Anda di halaman 1dari 40

CLINICAL SCIENCE SESSION

SINDROM NEFROTIK DAN GLOMERULONEFRITIS AKUT


PASCA STREPTOKOKUS

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)


SMF Ilmu Kesehatan Anak

Disusun oleh:
Ai Nazly Nur Daima
12100119055

Preseptor:
Gustomo, dr., SpA

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Clinical Science Session
(CSS) mengenai Sindrom Nefrotik dan Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus.
Laporan Clinical Science Session (CSS) ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran UNISBA.
Dengan tersusunnya Laporan Clinical Science Session (CSS) ini, penulis tak
lupa menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut
membantu dalam penyusunan kesimpulan Clinical Science Session (CSS) ini
hingga selesai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat
sebagai preseptor Gustomo, dr., SpA yang telah membimbing kami dengan baik.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan


Clinical Science Session (CSS) ini untuk itu penulis mengharapkan masukan dan
saran dalam perbaikan Clinical Science Session (CSS) ini. Besar harapan penulis
Clinical Science Session (CSS) ini dapat diterima dan memiliki nilai manfaat bagi
banyak pihak, khususnya pihak-pihak yang terkait dan berhubungan dengan
Clinical Science Session (CSS).
Tiada kata lain yang pantas diucapkan, semoga Allah SWT memberikan
balasan yang setimpal. Amin

Kuningan, 26 Juli 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan glomerulus atau glomerular disorders banyak terjadi pada anak

dengan karakteristik sindrom nefritik dan sindrom nefrotik. Salah satu contoh

sindrom neftritik yang paling sering adalah glomerulonefritis akut pasca

streptokokus (GNAPS) yang ditandai dengan hematuria, proteinuria, dan

terkadang piuria dan granular RBC. Penyebab tersering pada sindrom nefrotik

adalah adanya minimal changes disease (MCD) yang ditandai dengan proteinuria

berat (>40mg/m2/jam, 1000mg/m2/hari atau perbandingan protein:kreatinin>2),

sedikit atau tidak adanya hematuria dan kelainan sedimen urin lainnya.7

Sindrom nefrotik memiliki insidensi cukup tinggi pada anak yaitu

diperkirakan 2-5 per 100.000 setiap tahunnya pada anak usia <16 tahun. Insidensi

di Indonesia diperkirakan 6 kasus per 100.000 anak setiap tahunnya pada anak

usia <14 tahun. Penyebab tersering sindrom nefrotik adalah idiopatik atau

sindrom nefrotik primer.2,3

Salah satu penyebab sindrom nefritik yang sering pada anak adalah

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS). GNAPS adalah suatu

bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi

dan inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic

streptococci (GABHS) yang sering terjadi pada anak usia 6-15 tahun. Banyak dari

kasus GNAPS merupakan self limiting disease namun tidak sedikit juga yang

menjadi gagal ginjal akut hingga kematian.1,8


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SINDROM NEFROTIK

2.1.1 Definisi

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteionuria masif,


hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Terkadang disertai
dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal.1

2.1.2 Epidemiologi
Insidensi sindrom nefrotik diperkirakan 2-5 per 100.000 setiap tahunnya
pada anak usia <16 tahun. Insidensi di Indonesia diperkirakan 6 kasus per
100.000 anak setiap tahunnya pada anak usia <14 tahun. Anak dengan
sindrom nefrotik berisiko tinggi mengalami kematian akibat yang biasanya
disebabkan oleh infeksi. Perbandingan anak laki-laki berbanding perempuan
adalah 2:1. Sebanyak 80% anak dengan sindrom nefrotik memiliki respon
yang baik terhadap pengobatan kortikosteroid, tetapi sekitar 50% diantaranya
akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan
pengobatan steroid.1,3 Pada umumnya sindrom nefrotik sensitif steroid
sebelum usia 8 tahun (terutama sebelum 6 tahun) dengan puncak kejadian
pada usia 4-5 tahun.3

2.1.3 Etiologi

Etiologi sindrom nefrotik diklasifikasikan menjadi kongenital, sindrom


nefrotik primer atau idiopatik dan sindrom nefrotik sekunder. Sindrom nefrotik
kongenital dapat terjadi pada bayi saat lahir ataupun sebelum lahir. Namun
gejala proteinuria berat, edema, dan hypoalbuminemia ditemukan beberapa
minggu atau bahkan beberapa bulan kemudian. Sindrom nefrotik yang muncul
sebelum bayi berusia 3 bulan disebut sindrom nefrotik kongenital (SNK)
sedangkan SN yang muncul gejala pada tahun pertama kehidupan disebut
dengan sindrom nefrotik infantile (SNI).
Sindrom nefrotik primer menjadi penyebab tersering pada anak. Sindrom
nefrotik sekunder adalah sindrom nefrotik yang terjadi diawali oleh penyakit
sistemik seperti systemic lupus erythematous (SLE), Henoch-Schönlein purpura,
keganasan (limfoma dan leukemia), dan infeksi (hepatitis, HIV, and malaria).2
2.1.4 Klasifikasi

1. Berdasarkan etiologi
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dibedakan menjadi sindrom
nefrotik primer atau idiopatik, gangguan genetik atau kongenital, dan
sindrom nefrotik sekunder.2

Gambar 1: Klasifikasi berdasarkan etiologi sindrom nefrotik2

2. Berdasarkan histologi
a. Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
b. Sindrom Nefrotik Kelainan Nonminimal (SNKNM)
o Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS)
o Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial (GNPM)
o Glomerulonefritis Membrano Proliferatif (GNMP)
o Glomerulopati Membranosa (GM)3
Sebagian besar SNKM (90%) memiliki respons yang baik terhadap
pengobatan steroid.

Gambar 2. Klasifikasi Kelainan Glomerulus pada SN Primer.4

Gambar 3. Gambaran Histologis Sindrom Nefrotik Primer.5


Gambar 4. Klasifikasi SN kongenital dan infantil.4

2.1.5 Patogenesis

Normalnya pada struktur glomerulus terdapat membrane filtasi yang

terdiri atas endothelium kapiler glomerulus, membran basalis, dan podosit.

Endotel kapiler berfungsi untuk menyaring protein plasma ukuran besar (70kD)

sehingga tidak dapat lolos dari proses filtrasi. Namun untuk protein berukuran

kecil seperti albumin masih dapat lolos dari proses filtrasi. Selanjutnya membran

basalis mempunyai muatan negatif sehingga albumin yang bermuatan negatif

tidak dapat lolos pada proses filtrasi. Yang terakhir lapisan paling luar terdapat

podosit yang penting untuk membentuk celah filtrasi.

Pada sindrom nefrotik yang terjadi adalah adanya peningkatan

permeabilitas dinding kapiler glomerulus terhadap protein sehingga terjadi

kebocoran pada glomerulus. Keadaan proteinuria menyebabkan kadar protein

dalam serum khususnya albumin menyebabkan keadaan tubuh mengalami

hipoalbuminuria.

Terdapat dua teori terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Teori yang

pertama adalah teori underfilled yaitu saat terjadi penurunan tekanan onkotik
intravaskular. Hipoalbuminuria menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid

plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudate

melewati dinding kapiler dari ruang intravascular ke ruang interstisial

menyebabkan terjadinya edema.

Gambar 5. Mekanisme edema menurut teori underfilled.4

Teori yang kedua adalah teori overfilled yaitu saat terjadi retensi natrium

renal dan air. Keadaan ini menyebabkan ekspansi volume plasma dan cairan

ekstraselular. Peningkatan volume plasma inilah yang menyebabkan terjadinya

edema.
Gambar 6. Mekanisme edema menurut teori overfilled.4

Gambar 7. Gambaran Klinis Sindrom Nefrotik.5

1.1.6 Manifestasi klinis

1. Proteinuria massif

Protein urin >40mg/m2LPB/jam atau >50mg/kgBB/24 jam. Rasio

protein/kreatinin urin >2,5. Dengan pemeriksaan Esbach, kadar protein dalam urin

24 jam >2g. Secara semikuantitatif dengan pemeriksaan Bang atau Dipstick


menunjukkan protein urin ≥+2.

2. Hipoalbuminemia

Kadar albumin dalam serum menurun hingga mencapai <2,5 gr/dL.

3. Edema

4. Hiperlipidemia

Kolesterol total darah meningkat (>200 mg/dL). Meskipun demikian,

hiperlipidemia tidak lagi dijadikan sebagai kriteria diagnostik SN karena penderita

SN-terutama kelainan nonminimal-dapat menunjukkan kadar lemak darah

normal.3

1.1.7 Diagnosis1,2

1. Anamnesis
Keluhan yang biasa dirasakan pasien adalah bengkak pada kedua kelopak
mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh juga dapat disertai penurunan
jumlah urin, urin keruh, atau urin kemerahan (hematuria).
2. Pemeriksaan fisik
Pasien biasanya datang dengan edema di kedua kelopak mata, tungkai,
asites, dan edema skrotum/labia; terkadang ditemukan hipertensi.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah:
a. Urinalisis
Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah
kepada infeksi saluran kemih
b. Protein urin kuantitatif
Dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein:kreatinin pada urin
pertama pagi hari. Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (≥2+), rasio
albumin kreatinin urin >2 dan dapat disertai hematuria.
c. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah didapatkan hypoalbuminemia (<2,5g/dL),
hiperkolesterolemia (>200mg/dL), dan laju endap darah yang meningkat.

Pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis sindrom nefrotik sekunder


(anak usia ≥10 tahun) melalui pemeriksaan kadar C3, antinuclear antibody
(ANA), ds-DNA, hepatitis B, hepatitis C dan HIV pada populasi berisiko
dan biopsi ginjal (pada anak usia ≥12 tahun).

1.1.8 Diagnosis banding2

- Sindrom nefrotik kongenital


- Hemolytic-uremic syndrome (HUS)
- Henoch-Schonlein nephritis
- IgA nephropathy
- Membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN)
- Membranous nephropathy
- Sickle cell nephropathy
- Systemic immunologic disease (SLE)

1.1.9 Tatalaksana

Setelah ditemukan manifestasi klinis sindrom nefrotik, sebaiknya anak


dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan
evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid,
dan edukasi orangtua.6

Pemeriksaan yang perlu dilakukan sebelum memberikan pengobatan steroid


diantaranya:

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan


2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
4. Mencari focus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersamaan dengan steroid, dan bila ditemukan
tuberculosis diberikan obat antituberkulosis (OAT)

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat


edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,
gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak
diperbolehkan untuk tetap sekolah.

Batasan6

- Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/


jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu

- Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m 2 LPB/jam) 3 hari


berturut-turut dalam 1 minggu
- Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan.
- Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun.
- Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid
diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan
- Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
- Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu

A. Diitetik
- Pemberian protein normal sesuai RDA (recommended daily
allowances) 1,5-2g/kgBB/hari.
- Diit rendah garam 1-2g/hari jika ada edema.
B. Diuretik
- Pemberian loop diuretic seperti furosemide 1-3mg/kgBB/hari,
jika perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosterone, diuretik hemat kalium) 2-4mg/kgBB/hari. Sebelum
diberikan diuretik perlu disingkirkan kemungkinan hypovolemia.
Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.

- Bila pemberian diuretik tidak berhasil, biasanya karena terjadi


hypovolemia atau hypoalbuminemia berat (≤ 1g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama
2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma
20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.

Gambar 8. Algoritma pemberian diuretik.6


C. Imunisasi
Pasien SN yang diberikan pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgBB/hari
atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, dikatakan sebagai
pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6
minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati,
seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison
selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral,
campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan
untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.6
D. Pengobatan dengan kortikosteroid
- Pengobatan inisial

Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney

Diseases in Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan

pemberian prednison 60 mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari

(maksimal 80 mg/hari), untuk menginduksi remisi. Prednison

dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi

remisi pada 4 minggu pertama, pemberian steroid dilanjutkan

dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m 2 LPB (2/3 dosis

awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah

makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis

penuh namun tidak terjadi remisi, maka pasien dinyatakan

sebagai resisten steroid.6

Gambar 9. Pengobatan inisial dengan kortikosteroid.6

- Pengobatan relaps

Pengobatan relaps dapat dilakukan dengan pemberian prednison

dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan

dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN


yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema,

sebelum dimulai pemberian prednisone perlu dicari pemicunya,

biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ditemukan terdapat

infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari dan bila setelah pemberian

antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu

diberikan pengobatan relaps. Sedangkan jika sejak awal

ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis

sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps.6


Gambar 10. Pengobatam sindrom nefrotik relaps.6

- Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

1. Steroid jangka panjang

Anak yang telah dinyatakan SN relaps sering atau dependen

steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh,

diteruskan dengan steroid dosis 1,5mg/kgBB secara

alternating. Selanjutnya dosis diturunkan bertahap 0,2

mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan

relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini

dapat dipertahankan selama 6-12 bulan karena merupakan

dosis threshold. Umumnya anak usia sekolah dapat

mentoleransi prednison 0,5 mg/kgBB sedangkan anak usia

pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.6

Bila saat pemberian dosis threshold terjadi relaps, maka

diberikan prednison 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi setiap

hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi dosis prednison

diturunkan menjadi 0,8 mg/kgBB diberikan secara

alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2

minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis


prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau

relaps yang terakhir.6

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5

mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa

efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan

dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12

bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

Bila ditemukan keadaan dibawah ini:

- Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau

- Dosis rumat < 1 mg tetapi disertai:

a. efek samping steroid yang berat

b. pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia,

thrombosis, sepsis

diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis

tunggal, selama 8-12 minggu.

2. Levamisol

Pemberian levamisol dosis 2,5mg/kgBB dosis tunggal,

selang sehari, selama 4-12 bulan. Namun levamisol memiliki

efek samping mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash,

dan neutropenia yang revesibel.

3. Sitostatika

Obat sitostatika yang paling sering dipakai pada pengobatan

SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.

Siklofosfamid diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB.


Pemberian CPA puls dosis 500-750 mg/m2 LPB dilarutkan

dalam 250 ml larutan NaCL 0,9% diberikan selama 2 jam.

CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1

bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

CPA memiliki efek samping mual, muntah, depresi sumsum

tulang, alopesia, sistitis, hemoragik, azoospermia, hingga

keganasan sehingga perlu dilakukan pemantauan selama

pengobatan.6

CPA memiliki efek toksisitas jika dosis total kumulatif

mencapai ≥200-300 mg/kgBB. Sedangkan penggunaan CPA

oral selama 3 bulan dosis kumulatif total 180mg/kgBB

sehingga dosis ini aman bagi anak.

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2-0,3mg/kgBB/hari

selama 8 minggu. Pengobatan menggunakan klorambusil

sangat terbatas karena memiliki efek toksik kejang dan

infeksi.6

4. Siklosporin (CyA)

Pada SN yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik

dapat diberikan siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari (100-150

mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin

darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau

dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,

sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila

CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin).6


5. Mikofenolat mofetil (MMF)

Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau

sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200

mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgBB yang diberikan bersamaan dengan

penurunan dosis steroid selama 12-24 bulan. Efek samping MMF adalah

nyeri abdomen, diare, leukopenia.6

Gambar 11. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral.6


Gambar 12. Pengobatan SN relaps dependen steroid.6
Gambar 13. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid.6

- Pengobatan SN dengan kontraindikasi steroid

Dalam pemberian steroid perlu dipertimbangkan kemungkinan

adanya kontraindikasi seperti hipertensi, peningkatan ureum dan

atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikat sitostatik baik

CPA oral maupun CPA puls.


- Pengobatan SN resisten steroid

1. Siklofosfamid (CPA)

Pada SN Resisten steroid pemberian CPA oral dapat

menimbulkan remisi. Bila terjadi relaps maka dapat diberikan

prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat sensitive

kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak

terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen

steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.6

2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan


remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial
pada 13%.18

Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia,


hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik
yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:

1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250


1. nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala.
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun.6
3. Metilprednisolon puls

Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg)

dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4


jam.6

Gambar 14. Protokol Metilprednisolon dosis tinggi.6

4. Obat imunosupresif lain

Obat yang telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin,

tacrolimus, dan mikofenolat mofetil.6


Gambar 15. Tatalaksana sindrom nefrotik.6

1.1.10 Komplikasi

1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosit

2. Perubahan hormon dan mineral

3. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi

4. Infeksi

5. Peritonitis

6. Infeksi kulit

7. Anemia

8. Gangguan tubulus renal4


1.1.11 Prognosis

Bergantung pada etiologi. SN sensitif steroid memiliki prognosis dubia ad

bonam meskipun 60-70% mengalami kambuh yang setengah diantaranya

berbentuk kambuh sering atau ketergantungan steroid. Kekambuhan pada SN

biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran respiratori bagian atas. SN resisten

steroid biasanya memiliki prognosis tidak baik dan akan berlanjut menjadi

penyakit ginjal kronik.3


1.2 GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS

2.2.1 Definisi

GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi

menunjukkan proliferasi dan inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi

group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik

seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.8

2.1.6 Epidemiologi1,8

- GNAPS sering terjadi pada usia 6-15 tahun dan jarang terjadi pada usia di

bawah 2 tahun.

- GNAPS diawali oleh infeksi Group A Beta-Hemolytic Streptococcus

(GABHS) melalui ISPA atau piodermi dengan perioder laten 1-2 minggu

pada ISPA dan 3 minggu pada pyoderma

- Kasus GNAPS diawali ISPA sebesar 45,8% sedangkan melalui infeksi kulit

31,6%.

- Perbandingan laki-laki dengan perempuan 2:1.

2.1.7 Etiologi

- Bakteri grup A β-hemolitik streptokokus yang bersifat neftritogenik.

- GNAPS yang didahului ISPA paling sering disebabkan oleh streptokokus

beta hemolitik serotipe 12, kadang juga oleh tipe 1,4,6, dan 25

- GNAPS yang didahului oleh infeksi kulit/pyoderma paling sering

disebabkan oleh streptokokus beta hemolitik serotipe 49, kadang juga oleh

tipe 53,55,56,57, dan 58.9


2.2.4 Faktor resiko

1. Jenis kelamin

2. Usia

3. Lingkungan (higienitas)

4. Sosioekonomi.10

2.2.5 Patogenesis

Penyebaran penyakit ini dapat melalui infeksi saluran napas atas


(tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara sporadik atau
epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan penyakit
ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya serotipe
tertentu dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya
mengandung protein M atau T (terbanyak protein tipe M).

Gambar 16.Serotipe yang berhubungan dengan GNAPS.8

Terdapat 2 bentuk antigen yang berperan pada GNAPS yaitu :


1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPℓr)
NAPℓr dapat diisolasi dari streptokokus grup A yang terikat dengan plasmin.
Antigen nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil biopsi ginjal pada
fase dini penderita GNAPS. Ikatan dengan plasmin ini dapat meningkatkan
proses inflamasi yang pada gilirannya dapat merusak membran basalis
glomerulus.
2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB).
SPEB merupakan antigen nefritogenik yang dijumpai bersama – sama dengan
IgG komplemen (C3) sebagai electron dense deposit subepithelial yang dikenal
sebagai HUMPS.8
Proses Imunologik yang terjadi melalui :
1. Soluble Antigen-Antibody Complex
Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPℓr sebagai antigen dan antibodi
anti NAPℓr larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus.
2. Insitu Formation :
Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena antigen
nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen. Teori insitu formation lebih
berarti secara klinik oleh karena makin banyak HUMPS yang terjadi makin lebih
sering terjadi proteinuria masif dengan prognosis buruk.8

Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya


infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal. Infiltrasi
sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi ICAM – I dan LFA
– I, yang pada gilirannya mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak
membran basalis glomerulus.8

2.2.6 Patofisiologi

Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan

fungsi glomerulus untuk filtrasi terganggu, sedangkan aliran darah ke ginjal

biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai

di bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis

berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses

reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air.8

Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air

didukung oleh keadaan berikut ini:

1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses

radang di glomerulus.

2. Overexpression dari epithelial sodium channel.


3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin

intrarenal.

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air,

sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi

pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-

hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin,

aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat

dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat.8

2.2.7 Manifestasi klinis8

Manifestasi klinik GNAPS bervariasi dari asimtomatik hingga adanya


gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk
simtomatik. Bentuk asimtomatik dapat diketahui bisa ditemukan adanya
kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik disertai riwayat
kontak dengan penderita GNAPS simtomatik. Sedangkan untuk GNAPS
simtomatik ditemukan adanya gejala-gejala seperti berikut:
1. Periode laten

Adanya periode laten merupakan khas pada GNAPS. Periode laten

berlangsung selama 1-3 minggu yang didahului oleh ISPA dan 3 minggu

yang didahului oleh infeksi kulit/pyoderma. Jika periode laten berlangsung

kurang dari satu minggu maka perlu dipikirkan kemungkinan penyakit

lain.

2. Edema

Edema merupakan gejala yang paling sering, pertama kali muncul namun

menghilang pada akhir minggu pertama. Edema yang paling sering terjadi

di daerah periorbital (edema palpebral) yang sangat menonjol di pagi hari

tetapi mulai berkurang pada siang dan sore hari. Selanjutnya edema pada
daerah tungkai, perut (asites), dan genitalia eksterna (edema

skrotum/vulva). Edema pada GNAPS adalah edema yang bersifat pitting

karena adanya cairan yang masuk ke jaringan interstisial dalam waktu

singkat kembali ke semula.

3. Hematuria

Hematuria terjadi secara makroskopik dan mikroskopik. Secara

makroskopik ditemukan sebanyak 30-70% kasus sedangnya secara

mikroskopik ditemukan pada hampir seluruh kasus. Hematuria

makroskopik ditandai dengan urin berwarna coklat kemerah-merahan atau

seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola biasanya

terjadi beberapa hari dalam minggu pertama. Hematuria mikroskopik

biasanya berlangsung lebih lama sekitar 6 bulan bahkan hingga 1 tahun.

4. Hipertensi

Hipertensi terjadi pada 60-70% kasus GNAPS. Hipertensi pada kasus

GNAPS biasanya adalah hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90

mmHg). Hipertensi ini tidak perlu diobati karena cukup dengan istirahat

yang cukup dan diet yang teratur tekanan darah akan kembali normal.

5. Oliguria

Oliguria ditemukan pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin

kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Gejala ini akan muncul jika sudah adanya

penurunan fungsi ginjal atau gagal ginjal akut. Seperti gejala-gejala yang

lain biasanya oliguria muncul dalam minggu pertama dan menghilang

dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama.


6. Gejala kardiovaskular

Gejala kardiovaskular terjadi akibat adanya bendungan sirkulasi karena

retensi Na dan air sehingga terjadi hypervolemia yang menimbulkan

adanya edema paru. Gejala ini terjadi pada 20-70% kasus.

7. Gejala-gejala lain seperti pucat, malaise, letargi, dan anoreksia.

Gambar 17.Gambaran klinis dan histologi GNAPS7

2.2.8 Diagnosis1

1. Anamnesis
- Riwayat infeksi saluran nafas atas (faringitis) 1-2 minggu sebelumnya atau
infeksi kulit (pyoderma) 3-6 minggu sebelumnya
- Umumnya pasien datang dengan hematuria nyata (gross hematuria) atau
sembab pada kedua mata dan tungkai
- Kadang-kadang pasien datang dengan kejang dan penurunan kesadaran
akibat ensefalopati hipertensi
- Oliguria/anuria akibat gagal ginjal atau gagal jantung
2. Pemeriksaan fisik

- Adanya edema di kedua kelopak mata dan tungkai dan hipertensi


- Adanya lesi bekas infeksi di kulit
- jika terjadi ensefalopati, pasien dapat mengalami penurunan kesadaran
akibat ensefalopati hipertensi
- Oliguria/anuria akibat gagal ginjal atau gagal jantung

3. Pemeriksaan penunjang

- Urinalisis menunjukkan proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit


- Kreatinin dan ureum darah umumnya meningkat
- ASTO meningkat pada 75-80% kasus
- Komplemen C3 menurun pada hampir semua pasien di minggu pertama
- Jika terjadi komplikasi gagal ginjal akut, didapatkan hyperkalemia, asidosis
metabolic, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia.

Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus


grup A. Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen
urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan
penderita GNAPS.8
2.2.9 Diagnosis banding2,8

Gambar 18.Algoritma Diagnosis Glomerulonefritis akut.2


1. Penyakit ginjal :
a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat
berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat
penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya
1-3 hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang
jelas meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu
diagnosis.
b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis
herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan
benign recurrent haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema
atau hipertensi. Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan
timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun
kalau ada berlangsung sangat singkat.
c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak.
Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut
dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B
meninggi pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal.
Komplemen C3 yang menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN.
Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan
penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal.
2. Penyakit-penyakit sistemik.
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura
Henoch-Schöenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga
penyakit ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti
hematuria, proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan
tenggorok negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura,
nyeri abdomen dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala
demikian. Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel LE positif pada
pemeriksaan darah, yang tidak ada pada GNAPS, sedangkan pada SBE tidak
terdapat edema, hipertensi atau oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas
perbedaan dengan GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat difus,
sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal.
3. Penyakit-penyakit infeksi :
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Group A β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA
yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO.
Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya.

2.2.10 Tatalaksana8

1. Istirahat

Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya

timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Saat fase akut

berakhir diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit biasanya pasien dipulangkan

sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi.

2. Diet

Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema

ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila

kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus

diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu

jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan

cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgBB/ hari) + jumlah

keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgBB/hari).

3. Antibiotik

Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman,

yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat
alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30

mg/kgbb/hari.8

4. Simptomatik

a. Bendungan sirkulasi

Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda edema paru akut perlu diberikan

diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka dapat dilakukan dialisis

peritoneal.

b. Hipertensi

Hipertensi ringan cukup dengan istirahat dan pembatasan cairan yang baik

maka tekanan darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Hipertensi

sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2

mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut

diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara

sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap 30-60

menit bila diperlukan. Hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral

(ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat

diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara intravena (IV).

Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1-3 mg/kgBB).

c. Gangguan ginjal akut

Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian

kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi

natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau

Kayexalate untuk mengikat kalium.


2.2.11 Komplikasi

1. Ensefalopati hipertensi (EH).


EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun
dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan
memberikan nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual
pada anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat
diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus dilakukan
secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya
ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.8
2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)
Pengobatan konservatif :
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan
memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b. Mengatur elektrolit :
- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
- Bila terjadi hipokalemia diberikan :
• Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
• NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
• K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
• Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb.8
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering
disangka sebagai bronkopneumoni.8
4. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan
ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit
kepala, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.8

2.2.12 Prognosis

Prognosis dubia ad bonam karena dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2

minggu bila tidak ada komplikasi (self limting disease). Pada anak 85-95% kasus

GNAPS sembuh sempurna sedangkan 5-10% kasus menjadi glomerulonephritis

kronik. Kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal

akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.8

2.2.13 Pemantauan

Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria


yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan
untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih
terdapat hematuria mikroskopik dan atau proteinuria, pengamatan diteruskan
hingga 1 tahun atau sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun
masih dijumpai satu atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi
ginjal.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan


Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit IDAI, Jakarta: 2009. 89-91.
2. Marcdante Karen J, Kliegman Robert M. Nelson Essential of Pediatrics.
Elsevier. 21th Edition. 2019; 10682-10691.
3. Garna H, Nataprawira MH. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. 5th ed. Garna H, Nataprawira MH, editors. Departemen/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr.
Hasan Sadikin; 2012. 812-821 p.
4. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2.
Badan Penerbit IDAI, Jakarta: 2002. 381-422.
5. Todd A Florin, Stephen Ludwig. Netter’s Pediatrics. Elsevier. 1st Edition.
2011; 385-389
6. Alatas H, Tambunan T. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
pada Anak. Edisi 2. Badan Penerbit IDAI, Jakarta: 2012. 1-20.
7. Zitelli, Davis. Atlas of Pediatric Physical Diagnosis. Elsevier. 7th Edition.
2018; 510-520.
8. Rauf Syarifuddin, Albar Husein, Aras Jusli. Konsensus Glomerulonefritis
Akut Pasca Streptokokus. Badan Penerbit IDAI. Jakarta:2012;3-15.
9. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak.
Vol.5, Sari Pediatri. 2016;5(2):58.
10. Lufyan R, Suarta K, Nilawati GAP. Karakteristik Glomerulonefritis Akut
Pasca-streptokokus pada Anak di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012-
2015, Medicina. 2017;48(20):123-127.

Anda mungkin juga menyukai