Anda di halaman 1dari 6

ANEH

Putri Dirgahayu N.M


XI MIPA 1

Guru Pengampu Bahasa Indonesia


Atfi Laila K, M.Pd
MA. Perguruan Mu’allimat
CUKIR-JOMBANG
2021
Mendung hitam, tebal, bergayut erat dilangit . Pasti sebentar lagi
air akan dimuntahkan dari langit, dan basahlah bumi ini. Teringat masa
kecilku tatkala suasana seperti ini, ada rasa sedih dan gelisah setiap
mendung datang. Dalam rasaku, mendung adalah gelap. Gelap adalah
kesedihan dan ketakutan. Namun, ada ibu. Ibu yang selalu memudarkan
takutku akan mendung.

Sore ini, aku berjalan pulang. Di jalan yang sepi hujan datang
bersamaan dengan perasaan hatiku, perasaan yang tidak bisa ku ungkapkan
dalam sebuah kalimat apapun. Sesekali aku suka menikmati hujan, tanpa
kata, tanpa suara, hanya sunyi yang aku rasakan dari sudut jalan, aku
melihat dan mendengar jelas rintikan itu, membuat khayalanku melayang
jauh kepada perasaan yang sedang merenggut semua pikiran dan hatiku
yang kacau, kejadian-kejadian buruk seolah memaksa aku harus
mengingatnya setiap waktu tanpa henti. Tidak memberiku ruang sedikit
pun untuk beristirahat sejenak.

Jalanku terhenti, terhalang datangnya hujan ini.


“Hujan, bisakah kau reda agar ku bisa melanjutkan perjalanan?”
ujarku, sambil menatap langit hitam.
“Iya memang benar, hanya kamu yang bisa menghapus airmata ini.
Ingat hujan, jangan tertawakan aku karena aku tidak bisa menahan air
mata ini” ujarku lagi,
seolah aku gila sedang berbicara dengan air yang tidak bisa membalas
celotehku.
“Mereka jahat atau aku yang tidak sadar” ujarku dalam hati. Sakit
rasanya kudengar dan kuingat apa yang sudah mereka katakan padaku,
seakan semua kalimat-kalimat itu menjadi satu dalam fikiranku.

“Ana. Lihat! karena apa yang kamu kerjakan, merusak nama baik
perusahaan ini. Hari ini juga silahkan kamu angkat kaki dari sini!”
“Ana yang kuat ya nak, turut berduka cita atas kepergian ibumu,
Tuhan lebih menyayangi ibumu.”
“Permisi, ayah anda harus kami tangkap karena tuduhan telah
membunuh orang yang tak bersalah.”
“Ana, aku pikir hubungan kita tidak bisa dilanjutkan lagi, aku minta
maaf.”

Semua suara itu terdengar sangat dekat ditelingaku, air mata ini
tidak bisa lagi kutahan, menetes tanpa henti, bibir yang bergetar seolah
aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. payung merah tuaku perlahan
menurun, mengizinkan aku untuk menghapus air mataku dengan rintikan
hujan, kutunggu lama hingga hujan reda, menunggu lama hingga hujan reda,
melamun lama hingga hujan reda. Rasa ingin menembus raga, rasa ini
menembus jiwa.

Di bawah rintik air hujan yang turun, sesekali potret cahaya terang
di sertai suara gemuruh yang seakan menjadi melodi pengiring tangisan
malam. Aku berjalan, tanpa arah dan tanpa tujuan, rasanya ini seperti
langkah kaki terberat yang pernah aku rasakan seumur hidupku, mata
sembab dan bibir pucat, aku bahkan tidak tahan menatap wajahku sendiri
dari pantulan kaca, rasanya aku ingin tumbang aku sudah tidak kuat.

Ternyata sudah sangat jauh aku berjalan, perjalanan tanpa tujuan


ternyata terasa lebih cepat, aku tidak tau aku sedang berada dimana,
tetapi aku mendengar adzan maghrib berkumandang, suaranya
menenangkan hati dan menyejukan pikiranku, aku meresapi lantunan adzan
yang sedang berkumandang itu, suaranya semakin dekat dan sudah terlihat
masjid yang sangat ramai, banyak warga setempat yang datang untuk
melaksanakan shalat subuh berjamaaah disana, aku hanya melihatnya dari
seberang jalan, sambil melamun dan membayangkan sesuatu yang pernah
terjadi di hidupku sebelum ini semua terjadi, masa masa dimana aku bisa
hidup dengan tenang dan damai bersama keluarga kecilku, ayah, ibu, dan
aku, namun sekarang semuanya telah berubah.
“Tin... tin....” Sebuah mobil sport putih hampir menabrakku. Aku
menepi dan menunduk ketakutan. Tiba-tiba pria di dalam mobil
menghampiriku.
“Ana sedang apa kamu di sini?” Pria itu sedang berbicara padaku,
dengan cepat aku mengangkat wajahku dan aku tak percaya dengan apa
yang ada di hadapanku sekarang.
”Kenapa bajumu basah kuyup, dan dimana payungmu?” tanyanya
dengan kebingungan. Aku hanya terdiam, melihat seseorang yang sudah
lama tidak pernah kujumpai lagi. Dia adalah Nathan, sahabat kecilku.

Nathan manusia menyebalkan, walau menyebalkan dia yang selalu ada


disaat masa-masa terpurukku. Kami terpisah ketika Nathan pindah rumah.
Sejak itu kami kehilangan komunikasi dan tidak pernah bertemu lagi.

Nathan membawaku ke sebuah rumah besar. Letaknya tidak jauh


dari masjid. Lalu dia membawaku masuk ke rumah.
“Bibi, kenalkan ini teman kecilku, namanya Ana.”
“Dan Ana, kenalkan ini bibi Ida.” Lalu bibi melemparkan senyum
kepadaku, aku membalas senyumannya dengan tipis dan sedikit
menganggukkan kepala.
“Bi, tolong antarkan Ana ke kamar tamu dan jangan lupa siapkan
baju untuk Ana.” Perintah Nathan, lalu dia pergi.
Bibi mengantarku menuju ke tempat yang akan menjadi kamarku
selama aku tinggal di sini. Kami menaiki anak tangga satu persatu, lalu
berhenti di sebuah pintu, dan bibi membukakan pintu untukku.
“Terima kasih ,bi.” Ujarku.
“Sama-sama, nak. Di dalam lemari sudah ada baju-baju, setelah
ganti baju jangan lupa istirahat.” Jawab bibi sambil tersenyum, lalu pergi
entah ke mana. Dengan pelan aku menutup pintu, lalu bergegas ke kamar
mandi dan mengganti pakaianku.

Aku pergi menuju balkon kamar. Bintang-bintang di langit menampakkan


sinarnya, berkelap-kelip di angkasa luar. Aku hanya bisa memandangi dari balkon
kamar. Memandangi indahnya langit malam setelah hujan dan menikmati setiap
hembusan angin malam. Meskipun angin malam tidak bagus untuk kesehatan.
Sambil melamun aku menyanyikan lagu dari Jeremy Zucker- all the kids are
depressed.

“Cause all the kids are depressed


Nothing ever makes sense
I'm not feeling alright
Staying up 'til sunrise
And hoping shit is okay
Pretending we know things
I don't know what happened
My natural reaction is that we're scared
Ohh-oh-oh
Noo-oo-oo
Ohh-oh-oh...
So I guess we're scared
Ohh-oh-oh, ohh-oh-oh”

Bibi Ida tiba-tiba ada di sampingku, sambil menatap langit malam ia


berkata,
“Harapan berhak untuk siapa pun, dan setiap masalah selalu ada
jalan. katakan pada Tuhan apa yang terjadi padamu, karena hanya dia yang
tahu jalannya.” Bibi menenangkan keadaanku yang sangat hancur ini, seakan
dia paham apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Aku hanya terdiam.
“Tuhan menciptakan kita memiliki tujuan, dalam hidup ini dan setiap
proses yang kita lalui selalu ada yang namanya percobaan baik kecil
ataupun besar. Tuhan mau kita mengandalkannya dalam setiap hal. Dalam
hidup ini yang kita jalani kita hanya manusia biasa, kita manusia lemah.
Hanya Tuhan penguat kita dalam segala sesuatu yang terjadi pada kita.
Terkadang Tuhan menolong kita dengan cara membawa orang lain di sisi
kita sebagai pendengar dan nasehat, agar kita tetap sejalur dengan
kehendak-Nya. Masalah yang terjadi tidak melampaui batas kemampuan
manusia bersyukurlah dan berterima kasih setiap waktu.” Aku meresapi
apa yang telah di katakan bibi, sementara itu bibi langsung pergi
meninggalkanku. Aku membalikkan badan berniat untuk mengejar bibi,
tetapi bibi sudah tidak ada di dalam kamar, lalu aku mengurungkan niat
untuk mengejarnya. Aku melihat ada segelas susu hangat di atas meja, aku
tersenyum miring. Aku mengambilnya lalu meneguk habis susu itu. Tak lama
pandanganku kabur dan semua menjadi hitam.

Cahaya mentari menusuk mataku, dengan enggan aku membuka


mataku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk menghilangkan perih
mataku. Aku terkejut seketika melihat ibuku sedang membuka gorden. Aku
turun dari kasur dan langsung memeluk erat ibuku.
“Eh... ada apa, Ana?” tanya ibu,
“Ibu...” sambil menahan isak tangisku,
“Kenapa kau menangis?” tanyanya lagi,
“A... tidak ibu, aku hanya mimpi buruk.” Sambil mengusap air mata
dan tersenyum,
“Benarkah? Kau tidak apa-apa, kan.” Sambil menempelkan tangannya
ke dahiku. Aku hanya mengangguk
“Baiklah, setelah ini pergi mandi, sarapan dan berangkat kerja.” Ibu
mengelus-elus rambutku sambil tersenyum lalu pergi keluar dari kamarku.
Aku duduk lemas di atas tempat tidur dan menghela nafas.
“Apa yang tadi itu hanya mimpi? Mengapa mimpi itu seperti nyata?
Ah... sudahlah.” Aku beranjak dari tempat tidur, aku melirik jam dinding
dan membelalakkan mata, jam sudah menunjukkan pukul 06.00 kurang
setengah jam lagi aku sudah harus pergi bekerja. Aku langsung bergegas
pergi ke kamar mandi.

10 menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dan mengeringkan


rambutku dengan handuk. Dengan aneh aku memicingkan mata, di atas
meja terdapat segelas susu yang sudah habis.
“Siapa yang habis minum susu?” batinku,
“Ah, sudahlah itu hanya hal sepele, mungkin ibu tadi lupa tidak
membawa kembali.” Aku menyisir rambutku, setelah itu aku mengambil tas
dan gelas susu tadi, kemudian pergi keluar kamar. Aku berlari kecil
menuruni tangga,
“Ana, hati-hati kalau turun tangga.” Ujar ibu sambil menggelengkan
kepalanya,
“Ibu, aku berangkat. Ayah sudah berangkat, bu?” Sambil mencium
tangan ibuku dan memberikan gelas kosong yang masih ada sisa susu
sedikit.
“Ayah sudah berangkat dari tadi. Apa ini?” tanya ibuku dengan
keheranan dan menerima gelas itu dari tanganku,
“Bukankah ibu yang menaruhnya di atas mejaku?” tanyaku. Ibu
menggeleng kepalanya,
“Em... sudahlah aku berangkat dulu ya, bu.”
“Hati- hati, Ana. Ini, ibu bawakan bekal makanan, jangan lupa di
makan.” Aku menerimanya sambil tersenyum. Lalu aku berlari kecil keluar
rumah dan berusaha tidak memikirkan hal kecil itu. Aku membuka pintu
rumah dan seketika angin berhembus pelan. Aku tersenyum lebar, pagi
menyapa dengan senyuman mentari yang menghangatkan, meskipun pagi ini
masih sedikit basah oleh embun dari sisa hujan semalam. Udara pagi ini
begitu sejuk membuatku tak henti-hentinya memenuhi setiap rongga paru-
paruku dengan menghirup kesejukannya dalam-dalam. Dan akhirnya ku
jalani hari-hariku dengan penuh semangat tanpa memikirkan mimpi yang
mengerikan itu.

Anda mungkin juga menyukai