Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KAIDAH MUTLAQ DAN MUQAYYAD

Disusun Oleh:
Aprillia Siska Dwinata XII Agama
Muhammad Fikri XII Agama
Esana Oktaria XII Agama
M. Fatih Azki XII Agama
M. Revaldo Akbar XII Agama

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1


KOTA BENGKULU
AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kami
buat sesuai dengan materi yang yang kami pelajari.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami mohon maaf sebesar-besarnya
dan kami sangat berterima kasih jika pembaca berkenan untuk memberikan saran
dan kritik yang baik demi perbaikan. Terima kasih terhadap ibu pembimbing yang
telah membimbing kami menyelesaikan tugas ini semoga laporan ini dapat
bermanfaat.

Bengkulu, 13 Januari 2022

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................4
1.3 Tujuan...............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................5
2.1 Pengertian Kaidah Mutlaq dan Muqayyad.......................................................5
2.2 Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad.............................................................5
2.3 Ketentuan dalam Mutlaq dan Muqayyad..........................................................6
2.4 Penerapan Kaidah Mutlaq dan Muqayyad......................................................10
BAB III PENUTUP................................................................................................11
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................11
3.2 Saran...............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................12

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan ungkapan Al-Quran
tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gamblang dan ayat-ayatnya pun
sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka adalah suatu hal yang
tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-
maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedangkan
kalangan cerdik cendekia dan terpelajar akan dapat pula menyimpulkan makna-
makna yang menarik darinya. Di antara dua kelompok ini terdapat aneka ragam dan
tingkat pemahaman. Jadi, tidaklah mengherankan jika Al-Quran mendapatkan
perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian itensif terutama dari para ulama
dan cendikiawan muslim baik masa klasik maupun modern untuk menggali
samudera ilmu yang ada di dalamnya. Dari usaha-usaha mereka itu kemudian
melahirkan berbagai cabang ilmu yang berkaitan dengan studi Al-Quran.
Untuk menerjuni ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran, seseorang
perlu mengetahui dasar-dasar umum dan ciri-ciri khasnya. Ia terlebih dahulu harus
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu yang diperlukan dalam kadar
yang dapat membantunya mencapai tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut,
sehingga di saat memasuki detail permasalahannya ia telah memilki dengan
lengkap kunci pemecahannya. Oleh karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa
Arab agar kamu memahaminya. Maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir
dalam memahami Al-Quran terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman asas-
asasnya, penghayatan uslủbnya dan penguasaan rahasia-rahasianya. Untuk hal ini
semua telah tersedia banyak pembahasan secara rinci dan kajian yang lengkap yang
bertebaran dalam berbagai cabang ilmu bahasa Arab.
Pemahaman dan penguasaan kaidah-kaidah bahasa Arab termasuk di
antaranya mutlaq dan muqayyad ini di samping itu pula ia juga termasuk ke dalam
masalah pokok kajian ushul fiqih. Hal ini bermaksud untuk menyingkap makna-
makna dan lafaz-lafaz Al-Quran sekaligus untuk menafsirkan ayat itu sendiri agar
semakin jelas maksud dari yang menurunkan Al-Quran itu sendiri yaitu Allah
SWT. Mutlaq dan muqayyad merupakan bentuk– bentuk lafaz yang ditinjau dari
segi cakupan maknanya, selain itu ‘am dan khas juga termasuk pada bentuk lafaz
dalam Al-Quran. Kendati pun demikian ada bentuk yang bermacam-macam pada
dasarnya hal tersebut kembali kepada makna muhkam dan mutasyabih. Justru
keberagaman itu menunjukkan keistimewaannya.
Sebagian hukum tasyri’ terkadang datang dengan bentuk mutlaq yang
menunjuk kepada satu individu (satu benda) yang umum, tanpa dibatasi oleh sifat
atau syarat. Dan terkadang pula dibatasi oleh sifat atau syarat namun hakikat
individu itu tetap bersifat umum serta meliputi segala jenisnya. Pemakaian lafaz
dengan kapasitas mutlaq dan atau terbatas (muqayyad) merupakan salah satu
3
keindahan retorika bahasa Arab. Di dalam Kitabullah yang tidak tertandingi itu, ia
dikenal dengan mutlaqul-Qur’an wa muqayyaduhu atau kemutlaqan Al-Quran dan
keterbatasannya.
Setiap kali ditemukan teks Al-Quran yang bersifat umum yang memerlukan
penjelasan lebih lanjut, maka kita akan menemukan penjelasanya pada teks Al-
Quran yang lain, baik bersifat membatasi ataupun memperjelas secara terperinci.
Atas dasar inilah kemudian para ulama berusaha untuk menetapkan terma-terma
yang secara khusus menunjukkan ciri-cirinya secara definitif. Sehingga muncullah
beberapa terma-terma yang biasa dikenal di kalangan para ulama seperti mutlaq
dan muqayyad ini.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu:
1. Bagaimana membedakan ketentuan kaidah mutlaq dan muqayyad?
2. Bagaimana menemukan makna tersirat kaidah mutlaq dan muqayyad?
3. Bagaimana mengidentifikasi contoh penerapan kaidah mutlaq dan muqayyad
dalam menentukan hukum suatu kasus yang terjadi di masyrakat?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini yaitu:
1. Untuk membedakan ketentuan kaidah mutlaq dan muqayyad.
2. Untuk menemukan makna tersirat kaidah mutlaq dan muqayyad.
3. Untuk mengidentifikasi contoh penerapan kaidah mutlaq dan muqayyad dalam
menentukan hukum suatu kasus yang terjadi di masyrakat.

4
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kaidah Mutlaq dan Muqayyad


2.1.1 Pengertian Mutlaq

Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenar-benarnya dengan


tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang lain.
Maksudnya dari definisi di atas adalah, lafadz mutlaq adalah lafadz yang
menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh suatu batasan yang akan
mengurangi jangkauan maknanya secara keseluruhan. Contohnya, seperti pada
firman Allah Swt.:
‫َو َمن قَت ََل ُمْؤ ِمنًا خَ طَـًٔا فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬

Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia


memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (QS. An-Nisa’ [4]:92)

Contoh lafadz ‫رقَبَ ـ ٍة‬


َ pada ayat di atas menunjukkan kata mutlaq. Artinya,
mencakup budak secara mutlaq.

2.1.2 Pengertian Muqayyad

Muqayyad adalah lafad yang menunjukkan satu diri atau diri-diri mana saja
(dalam jenisnya) dengan pembatas berbentuk lafad yang berdiri sendiri.
Contoh lafadz ‫رقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬
َ pada ayat tersebut menunjukkan kata muqayyad,
yaitu kata budak dalam ayat tersebut tidak lagi bersifat mutlaq karena sudah
dibatasi (diqoyyidi) dengan kata mukminah ‫ ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬.

2.2 Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad


1. Hukum Mutlaq
‫المطلق يبقى على إطالق قه ما لمن يقم د ليل على تقييده‬

Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlaqannya sebelum ada dalil yang


membatasinya.

2. Hukum Muqayyad

‫المقيدباقعلىتد تقييد ه ما لم يقم دليل على اطالقه‬


5
Lafadz muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang
memuthlaqkan.

Contoh, seperti firman Allah Swt. berikut ini:

‫ي ُٰظ ِهرُوْ نَ ِم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ِه ْم ثُ َّم يَعُوْ ُدوْ نَ لِ َما قَالُوْ ا فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ِّم ْن قَب ِْل اَ ْن يَّتَ َم ۤاس َّۗا ٰذلِ ُك ْم‬
‫تُوْ َعظُوْ نَ بِ ٖ ۗه َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِ ْي ٌر‬

3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik


kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang
diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

ْ ِ ‫صيَا ُم َشه َْري ِْن ُمتَتَابِ َعي ِْن ِم ْن قَ ْب ِل اَ ْن يَّتَ َم ۤاس َّۗا فَ َم ْن لَّ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَا‬
َ‫ط َعا ُم ِستِّ ْين‬ ِ َ‫فَ َم ْن لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬
‫ك ُح ُدوْ ُد هّٰللا ِ َۗولِ ْل ٰكفِ ِر ْينَ َع َذابٌ اَلِ ْي ٌم‬ َ ‫ك لِتُْؤ ِمنُوْ ا بِاهّٰلل ِ َو َرسُوْ لِ ٖ ۗه َوتِ ْل‬
َ ِ‫ِم ْس ِك ْينً ۗا ٰذل‬

4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa


dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak
Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS.
Al-Mujadilah [58]:3-4)

5. Kafarat dzihar (perkataan suami kepada istrinya yang menyamakan istri


dengan ibunya), yaitu memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-
turut atau kalau tidak mampu ia harus memberi makan sebanyak 60 orang
miskin. Ayat tersebut telah dibatasi kemutlaqkannya maka harus diamalkan
hukum muqayyadnya.

2.3 Ketentuan dalam Mutlaq dan Muqayyad


Dalam dalil syara’ sering ditemukan dalil syara’ yang memiliki hukum ganda,
di satu tempat ia menunjukkan arti mutlaq sedang di tempat lain dia bermakna
muqayyad. Permasalahannya ia dihukumi mutlaq atau muqayyad atau masing-
masing berdiri sendiri. Untuk mengatasinya ada empat alternatif kaidah sebagai
solusinya, yaitu:

1. Kaidah pertama
Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum
yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat

6
yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk
muqayyad. Contoh:

a. Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز‬
‫ير (المائدة‬ ْ ‫حُرِّ َم‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua
darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat
oleh sifat atau hal-hal lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal
bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

b. Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang
diharamkan.

ْ َ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى طَا ِع ٍم ي‬


‫ط َع ُمهُ ِإاَّل َأ ْن يَ ُكونَ َم ْيتَةً َد ًما َم ْسفُوحًا‬ ِ ‫قُلْ اَل َأ ِج ُد فِي َما ُأ‬
َّ َ‫وح َي ِإل‬

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu,


sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah
yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3
adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam
ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang
muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik
kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-
Maidah yakni darah yang diharamkan harus dipahami darah yang mengalir
sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

2. Kaidah kedua

7
Mutlaq itu di bawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda. Berbeda sebabnya
namun sama hukumnya. Menurut jumhur ulama syafi’iyah mutlaq di bawa ke
muqayyad. Contoh, seperti firman Allah Swt.:
‫َو َمن قَت ََل ُمْؤ ِمنًا خَ طَـًٔا فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬

Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)


ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (QS. An-Nisa’ [4]: 92)

Sementara untuk kafarat dzihar yaitu “memerdekakan budak” tanpa dibatasi


mukmin atau tidak, seperti firman Allah Swt.:

‫ي ُٰظ ِهرُوْ نَ ِم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ِه ْم ثُ َّم يَعُوْ ُدوْ نَ لِ َما قَالُوْ ا فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ِّم ْن قَب ِْل اَ ْن يَّتَ َم ۤاس َّۗا ٰذلِ ُك ْم‬
‫تُوْ َعظُوْ نَ بِ ٖ ۗه َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِ ْي ٌر‬

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik


kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Mujadilah [58]: 3)

Berdasarkan kaidah ini kafarat dzihar yang terdapat dalam Qs. Al-Mujadilah
harus memerdekakan budak yang mukmin. Karena kafarat dzihar tersebut di atas
bersifat mutlaq.

3. Kaidah ketiga

Mutlaq itu tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya.
Diantara mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukum tetapi sama dalam
sebab maka mutlaq tidak dapat dibawa kepada muqayyad. Contohnya seperti
hukum wudhu dan tayammum. Dalam berwudhu diwajibkan membasuh tangan
sampai
mata siku sebagaimana dalam firman Allah Swt.:

۟ َّ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى ٱل‬


ِ ِ‫صلَ ٰو ِة فَٱ ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوَأ ْي ِديَ ُك ْم ِإلَى ْٱل َم َراف‬
‫ق‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (QS. Al-Ma’idah [5]:6)

Akan tetapi, pada tayammum tidak dijelaskan sampai siku, sebagaimana yang
tersurat dalam surat An-Nisa’ ayat 43, berikut ini:
8
۟ ‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَٱ ْم َسح‬
‫ُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوَأ ْي ِدي ُك ْم‬ ۟ ‫ۗ فَتَيَ َّم ُم‬
َ ‫وا‬

Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-
Nisa’ [4]:43)
Yang terkandung dalam dua surat tersebut di atas sama yaitu membasuh tangan,
tetapi hukumnya berbeda, yaitu membasuh tangan sampai mata siku dalam wudhu
dan menyapu tangan pada tayammum. Dengan demikian, harus diamalkan secara
masing-masing karena tidak saling membatasi.

4. Kaidah keempat

Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan
hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan
diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh:

a. Mutlaq

Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang
berbunyi:
ٰ ۟
ِ ‫َّارقَةُ فَٱ ْقطَع ُٓوا َأ ْي ِديَهُ َما َجزَٓا ۢ ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكاًل ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوٱلس‬ ِ ‫َوٱلس‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah.”

Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan


memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus
dipotong.

b. Muqayyad

Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:

۟ َّ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى ٱل‬


ِ ِ‫صلَ ٰو ِة فَٱ ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوَأ ْي ِديَ ُك ْم ِإلَى ْٱل َم َراف‬
‫ق‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”

9
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan
lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah
kewajiban mencuci tangan sampai siku.

Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama
berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya
mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan
pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad
berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang
muqayyad.

2.4 Penerapan Kaidah Mutlaq dan Muqayyad


Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz itu
dalam qara’ah mutawatir yang tgerdapat dalam mushaf dan di ungkapkan secara
mutlak:
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya
puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah [dan kamu langgar].
Dan ia muqayyad di batasi denag tatabu (berturut turut) dalam qira’ah Ibn
Mas’ud (Maka kafarahnya puasa selam tiga hari berturut-turut). Dalam hal seprti
ini, pengertian lafadz yang mutlaq dibawa kepada lafadz yang muqayyad (dengan
arti) yang di maksud lafadz mutlaq adalah sama dengan yang di maksud dengan
lafadz muqayyad, karana sebab yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang
bertentangan. Oleh karna itu seglong berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut
harus di lakukan tiga hari berturu-turut. Maka dalam kasus ini dipandang tidak ada
mukoyyas yang karana nya lafadz mutlaq dibawa kepadnya.
Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan
tayamum. Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku Allah
berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.
Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu.
Dalam hal ada yang berependapat lafadz yang mutlaq tidak di bawa kepada
lapad muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil dari
mayoritas ulam Syafi’i bahwa mutlaq disi dibawa kepada muqayyad mengingat
“sebab” nya sama sekalipun berbeda hukumnya.

10
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mutlaq adalah suatu lafaz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu
tanpa dibatasi oleh lafaz lainnya. Contoh: lafaz” hamba sahaya/ raqabah”.
Muqayyad adalah lafaz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata
tertentu. Contoh:
” hamba sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti budak
mukmin bukan budak lainnya. Kaidah mutlaq adalah lafaz mutlaq tetap dalam
kemutlaqannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlaqan itu,
sedangkan kaidah muqayyad adalah wajib mengerjakan yang muqayyad kecuali
jika ada dalil yang membatalkannya. Hukum dalam lafaz mutlaq dan muqayyad
yaitu:
1. Lafaz mutlaq dan lafaz muqayyad berdiri sendiri tanpa ada hubungan yang satu
dengan yang lainnya jika sebab dan hukumnya berbeda.
2. Lafaz dalam suatu ayat bersifat mutlaq dan dalam ayat lainnya bersifat
muqayyad namun sebab dan hukummnya sama. Di sini sepakat ulama
menjadikan yang mutlaq, muqayyad.
3. Lafaz dalam suatu ayat bersifat mutlaq dan dalam ayat lainnya bersifat
muqayyad dengan hukum yang sama namun berbeda sebabnya. Di sini jumhur
ulama menjadikan yang mutlaq itu tetap pada kemutlakannnya, dan
muqayyad tetap pada kemuqayyadannya, kecuali Syafii.
4. Lafaz dalam suatu ayat bersifat mutlaq dan dalam ayat lainnya bersifat
muqayyad dengan hukum yang sama namun berbeda sebabnya. Di sini
jumhur ulama menjadikan yang mutlaq, muqayyad, kecuali Hanafiyah.

3.2 Saran
1. Saya berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai
Kaidah Mutlaq dan Muqayyad sehingga kita dapat memahami dan tidak
cepat mengambil kesimpulan ketika terjadi pertentangan antara dua dalil.
2. Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah kepustakaan kita dalam
bidang Ushul Fiqh khususnya tentang Kaidah Mutlaq dan Muqayyad.
3. Saya berharap agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritiknya
yang membangun dalam rangka membangun makalah ini agar lebih

11
sempurna mengingat penulis juga manusia yang tak luput dari kekurangan
dan kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Quran Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,
Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2005.

al-Fâanisan, Su’ủd bin ‘Abd Allah, Ikhtilâf al-Mufassirîn Asbâbuhu Atsaruhu,


Riyadh: Markazal-Dirâsat wa al-I’lâam, 1997.

al-Khan, Musthafa Said, ‘Asral-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-


Fuqaha, Kairo: Muassasah al-Risalah, 1969.

al-Syafii, Jalâl al-Dîn al-Suyuthî, al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Jilid II, Beirut: Daral-
Fikr, t.th.

al-Shalih, Shubhi, Mabahits Fi ‘Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr li al-Malayin,


1988.
al-Qaththâan, Mannâ, Mabâhis fi ‘ulủm Al-Quran, Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-
Hadîts, t.th.

Az-Zarkasyi, Badr al-Dîn Muhammad bin Abdillah, Burhan Fi’Ulumil Qur’an, Jilid
II, Mesir: Dar Ihya’ al-kutub al-‘Arabi, 1957.

Baidan, Nasruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Effendi, Satria, M. Zein. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005.

Firdaus, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.

Harun, Salman, dkk, Kaidah-kaidah Tafsir, Jakarta: PT QAF Media Kreativa, 2017.

Ichwan, Nor, Memahami Bahasa Al-Quran: Refleksi atas Persoalan Linguistik,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

12
13

Anda mungkin juga menyukai