GERD
I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Gastroesophageal reflux adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang
sewaktu-waktu. Pada orang normal refluk ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan.
GERD kronis disebabkan oleh sfingter esophagus yang bekerja dengan kurang baik dan
reflux asam lambung dan getah alkali usus ke dalam esophagus yang berlangsung yang
berlangsung dalam waktu yang lama.
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit lambung
akibat refluks asam lambung, adalah masalah kesehatan yang cukup umum. GERD
merupakan gerakan membaliknya isi lambung menuju esofagus. GERD juga mengacu pada
berbagai kondisi gejala klinis atau perubahan histologi yang terjadi akibat refluk
gastroesofagus. Ketika esofagus berulangkali kontak dengan material refluks untuk waktu
yang lama, dapat terjadi inflamasi esoagus (esofagitis refluks) dan dalam beberapa kasus
berkembang menjadi erosi esofagus (esofagitis refluks)
Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu gangguan dimana isi lambung
mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang bersifat kronis dan
menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu (Simadibrata, 2009).
Menurut Laporan Konsensus Montreal tahun 2006, GERD adalah sebuah kondisi yang
terjadi ketika refluks isi lambung menyebabkan gejala yang mengganggu dan atau
komplikasi. Menurut Konsensus Nasional tahun 2013, GERD adalah suatu kelainan yang
menyebabkan cairan lambung dengan berbagai kandungannya mengalami refluks ke dalam
esofagus, dan menimbulkan gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang
disertai rasa nyeri dan pedih) dan gejala-gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di
lidah), nyeri epigatrium, disfagia, dan odinofagia (PGI, 2013).
1.2 Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi :
1. Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
2. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
3. Ketahanan epitel esofagus menurun
4. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin, garam
empedu, HCL.
5. Kelainan pada lambung
6. Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
9. Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol,
merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter
bagian bawah termasuk yang memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa
antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
1.4 Patosiologi
GERD dapat dibagi menjadi dua yaitu erosive esophagitis (EE) dan non-erosive reflux
disease (NERD).Pasien-pasien NERD tidak didapatkan lesi pada esofagus saat pemeriksaan
endoskopi (Singh, 2012). Beberapa hal yang berperan dalam patogenesis GERD, diantaranya
adalah peranan infeksi Helicobacter pylori (H. pylori), peranan kebiasaan/gaya hidup ala
barat dengan diet tinggi lemak, peranan motilitas, dan hipersensitivitas viseral. Peranan
infeksi H. Pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang
ada. Peranan alkohol, diet serta faktor psikis tidak bermakna dalam patogenesis GERD,
sedangkan rokok dan berat badan berlebih dikatakan sebagai faktor risiko terjadinya GERD.
Beberapa obat-obatan bronkodilator dapat juga mempengaruhi GERD (PGI, 2013).
1. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks).
Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux
disease (NERD).
2. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih
berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis
GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari
endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan
gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
3. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat
memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas
LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4. Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari
1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien
dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti
yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri,
maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan
adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
5. Manometri esofagus : mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah
menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari katup yang
berfungsi buruk kekuatan sphincter.
1.6 Komplikasi
Komplikasi GERD antara lain :
1. Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
2. Esofagitis ulseratif
3. Perdarahan
4. Striktur esofagus
5. Aspirasi
1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan penderita PRGE terdiri dari :
Tahap I
Bertujuan untuk mengurangi refluks, menetralisasi bahan refluks, memperbaiki barrier anti
refluks dan mempercepat proses pembersihan esophagus dengan cara :
a. Posisi kepala atau ranjang ditinggikan (6-8 inci)
b. Diet dengan menghindari makanan tertentu seperti makanan berlemak, berbumbu, asam,
coklat, alkohol, dll.
c. Menurunkan berat badan bagi penderita yang gemuk
d. Jangan makan terlalu kenyang
e. Jangan segera tidur setelah makan dan menghindari makan malam terlambat
f. Jangan merokok dan hindari obat-obat yang dapat menurunkan SEB (Spinkter Esofagus
Bawah) seperti kafein, aspirin, teofilin, dll.
Tahap II
Menggunakan obat-obatan, seperti :
a. Obat prokinetik yang bersifat mempercepat peristaltik dan meninggikan tekanan SEB,
misalnya Metoklopramid : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur
dan Betanekol : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur.
b. Obat anti-sekretorik untuk mengurangi keasaman lambung dan menurunkan jumlah
sekresi asam lambung, umumnya menggunakan antagonis reseptor H2 seperti Ranitidin
: 2 mg/kgBB 2x/hari, Famotidin : 20 mg 2x/hari atau 40 mg sebelum tidur (dewasa),
dan jenis penghambat pompa ion hidrogen seperti Omeprazole: 20 mg 1-2x/hari untuk
dewasa dan 0,7 mg/kgBB/hari untuk anak.
c. Obat pelindung mukosa seperti Sukralfat: 0,5-1 g/dosis 2x sehari, diberikan sebagai
campuran dalam 5-15 ml air.
d. Antasida
Dosis 0,5-1 mg/kgBB 1-2 jam setelah makan atau sebelum tidur, untuk menurun-kan
refluks asam lambung ke esofagus.
Tahap III
Pembedahan anti refluks pada kasus-kasus tertentu dengan indikasi antara lain mal-nutrisi
berat, PRGE persisten, dll. Operasi yang tersering dilakukan yaitu fundo-plikasi Nissen, Hill
dan Belsey. yaitu dibuat semacam katup buatan pada pertemuan gastro-esofagus dengan
menutup atau merajut fundus gaster di sekitar bagian bawah esofagus.
1.8 Pathway
Resiko aspirasi
Mual, muntah, dan anoreksia
Respon peradangan lokal Risiko infeksi
Metanbasia enitel
Respon
Intake nutrisi tidak Nyeri
adekuat epigastrium
kehilangan cairan dan psikologik
Kecemasan
elektrolit Prosedur prabedah
pemenuhan informasi
Ulkus esofagus keganasaan esofagus
nyeri
(Nanda 2017)
3. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada
esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
Timbang berat
badan tiap hari. Buat Pengawasan
jadwal teratur setelah kehilangan dan alat
pulang. pengkajian
kebutuhan nutrisi
Kolaborasi dengan
ahli gizi Perlu bantuan
dalam perencanaan
diet yang memenuhi
kebutuhan nutrisi
III. Daftar Pustaka
Aru, Sudoyo. 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV . Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2015. Penyakit Refluks Gastroesofagus . Universitas Sumatera Utara : Fakultas
Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Djajapranata, Indrawan. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta :
FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis. PPDS
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September - November 2009.