Anda di halaman 1dari 6

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah meminta agar seluruh pihak


lebih serius menerapkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) mengingat terjadinya
peningkatan kasus kecelakaan kerja.

Mengutip data BPJS Ketenagakerjaan, pada Januari hingga Oktober 2020, terdapat 177.000
kasus kecelakaan kerja yang terjadi, sementara sepanjang 2019 terdapat 114.000 kasus
kecelakaan kerja.

Menurut Ida, angka kecelakaan kerja jauh lebih besar, mengingat angka yang tercatat tersebut
masih dihitung berdasarkan jumlah klaim yang diajukan oleh pekerja yang mengalami
kecelakaan kerja. apalagi, masih ada tenaga kerja yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS
Ketenagakerjaan.

"Berdasarkan data tersebut, kita semua dituntut untuk lebih serius untuk menerapkan budaya
K3," ujar Ida dalam Peringatan Bulan K3 Nasional 2021, Selasa (12/1).

Baca Juga: Relaksasi iuran BPJS Ketenagakerjaan berakhir 31 Januari 2021, ini persyaratannya

Ida menjelaskan, kecelakaan kerja tidak hanya menyebabkan kematian, kerugian materi, moril
dan perusakan lingkungan. Namun, kecelakaan kerja bisa mempengaruhi produktivitas dan
kesejahteraan masyarakat juga berdampak pada indeks pembangunan manusia dan indeks
pembangunan ketenagakerjaan.

Ida pun mengatakan, tema bulan K3 tahun ini yakni penguatan sumber daya manusia yang
unggul dan berbudaya K3 pada semua sektor usaha menjadi sangat relevan dalam
meningkatkan dan mendorong penerapan budaya K3.

Lebih lanjut, Ida meminta agar pelaksanaan K3 dikawal oleh seluruh pemangku kepentingan.
Hal ini mengingat K3 tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah.

"K3 juga menjadi tanggung jawab para Pengusaha dan perusahaan dengan selalu menerapkan
Sistem Manajemen K3 sesuai amanat UU Nomor 13 tahun 2003. Juga menjadi kewajiban serikat
pekerja, pekerja, dan masyarakat, sehingga semua kita harus memberikan perhatian dan
mendorong agar K3 dapat dijalankan secara efektif," kata Ida.
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki tahun 2021, Indonesian Environmental Scientist
Association (IESA) memberikan beberapa catatan sejumlah isu lingkungan. Asosiasi ahli
lingkungan tersebut berpandangan, seperti halnya tahun 2020, kondisi di tahun 2021 masih
akan dipengaruhi adanya dampak pandemi Covid-19.

Dampak pandemi Covid-19 secara langsung juga akan berpengaruh terhadap potensi risiko di
aspek lingkungan pada tahun 2021. “Secara garis besar, IESA mencatat ada empat hal terkait
potensi risiko lingkungan pada tahun 2021 yang perlu menjadi perhatian para pemangku
kepentingan,” ujar Ketua Umum IESA, Yuki M.A Wardhana., dalam rilis yang diterima
Kontan.coid, Sabtu (2/1).

Pertama, permasalahan lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, longsor, dan
perubahan iklim diprediksi masih akan terus berlangsung. Pandemi Covid-19 yang membawa
dampak pada tingginya angka PHK berpotensi mendorong terjadinya pembukaan lahan pada
areal-areal hutan untuk ebagai media bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Mitigasi pemangku kepentingan adalah melakukan kolaborasi antara areal pertanian atau
kehutanan yang dikelola korporasi dengan masyarakat sekitar. Konsep agroforestry dan
kolaborasi dengan masyarakat dapat.

Kedua, Undang-Undang Cipta Kerja dapat mengubah pola tata kelola yang ada saat ini.
Penyusunan peraturan teknis harus melibatkan pemangku kepentingan tata kelola lingkungan
dan kehutanan

Ketiga, perubahan tatanan perilaku selama masa pandemi Covid-19 telah membawa dampak
langsung pada pengelolaan sampah. Saat ini, kita semua membutuhkan masker untuk
melindungi diri dari penyebaran virus Covid-19. Namun perlu ada upaya mitigasi terhadap risiko
penularan kembali virus Covid-19 dari sampah masker yang telah digunakan.

Keempat, tekanan terhadap kapasitas fiskal yang terjadi pada tingkat pemerintah daerah dan
pemerintah pusat berpotensi mempengaruhi ketersediaan anggaran pemerintah untuk
pengelolaan lingkungan, seperti pengelolaan dan penyediaan fasilitas sampah serta limbah,
pencegahan banjir, perawatan ruang terbuka hijau dan pengelolaan lingkungan lainnya.

Pemerintah daerah dan pusat perlu melakukan terobosan dalam pembiayaan lingkungan atau
pembiayaan alternatif. Seperti Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU),
pemanfaatan donor dan alternatif financing lain seperti program SDG Indonesia One.

Menurut Yuki, para pemangku kepentingan harus bersatu padu dan bekerja sama. Kolaborasi
dan sinergisitas harus didorong untuk mengatasi tantangan besar di tahun 2021.” Apabila kita
gagal dalam melewatinya, bukan hanya aspek ekonomi yang tertekan tetapi juga kondisi
lingkungan yang pada akhirnya memengaruhi kualitas hidup generasi saat ini dan yang akan
datang,” tegas Yuki.
Di tengah isu pemanasan global yang sekarang ini dampaknya semakin sering kita
rasakan bahkan mulai menjamah negara-negara Eropa dan Amerika, ternyata kasus
perusakan lingkungan hidup di indonesia justru terjadi semakin parah. Begitupula
arah kebijakan pemerintah malah menguntungkan kapitalisme dan membahayakan
masa depan lingkungan hidup.

Peringatan “Kode Merah” oleh IPCC


Baru-baru ini ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah tentang
Perubahan Iklim atau IPCC memberikan peringatan berupa “kode merah bagi umat
manusia”. Hal ini disampaikan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres setelah
diterbitkannya hasil laporan kelompok kerja ilmuwan IPCC pada tanggal 9 Agustus
2021. Peringatan ini bukan hanya ditujukan untuk beberapa negara saja, melainkan
untuk seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dimana menurut prediksi ilmuwan yang tergabung dalam IPCC, pemanasan global
yang menjadi penyebab bencana cuaca ekstrim di seluruh dunia ini, dalam 20 tahun
kedepan berisiko tidak lagi dapat dikendalikan. Namun dengan catatan apabila kita
masih melakukan aktifitas seperti biasa atau business as usual dan tidak mengurangi
emisi karbon dioksida secara ekstrim.

Dari analisis yang sudah dilakukan, ternyata sebanyak 14 ribu studi yang berkaitan
dengan perubahan iklim menunjukkan bahwa penyebab kenaikan suhu bumi sebesar
1.1°C, yakni akibat pembakaran bahan bakar fossil. Salah satunya industri
pembangkit listrik yang mayoritas bahan bakarnya masih menggunakan batubara.

Peningkatan suhu bumi sebesar 1.1°C kelihatannya angka yang kecil. Namun kalau
berkaitan dengan suhu bumi, efek yang ditimbulkan sangatlah besar dan destruktif.
Sebut saja hujan dengan intensitas tinggi, siklon tropis, banjir, dan musim kemarau
yang semakin panjang penyebab kebakaran skala besar.

Salah satu efek perubahan iklim yang sangat mengkhawatirkan yakni kejadian
gelombang panas ekstrim dalam beberap bulan terakhir ini. Dimana sebagian besar
wilayah eropa dan amerika mengalami kebakaran hingga ratusan titik.

Juga termasuk melelehnya daratan beku permanen atau permafrost, serta kebakaran
skala besar sepanjang sejarah yang baru saja terjadi di Siberia, padahal Siberia
merupakan wilayah berpenghuni paling dingin di dunia.

Bagi sektor yang menggantungkan kondisi cuaca tahunan seperti pertanian, maka ke
depannya apabila suhu bumi terus memanas, perubahan iklim akan merubah ritme
musiman yang bisa mengakibatkan penurunan produktifitas hasil pertanian secara
signifikan, tak terkecuali resiko gagal panen akan semakin sering terjadi.
Perubahan iklim ini juga bakal menyebabkan perubahan pola cuaca di seluruh dunia,
akibatnya yakni semakin sering terjadi gelombang panas dan kekeringan dalam waktu
panjang, yang akan memicu kebakaran hutan dengan area yang sangat luas.

Disamping itu, ketika turun hujan, maka intensitasnya bisa berlangsung selama
berhari-hari tanpa henti hingga terjadi bencana banjir bandang. Seperti yang baru
saja terjadi di negara Eropa Barat mulai dari German, Belanda dan Belgia. Hujan yang
berlangsung selama berhari-hari ini setidaknya memakan korban jiwa sebanyak 120
orang dan 1.300 orang lainnya masih dalam pencarian.

Bagaimana Dengan Kondisi di Indonesia Saat Ini?


Sayangnya kondisi lingkungan hidup di Indonesia dalam keadaan yang sangat tidak
baik-baik saja. Hutan di Kalimantan hingga Papua masih terus mengalami eksploitasi
dan penghancuran oleh korporasi, yakni berupa penggundulan hutan untuk dialihkan
menjadi industri ekstraktif.

Aktifitas industri ekstraktif yang mengeksploitasi alam ini bukan hanya berdampak
pada menyusutnya hutan yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon dioksida,
namun sekaligus ikut memperparah laju pemanasan global dan mengancam sumber
penghidupan puluhan juta masyarakat adat.

Dari riset yang telah dilakukan oleh WALHI didapatkan data bahwa lahan seluas 159
juta hektar sudah terkapling dalam ijin investasi industri ekstraktif. Luas wilayah
daratan yang secara legal sudah dikuasai oleh korporasi yakni sebesar 82.91%,
sedangkan untuk wilayah laut sebesar 29.75%.

Data IPBES 2018 juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan
hutan seluas 680 ribu hektar, yang mana merupakan terbesar di region asia tenggara.
Sedangkan data kerusakan sungai yang dihimpun oleh KLHK tercatat bahwa, dari
105 sungai yang ada, 101 sungai diantaranya dalam kondisi tercemar sedang hingga
berat.

Bukan hanya itu, penelusuran WALHI pada tahun 2013 hingga 2019 didapatkan data
yang cukup mencengangkan, dimana penguasaan lahan sawit di Indonesia ternyata
selama ini hanya dikendalikan oleh 25 orang taipan. Total luasan hutan yang dikuasai
oleh konglomerat sawit ini sebesar 12.3 juta hektar. Dari total luas hutan yang sudah
mendapat lampu hijau dan mengantongi ijin tersebut, 5.8 juta hektar diantaranya
sekarang ini sudah menjadi perkebunan sawit.

Padahal di Indonesia terdapat 50-70 juta masyarakat adat yang tinggal dan
menggantungkan hidupnya dari hutan. Ketika hutan dirusak dan dikuasai oleh
korporasi, selain akan memperparah laju pemanasan global, kasus konflik di daerah
juga bakal semakin meningkat. Pemerintah seharusnya lebih menghargai hak-hak
masyarakat adat, dan melindungi dari kriminalisasi korporasi, bukan malah
memberikan karpet merah pada kapitalisme.
Laporan dari Auriga Nusantara juga tidak kalah mengkhawatirkan. Selama
pemerintahan Jokowi, setidaknya dalam 20 tahun terakhir ini terjadi deforestasi di
Papua seluas 663.443 hektar. Dimana 71 persen diantaranya terjadi sepanjang tahun
2011 sampai 2019. Penyumbang deforestasi terbesar yakni ditujukan untuk
pembukaan perkebunan sawit seluas 339.247 hektar. Namun dari hasil penelusuran
ternyata hanya 194 ribu hektar saja yang sudah ditanami sawit, selebihnya dalam
kondisi rusak.

Dampak pengalih fungsian hutan menjadi wilayah industri ekstraktif, baik itu
perkebunan, properti, pertanian, kehutanan, tambang, infrastruktur dan kelautan,
ternyata juga syarat akan beragam masalah. Dari laporan Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), sepanjang tahun 2018 saja terjadi 410 konflik agraria dengan luas
wilayah konflik 807.177 hektar, dengan melibatkan 87.568 KK.

Dengan kerusakan hutan yang seluas itu, tidak mengherankan jika kemudian
sepanjang tahun 2020, BNPB mencatat terdapat 2.925 kejadian bencana alam di
Indonesia, mulai dari banjir, putting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan dan
lahan, kekeringan, serta gelombang panas.

Praktik ekosida penghancurann lingkungan yang mengabaikan tata ruang dan


lingkungan hidup ini menjadi fakta bahwa praktik buruk segelintir korporasi yang
menguasai jutaan hektar lahan terbukti memperparah intensitas bencana di
Indonesia. Jumlah korban jiwa pun juga naik hampir tiga kali lipat, yakni pada periode
2017 hingga 2018 terjadi peningkatan jumlah korban bencana, dari yang sebelumnya
sebanyak 3.49 juta orang menjadi 9.88 juta orang.

Data ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk mengkaji ulang
arah kebijakan yang sudah dibentuk. Karena baru-baru ini aturan yang dibuat oleh
pemerintah maupun DPR justru menguntungkan segelintir pengusaha dan korporasi
ekstraktif dengan menggadaikan nasib jutaan masyarakat marjinal.

Anda mungkin juga menyukai