Bab 2. Cara Kerja Ilmu
Bab 2. Cara Kerja Ilmu
Selanjutnya, adalah Aristoteles yang mengenalkan abstraksi atas aneka pengalaman akan
realitas yang sifatnya partikular (khusus) bagi perumusan pengetahuan yang sifatnya
universal (umum). Sebagai hasil pemeriksaan a-posteriori itu diperoleh suatu
"pengetahuan melalui sebab-musabab". Ilmu-ilmu dalam katagori ini disebut ilmu-ilmu
empiris. Contoh: fisika.
Dari uraian ini jelas bahwa Plato mengutamakan model atau pendekatan a-priori, yang
mengutamakan proses deduksi, dan Aristoteles melengkapinya dengan pendekatan a-
posteriori, yang mengandalkan proses induksi.
Pernyataan kedua disebut premis minor, karena mengungkapkan sesuatu yang diterima
sebagai hal yang benar dalam wilayahnya yang terbatas. Untuk contoh diatas, premis
minor adalah misalnya:
Dari kedua premis itu ingin ditegakkan kesimpulan. Logika mengajarkan bahwa proses
penyimpulan itu menghasilkan kesimpulan yang berupa pernyataan sebagai berikut:
Bentuk silogisme (1) disebut "modus ponendo ponens" (MPP), menegaskan sesuatu (disini
q) sesudah menegaskan yang lain (disini p). MPP hanya mengulangi apa yang sudah
ditegaskan. Meskipun demikian sebagai suatu prinsip penalaran (untuk memperoleh
kesimpulan), MPP merupakan prinsip yang patut diandalkan, sebab prinsip itu tidak akan
pernah membawa seseorang, sekurang-kurangnya, dari premis-premis yang benar
diperoleh konklusi yang salah.
Bentuk (4) disebut "modus tollendo tolens" (MTT), mengungkiri sesuatu (disini p)
berdasarkan pemungkiran yang lain (disini q). Bentuk ini penting dalam cara kerja
pengetahuan empiris. MTT juga patut diandalkan dalam penalaran, karena prinsip itu tidak
akan pernah membawa seseorang dari premis-premis yang semuanya benar kepada
konklusi yang salah.
Bentuk (1) dan (4) merupakan dua bentuk deduksi, sedang bentuk (2) dan (3) tidak diberi
nama, karena tidak ada yang dapat disimpulkan.
Dua pola penalaran lain patut dicatat disini karena memang penting. Premis mayor berupa
suatu asumsi, yaitu suatu pernyataan yang pada tahap ini dilontarkan sebagai sesuatu yang
benar.
Bentuk (6) pada dasarnya bertumpu pada kenyataan, jika sebuah kontradiksi atau sesuatu
yang "absurd" diperoleh atas dasar atau dari sebuah asumsi, maka pastilah asumsi itu tidak
dapat diterima sebagai hal yang benar.
2
3
Data empiris dapat "mengalahkan" atau menolak sebuah hipotesis, dapat pula menjadi
alasan untuk menyempurnakan hipotesis, namun tidak pernah dapat dipakai untuk
membuktikan secara tuntas berlakunya sebuah hipotesis.
Setiap hukum bersifat empiris dan harus diperiksa kebenarannya atau digugurkan dari
kedudukannya berdasarkan data empiris. Hukum-hukum yang terdapat dalam peristiswa
serumpun dapat pula digabungkan dalam suatu hukum yang bersifat umum, menuju
kepada pembentukan sebuah teori.
Teori merupakan pandangan umum mengenai realitas, merupakan wujud dari usaha untuk
mengkonsilidasikan perbendaharaan pengetahuan, agar diperoleh gambaran yang "efisien".
Selama sebuah teori memiliki daya-terang yang menjelaskan kedudukan atau keterbatasan
hukum, maka teori itu berguna.
Dari berbagai jenis ilmu-ilmu kemanusiaan patut disebut ilmu-ilmu sosial, yang antara lain
mencakup antropologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu sejarah. Masing-masing
ilmu memiliki metode sendiri, sekalipun metode-metode itu memiliki pola yang sama
seperti disebut dimuka.
Tugas:
(1) Cobalah resapi hakekat ilmu-ilmu sosial tersebut!
(2) Buatlah suatu model untuk mempelajari sejarah.
Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan tidak mudah mengamati mana sebab dan mana akibat.
Oleh sebab itu dalam membuat penelitian dalam bidang ilmu-ilmu ini perumusan hipotesis
merupakan langkah yang penting dan tak boleh dihindari.
5. Cara kerja ilmu-ilmu pasti (logika dan matematika) bertolak dari sejumlah faham
dasar, aksioma atau patokan kerja yang tak bertentangan satu sama lain, yang ditentukan a-
priori. Dari faham dasar itu ditarik dalil-dalil berguna. Itulah yang dikerjakan oleh David
Hilbert dalam buku terkenalnya Grundlagen der Geometrie. Dibuatnya pernyataan tentang
adanya 3 obyek, yaitu titik, garis dan bidang. Dari sana dibuat pernyataan awal
("aksioma") yang bersangkutan dengan tiga kata itu. Lalu Hilbert membuat hampir semua
pernyataan yang sekarang dikenal sebagai dalil geometri berdasarkan deduksi saja. Maka
pada dasarnya geometri dapat diajarkan baik kepada orang buta maupun kepada komputer.
Matematika berurusan dengan obyek atau obyek-obyek. Biasanya berawal dari obyek
primitif, misalnya angka utuh positif 1,2, 3, ... Dari sana dibentuk himpunan obyek-obyek
3
4
(yang memiliki kesamaan sifat), fungsi dan himpunan fungsi-fungsi, serta korespondensi
antar fungsi ("operator"), himpunan korespondensi-korespondensi (yang memiliki
kesamaan sifat), ... Semua merupakan obyek-obyek matematika, yang dapat saja "konkrit"
dalam arti digali dari atau dapat dikaitkan dengan realitas fisis (sekurang-kurangnya
inderawi, misalnya lingkaran), namun dapat juga sesuatu yang sifatnya "abstrak" (misalnya
obyek matematika yang disebut "titik" dan "bilangan imaginer" yang bentuk primitifnya
dilambangkan dengan huruf i dan yang secara operasional didefinisikan sebagai " ").
Harus dicatat bahwa yang diperlukan bukanlah apakah obyek-obyek itu, melainkan apakah
yang dapat dikatakan ("allowable statement") mengenai obyek-obyek itu. Itulah definisi,
yang pada dasarnya bersifat membatasi. Maka jika dibuat pernyataan bahwa "titik adalah
sebuah obyek yang tak memiliki panjang atau lebar", itu bukan definisi, karena dalam
pernyataan itu "panjang" atau "lebar" masih harus diberi arti.
Matematika sering dinyatakan sebagai ilmu untuk mengambil konklusi yang perlu.
Pertanyaannya: konklusi yang mana? Satu deretan silogism bukanlah matematika. Dalam
matematika dicermati pernyataan-pernyataan yang ringkas namun mencakup bagian
terbesar dari kasus-kasus khusus. Dalam matematika juga dihargai argumentasi yang
meyakinkan serta pembuktian yang manis ("elegan" dan "indah"). Dan itu berarti bukan
sekedar logika serta proses deduksi, namun lebih mengenai metode. Bahkan ciri khas dari
matematika adalah bahwa semuanya terselenggara secara efektif dan efisien, tanpa
membatasi obyek-obyeknya.
Akhirnya, pastilah ada paham yang mendasari semua semua teori yang dihasilkan oleh
kajian matematika. Maka ada usaha serius untuk mencermati fondasinya, diatas mana teori
dan bangunan matematika itu dibentuk.
6. Apa yang dapat dikatakan tentang "engineering" atau ilmu-ilmu teknik itu?
Yang disebut ilmu-ilmu teknik adalah ilmu-ilmu yang di UGM diajarkan dan diteliti
sekurang-kurangnya di Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas teknologi Pertanian.
Pada umumnya disepakati bahwa dalam ilmu-ilmu teknik ada unsur-unsur yang
membuatnya dapat dikatagorikan sebagai ilmu empiris, tetapi juga ada unsur-unsur dari
ilmu pasti juga. Dalam ilmu-ilmu teknik sasaran pokok bukan kebenaran dan hikmat,
melainkan keputusan yang benar. Menurut Theodore von Karman, seorang ilmuwan
teknik (dengan latar belakang penguasaan aktif tentang ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu
pasti): Scientists explore what is, engineers create what has never been.
Jika diterima bahwa misi ilmu-ilmu pada dasarnya adalah pembebasan manusia (sekurang-
kurangnya dari himpitan ketidak-tahuan = tanpa ilmu dan tanpa pengetahuan, serta dari
lubang kebodohan dan kedunguan), maka misi ilmu-ilmu teknik adalah pembebasan
4
5
manusia dari keterbatasan fisiknya. Dalam pengertian itu ilmu-ilmu teknik mengawali
kerjanya dengan membuat spesifikasi, yaitu perangkat pernyataan yang diterima sebagai
hal yang benar menuju terwujudnya pembebasan manusia dari keterbatasan fisik tersebut.
Spesifikasi dapat bersifat universal, namun yang bersifat lokal atau temporal sering sudah
memadai.
Jika dalam ilmu-ilmu teknik sasaran bukan kebenaran, patut ditanyakan apakah yang
disebut kebenaran dalam ilmu-ilmu ini? Ilmu-ilmu teknik pada akhirnya hanya merupakan
hasil konsilidasi aneka pengetahuan dan pengalaman masa lalu, yang telah diterima
sebagai hal yang benar. Itulah "standard practice" atau "established practice" yang
diajarkan kepada semua siswa dan mahasiswa dalam semua bidang ilmu teknik. Riset
dalam ilmu-ilmu teknik hanya berusaha menegakkan suatu pernyataan yang benar yang
dapat dipakai sebagai dasar untuk mengambil keputusan-keputusan yang benar (dan
"pener", bahasa Jawa) dalam usaha tak kunjung henti membebaskan manusia dari
keterbatasan fisiknya.