Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Bekalang


Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri TBC tersebut dapat menyerang hampir
seluruh organ tubuh manusia, tetapi sebagian besar menyerang paruparu. Tuberkulosis
dapat menyebar dari satu orang ke orang lain melalui transmisi udara (droplet dahak
pasien tuberkulosis). Pasien yang terinfeksi tuberkulosis akan memproduksi droplet yang
mengandung sejumlah basil kuman TBC ketika mereka batuk, berbicara, atau bersin.
Orang yang menghirup basil kuman TBC tersebut dapat terinfeksi tuberculosis (Adi dkk,
2019). Penyakit Tuberculosis (TBC) masih menjadi salah satu pembunuh utama bagi
manusia, jika tidak diobati dengan baik maka penyakit ini dapat menyebabkan kematian
pada hampir setengah kasus selama 5 tahun setelah menderita penyakit ini (Sari, 2019)
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) 2017, jumlah kasus baru
tuberkulosis (TBC) pada 2015 mencapai 10,4 juta jiwa meningkat dari sebelumnya
hanya 9,6 juta. Adapun jumlah temuan TBCterbesar adalah di India sebanyak 2,8 kasus,
diikuti Indonesia sebanyak 1,02 juta kasus dan Tiongkok sebanyak 918 ribu kasus. Selain
itu, berdasarkan laporan WHO 2017 diperkirakan ada 1.020.000 kasus di Indonesia. Pada
daerah Bali, terutama pada kabupaten Bangli, jumlah penderita tuberculosis BTA positif
di Puskesmas Bangil dan Puskesmas Raci tertinngi terjadi pada tahun 2017 sebesar 67%
di Puskesmas Bangil dan Puskesmas Raci sebesar 74,15% di mana penderita terbanyak
pada usia produktif dan masih memiliki anak usia 0 bulan–14 tahun. Pada bulan januari –
Agustus 2018 Puskesmas Raci mempunyai penderita tuberculosis dengan BTA Positif
sebanyak 20 penderita. Wilayah kerja Puskesmas Bangil dan Puskesmas Raci merupakan
wilayah perkotaan dan daerah industri yang rata rata rumah tempat tinggal masih banyak
yang belum memenuhi syarat kesehatan sehingga dimungkinkan risiko terjadi penularan
penyakit tuberculosis dari penderita tuberculosis BTA positif ke orang lain. Selain hal
tersebut juga bisa disebabkan karena banyakya penderita TBC mengalami putus
pengobatan (Sari, 2019; Adi dkk, 2019)
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), yang menjadi alasan utama gagalnya
pengobatan adalah pasien tidak mau minum obatnya secara teratur dalam waktu yang
diharuskan. Pasien biasanya bosan harus minum banyak obat setiap hari selama beberapa
bulan, karena itu pasien cenderung menghentikan pengobatan secara sepihak.
Keberhasilan pengobatan TB Paru tidak hanya tergantung pada aspek medis. Tetapi juga
pada aspek sosial yang sangat berperan dalam motivasi pasien menjalani pengobatan
yang teratur (Sari, 2019).
Salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan pada negara berkembang
yaitu hilangnya motivasi pasien sehingga dapat menyebabkan ketidakpatuhan dalam
pengobatan. Ketidak patuhan untuk berobat secara teratur bagi pasien TBC tetap menjadi
hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Kebanyakan pasien tidak
datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat
dan kebanyakan pasien merasa enak pada akhir fase intensif dan merasa tidak perlu
kembali untuk pengobatan selanjutnya. Penelitian Amiruddin (2009), menunjukkan
bahwa terdapat 3 variabel yang memengaruhi terjadinya kesembuhan dalam pengobatan
penderita TB Paru di kota Ambon yakni pengawas menelan obat (PMO), kepatuhan
berobat penderita TB Paru dan motivasi pasien TB Paru dalam berobat. Penelitian
Tanjung (2008), di kecamatan Kotanopan, Tapanuli Selatan menunjukkan bahwa
tingginya angka kesakitan, kekambuhan dan kematian pada penderita TB Paru
disebabkan karena beberapa faktor, antara lain rendahnya penghasilan, pendidikan dan
pengetahuan yang kurang, rendahnya kepatuhan berobat, tidak cocoknya paduan obat,
resistensi obat, supervisi dan penyuluhan yang kurang dari petugas (Sari, 2019). Jika
pasien tidak patuh minum obat hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya
produktifitas, kematian, meningkatnya penularan TB paru di masyarakat dan
meningkatnya multi drug resisten (MDR) (Karminasih, 2016).
Penanggulangan ketidakpatuhan pasien TBC minum obat diperlukan peranan dari
keluarga, komponen masyarakat itu sendiri, serta selain itu perlu juga adanya kolaborasi
antara tenaga kesehatan dengan tenaga kesehatan yang lain dalam memberikan
penyuluhan mengenai penyakit TBC (seperti dokter, perawat, apoteker, dll) sehingga
mampu menghasilkan pelayanan kesehatan yang baik dan memuaskan serta terciptanya
patient safety, maka kolaborasi antar tenaga kesehatan sangat dibutuhkan (Sari, 2019).
Menurut American Collage of Clinical Pharmacy (ACCP) tahun 2009
Interprofessional dalam dunia kesehatan merupakan bentuk perawatan kesehatan yang
melibatkan berbagai profesi kesehatan. IPE merupakan hal yang potensial sebagai media
kolaborasi antar professional kesehatan dengan menanamkan pengetahuan dan skill dasar
dalam masa pendidikan (Mendez et al, 2008).
Untuk mensinergiskan dan mengefektifkan pelayanan kesehatan terhadap pasien,
maka Interprofessional Collaboration (IPC) sebagai bentuk praktik kolaborasi dengan
berbagai ilmu kesehatan sangat penting untuk dilakukan. IPC akan terlaksana dengan
lebih baik apabila seluruh pelaksana IPC bisa saling memahami peran, kompetensi inti,
dasar bahasa dan pola piker (Kenaszchuk, 2013).
Pelaksanaan IPC pada praktik nyata terhadap pasien dipengaruhi oleh
Interprofessional Education (IPE). Hal tersebut dikarenakan IPE menyiapkan mahasiswa
kesehatan atau calon tenaga kesahatan untuk lebih bisa memahami peran masing-masing
profesi dan meningkatkan kesiapan mereka untuk berkolaborasi dalam memberika
pelayanan kesehatan (Soubra, Badr, Zahran, & Aboul-Seoud, 2017).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang didapat berdasarkan latar belakang yaitu
a. Bagaimana peran dokter dalam memberikan KIE yang lebih mendalam pada pasien
terkait penyakit TBC?
b. Bagaimana peran perawat dalam follow up pasien HIV untuk segera mengkonsumsi
obat TBC kembali?
c. Bagaimana peran apoteker untuk mengatasi keluhan pasien terkait ESO obat TBC
aturan pemakaian obat serta interaksi yang mungkin terjadi dengan obat TBC?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui peran dokter dalam memberikan KIE yang lebih mendalam pada
pasien terkait penyakit TBC
b. Untuk mengetahui peran perawat dalam follow up pasien HIV untuk segera
mengkonsumsi obat TBC kembali
c. Untuk mengetahui peran apoteker untuk mengatasi keluhan pasien terkait ESO obat
TBC aturan pemakaian obat serta interaksi yang mungkin terjadi dengan obat TBC

1.4 Manfaat Masalah


Makalah ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan informasi kepada dokter,
apoteker, perawat serta pasien mengenai upaya untuk mengubah pola dan perilaku hidup
pasien, serta dapat meningkatkan kepatuhan terapi pasien TBC dalam mengkonsumsi
obat demi tercapainya tujuan terapi yang diharapkan dan dapat memperbaiki kualitas
hidup pasien.
Karminasih, Ni Luh Putu, dkk. 2016. Risk Factors for Recurrences of Pulmonary TB among
Patients in Denpasar: A Case-Control Study. Public Health and Preventive Medicine
Archive (PHPMA). Vol. 4, No.1. Hal: 17-22

Adi Widyastuti Ni Nyoman, Bagiada I Made, Andrika Putu. 2019. Karakteristik penderita
tuberkulosis paru relapse yang berobat di poli paru RSUP Sanglah Denpasar Bali
periode Mei 2017 hingga September 2018. Intisari Sains Medis. Vol. 10, No. 2. Hal:
328-333

Sari, levi tina. 2019. Hubungan Motivasi Kesembuhan Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada
Penderita Tb Paru Dewasa. JuKe Vol. 3 No. 1. Hal: 1-8

Kenaszchuk, C. (2013). An inventory of quantitative tools measuring interprofessional


education and collaborative practice outcomes. Journal of Interprofessional Care.
Diakses pada web: https://doi.org/10.3109/13561820.2012.735992. Diakses pada
tanggal 23 Juni 2019

Mendez, P., 2008. The Potential Advantages and Disadvantages of Introducing


Interprofessional Education into the Healthcare Curricula in Spain. Nurse Education.
Diakses pada web: http://www.elsevier.com/journal/nedt. Diakses pada tanggal 20 Juni
2019

Soubra, L., Badr, S. B. Y., Zahran, E. M., & Aboul-Seoud, M. (2017). Effect of
Interprofessional Education on Role Clarification and Patient Care Planning by Health
Sciences Students. Health Professions Education. Diakses pada web:
https://doi.org/10.1016/j.hpe.2017.12.005. Diakses pada tanggal : 20 Juni 2018.

WHO. 2017. Tuberkulosis. Diakses pada web:


https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/03/22/negara-mana-penderita-tbc-
terbanyak. Diakses pada tanggal : 20 Juni 2018.
WHO. 2017. Tuberkulosis. Diakses pada web
http://www.depkes.go.id/article/view/18032100002/pedulitbc-indonesiasehat.html.
Diakses pada tanggal : 20 Juni 2018

Anda mungkin juga menyukai