Anda di halaman 1dari 12

Diagnosa

Sejarah. Jika gejala klasik mulas dan regurgitasi asam mendominasi riwayat pasien,
maka mereka dapat membantu menegakkan diagnosis GERD dengan spesifisitas yang
cukup tinggi, meskipun sensitivitasnya tetap rendah dibandingkan dengan
pemantauan pH 24 jam.
Kehadiran gejala atipikal (Tabel 1), meskipun umum, tidak cukup mendukung
diagnosis klinis GERD [B*].
Pengujian. Tidak ada standar emas untuk diagnosis GERD [A*]. Meskipun
pemantauan pH 24 jam diterima sebagai standar dengan sensitivitas 85% dan
spesifisitas 95%, positif palsu dan palsu
negatif masih ada [II B*]. Endoskopi kurang sensitif dalam menentukan refluks
patologis tetapi dapat mengidentifikasi komplikasi (misalnya, striktur, esofagitis
erosif, esofagus Barrett) [I A]. Radiografi barium memiliki kegunaan yang terbatas
dalam diagnosis GERD dan tidak direkomendasikan [III B*].
Percobaan terapeutik. Percobaan empiris terapi antisekresi dapat mengidentifikasi
pasien dengan GERD yang tidak memiliki gejala alarm atau peringatan (Tabel 2)
[IA*] dan dapat membantu dalam evaluasi mereka dengan manifestasi atipikal
GERD, khususnya nyeri dada non-jantung [II B*].
Masalah Diagnostik
Kurangnya standar emas dalam diagnosis GERD menghadirkan dilema klinis dalam
merawat pasien dengan gejala refluks. Banyak sindrom terkait termasuk dispepsia,
GERD atipikal, gastritis yang diinduksi H. pylori, penyakit ulkus peptikum dan
kanker lambung dapat muncul dengan cara yang sama, membuat anamnesis yang
akurat menjadi penting. Rujukan paling umum ke ahli gastroenterologi dari perawatan
primer adalah untuk evaluasi GERD refrakter. Bahkan dalam kasus ini sensitivitas
dan spesifisitas pretest untuk diagnosis yang akurat tetap rendah. Pengujian invasif
terlalu banyak digunakan dan tidak selalu hemat biaya, mengingat risiko kesalahan
diagnosis yang relatif kecil berdasarkan riwayat pasien yang akurat. Farmakoterapi
empiris menguntungkan berdasarkan biaya dan kenyamanan bagi pasien.
Diagnosa
Keterbatasan berbasis bukti ada ketika mencoba untuk menilai validitas modalitas
diagnostik untuk GERD. Sebagian besar penelitian memiliki metode yang cacat
karena tidak ada standar emas.
Namun, angka yang dihitung sangat membantu dalam menyediakan kerangka kerja
untuk menilai opsi yang tersedia. Studi terbaru menunjukkan bahwa menggabungkan
modalitas diagnostik (uji tantangan omeprazole [omeprazole setiap hari selama dua
minggu], pemantauan pH 24 jam, dan endoskopi) dapat meningkatkan sensitivitas
untuk diagnosis GERD (mendekati 100%), tetapi pendekatan ini tidak praktis dalam
pengaturan klinis rutin. Pemantauan pH 24 jam menawarkan sensitivitas dan
spesifisitas yang memadai dalam menegakkan diagnosis GERD pada kasus yang tidak
segera merespon terapi antisekresi. Ini juga dapat membantu kepatuhan pasien dengan
menetapkan bahwa produksi asam telah dihilangkan atau dikurangi menjadi nol.
Pendekatan UMHS untuk pemantauan pH 24 jam meliputi: penjadwalan,
ketersediaan, waktu penyelesaian laporan, kepuasan pasien, biaya, dan pertanggungan
asuransi.
Sejarah.
Karena GERD terjadi dengan sedikit jika ada temuan fisik yang abnormal, riwayat
yang diambil dengan baik sangat penting dalam menegakkan diagnosis GERD. Gejala
klasik terbakar di dada, dengan rasa asam atau pahit, dan regurgitasi asam telah
terbukti benar mengidentifikasi GERD dengan sensitivitas 89% dan spesifisitas 94%.
Hingga 1/3 pasien dengan GERD tidak akan melaporkan gejala klasik mulas dan
regurgitasi. Namun, frekuensi gejala, durasi dan keparahan terdistribusi secara merata
di antara pasien dengan berbagai tingkat esofagitis dan esofagus Barrett dan tidak
dapat digunakan dengan andal untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Mungkin juga
ada beberapa gejala yang tumpang tindih dengan kondisi lain (nyeri dada non-jantung,
batuk, dll.).

Tes diagnostik PPI. Respons simtomatik yang menguntungkan untuk pemberian PPI
jangka pendek (sekali sehari selama dua minggu) dianggap mendukung diagnosis
GERD ketika gejala nyeri dada nonkardiak muncul. Sebuah meta-analisis menemukan
bahwa percobaan jangka pendek yang sukses dari terapi PPI tidak secara meyakinkan
menegakkan diagnosis GERD (sensitivitas 78%, spesifisitas 54%) ketika pemantauan
pH 24 jam digunakan sebagai standar referensi. Ini mungkin karena manfaat klinis
yang diamati dari PPI dalam mengobati kondisi terkait asam lainnya (seperti yang
terlihat pada populasi dispepsia heterogen), pasien dengan sensitivitas esofagus yang
ditingkatkan terhadap asam (tanpa GERD sejati), atau bahkan karena efek plasebo.
Pada mereka dengan nyeri dada non-jantung, percobaan empiris omeprazole dosis
tinggi (40 mg AM, 20 mg PM) memiliki sensitivitas 78% dan spesifisitas 85%. Dosis
standar mungkin memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah.

1. Gejala GERD Atipikal :


a. Batuk kronis
b. Asma
c. Sakit tenggorokan berulang
d. Laringitis berulang
e. Kehilangan email gigi
f. Stenosis subglotis (Stenosis subglotik (SGS) adalah penyebab paling umum
ketiga dari masalah saluran napas pada anak-anak. Ini berupa penyempitan
saluran subglotik atau bagian trakea yang berada tepat di bawah pita suara. Salah
satu pertanda awal dari SGS adalah stridor. Ini berupa suara mengi yang
dihasilkan bayi saat sebagian trakea mereka tersumbat. Namun mengi bukan
hanya gejala SGS. Ini dapat disebabkan oleh lesi pulmonal, bronchial, dan trakea.
SGS juga dapat menyebabkan krup berulanng. Pertanda SGS lainnya adalah
napas pendek, sulit menyusu, dan sulit berkembang. Pada kasus yang lebih parah,
pasien dapat memperlihatkan gejala berupa suara yang lemah atau serak. SGS
juga dapat menyebabkan paralisis pita suara)
g. Sensasi Globus (rasa tidak nyaman atau mengganjal pada tenggorokan)
h. Sakit dada
i. Onset gejala pada usia> 50

2. Tanda bahaya/alarm symptoms GERD


a. Disfagia
b. Odinofagia ( bisa menelan makanan dan minuman dengan normal tetapi
tenggorokan terasa sakit yang menusuk )
c. Perdarahan GI (enggambarkan pendarahan apa pun yang terjadi dalam saluran
pencernaan. Saluran Pencernaan membentang dari mulut hingga ke anus.
d. Anemia defisiensi besi
e. Penurunan berat badan
f. kenyang lebih awal
g. muntah

Anamnesis merupakan kunci utama dalam diagnosis GERD. Tanda dan gejala yang
sering kali muncul adalah:

Gejala tipikal

Rasa terbakar atau asam/heartburn


Regurgitasi
Disfagia
Gejala atipikal

Batuk kronis
Suara serak, terutama di pagi hari
Nyeri ulu hati
Nyeri dada yang menyerupai angina pektoris
Mengi
Hipersalivasi
Rasa mengganjal di tenggorokan/sensasi globus
Odinofagia
Mual
Otitis media
Karies

Tanda bahaya/alarm symptoms

Disfagia
Odinofagia
Penurunan berat badan
Hematemesis dan/atau melena
Anemia defisiensi besi
Usia di atas 40 tahun
Prevalensi kanker gaster tinggi
Penggunaan kronis obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS)

Diagnosis presumtif atau suspek penyakit refluks gastroesofageal dapat ditegakkan


apabila terdapat gejala-gejala GERD. Berdasarkan studi yang ada gejala tipikal
memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 67%. Akan tetapi, gejala tipikal ini jarang
muncul pada pasien-pasien di Asia. Gejala atipikal lebih sering ditemukan pada
pasien-pasien di Asia. [4,6,13,14]

Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang harus dipikirkan pada pasien refluks gastroesofageal adalah:

Gangguan gastrointestinal

Gastritis akut
Gastritis kronis
Hiatus hernia
Ulkus peptikum
Ulkus duodenum
Infeksi H. pylori
Gangguan motilitas usus
Sindroma usus iritabel/Irritable bowel syndrome (IBS)

Gangguan esofagus

Akalasia
Gangguan motilitas esofagus
Spasme esofagus
Esofagitis

Gangguan Hepatobilier

Kolelitiasis

Keganasan

Kanker esofagus
Kanker gaster
Metaplasia esofagus Barrett

Kongenital

Malrotasi usus
Gangguan jantung

Aterosklerosis
Angina pektoris
Sindroma koroner akut[1,6,13]

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang juga merupakan komponene pemeriksaan GERD yang
penting. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk konfirmasi kecurigaan terhadap
GERD. Beberapa jenis pemeriksaan cukup invasif, sehingga tidak disarankan untuk
dilakukan tanpa adanya indikasi khusus.[4,6,14] Pemeriksaan yang dapat dilakukan di
antaranya sebagai berikut:

Uji Inhibitor Pompa Proton / Proton Pump Inhibitor (PPI) Trial


Uji PPI merupakan salah satu metode diagnostik yang paling mudah dilakukan
dan tidak invasif. Uji PPI umumnya dilakukan pada pasien-pasien GERD tanpa tanda
bahaya atau risiko esofagus Barret. Uji PPI ini dilakukan dengan pemberian PPI
selama 2 minggu tanpa dilakukan endoskopi terlebih dahulu. Bila didapatkan
perbaikan klinis dengan pemberian PPI dan gejala kembali setelah terapi dihentikan,
maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Uji PPI ini merupakan salah satu metode
diagnostik yang dianjurkan pada konsensus nasional di Indonesia tahun 2014, akan
tetapi studi terbaru di Inggris menunjukkan bahwa uji PPI memiliki sensitifitas 71%
dan spesifisitas hanya 44%. Hal ini membuat penegakan diagnosis GERD
berdasarkan uji PPI saja harus dipertanyakan karena berisiko untuk
penyalahgunaan/overuse PPI dan overdiagnosis GERD.[4,6,14]

Pemantauan pH (pH-Metri)
Pemantauan/monitoring pH adalah salah satu metode diagnostik GERD yang
paling baik dan cukup sederhana. Pemeriksaan ini merupakan salah satu pemeriksaan
yang disarankan dalam konsensus nasional di Indonesia, terutama pada pasien dengan
memiliki gejala ekstraesofageal sebelum terapi PPI atau pasien yang gagal terapi PPI.
Pengukuran pH dapat dilakukan dalam 24 jam atau 48 jam (bila tersedia) dengan atau
tanpa terapi supresi asam lambung. Konsensus Lyon tahun 2018 merekomendasikan
untuk melakukan pH metri tanpa terapi PPI terutama pada pasien-pasien yang belum
pernah didiagnosis GERD sebelumnya. Apabila pasien sudah pernah terbukti GERD
atau memiliki komplikasi dari GERD, pH-metri dilakukan dengan dosis PPI 2x lebih
banyak. Pasien-pasien dengan GERD akan menunjukkan perbaikan pH bila diberikan
terapi PPI.[4,6,17]

Endoskopi dan Histopatologi


Endoskopi saluran gastrointestinal atas dan pemeriksaan histopatologi
merupakan pemeriksaan baku emas untuk GERD dengan komplikasi. Histopatologi
juga dapat menunjukkan metaplasia, displasia, atau malignansi. Pemeriksaan dengan
endoskopi merupakan prosedur yang invasif, sehingga pemeriksaan ini sebaiknya
tidak dilakukan bila tidak terdapat indikasi. Pemeriksaan ini sebaiknya hanya
dilakukan pada pasien-pasien yang memiliki gejala bahaya/alarm symptoms.[4,6,14]

Tes Barium
Pemeriksaan dengan barium saat ini sudah tidak rutin dilakukan karena tidak
sensitif untuk diagnosis GERD. Namun demikian, pemeriksaan ini lebih unggul bila
dicurigai adanya stenosis esofagus, hernia hiatus, striktur, dan disfagia. Pemeriksaan
ini biasanya dilakukan untuk evaluasi disfagia pasca operasi antirefluks bersamaan
dengan endoskopi.[4,6]

Pemeriksaan Lain
Banyak modalitas diagnostik lain yang dapat dilakukan, di antaranya
manometri esofagus dan tes bilitec. Pemeriksaan ini lebih ditujukan untuk evaluasi
komplikasi GERD, bukan untuk diagnosis GERD secara rutin. Jika terdapat
kecurigaan infeksi Helicobacter pylori, dapat dilakukan urea breath test atau biopsi
menggunakan endoskopi.

Algoritma Diagnostik GERD di Indonesia


Algoritma diagnostik GERD di Indonesia saat ini masih menggunakan GERD-
Q dan dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang seperti pH metri dan endoskopi bila
terdapat indikasi.[4,6,14]
Daftar Pustaka
1. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and management of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2013;108:302-328.

3. Hom C, Vaezi MF. Extra-esophageal manifestations of gastroesophageal reflux


disease: diagnosis and treatment. Drugs 2013; 73: 1281-1295

4. El-Serag HB, Sweet S, Winchester CC, Dent J. Update on the epidemiology of


gastrooesophageal reflux disease: a systematic review. Gut. 2013;63:871-880.

5. Lelosutan SA, Manan C, MS BMN. The Role of Gastric Acidity and Lower
Esophageal Sphincter Tone on Esophagitis among Dyspeptic Patients. The Indonesian
Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy 2001;2:6-11.

6. Syam AF, Abdullah M, Rani AA. Prevalence of reflux esophagitis, Barret’s


esophagus and esophageal cancer in Indonesian people evaluation by endoscopy.
Canc Res Treat 2003;5:83.

7. Badillo, Raul. "Diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux disease". World


Journal of Gastrointestinal Pharmacology and Therapeutics. 2014. 5 (3): 105.

8. Sveen S. Symptom check: is it GERD?. J Contin Educ Nurs. 2009 Mar. 40(3):103-
4.

9. DeVault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 2005;100:190-200.

10. Jones R, Junghard O, Dent J, et al. Development of the GerdQ, a tool for the
diagnosis and management of gastro-oesophageal reflux disease in primary care.
Aliment Pharmacol Ther 2009;30:1030-8.

11. Fock KM, Talley NJ, Fass R, et al. Asia-Pacific consensus on the management of
gastroesophageal reflux disease: update. J Gastroenterol Hepatol 2008;23:8-22.
12. Herbella FA, Sweet MP, Tedesco P, Nipomnick I, Patti MG. Gastroesophageal
reflux disease and obesity. Pathophysiology and implications for treatment. J
Gastrointest Surg. 2007 Mar. 11(3):286-90.

13. PGI. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal


(Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2016.

Anda mungkin juga menyukai