Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolik yang ditandai

dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah melebihi batas normal,

kondisi hiperglikemia tersebut disebabkan oleh kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau keduanya (PERKENI, 2019). Diabetes Mellitus adalah

salah satu gangguan metabolik akibat pankreas tidak memproduksi cukup

insulin atau tubuh tidak dapat mengggunakan insulin yang telah

diproduksi secara efektif, yang dintadai dengan adanya penigkatan

konsentrasi glukosa darah serta biasanya disertai dengan munculnya gejala

utama yang khas, seperti terbuangnya glukosa bersama dengan urin atau

dikenal dengan glukosuria (Kemenkes RI, 2014).

International Diabetes Federation (2019) menyatakan bahwa

terdapat 463 juta orang yang hidup dengan Diabetes Mellitus di tahun

2019, diperkirakan akan terjadi peningkatan kasus sebanyak 700 juta

orang di tahun 2045. Berdasarkan jumlah penderita Diabetes Mellitus,

Indonesia berada di urutan ke7 dari 10 negara dengan jumlah penderita

tertinggi setelah China, India, Amerika, Pakistan, Brazil dan Mexico yaitu

sebanyak 10,7 juta jiwa. Prevalensi Diabetes Mellitus meningkat secara

signifkan dari tahun 2013 hingga tahun 2018.

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat prevalensi

Diabetes Mellitus di Indonesia dari tahun 2013 hingga tahun 2018


mengalami peningkatan yang signifikan dengan prevalensi 1,5% di tahun

2013 dan 2% di tahun 2018. Sumatera Barat berada di urutan ke 22 dari 34

provinsi dengan prevalensi total yaitu 1,6% (Kementerian Kesehatan RI,

2018). Kota Padang merupakan wilayah dengan kasus Diabetes tertinggi

di Sumatera Barat dengan 5.252 kasus di tahun 2018 dan mengalami

peningkatan di tahun 2019 yaitu ditemukan 17.017 kasus (Dinas

Kesehatan Kota Padang, 2019). Pada Laporan Kunjungan dan Kasus PTM

Kota Padang tahun 2018 mencatat 23794 kunjungan (0,2%) dan 5252

(0,16%) kasus dengan diabetes melitus. Ini merupakan penyakit dengan

jumlah kunjungan dan kasus terbanyak setelah hipertensi pada penyakit

tidak menular di Kota Padang.

DM tipe 2 merupakan diabetes yang tidak tergantung pada insulin.

DM ini terjadi akibat adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin yang

disebut dengan resistensi insulin atau akibat penurunan jumlah produksi

insulin. DM tipe 2 ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan

obesitas meskipun dapat terjadi pada semua umur, ketosis jarang terjadi

kecuali dalam keadaan stres atau mengalami infeksi (PERKENI, 2015).

Kejadian DM tipe 2 mencapai 90-95% dari populasi dunia yang

menderita diabetes  melitus (ADA, 2017). Secara global sekitar 425 juta

(8,8%) orang di seluruh dunia diperkirakan menderita DM tipe 2.

Diperkirakan penderita DM tipe 2 usia 20-79 tahun di Indonesia sebanyak

10,3 juta jiwa (IDF, 2017). Menurut Laporan Tahunan Puskesmas Andalas

Padang (2018) diperoleh pasien diabetes melitus sebanyak 2628 dengan

kasus terbanyak DM tipe II.


DM tipe 2 apabila tidak ditangani dengan baik maka akan

menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 berhubungan

dengan disfungsi makrovaskular akibat gangguan pembuluh darah besar

dan mikrovaskular akibat gangguan pembuluh darah kecil. Komplikasi

makrovaskular pada umumnya dapat menyerang organ otak, jantung, dan

pembuluh darah, sedangkan mikrovaskular dapat terjadi pada organ mata

dan ginjal (PERKENI, 2019).

Berdasarkan penelitian Saputri(2020) di Rumah Sakit Pertamina

Bintang Amin, Bandar Lampung dari 72 orang responden didapatkan

sebanyak 43 pasien (59,7%) mengalami komplikasi diabetes dimana

distribusi frekuensinya yaitu komplikasi akut ketoasidosis diabetik 6

pasien (8,3%), hipoglikemia 8 pasien (11,1%). Komplikasi mikrovaskuler

yaitu neuropati 5 pasien (6,9%), retinopati 8 pasien (11,1%) dan nefropati

11 pasien (15,3%). Komplikasi makrovaskuler yaitu serebrovaskuler 3

pasien (4,2%), penyakit jantung koroner 8 pasien (11,1%), dan ulkus 20

pasien (27,8%). Penyebab kematian ke empat di dunia adalah komplikasi

yang disebabkan oleh Diabetes Mellitus (Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia, 2019).

Mengingat tingginya prevalensi penderita diabetes melitus tipe 2

dan banyaknya komplikasi yang disebabkan oleh penyakit DM tersebut

maka hal utama yang diperlukan adalah pengendalian dan pengontrolan

kadar glukosa darah. Self-care management DM terdiri dari pengaturan

makan (diit), latihan jasmani, kepatuhan pengobatan dan edukasi

(PERKENI, 2015). Self-care management merupakan hal yang sangat


penting bagi penderita DM tipe 2 dibandingkan DM tipe 1, karena salah

satu penyebab DM tipe 2 ialah gaya hidup.

Penderita DM dalam mencegah terjadinya komplikasi,

dilakukannya self-management diabetes yaitu tindakan yang dilakukan

perorangan untuk mengontrol diabetes meliputi tindakan pengobatan dan

pencegahan komplikasi. Self-care merupakan upaya mempertahankan

kesehatan dengan melakukan perawatan diri baik secara fisik maupun

psikologis (Hartono, 2019). Menurut badan kesehatan World Health

Organization (WHO) Self-care merupakan upaya untuk menjaga

kesehatan, mencegah timbulnya penyakit, meningkatkan status kesehatan,

dan mengatasi kecacatan sesuai dengan kemampuan individu, keluarga,

dan masyarakat dengan atau tanpa dukungan penyedia layanan kesehatan.

Seorang yang menderita Diabetes Mellitus bertanggung jawab dalam

menjalankan tindakan atau program aktivitas pengobatan selama

kehidupannya (Tharek et al., 2018).

Di Indonesia self-care management pada penderita Diabetes

Mellitus belum optimal. Penelitian yang dilakukan Windani, Abdul &

Rosidin (2019) di Puskesmas Taragong, Kabupaten Garut pada 138 pasien

DM tipe 2 perilaku self-care management pada pasien Diabetes Mellitus

berdasarkan diet sebanyak 14,5% (baik), 48,6% (sedang) dan 37,0%

(buruk). Perilaku self-care management berdasarkan pengobatan sebesar

44,2% (baik),16,7%(sedang) dan 39,1% (buruk), Perilaku self-care

management berdasarkan latihan fisik sebesar 1,4% (baik), 98,6%

(sedang) dan tidak ada yang buruk , Perilaku self-care manegement


berdasarkan pemantauan gula darah sebesar 16,7% (baik), 50,0% (sedang)

dan 33,3% (buruk).Perilaku self- care management berdasarkan perawatan

kaki sebesar 4,3% (baik), 94,9% (sedang) dan 7% (buruk).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2017)

menyatakan bahwa sebagian penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas

Srondol Semarang telah menyadari pentingnya self-care management

diabetes, namun sebagian pasien dalam penerapannya masih belum

menjalankan beberapa aspek self-care management secara optimal.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lenni Sastra dan Lola

despitasari menunjukkan bahwa 56.7% responden memiliki self care

management yang kurang baik, 50% responden dengan self care agency

kurang baik, 46.7% responden dengan self efficacy kurang baik dan 61.7%

responden dengan diabetes knowledge kurang baik. Penelitian lain juga

menyebutkan bahwa antara perilaku self care baik dan perilaku self care

kurang memiliki distribusi frekuensi hampir sama pada penderita DM.

Pada kategori self care baik sebesar 50,4% dan self care kurang sebesar

49,6%.

Diabetes mellitus mencangkup diet, latihan fisik, aktivitas spiritual,

medikasi, pemantauan glukosa darah dan perawatan kaki (Lenni, Afrizal,

Adella, 2011). Pengelolaan atau manajemen diri diabetes merupakan hal

yang sangat penting bagi setiap individu dalam pengelolaan penyakit ini

serta penting dalam mengendalikan dan mencegah komplikasi diabetes

(Astuti, 2014).
Salah satu hal yang penting dilakukan pada penderita Diabetes

Mellitus untuk memperbaiki self management adalah kebutuhan spiritual.

Spiritual merupakan hubungan antar manusia dengan Tuhannya dengan

melakukan kegiatan sesuai agama dan kepercayaan setiap manusia.

Spiritual bisa dijadikan sumber harapan bagi seseorang ketika menghadapi

rasa sakit dan merasa menderita (Zehtab & Adib-Hajbaghery, 2014).

Semakin baik spiritual yang dilakukan maka akan semakin baik kualitas

hidup penderita Diabetes Mellitus (Mu’in & Wijayanti, 2015).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

positif antara kesejahteraan spiritual dengan manajemen diabetes seperti

kontrol gula darah dan manajemen diri (Ardian, 2016). Penelitian dari

Gupta, et al. (2014) tentang peranan spiritual dalam manajemen kesehatan

pada pasien diabetes menunjukan terdapat peranan yang cukup signifikan.

Penelitian lain yang dilakukan pada orang Afrika- Amerika terkait

hubungan spiritual dengan diabetes menunjukan bahwa pentingnya

spiritual berdampak baik pada perawatan diri diabetes Melilitus.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nadiva Salsabila tahun 2021

didaptkan responden dengan pemeriksaan gula darah puasa normal

mayoritas memiliki tingkat spiritual sedang yaitu sebanyak 84 orang

(21%), dari 295 responden pemeriksaan gula darah puasa hiperglikemi

mayoritas memiliki tingkat spiritual tinggi yaitu sebanyak 152 orang

(38%), dari 108 responden pemeriksaan gula darah 2 jam normal

mayoritas memiliki tingkat spiritual sedang yaitu sebanyak 73 orang

(18,25%), dari 278 responden pemeriksaan gula darah 2 jam hiperglikemi


mayoritas memiliki tingkat spiritual tinggi yaitu sebanyak 142 orang

(35,7%), dari 119 responden pemeriksaan gula darah sewaktu normal

mayoritas memiliki tingkat spiritual sedang yaitu sebanyak 104 orang

(25,9%), dan dari 273 responden pemeriksaan gula darah sewaktu

hiperglikemi mayoritas memiliki tingkat spiritual tinggi yaitu sebanyak

142 orang (35,6%). dalam penelitian  ini ada 41 orang (10,3%) penderita

Diabetes Mellitus yang mayoritas berada pada usia dewasa memiliki

tingkat spiritual rendah.

Peneliti berpendapat bahwa usia, pendidikan, pekerjaan, dan lama

menderita DM dapat berpengaruh pada aktivitas spiritual mereka. Hal ini

sejalan dengan pernyataan Cahyono (2013) yang mengatakan apabila

seseorang semakin tumbuh dan semakin dewasa maka pengalaman dan

pengetahuan spiritual tersebut semakin berkembang karena spiritual

berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari seorang individu. Akbari et al.

(2020) menjelaskan bahwa perlunya seorang perawat dalam meningkatkan

perawatan spiritual dan memasukkannya ke dalam intervensi rutin kepada

pasien karena dimensi spiritual pada manusia sangat mempengaruhi

mereka secara keseluruhan kesehatan Asadzandi (2017) menjelaskan

bahwa manusia telah menunjukkan pada saat menderita, manusia selalu

mendekatkan diri pada ilahi.

Penelitian oleh Reynold et al. (2014) di Amsterdan telah

membuktikan bahwa manusia dengan penyakit kronis seperti Diabetes

Mellitus menggunakan spiritual mereka sebagai cara mengatasi penyakit,

menciptakan rasa tujuan dalam hidup, mengurangi rasa penderitaan dan


keputusasaan, dan mengelola penyakit mereka dengan baik. Seseorang

yang telah lama menderita Diabetes Mellitus lebih bisa menyesuaikan

setiap perubahan yang terjadi akibat penyakitnya dibanding dengan

seorang yang baru menderita Diabetes Mellitus (Yulia, 2020).

Penyakit DM adalah penyakit seumur hidup, Segala macam

aktivitas yang menuntut rutinitas dalam watu lama sangat berisiko untuk

terjadinya kejenuhan, bosan, dan terlebih aktivitas tersebut membutuhkan

biaya yang banyak. Pada saat kebosanan terjadi maka sangat mungkin

timbul niat untuk melanggar kepatuhan terhadap self-management diabetes

(Sutedjo, 2010). Melihat banyaknya komplikasi yang timbul bila penderita

tidak mampu mengontrol diri terhadap penyakit, maka penderita DM harus

memiliki kesadaran diri bahwa akibat yang ditimbulkan akan lebih fatal

dan justru akan merugikan diri sendiri serta keluarga (Sutedjo, 2010).

(Zohar and Marshall, 2005) Menjelaskan kesadaran diri termasuk dalam

salah satu ciri-ciri kecerdasan spiritual seseorang. Kecerdasan spiritual

adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna

dan nilai (Zohar and Marshall, 2007) .

Kecerdasan spiritual penting guna dalam kehidupan seseorang

dengan memiliki kecerdasan spiritual maka seseorang akan dapat

berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku dan juga sesuai dengan hati

nurani, selain itu juga dapat menghindari seseorang dari perilaku yang

melanggar hukum maupun hati nurani. Orang dengan kecerdasan spiritual

yang baik juga akan lebih mampu menjalani hidup dengan lebih baik,

mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dan bermakna, dan juga


memiliki pegangan dalam menjalankan kehidupan (Mariska, 2008).

Kecerdasan spiritual merupakan kapasitas dari otak manusia yang

memberi kemampuan dasar untuk membentuk makna, nilai, dan

keyakinan. Keyakinan tersebut yang akan membentuk pikiran bawah sadar

yang selanjutnya akan menimbulkan energi yang dapat meningkatkan

ketenangan dalam menghadapi sesuatu (Agustian, 2006). Kecerdasan

spiritual akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam berespon serta

dapat digunakan dalam masalah yang krisis dalam hidup seseorang.

Kecerdasan spiritual merupakan dimensi untuk mendapatkan

kekuatan ketika menghadapi depresi, penyakit fisik dan masalah psikis

seseorang Zohar and Marshall, 2007). Dengan adanya kecerdasan spiritual

yang dimiliki penderita DM maka diharapkan dapat meningkatkan self

management (kontrol diri) pada penderita DM sehingga komplikasi dapat

terkendali atau tidak terjadi.

Self care management dalam pasien dengan penyakit kronis

merupakan hal yang kompleks, dan sangat dibutuhkan untuk keberhasilan

manajemen serta kontrol dari penyakit kronis (Larsen & Lubkin, 2009

dalam Nursalam, 2017). Rahmanian et al., 2017 menjelaskan dalam

penelitiannya tentang “Peran prediktif kecerdasan spiritual dalam

manajemen diri pada remaja dengan diabetes tipe 1” menunjukkan hasil

bahwa kecerdasan spiritual dapat memprediksi diabetes manajemen diri

dan memiliki peran yang menentukan dalam meningkatkan kesehatan

remaja dengan diabetes.


Dari latar belakang permasalahan tersebut, peneliti akan

melakukan penelitian tentang “Hubungan Tingkat Spiritualitas dengan

Self Care Management pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2”.

Anda mungkin juga menyukai