Kelas : HI 1A
Kelompok : 7
Anggota :
1. Shofia Ayu Citra Dewi (11201130000015)
2. Siti Fakhriyyah (11201130000023)
3. Laila Al-Muna (11201130000024)
4. Syarah Shabrina (11201130000029)
5. Denis Rendra (11201130000042)
BAGIAN ENAM
Hukum Internasional memiliki kekurangan dalam ketiga dasar sistem peradilan yang
efisien yaitu yurisdiksi wajib, hierarki keputusan hukum, dan penerapan aturan pengambilan
keputusan berdasarkan sudut pandang pengadilan tertinggi.Dalam hukum internasional sudah
menjadi aksiomatik bahwa tidak ada negara yang dapat dipaksa tanpa persetujuannya untuk
mengajukan perselisihan dengan negara lain ke peradilan internasional. Dengan kata lain,
peradilan internasional tidak dapat mengambil yurisdiksi suatu negara tanpa persetujuan dari
negara tersebut dan yurisdiksi wajib hanya berlaku jika kedua pihak yang bersengketa
menerimanya.
Keamanan kolektif merupakan upaya untuk mengatasi kekurangan dari sistem penegakan
hukum yang sepenuhnya terdesentralisasi. Sementara Hukum Internasional tradisional
menyerahkan penegakan aturannya kepada negara yang dirugikan yang secara otomatis
mengambil tindakan kolektif untuk membela hukum internasional.Pada tahun 1934,
selama Perang Chaco tahun 1932-1935, Paraguay melanjutkan permusuhan melawan Bolivia
yang melanggar Kovenan. Banyak anggota liga membatasi embargo senjata, yang awalnya
diberlakukan pada kedua pihak yang berperang ke Paraguay. Ini adalah tindakan diskriminatif
yang jauh dari semangat dan surat paragraf pertama Pasal 16.
Oleh karena itu, upaya untuk membangun sistem penegakan hukum yang tersentralisasi
berdasarkan Pasal 16 Kovenan dengan mengatakan bahwa dalam sebagian besar kasus yang
dapat membenarkan penerapan sanksi, sanksi tidak diterapkan sama sekali. Dalam satu-satunya
kasus di mana mereka diterapkan, mereka diterapkan dengan cara yang tidak efektif sehingga
secara virtual menjamin kegagalan mereka dan keberhasilan negara yang membangkang.
XVII. KEDAULATAN
Konsepsi modern tentang kedaulatan pertama kali dirumuskan pada akhir abad ke-16
dengan mengacu pada fenomena baru negara teritorial. Setelah 30 tahun, kedaulatan ini menjadi
kekuatan tertinggi suatu wilayah negara atas aspirasi partikularistis dari Baron Feodal dan
sebagai tanda kemenangan raja teritorial.Keraguan dan kesulitan atas ulah kedaulatan terkait
masalah hukum internasional menjadi pernyataan bahwa asumsi hukum internasional yang
memberlakukan batasan hukum atas masing-masing negara secara logis tidak sesuai dengan
asumsi negara yang berdaulat yaitu pembuat hukum tertinggi dan otoritas penegak hukum.
Kedaulatan ini bersifat lemah dan tidak efektif. Meski begitu, Sejauh hukum internasional
mengikat tetap saja negara individu yang menjadi otoritas tertingginya. Terdapat dua situasi yang
harus dibedakan mengenai kedaulatan di bidang hukum, yaitu kedaulatan negara sebagai aparat
penegak hukum identik dengan kedaulatan di bidang peradilan dan di sisi lain kedaulatan sebagai
negara sebagai objek yang dimaksudkan dari tindakan penegakan hukum.
Kedaulatan yang dimiliki oleh sebuah negara, tidak menjadikan negara tersebut terbebas
dari batasan hukum yang berlaku di dunia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perjanjian
tertentu secara kuantitas akan menghancurkan kedaulatan sebuah negara. Namun, hal ini tidak
berlaku jika batasan hukum yang ada dalam perjanjian tersebut secara kualitas tidak
mempengaruhi otoritas tertinggi negara terhadap kedaulatan yang dimilikinya. Seperti contoh,
Amerika Serikat yang bergabung dengan PBB, dimana PBB tidak dapat mempengaruhi otoritas
tertinggi Amerika Serikat didalam wilayahnya.
Negara berhak menentukan sikap negaranya masing-masing. Tetapi negara tersebut juga
menganggap kedaulatan itu bukan berarti bebas dari regulasi hukum internasional. Stigma yang
berkembang mengatakan bahwa regulasi/hukum internasional dinilai mengancam kedaulatan
negara karena regulasinya dipukul rata. Dengan maksud, semua negara mendapatkan regulasi
yang sama dan harus mematuhi regulasi yang ada. Hubungan antara hal-hal yang diatur oleh
hukum internasional dan hal hal yang tidak terkait dengannya bersifat cair. Maksudnya adalah
apa yang ingin diambil dari negara tersebut tergantung domestiknya. Jadi, tidak bisa negara
tersebut menganggap regulasi hukum internasional mempengaruhi kedaulatan negara. Misalnya,
peraturan internasional tentang kebijakan imigrasi, bahwa masing-masing negara tidak akan
sesuai dengan kedaulatannya.
Maksud dari kedaulatan bukanlah persamaan hak dan kewajiban menurut hukum
internasional adalah ketika suatu negara mempunyai kewajiban yang sudah tertulis dalam hukum
internasional seperti perjanjian atau kovenan yang telah disetujui oleh kedua belahpihak negara,
tidak bisa menganggap ketika salah satu dari negara tersebut mempunyai kedaulatan meminta
kesamarataan, karena hal tersebut sudah disetujui. Misalnya, perjanjian perdamaian yang
dilakukan antara Jerman, Austria, Hongaria, dan Bulgaria dengan Cekoslowakia dan Polandia.
Isi perjanjian ini pada intinya memberatkan satu sisi yang kalah. Jadi, walaupun suatu negara
sama-sama berdaulat tetapi kewajiban suatu negara berbeda dengan negara lain dan tidak bisa
meminta kesetaraan. Namun, seringkali negara salah kaprah dengan menganggap kedaulatan
negara dapat menghilangkan kewajibannya walaupun sebenarnya perjanjian dapat dirubah atau
dihilangkan karena adanya revisi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Sebagian dari mereka percaya bahwa kedaulatan harus dipegang oleh negara bagian dan
sebagiannya lagi menginginkan kedaulatan ditempatkan di pemerintah pusat. Oleh karena itu,
harus ditentukan salah satunya saja karena kedaulatan tidak dapat dibagi di antara keduanya.
Dari kontradiksi antara realitas politik dan preferensi politik ini, kepercayaan pada kedaulatan
yang dapat dibagi adalah manifestasi ideologis.