Anda di halaman 1dari 10

TEACHING PERCEPTIONS IN AFASIA BROCA PATIENTS USING THE

FUZZY MODEL: A PSYCHOLINGUISTIC STUDY

PERSEPSI UJARAN PADA PENDERITA AFASIA BROCA


MENGGUNAKAN MODEL FUZZY: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK

Pramudia Arzak Satria Pamungkas

Satriapamungkas230801@gmail.com
Fakultas Sastra. Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5 Malang, Jawa Timur, Indonesia
Telepon (0341) 551312

ABSTRACT
Language is an important element in everyday life. With human language can
communicate between social groups and individuals. Language is a
communication tool in the form of sound symbols produced by human speech
tools. In the language of communication will run smoothly if the message
conveyed by the speaker can be understood by the speech partner. If there is no
understanding between the speaker and the speech partner, then there may be a
disturbance in the communication. One of the disturbances in communication is
the nuclear language which can hinder communication between speakers and
speech partners. This study will focus on speech perceptions found in stroke
patients or Broca's aphasia using the Fuzzy model. The method used in this study
is a qualitative descriptive research method sourced from sufferers of broca
aphasia for 10 years. The result of this research is that the brain damage caused by
stroke can cause errors in language, such as in its phonology and semantics which
can be related to the Fuzzy model.

KEY WORDS: Speech Perception, Psycholinguistics, Broca's Aphasia, Fuzzy Model

ABSTRAK
Bahasa merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
bahasa manusia dapat berkomunikasi antar kelompok sosial maupun individu.
Bahasa adalah alat komunikasi berupa lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia. Dalam bahasa Komunikasi akan berjalan lancar apabila pesan yang
disampaikan penutur dapat dimengerti oleh mitra tutur. Jika tidak terjadi
pemahaman antara penutur dengan mitra tutur, maka kemungkinan ada gangguan
dalam komunikasi tersebut. Salah satu gangguan dalam komunikasi adalah
kekekliruan berbahasa yang dapat menghambat komunikasi antara penutur dan
mitra tutur. Pada penelitian ini akan terfokus pada persepsi ujaran yang terdapat
pada penderita stroke atau Afasia Broca dengan menggunakan model Fuzzy.
Metode yang digunakan pada penelitian adalah metode penelitian deskriptif
kualitatif yang bersumber dari penderita afasia broca selama 10 tahun. Hasil dari
penelitian ini adalah kerusakan otak yang diakibatkan oleh stroke ini dapat
menimbulkan kekeliruan dalam berbahasa, seperti pada fonologinya dan
semantiknya yang dapat dikaitkan dengan model Fuzzy.

KATA KUNCI: Persepsi Ujaran, Psikolinguistik, Afasia Broca, Model Fuzzy

PENDAHULUAN

Bahasa merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan sehari-hari. Manusia
membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi dalam kegiatan interaksi sosial. Komunikasi akan
berjalan lancar apabila pesan yang disampaikan penutur dapat dimengerti oleh mitra tuturnya.
Inti dari komunikasi adalah untuk menyampaikan informasi berupa ide atau pesan secara lisan.
Komunikasi akan berjalan lancar apabila pesan yang disampaikan penutur dapat dimengerti oleh
mitra tutur. Jika tidak terjadi pemahaman antara penutur dengan mitra tutur, maka kemungkinan
ada gangguan dalam komunikasi tersebut. Salah satu gangguan dalam komunikasi adalah
kekekliruan berbahasa yang dapat menghambat komunikasi antara penutur dan mitra tutur.

Effendi (1995: 15) berpendapat bahwa pengalaman sehari-hari menunjukkan, ragam lisan
lebih banyak dari pada ragam tulus. Ragam lisan berbeda dengan ragam tulis karena peserta atau
orang yang melakukan percakapan mengucapkan tuturan dengan tekanan, nada, irama, jeda, atau
lagu tertentu untuk memperjelas makna dan maksud tertentu. Selain itu dengan ragam lisan
peserta yang menjadi lawan bicara akan lebih mengerti suasana dan kondisi lawan bicarannya
sedang marah, sedih ataupun gelisah. Jika ragam lisan ini mengalami ketidak pahaman antara
penutur dan petutur. Maka kemungkinan akan terjadi gangguan dalam komunikasi tersebut.

Otak merupakan organ vital dalam memproduksi bahasa. Otak terbagi menjadi beberapa
bagian di mana setiap bagian tersebut memiliki fungsi masing-masing dalam proses berbahasa
seseorang. Jika terjadi gangguan pada otak, maka akan berakibat terjadinya kesalahan pada
proses berbahasa. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa
dengan baik. Akan tetapi, jika terjadi gangguan berbahasa maka komunikasi pun tidak berjalan
sesuai dengan yang diharapkan.

Salah satu gangguan berkomunikasi dialami oleh para penderita afasia. Afasia adalah
gangguan kemampuan berbahasa. Para penderita afasia dapat mengalami gangguan berbicara,
gangguan dalam memahami sesuatu, gangguan dalam membaca, menulis, dan berhitung.
Penyebab afasia selalu berupa cedera otak. Pada kebanyakan kasus, afasia dapat disebabkan oleh
pendarahan otak. Oleh para dokter, pendarahan otak disebut CVA: Cerebro Vasculair Accident
atau Kecelakaan Vaskuler Otak.

Salah satu yang menyebabkan gangguan pada otak yang menyebabkan afesia ini adalah
penyakit stroke yang disebabkan dari pembekuan otak, pecahnya pembuluh darah atau
kurangnya oksigen di otak. Afasia muncul karena gangguan di bagian-bagian otak yang bertugas
memahami bahasa lisan dan tulisan, mengeluarkan isi pikiran, mengintegrasikan fungsi
pemahaman bahasa dan mengeluarkannya, serta mengintegrasikan pusat fungsi berbahasa
dengan lainnya. Ciri umum yang nampak pada penderita afasia adalah berbicara yang terbata-
bata, pelafalan yang kurang jelas, atau perubahan bunyi pada tuturan penderita.
Penelitian ini dilakukan terhadap seorang informan yang telah mengalami afasia broca.
Afasia yang dialami informan disebabkan oleh stroke hemaragik di belahan otak kiri. Dampak
dari stroke tersebut menyisakan afasia broca dan melemahnya fungsi kaki sebelah kanan dan
tangan kanan. Afasia broca ditandai oleh gangguan atau hilangnya kemampuan untuk
menyatakan pikiran-pikiran yang dapat dimengerti dalam bentuk bicara dan menulis. Dalam
penelitian ini informan telah mengalami penyakit stroke selama 10 tahun.

Nur Rohman (2017: 91) menyatakan bahwa afasia broca memiliki ciri bicara spontan
pasien ialah lambat, tidak lancar atau terbata-bata, monoton dan kalimat pendek-pendek.
Penyimakan bahasa baik, pengulangan kalimat buruk dan penyebutan nama benda buruk. Pasien
sulit menemukan kata dan bicara tersendat-sendat dengan kalimat yang tidak lengkap. Orang
yang mengidap afasia broca tidak menghadapi masalah dalam hal memahami orang lain. Pada
umumnya gangguan menulis setara dengan gangguan berbicara, meniru ucapan terganggu,
sedngkan pengertian bahasa lisan dan tulis lebih baik.

Penelitian ini memilki rumusan masalah berupa (1) apa saja kesalahan berbahasa pada
penderita afasia broca yang diakibatkan oleh penyakit stroke; (2) apa keterkaitan kesalahan
berbahasa yang diderita oleh informan dengan teori Fuzzy. Selain itu penelitian ini bertujuan
untuk (1) memberikan gambaran tentang kekeliruan fonologi, sintaksis dan semantik pada
informan dalam memproduksi bahasa, (2) memberikan gambaran tentang keterkaitan kekeliruan
berbahasa informan dengan teori Fuzzy; (3) memberikan gambaran tentang siasat yang
digunakan oleh informan dalam mengungkapkan gagasan yang hilang dari memorinya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif, karena data yang dikumpulkan
bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari data wawancara dan dokumen
pribadi peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan keadaan subjek secara rinci
dan mendalam. Oleh karena itu, penggunaan jenis pendekatan kualitatif pada penelitian ini
dianggap sesuai dengan permasalahan yang diderita subjek. Alasannya, karena pendekatan
kualitatif berusaha mencocokkan kesalahan berbahasa yang diderita oleh informan dengan teori
Fuzzy. Pendekatan yang peneliti gunakan adalah pendekatan psikolinguistik, pendekatan
psikolinguistik adalah sebuah teori yang mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan
bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami
kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Data dalam penelitian ini berupa kata, dialog, kalimat, dan
percakapan penderita dengan peneliti maupun dengan pihak keluarga penderita afasia broca yang
diujarkan sehari-hari.

Sumber data dalam penelitian ini adalah seorang penderita afasia broca berjenis kelamin
perempuan berusia 70 tahun berinisial SM. penderita telah mengidap stroke selama 10 tahun saat
masih tinggal di Sidoarjo, pada tahun 2010. Yang mengakibatkan kelumpuhan pada tangan dan
kaki kanannya. Tuturan yang diujarkan penderita tidak terlalu mengalami perubahan, serta alat
ucap yang dimilki informan juga terlihat seperti orang normal. Namun pada beberpa fonem
tertentu informan mengalami perubahan pelafalan dan sedikit susah pengucapannya. Terkadang
pada saat akan berujar penderita terlihat seperti mengingat kata yang akan diucapkan. Kata-kata
yang diujarkan juga sering kali tidak sesuai dengan maksud penderita.
Pengumpulan data berupa studi lapangan dengan menggunakan metode deskripsi,
Pertimbangan kami menggunakan penelitian kualitatif ini adalah sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan berdasarkan hasil
pengamatan dari informan yang mengalami afasia broca, yang sudah mengalami stroke, dan sisa
stroke.

PEMBAHASAN
Data dan Analisis

Afasia Broca
Menurut Guyton & Hall, afasia broca lazim disebut afasia ekspresif atau afasia motorik.
Kerusakan yang menyebabkan afasia broca terletak di lapisan permukaan daerah broca (lesi
kortikal). Afasia ini memiliki karakter-karakter sendiri bila dibandingkan dengan afasia sensorik.
Karakter tersebut ditandai dengan cara berbicara yang sulit, sehingga kata-kata yang dikeluarkan
sedikit. Penderita tidak dapat mengatur sistem vokal untuk menghasilkan kata-kata. Penderita
stroke yang mengalami afasia broca secara otomatis mengalami gangguan dalam memahami
suatu bahasa atau kemampuan bahasanya mendadak hilang. Hilangnya kemampuan dalam
mengujarkan atau menirukan ujaranujaran bunyi vokal. Gejala utama pada penderita afasia broca
adalah kesulitan dalam bertutur yang dapat terjadi dalam berbagai derajat keparahan.
Menurut Nur Rohman (2017: 91) menyatakan bahwa afasia broca memiliki ciri bicara
spontan pasien ialah lambat, tidak lancar atau terbata-bata, monoton dan kalimat pendek-pendek.
Penyimakan bahasa baik, pengulangan kalimat buruk dan penyebutan nama benda buruk. Pasien
sulit menemukan kata dan bicara tersendat-sendat dengan kalimat yang tidak lengkap. Orang
yang mengidap afasia broca tidak menghadapi masalah dalam hal memahami orang lain. Pada
umumnya gangguan menulis setara dengan gangguan berbicara, meniru ucapan terganggu,
sedangkan pengertian bahasa lisan dan tulis lebih baik.

Linguistik
Linguistik berarti ‘ilmu bahasa’. Kata “linguistik” berasal dari kata Latin lingua
‘bahasa’.ilmu linguistik dikenal sebagai linguistics dalam bahasa Inggris, dan sebagai
linguistique dalam bahasa Prancis. Bentuk Indonesia dari istilah tersebut ialah linguistik.

Pada penelitian ini bidang fonologi, sintaksis, dan semantik leksikal merupakan bidang
yang menjadi bahan kajian dalam psikolinguistik. Psikolinguistik banyak meminta bantuan
kajian fonologi, sintaksis dan semantik. Tepatnya beberapa bidang ilmu linguistik yang dikaji
dalam penelitian afasia broca.

Psikolinguistik
Dardjowidjojo memberi istilah psikolinguistik sebagai ilmu hibrida, yaitu ilmu yang
merupakan gabungan antara dua ilmu psikologi dan linguistik. Tahap linguistik, yaitu
perkembangan ilmu linguistik, yang semula berorientasi pada aliran behaviorisme dan kemudian
beralih ke mentalisme (nativisme) pada tahun 1957 dengan diterbitkannya buku Chomsky,
Syntactic Structures, dan kritik tajam dari Chomsky terhadap teori behavioristik B.F. Skinner.
telah membuat psikolinguistik sebagai ilmu yang banyak diminati orang. Tahap kognitif,
psikolinguistik mulai mengarah pada peran kognisi dan landasan biologis manusia dalam
pemerolehan bahasa. Psikolinguistik pada dasarnya mempelajari empat topik utama, yakni (1)
Komprehensi; (2) Produksi; (3) Landasan biologis dan neurologis; (4) Pemerolehan bahasa.

Model Fuzzy
Menurut yang ada pada model ini persepsi ujaran terdiri dari tiga proses; evaluasi vitur,
integrasi vitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe, yakni bentuk yang
memilki semua ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur distigtifnya. Informasi dari
semua fitur yang masuk dievaluasi, diintegrasi dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari
prototipe yang ada pada memori kita. Setelah disosokkan lalu diambil kesimpulan apakah
masukan tadi cocok dengan yang ada pada prototipe.

Model ini dinamakan Fuzzy (kekaburan) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita
dengar tidak mungkin 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang mengunyah dan flu
akan berbeda pengucapan bunyinya dengan kita yang normal dan tidak mengunyah sesuatu.

Kekeliruan Bahasa pada Informan Penderita Afasia Broca

a. Kekeliruan fonologi
Abdul Chaer (2009:5) menyatakan yang dikaji fonologi adalah bunyi-bunyi bahasa
sebagai satuan terkecil dari ujaran beserta dengan gabungan antar bunyi yang membentuk silabel
atau suku kata. Serta juga dengan unsur-unsur suprasegmental, seperti nada, hentian dan durasi.

Muslich (2008) menyatakan bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian
mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselidiki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi.
Sebagai bidang yang berkonsentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja
fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain, baik
linguistik teoretis maupun terapan.

Komponen fonologi menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan bunyi. Bunyi
merupakan simbol lisan yang dipakai oleh manusia untuk menyampaikan segala sesuatu yang
ingin diinformasikan. Dalam komponen fonologi, bunyi-bunyi dibentuk dalam suatu sistem yang
disebut bahasa.

Pada tataran fonlogi penderita afasia broca yang dialami oleh informan mengalami
beberapa kendala atau permasalahan. Namun permasalahan ini tidak terlalu kompleks, dikarena
informan pada alat ucapnya tidak terlihat mengalami kecacatan. Hanya saja pada bagian lidah,
dan gigi atas informan mengalami gangguan. Pada bagian gigi atas informan terlihat tidak
memilki gigi atau bisa dibilang ompong, dan pada lidah informan mengalami kekakuan dan sulit
menggerakkan lidahnya ketika mengucapkan beberapa fonem atau kata.

Data yang saya peroleh dari informan ini berupa kata, seperti berikut, kata /corona/
menjadi /colona/ dan juga /barang/ menjadi /balang/, serta pada kata /rusak/ menjadi /lusak/.
Pada beberapa data diatas terlihat bahwa ketika informan mengujarkan bunyi [r] akan berubah
menjadi bunyi [l]. Jika dilihat fitur distingtifnya bunyi [r] merupakan konsonantal, abterior,
koronal, vois dan kontinuan, Jika dilihat dari artikulasinya bunyi [r] ini adalah bunyi apikoveolar,
getar. Yang diakibatkan oleh ujung lidah bertemu dengan ceruk gigi atas, dan ada getaran.
Sedangkan bunyi [l] dilihat dari fitur distingtifnya [l] adalah konsonantal, anterior, koronal, vois
dan kontinuan, sedangkan jika dilihat artikulasinya bunyi [l] ini merupkan bunyi apikoveolar,
sampingan. Terjadi apabila ujung lidah bertemu dengan ceruk gigi atas dan tidak bergetar. Jika
dikaji mengapa bunyi [r] pada informan bisa menjadi [l] dikarenakan lidah yang dimilki
informan mengalami kecacatan atau mengalami permalahan saat akan bergetar. Jika dilihat bunyi
[r] dan [l] ini memilki fitur artikulasi yang sama yakni apikoveolar yang membedakan adalah
bunyi [r] bergetar dan huruf [l] tidak bergetar. Saat mengetarkan lidahnya ini informan
mengalami kesulitan, terkadang ada kata yang agak jelas pengucapan [r] nya diakibatkan ada
paksaan pada bagian lidah informan yang menyebabkan kata [r] ini sedkit terdengar jelas.

Kesalahan juga dapat diemukan saat informan mengatakan kata /zaitun/ menjadi /jaitun/
serta /zaman/ menjadi /jaman/. Jika dilihat bunyi yang berubah adalah bunyi fonem [z] menjadi
[j]. Jika dilihat fitur distigifnya bunyi [z] adalah konsonantal, anterior, koronal, vois, straiden,
kontinuan, jika dilihat artikulatornya bunyi [x] adalah laminoaveolar, geseran, bersuara. Yang
terjadi karena daun lidah bertemu dengan ceruk gigi atas, saat bertemu lidah mengalami geseran
dan bersuara. Sedangkan bunyi [j] dilihat dari fitur distingtifnya adalah konsonantal, koronal,
straiden, dan memiliki titik artikulatoris yakni laminopalatal, paduan, bersuara. Bunyi [j]
terbentuk karena bertemunnya daun lidah dan langit-langit keras, saat bertemu terjadi paduan
dan menghasilkan suara letupan. Mengapa informan tidak bisa melafalkan bunyi [z] dan berubah
menjadi [j] dikarena lidah saat melafalkan [z] saat melakukan geseran mengalami kesulitan, dan
dialihkan bunyi itu pada [j] yang pelafalannya lebih mudah. Jika dilihat kedua bunyi ini memilki
perbedaan yang sangat jelas, namun keduannya saat titik artikulatorisnya mengunakan daun
lidah. Hal ini mengakibatkan informan saat melafalkan [z] yng cenderung sulit akan beralih pada
bunyi [j] yang lebih mudah.

Selain kedua kealahan ini informan juga mengalami kesalahan berbahasa pada pelafalan
kata /fakta/ menjadi /pakta/ dan /fanta/ menjadi /panta/, juga terihat pada kata /vitamin/
menjadi /pitamin/ jadi yang mengalami kekeliruan pelafalan ini adalah bunyi [f] dan [v] yang
dilafalkan menjadi [p]. Jika dilihat fitur distingtifnya bunyi [f] adalah konsonantal, anterior,
straiden, dan kontinuan. Sedangkan bunyi [v] konsonantal, anterior, vois, straiden, kontinuan.
Keduannya merupakan bunyi labiodental, yang membedakan adalah bunyi [f] tidak berbunyi
atau bersuara sedangkan [v] bersuara. Kedua bunyi ini terbentuk karena bertemunnya bibir
bawah dengan gigi atas. Sedangkan bunyi [p] jika dilihat fitur distingtifnya adalah konsonantal,
anterior, dan jika dilihat artikulatornya adalah bilabial, hambat, tak bersuara. Bunyi ini terjadi
apabila bibir bawah bertemu bibir atas dan tidak menimbulkan bunyi. Jika bunyi akan
menciptakan bunyi fonem [b]. Mengapa bunyi [f] dan [v] menjadi [p] dikarena pada titik
artikulasinnya dibagian gigi atas, informan sudah tidak memilikinnya, saat mengucapkan fonem
bunyi [f] dan [v] akan terasa sulit, bibir bawah tidak dapat bertemu gigi atas dan mengakibatkan
bibir bawah bertemu dengan bibir atas dan mengakibatkan bunyi labiodental menjadi bilabial.

b. Kekeliruan sintaksis

Sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa berusaha menjelaskan unsur-unsur suatu
satuan serta hubungan antara unsur-unsur itu dalam suatu satuan, baik hubungan fungsional
maupun hubungan maknawi. Keluaran yang dihasilkan oleh komponen sintaktik, kemudian
dikirim ke komponen fonologi untuk mendapatkan interpretasi fonologis. Pada komponen ini
masukan dari komponen sintaktik ditelaah secara fonologis, yakni dicermati apakah semua
kaidah fonologis bahasa tersebut telah ditaati.

Pada kondisi saat ini informan dilihat dari penyusunan kalimat dan susunan fungsi
sintaksis yang diciptakan oleh informan dalam keadaan baik-baik saja, penyusunan kalimat saat
informan menyatakan sesuatu sudah benar dan tidak ada kesalahan seperti halnya orang normal
pada umumnya, hal ini diakibatkan afasia broca yang diderita informan dilawan dengan
seringnya informan membaca dan berbicara, serta seringnya informan diajak interaksi oleh
anggota keluarga, hal ini mengakibatkan susunan kalimat yang ada diotak informan tidak
langsung hilang dan terus diperbarui karena seringnya informan diajak interaksi dan berbicara.
Selain itu informan dapat mengalami kekeliruan dalam penyusunan kalimat disaat dulu
kondisinnya saat beberapa hari atau bulan terkena stroke, karena waktu yang terus berjalan, otak
informan kembali dapat mengujarkan dan menata susunan kalimat yang benar. Fungsi sintaksis
yang diciptakan oleh informan sudah benar hannya saja agak mengalami penurunan daya
responnya. Respon informan agak lama saat diberikan pertanyaan, namun terlepas dari itu
susunan jawaban yang diberikan oleh informan tersusun dengan benar.

c. Kekeliruan semantik

Abdul Chaer (2009:2) mengemukakan bahwa semantik adalah kajian bahasa atau kajian
linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. oleh karena itu, melalui pengkajian
bahasa dengan ilmu semantik, maka makna yang terkandung dalam sebuah bahasa dapat kita
kupas atau analisis secara seksama.

Dalam semantik ada beberapa jenis, salah satunnya adalah Semantik leksikal yang
merupakan makna sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi kita, makna apa
adanya, atau makna yang ada dalam kamus. Sementara menurut Kridalaksana, semantik leksikal
adalah penyelidikan makna unsur-unsur kosa kata suatu bahasa pada umumnya. Menurut
Djajasudarma makna leksikal (bhs. Inggris; lexical meaning, semantic meaning, external
meaning) adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain.
Makna leksikal ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks.

Defisit semantik yang dialami informan mengakibatkan kata yang diretrifnya menjadi
salah, seperti pada data berikut:

percakapan 1
- Informan: satria, tolong ambilkan botol yang ada disana.
- Satria : iya (sambil memberikan botol plastik)
- Informan: loh kok botol, itu lo yang dicantolkan di rak meja makan.
- Satria: oh, gelass
- Informan: benar
percakapan 2
- Informan: lee, tolong ambilkan kantong kresek milik bude
- Tole: Baik bude
- Inforan : kok itu sih , bukan kresek tapi dompet
- Tole: tadi ngomongnya kresek
- Informan: Iya , tapi bukan kresek, melainkan tas

Pada data diatas terlihat bahwa pada percakapan 1 (p1) dan percakapan 2 (p2) informan
mengalami kekeliruan dalam bidang makna. Pada (p1) informan mengujarkan botol merupakan
gelas. Dilihat dari leksikalnya botol dan gelas memilki perbedaan arti. Dapat dilihat bahwa
informan tidak bisa menyebutkan pelebelan barang dengan benar dan baik. Botol yang memilki
bentuk berbeda dengan gelas dilebelkan memilki kesamaan dengan gelas, hal ini mengakibatkan
lawan bicarannya megalami kebingungan. Pada data percajapan kedua (p2) seperti halnya pada
(p1) informan tidak dapat membedakan pelebelan tas kresek dan dompet, jika dilihat secara
semantik leksikal, makna dari kedua benda ini berbeda dan tidak memilki kesamaan bentuknya.
Informan sering melakukan kesalahan dalam bidang semantik leksikal ini dengan menukar-nukar
nama atau lebel barang dan merubah makna yang dimilkiinnya.

Keterkaitan Kekeliruan Berbahasa dengan Model Fuzzy


Model fuzzy bisa diartikan kabur. Setiap orang tidak akan sama 100% dalam
mengujarkan bunyi, suku kata atau kata. Seperti pada informan yang mengalami stroke atau
Afaksia Broca ini. Dengan data diatas yang memperlihatkan kekeliruan dalam taraf fonologi,
sintaksis, dan semantik dapat dilihat bahwa kekeliruan berbahasa informan dapat dikaitkan
dengan teori fuzzy. Data diatas hannya memperlihatkan kekeliruan berbahasa dalam bentuk
fonologi dan semantik, namun pada sintaksis tidak ada, hannya disebutkan bahwa informan
dalam fungsi dan urutan sintaksisnya sudah tepat. Pada penderita afeksia broca ini terlihat
bahwa, mengalami kekaburan dalam fonologinnya. Seperti pada kata /corona/ menjadi /colona/
dan juga /barang/ menjadi /balang/. Perubahan bunyi [r] menjadi [l], saat informan mengujarkan
atau mengatakan kata-kata ini terlihat ada kesulitan pada bunyi fonem [r] saat didengar informan
memang pengucapan fonem [r] nya mengalami kecacatan atau kelainan. Hal ini diakibatkan
kondisi sroke nya atau afasiannya yang menyerang lidah, dan mengakibatkan lidahnya kaku,
dibanding orang-orang normal yang dapat menyebutkan [r] dengan bebar, informan untuk
mengujarkan bunyi [r] jika ingin agak jelas maka harus dengan susah payah atau dengan sedikit
tenaga, yang terlihat seperti memaksa lidah untuk bergetar. Jika dilihat kasus ini sama dengan
kelainan lain yakni cadel lidah bentuk bunyi [r]. Jika dilihat lagi pada kata /barang/ menjadi
/balang/ dapat menimbulkan persepsi makna yang salah, karena kata /barang/ dan /balang/
jauhberbeda maknannya. Bisa saja orang yang mendengarkan dapat salah mempresepsi
bunyinnya dan menyimpulkan bahwa bunyi yang diujarkan adalah /balang/, namun dengan
adannya konteks yang, saat itu informan memerintahkan keponakannya untuk mengambil
sesuatu dengan kalimat “ satria tolong ambilkan /balang/ itu didekat Bude. Jika dilihat jika
makna dari ujaran ini adalah balang apakah mungkin keponakan informan akan melemparkan
atau membalangkan sesuatu kebudenya. Hal ini terlihat tidak mungkin karena tidak sopan. Selain
bunyi [r] ada lagi bunyi [z], [f] dan [v], yang telah dianalisis dalam data diatas.

Pada tataran semantik jika dikaitkan dengan model Fuzzy, responden juga terlihat
mengalami kekaburan dalam menyatakan benda dan makna benda itu. Pada data diatas orang
biasa dapat membedakan antara gelas dan botol. Namun pada informan ini terlihat tidak bisa
membedakan antara gelas dan botol dengan benar, serta kesulitan untuk mempresepsi makna
antara kedua benda ini, hal ini mengakibatkan orang yang mendengar ujaran dari informan akan
kesulitan dengan apa yang dimaksud dan apa yang di ingin oleh informan.
KESIMPULAN

Afasia bisa diteliti melalui ilmu neurologi, psikologi, dan linguistik. Pada penelitian ini,
lebih menitik beratkan pada kajian linguistik, pada cabang psikolinguistik, dengan dibantu
cabang linguistik lain yakni fonologi, sintaksis, dan semantik. Penelitian ini sesuai bidang ilmu
yang saya tekuni. Oleh karena itu, penelitian ini sudah selesai dilakukan dengan menghasilkan
simpulan sebagai berikut:

1. Informan melakukan kekeliruan berbahasa pada saat mengucapkan bunyi fonem [r];[z];
[f] dan [v] yang diakibatkan lidah dan gigi atas yang memilki masalah.
2. tidak terlihat Kekeliruan sintaksis yang diujarkan oleh informan. Informan menyusun
kalimat dan fungsi sintaksis dengan baik dan benar.
3. Pada kekeliruan leksikal atau semantik informan mendapat kesulitan dalam meretrif atau
memanggil kata disekitarnya, dan cenderung kesulitan menafsirkan artinnya dan
terkadang ujarannya tidak sesuai dengan keinginannya atau kemauannya, seperti
informan ingin diambilkan gelas namun yang diujarkan botol.
4. kesalahan berbahasa yang dialami oleh informan dapat dikaitkan dengan model Fuzzy
atau model kekaburan.
5. Pemerosesan bahasa informan terhambat sehingga proses semantik, fonologi, bahkan
pragmatiknya terganggu. Untuk menyiasati gangguan kelancaran berbahasa tersebut
informan berusaha menunjuk dan memparafasia, mengasosiasi, atau menginteraksi
makna dalam melakukan konteks komunikasi dengan mitra tuturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2015. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta

Chaer, Abdul, 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dachrud, Musdalifah. 2010. Studi Metaanalisis Terhadap Intensitas Terapi   Pada Pemulihan
Bahasa Afasia. Manado: Jurnal Psikologi Volume 37 Nomor 1.

Damayanti, Rini. & Suryandari, Savitri. 2017. Psikolinguistik Bahasa Alay & Cyber Bullying.
Kresna Bina Insan Permata.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2018. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.


Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hartini, Lilis. & Sudana, Dadang. & Syihabuddin. 2011. Kajian Psikolinguistik Pada Penderita
Afasia Broca Pascastroke: Pemanggilan Leksikon, Kekeliruan Berbahasa, Dan Siasat
Komunikasi. Bandung: KIMLI Universitas Pendidikan Indonesia.
Hidayanti, Laeli. 2020. Fenomena Gangguan Berbahasa Pada Anak Usia 3-6 Tahun Dalam
Lingkungan Masyarakat Di Daerah Cisauk Tangerang. Jakarta: Jurnal Lentera Volume 3 Nomor
1.

Johan, Muhammad. & Tami, Triyani. 2019. Tataran Fonem Penderita Afasia Broca Pada
Produksi Leksikal: Suatu Kajian Neuro-Fonologi. Batam: DEIKSIS Volume 6 Nomor 2.

Kuntarto, Eko. 2017. Memahami Konsepsi Psikolinguistik. Jambi: Universitas Jambi.

Muslich, Masnur. (2008). Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Nasrullah, Riki. dkk. 2020. Ekspresi Verbal-Gramatikal Penyandang Afasia Broca Berbahasa
Indonesia: Suatu Kajian Neurolinguistik. Bandung: Ranah Jurnal Kajian Bahasa Volume 9
Nomor 1.

Nur, Rohmahi Indah. 2017. Gangguan Berbahasa Kajian Pengantar. Malang: UIN-Maliki Press.

Purnamawati, Indri., dkk. 2018. Kesalahan Fonologi Pada Penderita Afasia Broca Pascastroke
Dalam Tinjauan Psikolinguistik. Balikpapan: Basa Taka Volume 1 Nomor 1.

Sanjaya, Nur Arief. 2015. Gangguan Fonologi Keluaran Wicara Pada Penderita Afasia Broca
Dan Fasia Wernicke: Suatu Kajian Neurolinguistik. Arkhais Volume 6 Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai