Anda di halaman 1dari 6

RESUME BACAAN

MORGENTHAU, H.J (Morgenthau, 1948)

Kelas : HI 1A
Kelompok : 7
Anggota :
1. Shofia Ayu Citra Dewi (11201130000015)
2. Siti Fakhriyyah (11201130000023)
3. Laila Al-Muna (11201130000024)
4. Syarah Shabrina (11201130000029)
5. Denis Rendra (11201130000042)

BAGIAN ENAM

PEMBATASAN KEKUASAAN INTERNASIONAL :


HUKUM INTERNASIONAL

XVI. Masalah Utama Hukum Internasional

Banyak kesalahpahaman dalam memahami Hukum Internasional. Sebagian besar orang


menganggap tidak ada yang namanya Hukum Internasional. Sebagian lagi menganggap bahwa
hukum internasional adalah kekuatan dengan kekuatan yang melekat pada hukum internasional
itu sendiri. Inti dari hukum internasional adalah untuk memberikan hak dan kewajiban terhadap
negara dalam menjalin suatu hubungan. Adanya hukum internasional bukan berarti sama dengan
menyatakan bahwa hukum internasional sama efektifnya dengan hukum nasional, lebih
khususnya hukum internasional efektif untuk mengatur atau menahan perebutan kekuasaan di
kancah internasional. Hukum internasional merupakan tipe hukum yang premitif karena
hukumnya hampir sepenuhnya terdesentralisasi dan didesentralisasi berkaitan dengan 3 fungsi
hukum yaitu legislasi, ajudikasi, dan penegakan. Dalam fungsi legislasi terdapat 3 aspek yaitu:
(1) Karakter desentralisasi maksudnya peraturan-peraturan dalam hubungan suatu negara
diserahkan kepada setiap negara yang bersangkutan dan harus disetujui oleh setiap negara yang
bersangkutan. Misalnya perjanjian antara Uni soviet dan Iran yang tidak memiliki dampak
hukum terhadap pihak ketiga manapun. (2) Kodifikasi hukum internasional yang dilakukan
untuk memperkuat hukum internasional dan mengatur tingkah laku internasional negara. Apabila
kodifikasi ini tidak mencapai kesepakan dalam suatu konferensi yang ada dan hanya diretifikasi
oleh sebagian negara. maka hal itu tidak layak disebut kodifikasi hukum internasional. (3)
Interpretasi dan kekuatan yang mengikat. Perjanjian politik internasional dengan efek mengikat
sulit untuk diimplementasikan pada hukum internasional, Karna banyaknya ketidakjelasan dan
ambiguitas dalam perjanjian yang ada pada hukum internasional yang bersifat mengikat dan
masih diragukan apakah perjanjian tersebut menjadi aturan hukum internasional yang benar-
benar mengikat penandatangan atau hanya prinsip moral tanpa efek hukum.

Hukum Internasional memiliki kekurangan dalam ketiga dasar sistem peradilan yang
efisien yaitu yurisdiksi wajib, hierarki keputusan hukum, dan penerapan aturan pengambilan
keputusan berdasarkan sudut pandang pengadilan tertinggi.Dalam hukum internasional sudah
menjadi aksiomatik bahwa tidak ada negara yang dapat dipaksa tanpa persetujuannya untuk
mengajukan perselisihan dengan negara lain ke peradilan internasional. Dengan kata lain,
peradilan internasional tidak dapat mengambil yurisdiksi suatu negara tanpa persetujuan dari
negara tersebut dan yurisdiksi wajib hanya berlaku jika kedua pihak yang bersengketa
menerimanya.

Pada tahun 1920 organisasi peradilan internasional benar-benar mengalami


desentralisasi. Artinya, setiap kali dua negara menyetujui penyelesaian yudisial dari suatu
perselisihan, mereka juga menyetujui orang tertentu. Pengadilan dikelilingi suasana kepercayaan
merupakan sesuatu yang cukup baru dalam sejarah hubungan internasional, seperti Paus yaitu
seorang pangeran yang berfungsi sebagai pengadilan untuk keputusan kasus khusus ini. Dengan
terselesaikannya perselisihan ini, maka proses hukum pengadilan ini otomatis berakhir. Kekuatan
sistem ajudikasi nasional sebagai alat untuk membatasi tindakan individu dari warga negara yang
sebagian besarnya berasal dari sifat hierarkis sistem tersebut. Apapun tindakan yang dilakukan
oleh setiap warga negara, pengadilan siap untuk mengatakan apakah tindakan tersebut memenuhi
persyaratan hukum atau tidak. Ketika pengadilan telah berbicara, pengadilan yang lebih tinggi
dapat mengajukan banding untuk menyetujui atau menolak keputusan pengadilan yang lebih
rendah. Mahkamah Internasional sama sekali bukan pengadilan tertinggi di dunia yang dapat
memutuskan dengan kewenangan akhir, mengajukan banding atas keputusan pengadilan
internasional lainnya.
Sistem internasional tidak secara langsung mengatur pelaksanaan fungsi eksekutif
pemerintahan. Ketiadaan kekuasaan eksekutif ini berarti bahwa setiap negara bagian tetap bebas
untuk mengambil tindakan yang dianggap sesuai. Ketika individu A melanggar hak-hak individu
B dalam komunitas nasional, lembaga penegak hukum negara ini akan melindungi B melawan A
dan memaksa A untuk memberikan kepuasan B menurut hukum. Akan tetapi tidak ada hal
semacam itu di lingkungan internasional. Hukum internasional pada umumnya dipatuhi oleh
semua negara tanpa paksaan karena pada umumnya semua negara yang berkepentingan
menghormati kewajiban mereka di bawah hukum internasional. Umumnya aturan hukum
internasional dirumuskan atas dasar saling melengkapi. Alasan inilah mereka umumnya
memaksakan diri dan tidak diperlukan tindakan penegakan hukum tertentu. Bantuan yang
dijanjikan kepada negara yang dijamin tergantung kondisi dan keadaan. Jadi, negara yang
dijamin harus meminta penjamin untuk memberikan bantuan penjamin pada saat kritis dapat
memberikan bantuan yang diperlukan. Ketika negara itu begitu lemah karena masalah internal
atau faktor-faktor lain, sehingga campur tangannya akan menimbulkan bahaya yang serius, ia
tidak terikat untuk memenuhi permintaan tersebut untuk bantuan.

Keamanan kolektif merupakan upaya untuk mengatasi kekurangan dari sistem penegakan
hukum yang sepenuhnya terdesentralisasi. Sementara Hukum Internasional tradisional
menyerahkan penegakan aturannya kepada negara yang dirugikan yang secara otomatis
mengambil tindakan kolektif untuk membela hukum internasional.Pada tahun 1934,
selama Perang Chaco tahun 1932-1935, Paraguay melanjutkan permusuhan melawan Bolivia
yang melanggar Kovenan. Banyak anggota liga membatasi embargo senjata, yang awalnya
diberlakukan pada kedua pihak yang berperang ke Paraguay. Ini adalah tindakan diskriminatif
yang jauh dari semangat dan surat paragraf pertama Pasal 16.

Oleh karena itu, upaya untuk membangun sistem penegakan hukum yang tersentralisasi
berdasarkan Pasal 16 Kovenan dengan mengatakan bahwa dalam sebagian besar kasus yang
dapat membenarkan penerapan sanksi, sanksi tidak diterapkan sama sekali. Dalam satu-satunya
kasus di mana mereka diterapkan, mereka diterapkan dengan cara yang tidak efektif sehingga
secara virtual menjamin kegagalan mereka dan keberhasilan negara yang membangkang.
XVII. KEDAULATAN

Konsepsi modern tentang kedaulatan pertama kali dirumuskan pada akhir abad ke-16
dengan mengacu pada fenomena baru negara teritorial. Setelah 30 tahun, kedaulatan ini menjadi
kekuatan tertinggi suatu wilayah negara atas aspirasi partikularistis dari Baron Feodal dan
sebagai tanda kemenangan raja teritorial.Keraguan dan kesulitan atas ulah kedaulatan terkait
masalah hukum internasional menjadi pernyataan bahwa asumsi hukum internasional yang
memberlakukan batasan hukum atas masing-masing negara secara logis tidak sesuai dengan
asumsi negara yang berdaulat yaitu pembuat hukum tertinggi dan otoritas penegak hukum.
Kedaulatan ini bersifat lemah dan tidak efektif. Meski begitu, Sejauh hukum internasional
mengikat tetap saja negara individu yang menjadi otoritas tertingginya. Terdapat dua situasi yang
harus dibedakan mengenai kedaulatan di bidang hukum, yaitu kedaulatan negara sebagai aparat
penegak hukum identik dengan kedaulatan di bidang peradilan dan di sisi lain kedaulatan sebagai
negara sebagai objek yang dimaksudkan dari tindakan penegakan hukum.

Sinonim kedaulatan yaitu Kemerdekaan, Persamaan, dan Kebulatan Suara. Kemerdekaan


sebagai sinonim kedaulatan ketika tidak adanya ketentuan perjanjian yang bertentangan, maka
dari setiap negara diwajibkan untuk memiliki karakter menghargai kemerdekaan tersebut.
Selanjutnya, persamaan sebagai sinonim dari kedaulatan dimana setiap setiap negara tunduk
patuh terhadap hukum internasonal, namun tidak terhadap satu sama negara lain. Kebulatan
suara sebagai sinonim kedaulatan yaitu membebaskan negara yang memiliki pendapat berbeda
dari kewajiban yang telah diputuskan dan memberhentikan proses pemberian hukum atau
penegakan hukum.

Kedaulatan yang dimiliki oleh sebuah negara, tidak menjadikan negara tersebut terbebas
dari batasan hukum yang berlaku di dunia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perjanjian
tertentu secara kuantitas akan menghancurkan kedaulatan sebuah negara. Namun, hal ini tidak
berlaku jika batasan hukum yang ada dalam perjanjian tersebut secara kualitas tidak
mempengaruhi otoritas tertinggi negara terhadap kedaulatan yang dimilikinya. Seperti contoh,
Amerika Serikat yang bergabung dengan PBB, dimana PBB tidak dapat mempengaruhi otoritas
tertinggi Amerika Serikat didalam wilayahnya.
Negara berhak menentukan sikap negaranya masing-masing. Tetapi negara tersebut juga
menganggap kedaulatan itu bukan berarti bebas dari regulasi hukum internasional. Stigma yang
berkembang mengatakan bahwa regulasi/hukum internasional dinilai mengancam kedaulatan
negara karena regulasinya dipukul rata. Dengan maksud, semua negara mendapatkan regulasi
yang sama dan harus mematuhi regulasi yang ada. Hubungan antara hal-hal yang diatur oleh
hukum internasional dan hal hal yang tidak terkait dengannya bersifat cair. Maksudnya adalah
apa yang ingin diambil dari negara tersebut tergantung domestiknya. Jadi, tidak bisa negara
tersebut menganggap regulasi hukum internasional mempengaruhi kedaulatan negara. Misalnya,
peraturan internasional tentang kebijakan imigrasi, bahwa masing-masing negara tidak akan
sesuai dengan kedaulatannya.

Maksud dari kedaulatan bukanlah persamaan hak dan kewajiban menurut hukum
internasional adalah ketika suatu negara mempunyai kewajiban yang sudah tertulis dalam hukum
internasional seperti perjanjian atau kovenan yang telah disetujui oleh kedua belahpihak negara,
tidak bisa menganggap ketika salah satu dari negara tersebut mempunyai kedaulatan meminta
kesamarataan, karena hal tersebut sudah disetujui. Misalnya, perjanjian perdamaian yang
dilakukan antara Jerman, Austria, Hongaria, dan Bulgaria dengan Cekoslowakia dan Polandia.
Isi perjanjian ini pada intinya memberatkan satu sisi yang kalah. Jadi, walaupun suatu negara
sama-sama berdaulat tetapi kewajiban suatu negara berbeda dengan negara lain dan tidak bisa
meminta kesetaraan. Namun, seringkali negara salah kaprah dengan menganggap kedaulatan
negara dapat menghilangkan kewajibannya walaupun sebenarnya perjanjian dapat dirubah atau
dihilangkan karena adanya revisi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Kedaulatan bukanlah kemerdekaan yang sebenarnya dalam urusan politik, militer,


ekonomi atau teknologi. Maksudnya adalah walaupun ada suatu negara yang memiliki
kedaulatan tidak bisa menyaingi/menyetarakan independen yang lebih maju. Hal ini berpengaruh
terhadap kebijakan yang bisa diambil oleh suatu negara. Contohnya, Panama adalah negara yang
berdaulat seperti halnya Amerika Serikat, meskipun keduanya adalah negara yang berdaulat,
Panama lebih jauh terbatas dibandingkan Amerika Serikat. Jadi, kebijakan dari masing-masing
negara tersebut akan berbeda.
Kedaulatan adalah otoritas hukum tertinggi. Bagaimana kedaulatan itu akan hilang?
Negara kehilangan kedaulatannya ketika ditempatkan di bawah otoritas negara lain, sehingga
negara menjadi yang terakhir menjalankan wewenang tertinggi untuk memberi dan menegakkan
hukum di dalam wilayah sebelumnya. Sebuah negara dapat mengambil kewajiban hukum
sendiri. Cara lain bagaimana kedaulatan bisa hilang adalah ketika hilangnya apa yang kita sebut
sebagai "ketidakmampuan" wilayah negara.

Kuantitas kewajiban hukum di mana sebuah negara mengikat hubungannya dengan


negara negara lain tidak dapat mempengaruhi kedaulatan. Dengan kata lain, hal tersebut bukan
merupakan kuantitas komitmen hukum, tetapi pengaruhnya terhadap kualitas kontrol politik
pemerintah yang menentukan masalah kedaulatan. Di lembaga internasional, cara seperti ini
tidak sesuai dengan kedaulatan negara-negara yang bersangkutan. Banyak lembaga internasional
menentukan kekuatan pemungutan suara anggota mereka berdasarkan kontribusi keuangan
mereka.

Sebagian dari mereka percaya bahwa kedaulatan harus dipegang oleh negara bagian dan
sebagiannya lagi menginginkan kedaulatan ditempatkan di pemerintah pusat. Oleh karena itu,
harus ditentukan salah satunya saja karena kedaulatan tidak dapat dibagi di antara keduanya.
Dari kontradiksi antara realitas politik dan preferensi politik ini, kepercayaan pada kedaulatan
yang dapat dibagi adalah manifestasi ideologis.

Anda mungkin juga menyukai