Sore ini, aku berjalan pulang. Di jalan yang sepi hujan datang
bersamaan dengan perasaan hatiku, perasaan yang tidak bisa ku ungkapkan
dalam sebuah kalimat apapun. Sesekali aku suka menikmati hujan, tanpa
kata, tanpa suara, hanya sunyi yang aku rasakan dari sudut jalan, aku
melihat dan mendengar jelas rintikan itu, membuat khayalanku melayang
jauh kepada perasaan yang sedang merenggut semua pikiran dan hatiku
yang kacau, kejadian-kejadian buruk seolah memaksa aku harus
mengingatnya setiap waktu tanpa henti. Tidak memberiku ruang sedikit
pun untuk beristirahat sejenak.
“Ana. Lihat! karena apa yang kamu kerjakan, merusak nama baik
perusahaan ini. Hari ini juga silahkan kamu angkat kaki dari sini!”
“Ana yang kuat ya nak, turut berduka cita atas kepergian ibumu,
Tuhan lebih menyayangi ibumu.”
“Permisi, ayah anda harus kami tangkap karena tuduhan telah
membunuh orang yang tak bersalah.”
“Ana, aku pikir hubungan kita tidak bisa dilanjutkan lagi, aku minta
maaf.”
Semua suara itu terdengar sangat dekat ditelingaku, air mata ini
tidak bisa lagi kutahan, menetes tanpa henti, bibir yang bergetar seolah
aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. payung merah tuaku perlahan
menurun, mengizinkan aku untuk menghapus air mataku dengan rintikan
hujan, kutunggu lama hingga hujan reda, menunggu lama hingga hujan reda,
melamun lama hingga hujan reda. Rasa ingin menembus raga, rasa ini
menembus jiwa.
Di bawah rintik air hujan yang turun, sesekali potret cahaya terang
di sertai suara gemuruh yang seakan menjadi melodi pengiring tangisan
malam. Aku berjalan, tanpa arah dan tanpa tujuan, rasanya ini seperti
langkah kaki terberat yang pernah aku rasakan seumur hidupku, mata
sembab dan bibir pucat, aku bahkan tidak tahan menatap wajahku sendiri
dari pantulan kaca, rasanya aku ingin tumbang aku sudah tidak kuat.