuk mentransmisikan hadits dari
Rasulullah Saw secara akurat tidak diragukan lagi. Selain itu sejumlah Sahabat juga telah
mentransmisikan hadits melalui catatan-catatan yang mereka buat hal itu dapat dibuktikan dengan
adanya bebrerapa shahifah yang pernah ditulis pada rentang masa tersebut. Berikut ini adalah beberapa
shahifah yang dimaksud:

Shahîfah al-Shadiqah, ditulis oleh Abdullah bin Amr ra.

Shahîfah Jabir bin Abdullah ra.

Shahîfah Ali bin Abi Thalib ra.

Shahîfah Hammam bin Munabbih, ditulis oleh Hammam dari riwayat Abu Hurairah ra.

Shahîfah Samurah bin Jundub ra.

Shahîfah Sa'd bin Ubadah ra.

Hadist pada Masa Rasulullah SAW

Urgensi hadis dalam penentuan sikap terhadap berbagai makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-
Quran atau sebagai kewenangan tersendiri bagi Rasulullah Saw, bagi para sahabat, memiliki kedudukan
yang khas dan sejarah tersendiri yang tidak bisa lepas dari aspek budaya dan peradaban saat itu. Sikap
para sahabat tersebut, ditinjau dari aspek kebudayaan saat itu, meliputi dua titik persoalan yang utama,
yakni perhatian dan tradisi mereka terhadap budaya lisan dan tulisan. Kedua aspek ini, dalam salah satu
tinjauan riwayat Abu Hurairah, berlaku secara bersamaan dan menjadi tradisi yang mengakar bagi
generasi selanjutnya. Dalam Shahih al-Bukhari Kitab al-Ilmu, Bab Kitabah al-ilm dinyatakan bahwa Abu
Hurairah pernah berkata, "Tidak ada seorang pun sahabat Nabi Saw yang lebih banyak hadisnya
daripada diriku selain Abdullah bin Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak". (Shahih al-Bukhari)

Penyampaian hadis secara lisan merupakan hal mendasar dalam tradisi saat itu. Bahkan setelah koleksi
tertulis hadis disusun, penyampaian hadis secara lisan masih ideal. Kelisanan, dalam sistem ini,
merupakan kebajikan bukan sebaliknya. Seperti hal yang meremehkan bukti tertulis, dan lebih menyukai
pembuktian lisan langsung, ulama hadis pun menekankan superioritas penyampaian hadis secara
langsung, pribadi, dan lisan. Nilai tulisan hanyalah untuk membantu mengingat

Cara Rasul Menyampaikan Hadist

Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam
dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana tempat-
tempat yang digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah masjid, rumah beliau sendiri,
dan pasar ketika beliau dalam perjalanan (safar).
Dalam riwayat Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW,
menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti
pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah

Melalui para jama'ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.

Melalui para sahabat-sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.

Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan Futuh Makkah.

Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau
menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Nabi,
mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.

Keadaan para sahabat dalam meneriama dan menguasai hadist

Dalam perolehan dan penguasaan hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama,
ada yang memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini disebabkan karena:

Perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.

Perbedaan dalam soal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.

Perbedaan dalam hal waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.

Perbedaan dalam ketrampilan menulis, untuk menulis hadist.

Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW antara lain adalah:

Para sahabat yang termasuk As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin
Affan, Ali bin Abi Tahlib.

Ummahat Al-Mu'minin (istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya
banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami istri.

Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti
Abdullah Amr bin Ash.

Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan
kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu Hurairah.

Sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain
seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.

Aktifitas menghafal hadist


Untuk memelihara kemurnian al-Qur'an dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur'an
beliau memberi instruksi untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedangkan terhadap hadist beliau
secara resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.

Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi
kekeliruaan dengan Al-Qur'an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat,
diantaranya adalah:

Kegiatan menghafal merupakan budaya Arab yang telah ada sejak zaman praIslam.

Mereka terkenal kuat hafalan jika dibanding bangsa-bangsa lain.

Rasulullah banyak memberi spirit melalui doa-doanya agar mereka diberikan kekuatan hafalan dan
dapat mencapai derajat yang tinggi.

Dan Rasul sering kali menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafalkan hadist dan
menyampaikan kepada orang lain.

Aktifitas menulis hadist

Keadaan Hadis pada masa Nabi Muhammad SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada
beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi SAW
dengan sabdanya

‫التكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمحه‬.

" jangan menulis apa-apa selain Al-Qur'an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur'an
hendaklah menghapusnya". (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)

Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan
hadist, yaitu sabda Nabi SAW:

‫اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن االالحق‬.

"tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari mulutku kecuali yang
hak".

Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:

Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak
tercampur dengan Al-Qur'an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah
banyak yang mengenal Al-Qur'an, maka hukum larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah
yang membolehkannya.

Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi
orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak
akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.
Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis,
sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya.

Hadist pada Masa Sahabat

Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin
(Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H
sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.

Menjaga Pesan Rasul SAW

Pada masa menjelang kerasulannya, Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang
teguh kepada Al-Qur'an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya :

‫تركت فيكم أمر يى لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب هللا وسنة نبيّه‬

"Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada
keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur'an) dan sunnahku (Al-Hadist) " H.R Malik

Pesan-pesan Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian
yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka
kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.

Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist

Perhatian sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-
Qur'an, ini terlihat bagaimana Al-Qur'an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar Ibn Khattab,
usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani
satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi masing-masing disimpan
di Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah.

Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadis
dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur'an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur'an. Sebab
lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai
daerah kekuasaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga
dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal
membukukan hadist dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi
terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.

Periwayatan Hadist dengan Lafadz dan Makna.


Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat
kehati-hatiannya, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batasan-batasan tertentu
hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut
dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.

Ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:

Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para
sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan
redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.

Kedua, periwayatan maknawi (maknanya saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang
matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau maknanya
tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan.

Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya
Al-Qur'an, hal ini disebabkan karena:

Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur'an.

Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah
kekuasaan Islam.

Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi
terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.

Hadist Pada Masa Tabi'in

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi'in tidak berbeda dengan yang dilakukan
oleh para sahabat sebagai para guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak
berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu
mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa' Al-Rasyidin
kebeberapa wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah para tabi'in mempelajari hadist.

Ketika pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi Makkah,
Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol. Sejalan
dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga
meningkat. Oleh sebab itu, masa ini dikenal masa penyebaran periwayatan hadist dan masa pembukuan
hadis

Hadist-hadist yang diterima para tabi'in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-
catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan
dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling
melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.
Sampai pada akhirnya fakta sejarah menunjukkan bahwa pada abad pertama perkembangan hadis,
sebagian perawi mencatat hadis-hadis dari para pendahulunya, sedang yang lain tidak mencatatnya.
Dalam meriwayatkannya mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian
terus berlangsung hingga masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan. Beliau memerintahkan Kasir bin
Murrah al-Hadhrami untuk menulis semua hadis dari para sahabat Rasulullah yang dapat diperolehnya,
kecuali hadis-hadis dari Abu Hurairah, karena ia sudah memilikinya. Umar bin Abdul Aziz, diriwayatkan,
telah mengeluarkan perintah kepada Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, Gubernur Madinah
untuk men-tadwin (mengkodifikasikan) hadis. Selain itu, ia juga memerintahkan kodifikasi hadis kepada
Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H). Imam Malik dalam al-Muwatta meriwayatkan perintah Umar tersebut
sebagai berikut, "Lihat dan telitilah hadis-hadis Rosulullah, sunahnya, hadis Umar atau sebagainya, lalu
tulislah, karena aku takut akan hilang dan punahnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama".

Selain itu Umar berpesan agar Ibnu Hazm mencatat hadis-hadis yang ada pada Amrah binti
Abdurrahman seorang wanita Anshar anak al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Abu Nu'aim
meriwayatkan bahwa Umar juga mengirim surat ke beberapa daerah, bunyinya sebagai berikut,
"Telitilah hadis-hadis Rasulullah, lalu kumpulkanlah". Perintah Umar bin Abdul Aziz rupanya telah
berhasil membangkitkan minat para ulama untuk semakin meningkatkan usaha pengkodifikasian hadis.

C. KESIMPULAN

Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya,
berikut uraiannya.

1. Hadist pada masa Rasul SAW

Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:

Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, masjid, rumah beliu, pasar (ketika
dalam perjalanan), ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka seperti ketika haji wada' dan Futuh
Makkah.

Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist, sesuai dengan kapasitas masing-masing
sahabat.

Pemeliharaan hadist melalui hafalan, tulisan dan shahifah.

2. Hadist pada masa sahabat

Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan
secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :

Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur'an.


Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah
kekuasaan Islam.

Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi
terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.

3. Hadist pada masa tabi'in

Pada masa ini dikenal sebagai masa penyebaran periwayatan hadist keberbagai penjuru. Dan pada masa
pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan. Beliau memerintahkan Kasir bin Murrah al-Hadhrami untuk
menulis semua hadis dari para sahabat Rasulullah yang dapat diperolehnya, kecuali hadis-hadis dari Abu
Hurairah, karena ia sudah memilikinya. Umar bin Abdul Aziz, diriwayatkan, telah mengeluarkan perintah
kepada Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk men-tadwin
(mengkodifikasikan) hadis. Selain itu, ia juga memerintahkan kodifikasi hadis kepada Ibnu Syihab Az-
Zuhri (w. 124 H). Imam Malik dalam al-Muwatta meriwayatkan perintah Umar tersebut sebagai berikut,
"Lihat dan telitilah hadis-hadis Rosulullah, sunahnya, hadis Umar atau sebagainya, lalu tulislah, karena
aku takut akan hilang dan punahnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama.

_____________________________________________________----

DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier, ilmu hadist, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002

Al- Ramaharmuzi, Al-Muhaddis Al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-wa'I (Beirut: Al-Fikr)

Imam Malik, al-Muwatha' juz 2. Hlm 56. periwayat lain adalah Abu Daud, al-Tirmidzi, dan sa'ad ibn
Majjah.

Anda mungkin juga menyukai