Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

STUDI GENDER DALAM PERSPEKTIF ONTOLOGIS,


EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS

Disusun untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan

Disusun Oleh:
Syarah Shabrina
NIM. 11201130000029

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Deny Hamdani M.Ag., Ph.D.

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik serta hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah tentang “Studi Gender Dalam
Perspektif Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis” ini dapat terselesaikan. Tidak lupa
shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga syafa’atnya
mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Bapak Hamdani
M.Ag., Ph.D selaku dosen pengampu yang telah memberi bimbingan dalam proses
pembelajaran. Penulis juga berterima kasih kepada pihak yang terlibat dalam penyusunan
makalah ini. Harapan dan doa semoga segala kebaikan yang telah dilakukan mendapatkan
balasan yang berlipat ganda. Selain itu juga, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
semua dan semoga Allah senantiasa meridhoi segala usaha yang kita lakukan.

Jakarta, 20 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam perkembangannya, gender masuk ke berbagai aspek dan ruang lingkup
aktivitas domestik, ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya dalam masyarakat. Konsep
gender merupakan pandangan yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya dan terlebih kepada
pembahasan peranan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan (sifat maskulinitas
dan feminitas).1 Banyak buku atau kajian yang membahas tentang kesetaraan gender,
terlebih sangat diperdebatkan oleh kaum perempuan yang sering diposisikan pada
keadaan yang tidak bias gender.2 Dalam hal ini, pendidikan merupakan salah satu
sarana/alternatif untuk menangkal perilaku bias gender dalam berbagai kalangan untuk
menciptakan generasi yang bermoral gender. Selain pendidikan, agama juga sebagai
landasan dalam menjalin hubungan sosial antar manusia. Agama merupakan sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan, mengajarkan
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia lainnya serta
lingkunganya.
Islam mengajarkan kedamaian yang menyeluruh dan mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia baik urusan yang menyangkut dunia maupun akhirat. Islam tidak
membedakan antara hak dan kewajiban yang ada pada manusia. Islam selalu
mengedepankan konsep keadilan bagi siapapun dan untuk siapapun tanpa melihat jenis
kelamin mereka. Islam selalu menempatkan semua hal pada posisi yang seimbang dan
sama, seperti laki-laki dan perempuan. Adanya faktor penyebab yang membedakan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan diantaranya karena kesalahan pemahaman
dalam mengkonstruksi peran sosial antara laki-laki dan perempuan sebagai akibat dari
interpretasi ayat suci Al-Qur’an secara partikular dan terkesan tidak utuh. Maka, hal ini
salah satu penyebab terjadinya konsepsi-konsepsi yang tidak seimbang dalam
menempatkan posisi laki-laki dan perempuan di kehidupan masyarakat. Padahal, di

1
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (Perspektif Al-Qur’an), (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 35.
2
Azyumardi Azra, Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta, (Jakarta: McGill IAIN, 2004), hlm.14.
dalam Al-Qur’an banyak ayat yang membicarakan relasi gender, hubungan antara laki-
laki dan perempuan dalam konsepsi yang rapi, indah, dan bersifat adil. Oleh karena itu,
Islam sangat mengajarkan bagaimana letak kedudukan sesungguhnya antara laki-laki dan
perempuan secara imbang dan sesuai dengan kadar keimanan dan ketakwaan menjadi
salah satu jalan yang harus ditempuh.
Sebelumnya, menyusun kerangka konsepsi penelitian yang berkenaan dengan
gender merupakan proses ilmiah yang perlu hati-hati, karena akan mencampuri masalah
antara kepentingan ilmiah dengan pesan ideologi gender. Seiring dengan berkembangnya
masalah dalam penelitian terutama menyangkut dengan relasi laki-laki dan perempuan
yang kurang seimbang dapat menghasilkan kesenjangan gender, banyak metode
penelitian yang belum mengungkap dan menyelesaikan permasalahan gender.
Pengembangan model penelitian berperspektif gender dimaksudkan sebagai proses
mengembangkan atau memodifikasi sebuah metode penelitian dengan metodologi yang
spesifik gender sesuai dengan permasalahannya. Penelitian perspektif gender
dilaksanakan untuk mengungkap dan memahami terjadinya ketimpangan sosial akibat
aspek gender. Kajian gender mengangkat masalah peran dan partisipasi laki-laki dan
perempuan dalam berbagai pembangunan sebagai isu pokok dalam meningkatkan
kesejahteraan dan status laki-laki dan perempuan yang sejajar.
Maka, fenomena gender di kalangan masyarakat pun semakin kompleks yang
diperlukan pengintegrasian berbagai bidang disiplin ilmu. Adapun model penelitian yang
dikembangkan adalah model perspektif gender pada aspek filosofi ilmu mencakup
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ontologi terkait dengan penelitian berperspektif
gender ini secara umum ingin mengangkat kesenjangan relasi laki-laki dan perempuan
secara proporsional, mengkaji permasalahan isu-isu gender, serta realitas tentang
permasalahan gender yang didasari pada sosial ekonomi, politik, ataupun budaya.
Epistemologi disini menghasilkan pengetahuan melalui kekuatan/kemampuan ideologi
patriarki, dengan cara melakukan uji coba penelitian dalam gender menggunakan
pendekatan kualitatif dan teknik analisis gender (mengkaji akses, partisipasi, dan manfaat
yang didapat laki-laki dan perempuan secara proporsional). Aksiologi dapat menemukan
permasalahan gender secara rinci dan jelas, dan hasilnya akan bermanfaat untuk
mengatasi permasalahan gender secara tepat.
Maka, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai studi gender yang
dilengkapi dengan disiplin ilmu dan perspektif ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian perspektif Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis? dan apa
hubungannya dengan studi gender?
2. Apa yang dimaksud dengan gender dan seks? dan bagaimana penjelasan konsep
gender menurut umum dan menurut perspektif Islam?
3. Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan gender? dan apa
manfaat mengatasi permasalahan gender?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian perspektif Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis, serta hubungannya dengan studi gender.
2. Untuk mengetahui dan memahami pengertian gender dan seks, serta penjelasan
konsep gender menurut umum dalam perspektif Islam.
3. Untuk mengetahui dan memahami untuk mengatasi permasalahan gender dan
manfaat mengatasi permasalahan gender.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perspektif Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis


1. Pengertian Perspektif Ontologis
Ontologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ontos: being dan Logos: logic.
Artinya, ontologis adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan
sebagai keberadaan) atau ilmu tentang yang ada. Secara terminologi, ontologis adalah
cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup.3 Ontologis diartikan
sebagai suatu yang berhubungan dengan kajian mengenai eksistensi itu sendiri dan
mengkaji sesuai yang ada, serta sepanjang sesuatu itu ada. 4 Ontologis merupakan
kajian filsafat yang sangat kuno dan berasal dari Yunani, dimana kajiannya
membahas keberadan sesuatu yang bersifat konkret.
Ontologis merupakan hakikat keberadaan sesuatu atau asal mula segala sesuatu,
dimana objek kajiannya meliputi individu, umum, terbatas, tidak terbatas, universal,
dan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka, istilah ontologis ini banyak digunakan
ketika membahas yang ada dalam konteks filsafat.5 Maka, dapat dipahami bahwa
ontologis adalah hakikat tentang keberadaan segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada. Lebih jelasnya, ontologis terkait dengan studi gender, secara umum
ingin mengangkat kesenjangan relasi laki-laki dan perempuan secara proporsional,
mengkaji permasalahan isu-isu gender, serta realitas tentang permasalahan gender
yang didasari pada sosial ekonomi, politik, ataupun budaya.

2. Pengertian Perspektif Epistemologis


Epistemologis berasal dari bahasa Yunani yaitu Episteme dan Logos, yang
berarti pengetahuan dan teori. Secara terminologi berarti teori pengetahuan.
Epistemologis mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, darimana sumber ilmu,

3
KBBI-Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4
Muhammad Kristiawan, Filsafat Pendidikan: The Choice is Yours, (Yogyakarta: Valia Pustaka, 2016), hlm. 141.
5
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), hlm. 91.
serta proses terjadinya. Secara sistematis, epistemologis adalah cabang atau bagian
filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan, yaitu tentang terjadinya
pengetahuan dan kebenaran pengetahuan (cara memperoleh pengetahuan tersebut).6
Epistemologis terkait studi gender, menghasilkan pengetahuan melalui
kekuatan/kemampuan ideologi patriarki, dengan cara melakukan uji coba penelitian
dalam gender menggunakan pendekatan kualitatif dan teknik analisis gender
(mengkaji akses, partisipasi, dan manfaat yang didapat laki-laki dan perempuan
secara proporsional).

3. Pengertian Perspektif Aksiologis


Secara etimologi, aksiologis berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Aksios yang
berarti nilai dan Logos berarti teori. Jadi, aksiologis merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai, artinya aksiologis adalah teori nilai. Aksiologis dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia
tentang nilai-nilai khususnya etika. Maka, aksiologis untuk membahas studi gender
dapat menemukan permasalahan gender secara rinci dan jelas, dan hasilnya akan
bermanfaat untuk mengatasi permasalahan gender secara tepat.

B. Konsep Dasar Gender


1. Pengertian Gender dan Seks
Kata “Gender” berasal dari Bahasa Inggris yang artinya “jenis kelamin”. Dalam
Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki
dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan tingkah lakunya.7 Webster’s Studies
Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah suatu konsep yang berupaya
membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mental, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. 8
Istilah gender dengan pemaksaan seperti yang digunakan pada saat ini pertama kali
dikenalkan oleh Robert Stoller untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan

6
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor: IPB Press, 2016), hlm 91.
7
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm. 29.
8
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm. 30.
pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari
ciri-ciri fisik biologis.9 RUU KKG Bab 1 Pasal 1 menyebutkan gender adalah suatu
perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan
hasil dari konstruksi sosial budaya dan bersifat dinamis atau yang bisa dipelajari serta
ditukarkan menurut waktu, tempat, atau budaya tertentu dari jenis kelamin satu ke
jenis kelamin lainnya.10
Banyak di kalangan masyarakat yang keliru dengan memahami arti gender
adalah sebagai jenis kelamin. Padahal, sebenarnya gender berbeda dari jenis kelamin
(seks), jadi dapat dibedakan antara gender dan seks (jenis kelamin). Seks merupakan
sebutan yang lebih condong pada pensifatan atau pembagian jenis kelamin manusia
berdasarkan biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya jenis
kelamin laki-laki adalah penis dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan
memiliki alat reproduksi sel telur, vagina, dan payudara. Hal ini dikatakan sebagai
ketentuan Tuhan atau suatu kodrat dan tidak berubah secara permanen ataupun tidak
dapat ditukar.11 Sedangkan, gender diartikan sebagai sifat yang melekat pada laki-
laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya, dapat
dipertukarkan, sehingga bisa berubah dari waktu ke waktu atau tempat ke tempat
lainnya. Misalnya laki-laki dianggap lebih kuat, perkasa, rasional, dan jantan,
sedangkan perempuan dianggap lemah lembut, keibuan, emosional, dan keibuan. 12
Oleh karenanya, studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas
atau feminitas. Berbeda dengan studi seks yaitu yang lebih menekankan
perkembangan aspek biologis seperti peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-
laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial.13
Adapun penjelasan lebih detail mengenai perbedaan konsep gender dan seks,
yaitu:14

9
Diakses dari https://www.universitaspsikologi.com/2020/03/pengertian-gender-dan-klasifikasi-gender.html pada
24 Maret 2020.
10
Drap RUU, Kesetaraan dan Keadilan Gender, (24 Agustus 2011)
11
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 8.
12
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 8.
13
Iswah Adriana, Kurikulum Berbasis Gender, Tadris. Vol. 4, No. 1, 2009, hlm. 138.
14
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 5.
Gender Seks

Berasal dari manusia (kebudayaan Berasal dari kodrat Tuhan.


dalam masyarakat).

Visi dan Misi atas dasar kebiasaan. Visi dan Misi atas dasar kesetaraan.

Terdapat unsur pembeda dari Terdapat unsur pembeda dari alat


kebudayaan (tingkah laku). reproduksi (biologis).

Bersifat harkat, martabat, dan dapat Bersifat kodrat, tertentu, dan tidak
dipertukarkan dapat dipertukarkan.

Dapat berubah sewaktu-waktu, dan Berlaku sepanjang masa, dimana saja


berbeda antar kelas. tidak mengenal perbedaan kelas.

Terciptanya norma-norma atau Terciptanya nilai-nilai kesempurnaan,


ketentuan tentang pantas atau tidak kenikmatan, kedamaian, dll sehingga
pantas dan merugikan salah satu pihak. menguntungkan kedua belah pihak.

Dapat disimpulkan bahwa gender adalah peran antara laki-laki dan perempuan
yang dihasilkan atas konstruksi sosial budaya. Peran ataupun sifat dilekatkan kepada
laki-laki karena berdasarkan kebiasaan atau kebudayaan biasanya peran maupun sifat
tersebut hanya dilakukan atau dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Sedangkan
peran ataupun sifat yang dilekatkan kepada perempuan karena berdasarkan kebiasan
atau kebudayaan yang akhirnya membentuk suatu kesimpulan bahwa peran atau sifat
itu hanya dilakukan oleh perempuan.
Selain itu, masih banyak persoalan antara pro dan kontra diberbagai kalangan
masyarakat, akademisi, serta pemerintah mengenai konsep gender. Hal ini
diakibatkan karena sangat sering kajian gender dan istilah gender disalahartikan
sehingga pada akhirnya menimbulkan diskriminatif.15 Namun, pada dasarnya
perbedaan gender tidak menjadi masalah sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan
bagi laki-laki maupun perempuan.
15
Mardiyah, Isu Gender Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Sosial, Vol. 25 No. 2, 2015.
Adapun epistemologis penelitian gender secara garis besar bertolak belakang
pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori, yaitu fungsionalis struktural
dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural berdasarkan asumsi bahwa masyarakat
terdiri dari bagian yang mempengaruhi satu sama lain. Hilary M. Lips dan S. A.
Shield membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis lebih
dominan ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih dominan ke psikologis. Hal
tersebut, laki-laki dan perempuan merupakan kelestarian dan keharmonisan, bukan
persaingan.

2. Isu-Isu Gender dan Budaya Patriarki


a. Isu-Isu Gender
Isu gender menjadi perbincangan mengenai ketimpangan sosial seperti
ketidakadilan dan kesetaraan gender. Hal ini timbul karena asumsi suatu
masyarakat yang terdiri atas beberapa bagian yang saling mempengaruhi dan
mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di masyarakat. Salah satu orang
yang mendukung yaitu R. Dahrendolf yang meringkaskan prinsip-prinsip asumsi,
antara lain:16
1) Suatu masyarakat merupakan satu kesatuan.
2) Sistem-sistem sosial terpelihara karena perangkat mekanisme kontrol.
3) Bagian yang tidak berfungsi dapat terpelihara dengan sendirinya dan
melembaga dalam waktu yang cukup lama.
4) Perubahan terjadi secara berangsur-angsur.
5) Integrasi sosial dicapai melalui kesepakatan mayoritas masyarakat terhadap
seperangkat nilai yang sangat stabil di dalam suatu sistem masyarakat.
Atas dasar asumsi tersebut, maka isu gender muncul sebagai berikut:
1) Kesetaraan Gender
Istilah kesetaraan dalam kajian isu gender sering digunakan karena dari
makna kesetaraan sendiri dapat menunjukkan pada pembagian tugas atau
peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh
kesempatan dan memperoleh hak-haknya sebagai makhluk Tuhan yang

16
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm. 52.
mampu berperan diseluruh aspek kehidupan masyarakat. Menurut Rianingsih
Djohani, gender adalah pembagian peran, kedudukan dalam tugas antara laki-
laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat
perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat
istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat.17
Dalam mewujudkan kesetaraan gender bukan hal yang tidak mungkin
dilakukan oleh suatu kelompok atau bangsa meskipun sudah berlangsung
lama. Mewujudkan kesetaraan gender memerlukan jangka waktu yang
panjang dan tidak bisa dilakukan dalam kurun waktu yang singkat karena
merubah budaya yang diawali dengan perubahan mental dalam memandang
sesuatu.18 Terwujudnya kesetaraan gender dapat dilihat dari tidak adanya lagi
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama memiliki akses,
kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas perkembangan serta memperoleh
manfaat setara dari perkembangan tersebut.
Upaya mewujudkan kesetaraan gender tidak diartikan sebagai sembarang
menyamakan antara laki-laki dan perempuan. Tawney mengatakan bahwa
konsep yang mengakui kondisi perseorang atau disebut dengan “person-
regarding equality” tidak memberikan perlakuan yang sama kepada setiap
individu agar kebutuhannya secara spesifik dapat dipenuhi (kesetaraan
konteksual). Selain itu, Tawney juga mengakui keragaman pada manusia, baik
dari segi biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan dan
cocok dengan paradigma inklusif.19 Artinya kesetaraan bukanlah kesamaan
seperti persamaan matematis, melainkan kepada kesamaan yang adil sesuai
dengan konteks masing-masing individu.
Adapun indikator kesetaraan gender, antara lain:

17
Rianingsih Djohani, Dimensi Gender dalam Pengembangan Program Secara Partisipatif, (Bandung: Driya
Media, 1996), hlm. 7.
18
Nanang Hasan Susanto, Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki, Jurnal Pendidikan
Sosial, Vol. 7 No. 2, 2015.
19
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999).
a) Akses, adalah kesempatan atau peluang yang sama bagi
perempuan dan laki-laki dalam memperoleh atau menggunakan
sumber daya tertentu.
b) Partisipasi, adalah aspek ini merupakan keikutsertaan atau
partisipasi perempuan dan laki-laki yang sama dalam proses
pengambilan keputusan.
c) Kontrol, adalah perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan
atau wewenang yang sama untuk mengambil keputusan.
d) Manfaat, adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal
oleh perempuan atau laki-laki.

2) Ketidakadilan Gender
Ketidakadilan gender (gender inequalities) adalah pembatasan peran,
pemikiran, ataupun perbedaan perlakuan yang mengakibatkan pada terjadinya
pelanggaran atas pengakuan hak asasi, persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak
menimbulkan ketidakadilan gender. Namun, permasalahannya adalah adanya
perbedaan gender yang memunculkan berbagai ketidakadilan, baik bagi laki-
laki maupun perempuan.20 Ketidakadilan ini disebabkan karena tindakan
suatu struktur dimasyarakat yang menghendaki adanya pandangan gender
yang membedakan ruang dan peran keduanya dalam berbagai bidang
kehidupan. Hal ini terimanifestasikan dalam berbagai bentuk, y:
a) Marginalisasi/Peminggiran
Marginalisasi adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap
salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat
kemiskinan. Misalnya, hal yang dirasakan oleh perempuan karena
ketidakadilan gender sebenarnya berasal dari kebijakan pemerintah
tertentu, keyakinan, tafsir agama yang konteksual, tradisi, atau
berdasarkan asumsi ilmu pengetahuan. Termarginalisasinya

20
Nanang Hasan Susanto, Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki, Jurnal Pendidikan
Sosial, Vol. 7 No. 2, 2015, hlm. 123.
perempuan bukan hanya terjadi pada bidang ekonomi atau dalam
pekerjaan saja, namun dalam berbagai aspek seperti rumah tangga,
masyarakat, kultur, atau negara.
b) Stereotipe (Pandangan)
Stereotipe adalah pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin
yang bersifat negatif dan menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Hal
ini mengakibatkan terjadinya tindakan diskriminasi dan berbagai
tindak ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya
pandangan masyarakat terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya
melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan domestik atau
kerumahtanggaan.
c) Kekerasan (Violence)
Kekerasan (Violence) adalah bentuk serangan atau invasi
terhadap fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang.
Kekerasan yang terjadi pada manusia memiliki beberapa sebab, tetapi
kekerasan yang terjadi akibat bias gender disebut gender related
violence. Bentuk kekerasan yang dapat dikategorikan kekerasan yang
diakibatkan oleh gender diantaranya, kekerasan seksual
(pemerkosaan), kekerasan fisik dalam rumah tangga, termasuk
kekerasan terhadap anak, bentuk penyiksaan yang berhubungan
dengan organ kelamin, kekerasan dalam bentuk pornografi, kekerasan
dalam bentuk pelecehan, dan lain-lain.
d) Beban Ganda
Beban Ganda (Double Burden) adalah adanya perlakuan
terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja
jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Beban
ganda umumnya ditanggung oleh perempuan secara berlebihan.
Hampir 90% dari berbagai penelitian bahwa pekerjaan rumah tangga
dilakukan oleh perempuan, sehingga perempuan yang masih bekerja
diluar selain bekerja ditempat kerjanya itu masih harus mengerjakan
pekerjaan dirumah tangganya. Apabila tidak mengerjakan pekerjaan
dirumah tangganya, maka akan menumbuhkan rasa bersalah.
Sedangkan laki-laki bukan hanya merasa tidak bertanggung jawab atas
pekerjaan rumahnya, namun ada beberapa tradisi yang melarang kaum
laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik.
e) Subordinasi
Subordinasi atau penomorduaan adalah anggapan salah satu jenis
kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya
dibandingan dengan jenis kelamin lainnya. Anggapan kedudukan laki-
laki lebih tinggi dari pada perempuan sudah menjadi budaya. Banyak
kasus dalam tradisi tertentu, tafsir agama atau aturan birokrasi yang
menempatkan perempuan pada keadaan subordinat. Subordinasi telah
menganggap perempuan memiliki emosional yang tinggi sehingga
tidak dapat menjadi seorang pemimpin. Kehidupan masyarakat rumah
tangga dan kebijakan negara yang dikeluarkan tanpa adanya anggapan
penting kaum perempuan selalu dinomorduakan. Misalnya dalam
mendapat hak pendidikan lebih mendahulukan laki-laki daripada
perempuan.21
Dari diskriminasi gender tersebut, berdominan bahwa posisi perempuan
berada di keadaan yang nyaris tak ternilai. 22 Meskipun isu perbedaan gender
terjadi melalui proses yang panjang, tetapi perbedaan tersebut banyak
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkembang dalam masyarakat seperti
tradisi, adat istiadat, corak budaya, ajaran agama, atau bahkan kebijakan
dalam sebuah negara. Melahirkan peran sosial yang berbeda dalam
masyarakat akan sulit terjadi pergantian peran antara laki-laki dan
perempuan.23 Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat menganut perbedaan
gender. Setiap orang dituntut mempunya perasaan gender (gender feeling)
dalam pergaulan, sehingga jika seseorang menyalahi norma atau nilai dan
perasaan akan menghadapi risiko di dalam masyarakat.
21
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 13.
22
Imam Syafe’I, Subordinasi Perempuan Implikasi Terhadap Rumah Tangga, Jurnal Al-Tadzkiyah Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan Lampung, Vol. 15 No. 1, 2015.
23
Lisdamayatun, Pandangan Islam Terhadap Kesetaraan Gender, 2018, hlm. 2.
b. Budaya Patriarki
1) Pengertian Budaya Patriarki
Koenjaraningrat berpendapat bahwa budaya dan ideologi bukan sesuatu yang
turun dari langit, tetapi dibentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Menurut Koentjaraningrat, nilai budaya adalah
faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat. 24 Patriarki
adalah sistem sosial yang menepatkan peran laki-laki lebih tinggi dibanding
perempuan dalam sebuah kelompok atau masyarakat.25 Bressler menganggap
lebih jauh bahwa patriarki sebagai konsep yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial
terutama dalam bidang antropologi dan studi feminitas. Laki-laki memiliki
keunggulan di beberapa aspek kehidupan, hal ini patriarki bermakna sebagai
distribusi kekuasaan laki-laki dan perempuan.
Masyarakat yang menganut sistem patriarki akan menempatkan posisi dan
kekuasaan lebih kepada laki-laki dibanding perempuan, karena perempuan
dianggap sebagai makhluk yang lemah. Ketidakadilan sistem patriarki hakikatnya
merugikan keduanya karena dimanapun ketidakadilan adalah sebuah konflik.26
Berbeda dengan teori struktur-fungsional yang menempatkan keluarga dengan
institusi dengan sistem struktur dengan menetapkan kedudukan suami, istri, anak-
anak, pada posisi yang vertikal artinya segala peran dan tanggung jawab serta hak
dan kewajibannya ditentukan oleh hierarki patriakal. Menurut teori sosial-konflik,
struktur yang vertikal akan menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam
keluarga, karena sistem struktur yang hierarki menimbulkan situasi yang tidak
demokratis, yaitu pembagian sumberdaya terbatas dan bersifat mutlak tanpa
negosiasi.
2) Sejarah Patriarki

24
Nanang Hasan Susanto, Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki, Jurnal Pendidikan
Sosial, Vol. 7 No. 2, 2015, hlm. 125.
25
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 4 Juni 2019 pukul 20.46 WIB.
26
Nanang Hasan Susanto, Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki, Jurnal Pendidikan
Sosial, Vol. 7 No. 2, 2015, hlm. 125.
Budaya patriarki dalam masyarakat tidak lepas dari sejarah peradaban
manusia. Zaman dahulu, manusia menggantungkan hidupnya dengan cara berburu
dan mengumpulkan makanan. Kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan
dilakukan oleh laki-laki, sementara perempuan tinggal dirumah. Hal ini membuat
perempuan pada saat itu memiliki waktu senggang, sehingga waktu tersebut diisi
dengan bertani. Maka, kaum perempuanlah yang pertama kali menemukan ilmu
bercocok tanam dan pekerja pertanian pertama.27 Seiring berkembangnya zaman,
kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tidak cocok lagi karena kondisi
alam sudah berubah. Oleh sebab itu, kaum laki-laki mengambil alih pekerjaan
pertanian. Perkembangan zaman ini juga mempengaruh beberapa teknik pertanian
manusia.
Peradaban sistem patriarki dimulai sejak manusia mengenal sistem
kepemilikan dan melahirkan sistem kelas pada kehidupan manusia. 28 Kelahiran
patriarki membuat perempuan tergeser dari pekerjaannya dan bekerja berdasarkan
keinginan laki-laki. Kelahiran sistem ini juga sangan erat dengan budaya yang
berlaku di beberapa negara yang menganggap kaum perempuan hanya membawa
ketidakberuntungan. Hal tersebut, Jazirah Arab adalah salah satu yang membantu
berkembangnya budaya patriarki pada masa jahiliyahnya. Sebelum Islam masuk,
perempuan berada dalam keadaan yang sangat rendah dan memprihatinkan karena
diabaikan dan tidak didengar. Namun, ketika Islam mulai masuk, semua keadaan
dapat berubah dan membuat perempuan mendapatkan hak-haknya sebagai
manusia di muka bumi.29
C. Konsep Gender Dalam Perspektif Islam
1. Konsep Bias Gender Dalam Teks Keagamaan

27
Setiawan Hesri, Awan Theklek Mbegi Lemeti Tentang Perempuan dan Pengasuhan Anak, (Yogyakarta: Sekolah
Mbrosot dan Gending Publishing), hlm. 29.
28
Arif Budiman, Pengembangan Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologi Tentang Peran Waktu
didalam Masyarakat, (Jakarta: Gramedia).
29
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan,
Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik Jilid 3, (Jakarta: Kamil Pustaka, 2014), hlm. 14.
Gender merupakan pandangan atau keyakinan yang dibentuk masyarakat
bagaimana seorang laki-laki dan perempuan bertingkah laku dan berpikir.
Singkatnya, tercantum dalam surat Al-Isra’ (17) ayat 70:
ِ ‫و لَ َق ْد َك َّر م نَ ا ب يِن آد م و مَح ْل نَ اه م يِف الْ ب ِّر و الْ ب ح ِر و ر ز ْق نَ اه م ِم ن الطَّ يِّ ب‬
‫ات‬ َ َ ْ ُ َََ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ََ َ ْ َ
ِ ‫ض ْل نَ اه م ع لَ ٰى َك ثِ ٍري مِم َّ ن خ لَ ْق نَ ا َت ْف‬
‫ض ي اًل‬ َ ْ َ ْ ُ َّ َ‫َو ف‬

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan”
Dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan
bentuk yang terbaik dan kedudukan yang paling hormat, diciptakan dengan mulia
yang memiliki akal, perasaan, dan menerima petunjuk. Oleh karena itu, Al-Qur’an
tidak mengenal pembedaan antara laki-laki dan perempuan karena dihadapan Allah
semua sama, yang membedakannya hanya dari segi biologisnya.30
Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu seperti
laki-laki dan perempuan adalah berpasangan-pasangan. Konsep ajaran ini
menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dan saling melengkapi.
Laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk menciptakan situasi yang
harmonis dalam keluarga ataupun masyarakat. Hal ini diartikan bahwa manusia
dituntut untuk mengetahui keistimewaan dan kekurangan masing-masing, serta
perbedaan antar keduanya. Apabila tidak mengetahui, maka akan menimbulkan
permasalahan dan kezaliman di banyak pihak, terutama kepada perempuan yang
sering bertentangan dengan kodratnya.
Ajaran Islam banyak membawa angin segar khususnya bagi perempuan. Ajaran
Islam menjadi rahmat bagi kaum perempuan karena Islam mengajarkan persamaan
antar manusia, baik laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, dan
keturunan. Allah menganggap adanya perbedaan antara laki-laki dan manusia dilihat

30
Nasaruddin Umar, Qur’an Untuk Perempuan, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan Kayu, 2002),
hlm. 27.
dari pengabdian dan ketakwaan kepada-Nya. Dipahami lebih lanjut dalam firman
Allah SWT surat Al-Hujurat (49) ayat 13 sebagai berikut:

‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشع ُْوبًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل‬
‫ارفُ ْوا ۚ اِ َّن اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم َخبِ ْي ٌر‬
َ ‫لِتَ َع‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Dari ayat tersebut sebenarnya kedudukan perempuan khususnya dalam ajaran
islam tidak seperti yang dipraktekkan oleh sebahagian masyarakat. Oleh karena itu,
banyak gerakan yang menginginkan dan menuntut kesetaraan dan persamaan antara
hak laki-laki dan perempuan.31
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ajaran laki-laki dan perempuan
itu sama. Ajaran Islam dituangkan dalam pedoman ajaran dari Al-Qur’an dan Hadits
untuk menjadi acuan bagi manusia menjalani kehidupan termasuk memahami
kesetaraan gender. Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua hal pokok dalam seluruh
bangunan dan sumber keilmuan Islam, serta menjadi penengah dalam jantung umat
Islam karena Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber inspirasi dan ajaran bagi umat
Islam. Selain itu, Al-Quran dan Hadits menjadi suatu bentuk rahmat Tuhan untuk
membimbing dan mengarahkan manusia agar dapat menjalani hidup dengan baik
tanpa kekerasan, penindasan, monopoli, pengrusakan, atau diskriminasi, dan lain
sebagainya. Al-Qur’an ataupun Hadits memiliki visi yang sama yaitu bersifat
universal, termasuk dalam lingkup aturan atau tuntutan relasi laki-laki dan
perempuan.
2. Kesetaraan Gender Dalam Islam
Konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an
antara lain sebagai berikut:

31
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 269.
Pertama, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama sebagai hamba (QS. Az-
Zariyat: 56)
ِ ‫و م ا خ لَ ْق ت ا جْلِ َّن و ا ِإْل نْ س ِإ اَّل لِ ي ع ب ُد‬
‫ون‬ ُْ َ َ َ ُ َ ََ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku”
Dalam kapasitasnya, sebagai hamba Allah, tidak ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi
hamba yang ideal. Hamba ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang
yang bertaqwa.
Kedua, laki-laki dan perempuan adalah sebagai khalifah di bumi. Maksudnya
adalah, tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah untuk menjadi hamba yang
tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah. Sebagaimana dalam Al-Qur’an (QS.
Al-Baqarah (2): 30) dan (QS. Al-An’am (6): 165):
ِ ِ ‫ِ يِف‬ ‫ال ر بُّ َ ِ ِئ ِ ِإ‬ ‫ِإ‬
ُ‫ك ل ْل َم اَل َك ة يِّن َج اع ٌل اَأْل ْر ض َخ ل َيف ةً ۖ• قَ الُ وا َأجَتْ َع ل‬ َ َ َ‫َو ْذ ق‬
‫ال‬
َ َ‫ك ۖ• ق‬ ِ ‫حِب‬ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫س ل‬
ُ ‫الد َم اءَ َو حَنْ ُن نُ َس بِّ ُح َ ْم د َك َو نُ َق ِّد‬
ِّ ‫ك‬ُ ‫يه ا َو يَ ْس ف‬
َ ‫يه ا َم ْن يُ ْف س ُد ف‬
َ‫ف‬
‫ون‬ ْ ‫ِإ يِّن‬
َ ‫َأع لَ ُم َم ا اَل َت ْع لَ ُم‬
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah (2):
30).

ٍ ‫ض درج‬ ‫ِئ‬ ِ
‫ات‬ َ َ َ ٍ ‫ض ُك ْم َف ْو َق َب ْع‬ َ ‫َو ُه َو الَّ ذ ي َج َع لَ ُك ْم َخ اَل‬
ِ ‫ف اَأْل ْر‬
َ ‫ض َو َر فَ َع َب ْع‬
ِ
ٌ‫ور َر ح يم‬
‫ِ ِ ِإ‬
ٌ ‫يع الْ ع َق اب َو نَّهُ لَ غَ ُف‬ ُ َ‫لِ يَ ْب لُ َو ُك ْم يِف َم ا آت‬
َ َّ‫اك ْم ۗ• ِإ َّن َر ب‬
ُ ‫ك َس ِر‬
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. Al-An’am (6): 165).
Ketiga, laki-laki dan perempuan berpotensi untuk meraih prestasi. Tidak ada
pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk meraih peluang prestasi.
Disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nahl (16): 97), (QS. Al-Ghafir (40): 40), dan
(QS. An-Nisa (4): 124)

•ۖ ً‫ص ا حِلًا ِم ْن ذَ َك ٍر َْأو ُأ ْن ثَ ٰى َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن َف لَ نُ ْح يِ َي نَّ هُ َح يَ اةً طَ يِّ بَ ة‬ ِ


َ ‫َم ْن َع م َل‬

ْ ِ‫َأج َر ُه ْم ب‬
َ ُ‫َأح َس ِن َم ا َك انُوا َي ْع َم ل‬
‫ون‬ ْ ‫َو لَ نَ ْج ِز َي َّن ُه ْم‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl
(16): 97).

ِ ِ ِ
َ َ‫ِإ اَّل ع ب‬
َ‫اد َك م ْن ُه ُم الْ ُم ْخ لَ ص ني‬
“kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka” (QS. Al-Ghafir (40):
40).

َ ‫ُأولَ ِئ‬
‫ك‬ ٰ َ‫ات ِم ن ذَ َك ٍر َأو ُأ ْن ثَ ٰى و ه و م ْؤ ِم ن ف‬ ِ ‫الص ا حِل‬ ِ
ٌ ُ َُ َ ْ ْ َ َّ ‫َو َم ْن َي ْع َم ْل م َن‬
‫ون نَ ِق ريًا‬
َ ‫ون ا جْلَ نَّةَ َو اَل يُظْ لَ ُم‬
َ ُ‫يَ ْد ُخ ل‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita
sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka
tidak dianiaya walau sedikitpun” (QS. An-Nisa (4): 124).
Dari ayat-ayat tersebut bahwa konsep kesetaraan yang ideal dan memberikan
ketegasan bahwa prestasi individual tidak mesti di monopoli oleh satu jenis kelamin
saja.
Menurut Nasaruddin Umar, Islam mengakui adanya perbedaan (distinction)
antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination). Perbedaan
tersebut didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda
dengan laki-laki, namun perbedaan tersebut tidak bermaksud untuk memuliakan yang
satu dan merendahkan yang lainnya.32
Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis selalu diartikan sebagai kondisi
“ketidaksetaraan” yang melahirkan diskriminasi, subordinasi, penindasan, perlakuan
tidak adil, dan sebagainya yang dialami oleh kaum perempuan sehingga muncul
upaya untuk memperbaiki kondisi kaum perempuan dengan penyadaran dan
pemberdayaan. Para feminis berusaha untuk mewujudkan kesetaraan gender secara
kuantitatif, yaitu laki-laki dan perempuan berperan baik di publik maupun domestik
(rumah tangga). Para feminis yakin bahwa perbedaan peran gender adalah produk
budaya, buan karena perbedaan biologis atau genetis.
Sepanjang sejarah, tidak banyak perempuan yang menjadi pemimpin, kaum
ulama, sufi, pemuka, dan tokoh masyarakat. Realitas ini akan menjadi bukti
kelemahan kaum perempuan di antara kaum laki-laki. Hal tersebut sangat
mempengaruhi kaum perempuan dalam sosialisasi mereka sebagai manusia yang
menginginkan persamaan dalam kehidupan. Terdapat sebagian pendapat yang
mensetarakan antara keduanya, sebagian lagi membedakan dalam berbagai hal dan
menganggapnya sebagai kodrat atau takdir. Pendapat yang menyamakan kedudukan
tersebut memiliki alasan yang substansial sebagai dasar untuk menyamakan
kedudukan tesebut. Begitu juga dengan pendapat yang membedakan kedudukan
antara keduanya yang menjadi perbincangan.
Kesalahan dalam mempersepsikan persamaan dan perbedaan laki-laki dan
perempuan bisa berakibat fatal, terutama akan berdampak pada nasib perempuan.
Terdapat dua pandangan stereotipe terhadap karakteristik perempuan, yaitu: Pertama,
teori alam yang beranggapan bahwa karakter perempuan disebabkan karena faktor

32
Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: LKAJ, 1999), hlm. 23.
biologis dan komposisi kimia dalam tubuh yang menimbulkan perbedaan aspek
psikologis dan intelektual. Teori ini menyebabkan ketergantunan dan perempuan
kurang memiliki peranan dalam lingkungan masyarakat. Kedua, teori kebudayaan
yang menentukan posisi, peran, dan karakteristik perempuan adalah lingkungan dan
budaya. Dapat dipahami bahwa ketidaksetaraan kaum laki-laki dan kaum perempuan
disebabkan karena kurang kesempatan dan peluang terhadap keduanya, sehingga
aktualisasi tidak seimbang dan menyebabkan salah satu pihak dianggap subordinat.
Ditemukan beberapa prinsip kesetaraan gender yang terdapat di dalam Al-
Qur’an menurut Dr. Nasaruddin Umar dalam Jurnal Pemikiran Islam tentang
Pemberdayaan Perempuan, antara lain:33
1) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah, sebagaimana
ditegaskan dalam QS. Az-Zariyat (51): 56. Sebagai hamba tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunya potensi dan
peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal dalam Al-Qur’an diistilahkan
sebagai orang-orang yang bertaqwa dan untuk mencapai derajat muttaqin ini
tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok
etnis tertentu, sebagaimana juga disebutkan dalam QS. Al-Hujurat (49): 13.
2) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah di bumi (khalifah fil
al’ard) sebagaimana ditegaskan QS. Al-An-am (6): 165 dan Al-Baqarah (2):
30. Dalam kedua ayat tersebut khalifah tidak menunjuk pada salah satu jenis
kelamin tertentu.
3) Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian awal dengan Tuhan,
mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan,
sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-A’raf (7): 172. Yakni keberadaan
Tuhan diaksikan oleh para malaikat. Sejak awal dalam Islam tidak dikenal
adanya diskriminasi jenis kelamin, laki-laki dan perempuan menyatakan ikrar
Ketuhanan yang sama. Selain itu, Al-Qur’an juga menegaskan dalam QS. Al-
Isra’ (17): 70 bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa
pembedaan jenis kelamin.

33
Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan Dalam Perspektif Islam, 2002, hlm. 75.
4) Adam dan Hawa terlibat aktif dalam peristiwa drama kosmis, sebagaimana
dijelaskan dalam banyak ayat seperti QS. Al-Baqarah (2): 35, QS. Al-A’raf
(7): 20-23, dan QS. Al-Baqarah (2): 187, yakni menceritakan tentang keadaan
Adam dan Hawa di surga sampai keluar bumi.
5) Laki-laki dan perempuan berpotensi dalam meraih prestasi maksimum,
sebagaimana terdapat dalam QS. Ali ‘Imran (3): 195, QS. An-Nisa’ (4):124,
QS. An-Nahl (16): 97, dan QS. Ghafir (40): 40. Ketiganya mengisyaratkan
konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa
prestasi individual tidak mesti didominasi satu jenis kelamin saja.
Dari penjelasan diatas, ajaran Islam memandang kedua insan secara utuh, antara
satu dengan lainnya secara biologis dan sosio kultural saling memerlukan dan
mempunyai peran. Dengan demikian, dalam perspektif normatif Islam, hubungan
antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Tinggi-rendahnya kualitas seseorang
terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketaqwaannya kepada Allah
SWT. Allah memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia
dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang
dikerjakannya.

3. Prinsip Keadilan Gender Dalam Islam


a. Persamaan Asal Penciptaan
Manusia, baik laki-laki maupun perempuan dipandang oleh Allah sama rata,
yang membedakannya hanyalah ketaqwaannya. Allah SWT berfirman dalam QS.
An-Nisa’ (4): 1 yang artinya:34
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakanmu
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan prempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

34
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fadh li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif,
1971, hlm. 114.
b. Persamaan Kewajiban
Secara umum, kewajiban manusia ketika diciptakan oleh Allah adalah untuk
beribadah dan beramal shaleh, yang diberlakukan untuk laki-laki dan perempuan.
Prinsip keadilan gender dalam kewajiban ini sama. Tercantum dalam QS. Al-
Ahzab: 35, yang artinya:35
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
kekuatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar”.

c. Persamaan Hak Dalam Menuntut Ilmu


Islam tidak membedakan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam asal
penciptaan dan kewajiban, ia juga memberi hak yang sama dalam menuntut ilmu
untuk membekali diri yang membawa kebaikan bagi manusia. Sebagai
penghormatan, Allah menempatkan posisi orang yang berilmu bersama malaikat.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 18, yang artinya:36
“Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang
yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan
Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

d. Persamaan Hak Dalam Bekerja

35
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fadh li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif,
1971, hlm. 673.
36
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fadh li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif,
1971, hlm. 78.
Pekerjaan yang halal merupakan hak yang ditetapkan Allah bagi semua
manusia, baik laki-laki maupun perempuan tanpa ada diskriminasi sedikitpun.
Firman Allah dalam QS. Ali Imran: 195, yang artinya:37
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman),
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara
kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
(keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang yang berhijrah, yang diusir
dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan
yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan
mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik”.

e. Persamaan Tanggung Jawab


Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang kalian pimpin. Dan setiap laki-laki adalah
pemimpin dirumah tangganya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas
apa yang dipmpinnya. Dan perempuan adalah pemimpin dirumah tangga
suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
dipimpinnya” (Muttafaq ‘alaih).

f. Persamaan Dalam Kemuliaan


Kemuliaan seorang laki-laki adalah kemuliaan seorang perempuan, begitu
juga sebaliknya. Dalam penciptaan manusia, Allah telah memuliakan seluruh
anak cucu Adam AS. Sebagaimana dalam firman-Nya QS. Al-Isra’: 70, yang
artinya:38
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik
37
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fadh li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif,
1971, hlm. 110.
38
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fadh li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif,
1971, hlm. 435.
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan”.

D. Transformasi Relasi Gender


Menurut Hazel Reeves dan Sally Baden, relasi gender adalah berkaitan dengan
kekuasaan dan dominasi struktur untuk berkesempatan hidup, pembagan kerja yang lebih
luas antara laki-laki dan perempuan dalam ekonomi, pendidikan, politik, dan dikuatkan
oleh budaya, agama dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat. 39 Leonard dalam
Paula Nelson mengemukakan bahwa relasi gender adalah hubungan antar kekuatan
dimana laki-laki adalah superodinat atas nilai perempuan dan secara sosial peran gender
adalah bagian yang integral dari struktur kuasa patriarki. 40 Sedangkan Helen Tierney
dalam Women’s Studies Encyclopedia, relasi gender didefinisikan sebagai perbedaan
peran, perilaku, dan karakteristik mental dan emosional antara perempuan dan laki-laki
yang dikembangkan oleh masyarakat.41
Relasi gender yang dimaksud bukanlah sebuah stribut yang melekat pada laki-laki
dan perempuan yang dimana laki-laki tidak selalu eksklusif menjadi pemimpin dan
perempuan juga tidak eksklusif bekerja domestik, dan kenyataan ini berdampak pada
kehidupan perempuan dan laki-laki. Jadi, relasi gender ini mengacu pada peran dan
tanggung jawab yang berlaku di masyarakat.

1. Aliran dan Teori Gerakan Feminisme


Feminisme melibatkan berbagai aliran dan teori perjuangan perempuan. Aliran-
aliran feminis seperti Radikal, Liberal, Marxist, Sosialis, maupun Islam memiliki
teori yang berlainan dalam menjelaskan tradisi mensubordinasi kaum perempuan dan
memprioritaskan kaum laki-laki. Teori-teori tersebut berpengaruh dalam menciptakan
strategi perjuangan perempuan untuk mentranformasikan relasi gender agar memiliki
kesederajatan dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
39
Hazel Reevs dan Sally Baden, Gender and Development: Concepts and Definitions Prepared for the Department
for International Development for its gender mainstreaming intranet resource, (February, 2000), hlm. 18.
40
Paula Nicolson, Gender, Power, and Organization: A Psychological Perspective, (Buckinghamsire: Chesham,
1996), hlm. 9.
41
Helen Tierney (ed), Woman’s Studies Encyclopedia, (New York: Peter Bedrick Book, 1991), hlm. 153.
Aliran feminisme Radikal berteori bahwa ketimpangan gender adalah suatu
unsur biologis. Perempuan tertindas kaum laki-laki karena ideologi patriarki
menempatkan faktor biologis perempuan dibawah laki-laki. Jadi menurut aliran ini,
penindasan kaum perempuan adalah sistem hierarki seksual yang selama itu
perempuan tidak mendapatkan perlakuan yang adil dibanding laki-laki. Selain itu,
menurut aliran ini, diperlukan strategi pembangunan yang dapat menjatuhkan sistem
patriarki termasuk permasalahan marginalisasi perempuan dan perundangan
patriarkis.
Aliran feminis Marxist melihat penindasan perempuan sebagai bagian dari
penindasan reaksi produksi dan perubahan organisasi kekayaan. Maksudnya adalah,
munculnya private property yang menjadikan laki-laki sebagai dasar produksi dan
perdagangan sehingga mereka mendominasi hubungan sosial politik, sedangkan
perempuan sebagai pemeran urusan domestik. Menurut aliran ini, masalah
keperempuanan adalah dosa kapitalisme yang melegalisasi masyarakat ekonomi.
Untuk mengubah nasib kaum perempuan disini perlu menghapuskan atau mengurangi
kelas ekonomi sehingga perjuangan perempuan adalah bagian dari gerakan anti
kapitalisme. Kapitalisme telah memanfaatkan perempuan sebagai sektor perburuhan
yang banyak menguntungkan pihak kapitalis. Dengan menggabungkan aliran Radikal
dan Marxist, feminis sosial berpendapat bahwa dasar pendiskriminasian perempuan
adalah perpaduan adanya ideologi gender yang patriarkis dan adanya sistem kelas
masyarakat. Menurut aliran ini juga, kritik terhadap ketidakadilan patriarki harus
disamakan dengan sistem kelas yang mengeksploitasi perempuan.
Adapun aliran feminis Liberal yang realis, disini perempuan dipandang sebagai
konsekuensi dari rendahnya sumber daya perempuan. Aliran ini tidak
mempermasalahkan struktur sosial, melainkan mengkritik perempuan yang kurang
memiliki kapasitas untuk bersaing dengan laki-laki. Oleh karena itu, untuk
mensejajarkan perempuan dengan laki-laki harus ada usaha untuk meningkatkan
kualitas diri. Aliran ini memfokuskan bahwa perempuan untuk membangun dirinya
dan kaum laki-laki bebas menentukan dan berusaha meraih cita-citanya tanpa batas,
sementara perjuangan mereka kurang memberi perhatian pada sistem sosial yang
menghambat tujuannya.42

2. Feminisme Global
Perjuangan kaum feminis untuk memperjuangan kesederajatan kaum
perempuan dengan kaum laki-laki mendapat legalisasi piagam Hak Asasi Manusia
(HAM) karena telah menjadi isu global. Perjuangan realisasi hak-hak perempuan
dilakukan melalui berbagai jalur seperti hukum, politik, ekonomi, budaya,
pendidikan, dan lain lain. Hal ini dibiarakan dan dideklarsikan secara internasional. 43
Secara garis besar, perjuangan perempuan tidak meninggalkan tuntunan untuk
mendapatkan hak informasi dan pendidikan, kebebasan berpikir, mendapatkan
manfaat dari ilmu pengetahuan, kebebasan berkumpul dan berpolitik, kesetaraan,
kerahasiaan pribadi, mendapat layanan dan perlindungan, bebas dari penganiayaan
dan perlakuan buruk, dan lain sebagainya demi kehidupannya.
Materialisasi kaum feminis pasca piagam HAM membuat dua sasaran, yaitu
memperbaiki nasib perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan memberi ruang
gerak lebih luas di dunia publik. Aspek-aspek kemanusiaan perempuan tetaplah milik
perempuan itu selamanya yang telah dilindungi oleh HAM universal.44

E. Permasalahan Gender di Berbagai Bidang


Permasalahan gender merupakan isu yang sejak lama mengiringi kehidupan
masyarakat yang merupakan sesuatu yang tabu dan sensitif untuk dibicarakan. Pada
dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda. Namun, gender
bukanlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan, tetapi gender
lebih ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh

42
Mansour Fakih, Gerakan Perempuan, hlm. 70-74.
43
Mansour Fakih, Gerakan Perempuan, hlm. 71.
44
Mary Coobs, Abandoned Women dalam At the Boundaries of Law: Feminism and Legal Theori, (New York: An
Imprint of Routledge, 1991).
masyarakat. Munculnya ketimpangan gender mempunyai 2 penyebab, yaitu pandangan
teori materialis (perempuan kalah fisik dibanding laki-laki), dan pembedaan pekerjaan
domestik dan publik. Adapun beberapa ketimpangan gender dalam berbaga bidang,
antara lain:
1. Bidang Politik dan Hukum
Jumlah perempuan khususnya di negara-negara berkembang memiliki otoritas
dalam struktur poltik yang rendah dan tidak berimbang dengan jumlah laki-laki.
Situasi seperti inilah yang disebut sebagai ketimpangan relasi gender dalam politik.
Maksudnya adalah, struktur politik yang didominasi laki-laki adalah artikulasi dari
suatu hubungan kekuasaan antar gender yang telah ada. Dalam sejarah politik,
perempuan hanya diapresiasi rendah dan banyak yang menunjukkan bahwa
keterwakilan perempuan belum menunjukkan proporsi yang layak karena banyak
anggapan bahwa perempuan lebih layak kerja dalam bentuk domestik. Ketidakadilan
dan ketidaksetaraan ini disebabkan, antara lain:45
1) Pandangan yang menyatakan bahwa politik adalah dunia kaum laki-laki,
sehingga perempuan tidak perlu terlibat dalam urusan politik.
2) Laki-laki adalah kepala keluarga, sehingga perempuan tidak perlu terlibat
dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan kehidupan
3) Perempuan hanyalah pelengkap saja dalam urusan politik, sehingga seringkali
ditempatkan pada kedudukan/posisi yang tidak penting.
4) Sistem hukum di bidang politik masih diskriminatif bagi perempuan.
Sebenarnya, di dalam politik, sangat penting keterlibatan semua warga negara
baik laki-laki maupun perempuan terutama partisipasi dan perwakilan di lembaga
legislatif. Keterwakilan perempuan pun juga sangat penting karena jumlah perempuan
dalam panggung politik masih sangat rendah dan dibawah standar sehingga posisi dan
peran perempuan masih diperhitungkan.
Di bidang hukum pun masih banyak dijumpai substansi, struktur dan budaya
hukum yang diskriminatif dan tidak berkeadilan gender. Hukum saat ini pun masih
lemah dalam menjangkau masalah kekerasan dan tindak krimial lainnya terutama

45
Kunthi Tridewiyanti, Kesetaraan dan Keadilan Gender di Bidang Politik “Pentingnya Partisipasi dan
Keterwakilan Perempuan Di Legislatif”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 No. 1, 2012.
pada perempuan. Selain itu, masih kurangnya akses masyarakat terhadap informasi
dan sumber daya yang berkaitan dengan masalah hukum kepada masyarakat sehingga
rendahnya peran organisasi politik dan belum terwujudnya kesadaran gender dengan
banyak ditandai sedikitnya perempuan dibanding laki-laki yang menjadi anggota
badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

2. Bidang Ekonomi
Dalam laporan World Bank tahun 2017 menyatakan bahwa tingginya biaya
disparitas gender bukan hanya mengurangi kesejahteraan perempuan dan
kesejahteraan laki-laki, tetapi juga pertumbuhan ekonomi. Adanya ketimpangan
dalam gender, sangat berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi. Gender merupakan
salah satu kategori sosial yang sangat menentukan kesempatan hidup dan peran
seseorang dalam menumbuhkan ekonomi. Dari seluruh ketimpangan-ketimpangan
yang ada, semua sangat berkaitan dengan ekonomi. Dimulai dari ketimpangan pada
pendidikan dan ketimpangan pada urusan politik maupun sosial.

3. Bidang Ketenagakerjaan
Struktur angkatan kerja perempuan memiliki tingkat pendidikan yang rendah,
sehingga banyak perempuan yang bekerja di sektor informal. Sektor informal
merupakan pekerjaan yang tidak diperlukan kualitas pengetahuan dan keterampilan
canggih atau spesifik, namun kurang diberikan jaminan perlindungan secara hukum,
kurang jaminan kesejahteraan, kondisi kerja yang memprihatinkan, dan rendahnya
upah/pendapatan.46
Perempuan bekerja hanya dalam kategori yang paling dieksploitasi seperti
buruh dan ibu rumah tangga. Padahal, perempuan mampu untuk bekerja keras dalam
kinerjanya, namun untuk bekerja saja perempuan hanya mendapatkan upah yang
sangat rendah dari pada laki-laki, meskipun beban yang ditanggung sama-sama berat
dengan pekerjaan laki-laki. Fenomena yang menunjukkan adanya diskriminasi gender

46
K. Khotimah, Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan, Jurnal Studi Gender dan
Anak, Vol. 4, 2009.
dalam pekerjaan yaitu penghasilan perempuan yang lebih rendah dibandingkan laki-
laki. Hal ini mencerminkan sejumlah kecenderungan, sebagai berikut:
1) Pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja membuat kondisi kerja menjadi
tidak nyaman dan berbahaya serta menurunkan moral dan produktivitas
pekerja.
2) Peran dominan perempuan lebih ke dalam membesarkan anak dan mengelola
rumah tangga.
3) Norma-norma sosial dan agama membatasi kemampuan perempuan untuk
bekerja di luar rumah.
4) Investasi modal insani banyak ditanamkan kepada laki-laki ketimbang
perempuan.
5) Banyak peraturan yang dimaksudkan unuk melindungi perempuan dari
bahayanya pekerjaan.
Secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa banyak penghalang untuk
perempuan memperoleh pekerjaannya.

4. Bidang Pendidikan
Ketimpangan gender yang terjadi di bidang pendidikan dikarenakan adanya
ketidaksetaraan dalam hal latar belakang pendidikan yang belum setara antara laki-
laki dan perempuan sehingga sangat mempengaruhi lapangan pekerjaan, peran di
masyarakat, jabatan, dan lain sebagainya. 47 Hal ini juga mengakibatkan rendahnya
tingkat pendidikan perempuan, sehingga perempuan belum mempunyai peran yang
besar dalam pembangunan. Namun, dengan ditingkatkannya taraf pendidikan dan
dihilangkannya diskriminasi gender di bidang pendidikan dapat memberikan ruang
bagi perempuan agar lebih berperan dalam pembangunan serta menjadi penentu
kebijakan di bidang lain.48
“Pendidikan bagi perempuan itu sangat penting”, pernyataan ini didasarkan
dengan bukti yang cukup, bahwasannya diskriminasi dalam bidang pendidikan

47
A. Suryadi dan Idris, Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT. Ganesindo, 2004).
48
A. Suryadi, Analisis Gender Dalam Pembangunan Pendidikan, (Jakarta: Bappenas & WSPII-CIDA, 2001).
khususnya bagi kaum perempuan akan menghambat pembangunan ekonomi dan
memperburuk ketimpangan pada sosial.49
Apabila adanya perbaikan yang signifikan bagi peran dan status perempuan
melalui pendidikan akan memutuskan lingkaran yang buruk. Dengan
meningkatkannya kualitas pendidikan, akan memunculkan kesadaran akan adanya
ketidakadilan gender dalam masyarakat dan akan dapat menyikapi tabir ideologi
gender yang mengakar dalam masyarakat tersebut, membuka wawasan yang baru dan
bersifat otoriter, serta demokratis, sehingga memunculkan sikap menghormati,
menghargai, dan menyayangi.50 Hal ini, jelas bahwa ketimbangan gender pada
pendidikan telah menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap
ketimpangan gender.

F. Pengarusutamaan Gender (PUG)/Gender Mainstreaming Untuk


Mengatasi Permasalahan Gender
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam istilah Inggris disebut Gender
Mainstreaming. PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender
menjadi satu dimensi integral dan perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan,
dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Selain itu, rangkaian
strategi PUG adalah untuk mengintegrasikan perspektif gender untuk memiliki akses,
partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam pembangunan institusi, kebijakan dan program
kerja, termasuk gambaran dan pelaksanaan kebijakan, monitoring, dan evaluasi, serta
kerjasama wawasan, kesadaran kritis dan data yang diperoleh analisis gender. PUG
menawarkan konsep-konsep, prinsip aksi, dan tanggungjawab dalam organisasi untuk
mengarusutamakan gender di seluruh programnya.51

49
Todaro dan Smith, Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Erlangga, 2006).
50
Susilaningsih dan Agus M. Najib, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islamic: Baseline and Institutional
Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 15.
51
UNDP, Gender Mainstreaming Mode Easy: Handbook for Programme Staff, (Somalia, Country Office for UNDP
Somalia, 2013).
Kesetaraan gender adalah tujuan yang telah disepakati oleh pemerintah dan
organisasi internasional. Selain itu, strategi PUG adalah untuk mewujudkan kesetaraan
dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman,
aspirasi, kebutuhan, serta permasalahan perempuan dan laki-laki dalam seluruh
pembangunan di berbagai bidang kehidupan. PUG bertugas untuk mempengaruhi
berbagai kebijakan agar responsif gender. Implementasi PUG melalui prinsip kesetaraan
dan keadilan gender yaitu pembangunan sebagai kualitas hidup manusia dalam upaya
mencapai kehidupan yang lebih baik tanpa membedakan jenis kelamin tertentu. Untuk
melihat perkembangan pemberdayaan gender dapat diukur dengan Indeks Pemberdayaan
Gender (IPG).
Penyelenggaraan PUG mencakup kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis.
Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan jangka pendek dan berkaitan dengan
perbaikan kondisi perempuan dan laki-laki untuk menjalankan peran sosialnya masing-
masing, seperti penyediaan lapangan kerja, perbaikan taraf kehidupan, dan sebagainya.
Sedangkan, kebutuhan strategis gender adalah bersifat jangka panjang, seperti
penghapusan kekerasan dan diskriminasi kehidupan, persamaan upah untuk jenis
pekerjaan yang sama, dan sebagainya. Dengan demikian, PUG dalam pembangunan dan
pelaksanaannya meningkatkan kedudukan, peran, kualitas perempuan dalam
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dapat sesuai untuk peningkatan SDM serta
partisipasi dalam kehidupan lebih kondusif. Dengan PUG ini, para pemerintah pun dapat
bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan publik yang adil dan
responsif gender dalam lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini
akan mampu menegakkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan atas kesempatan
yang sama, pengakuan yang sama, dan penghargaan yang sama di masyarakat.
Pengarusutamaan gender adalah salah satu strategi dalam mempromosikan
kesetaraan gender di dunia. Seluruh pemerintahan di dunia, telah membuat perjanjian dan
komitmen internasional demi mencapainya kesetaraan gender.52 Pengarusutamaan gender
mulai disepakati oleh setiap negara saat Aksi Beijing Platform 1995 yang menjadi
pendekatan strategis dalam mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
pada semua tingkatan pembangunan. Platform mengikat seluruh kepentingan untuk

52
United Nations, Gender Mainstreaming: An Overview, (New York, USA: 2002), hlm. 1.
melakukan kebijakan dan program pembangunan, termasuk lembaga PBB, komunitas
pembangunan internasional dan aktor lembaga masyarakat untuk melakukan aksi.53
Tuntutan pelaksanaan kebijakan untuk memperbaiki kesetaraan gender di tingkat
global, nasional, dan lokal merupakan stimulus baru melalui Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustuinable Development Goals). Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di
dedikasikan kepada kesetaraan gender dan ditunjukkan untuk mencapai kesetaraan
gender dan memperdayakan seluruh perempuan dengan merinci target-target yang
merujuk pada diskriminasi, kekerasan, kesehatan reproduksi, hak kepemilikan, dan
pemanfaatan teknologi yang ramah, khususnya untuk perempuan. Namun, kemajuan
global dalam mencapai target ini sulit khususnya di negara-negara berkembang.
Keprihatinan negara-negara di dunia mengenai gender, diwujudkan dalam bentuk
pertemuan yang menghasilkan deklarasi dan konvensi, contohnya The Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Hak Asasi Manusia) oleh Majelis Umum PBB
di tahun 1948 yang diikuti untuk dijadikan landasan hukum tentang hak perempuan yaitu
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang diadopsi
Majelis Ulama PBB tahun 1979. Konvensi tersebut dideklarasikan pada konferensi
Perserikatan Bangsa United World ke-4 tentang Perempuan, yang diselenggarakan di
Beijing, China pada tahun 1995.
Menyelaraskan peran gender serta mewujudkan kesetaraan gender dalam PUG
sebagai upaya kebijakan yang harus dijalankan oleh pemerintah adalah, sebagai berikut:54
1) Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui kebijakan lembaga yang mampu
memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
2) Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan
tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan, serta melanjutkan usaha
pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Melalui PUG, laki-laki dan perempuan dapat menjalankan kepedulian yang


tercermin pada institusi, aksi, dan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender. Dengan
53
United Nation Women, Gender Mainstreaming in Development Programming, (New York, USA: 2014), hlm. 7.
54
Evi Muawanah, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 45.
demikian, pengarusutamaan gender dapat meningkatkan efektivitas kebijakan utama
dengan memperlihatkan karakterisasi gender dan dengan menerapkan kesetaraan dan
keadilan gender akan bermanfaat untuk pembangunan yang akan berjalan lebih cepat
karena warga negara yang berperan aktif dalam kegiatan kehidupan serta pelaksanaan
hukum dan keadilan perlindungan HAM akan berjalan dengan adil dan harmonis.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Perspektif Ontologis adalah suatu yang berhubungan atau keberadaan sesuatu atau
asal mula segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Terkait dengan studi
gender, yaitu mengangkat kesenjangan relasi laki-laki dan perempuan secara
proporsional, mengkaji permasalahan isu-isu gender, serta realitas tentang
permasalahan gender yang didasari pada sosial ekonomi, politik, ataupun budaya.
2. Perspektif Epistemologis adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan
tentang pengetahuan, yaitu tentang terjadinya pengetahuan dan kebenaran
pengetahuan (cara memperoleh pengetahuan tersebut). Terkait dengan studi gender,
menghasilkan pengetahuan melalui kekuatan/kemampuan ideologi patriarki, dengan
cara melakukan uji coba penelitian dalam gender menggunakan pendekatan kualitatif
dan teknik analisis gender (mengkaji akses, partisipasi, dan manfaat yang didapat
laki-laki dan perempuan secara proporsional).
3. Perspektif Aksiologis dalam KBBI adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia tentang nilai-nilai khususnya etika. Maka, aksiologis untuk
membahas studi gender dapat menemukan permasalahan gender secara rinci dan
jelas, dan hasilnya akan bermanfaat untuk mengatasi permasalahan gender secara
tepat.
4. Gender berbeda dengan seks. Gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan yang dilihat dari segi nilai dan tingkah lakunya, perbedaan yang dimaksud
adalah dalam hal peran, perilaku, mental, dan karakteristik antara laki-laki dan
perempuan yang merupakan hasil dari konstruksi sosial budaya dan bersifat dinamis.
Sedangkan seks adalah sebutan yang lebih condong pada sifat atau pembagian jenis
kelamin manusia berdasarkan biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan.
Seks dikatakan sebagai suatu kodrat Tuhan yang tidak berubah dan tidak dapat
ditukar.
5. Kesetaraan gender adalah pembagian tugas atau peran yang seimbang antara laki-laki
dan perempuan dalam memperoleh kesempatan dan memperoleh hak-haknya sebagai
makhluk Tuhan yang mampu berperan diseluruh aspek kehidupan masyarakat yang
pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat.
Indikator kesetaraan gender meliputi akses, partiipasi, kontrol, dan manfaat.
6. Ketidakadilan gender (gender inqualities) adalah pembatasan peran, pemikiran,
ataupun perbedaan perlakuan yang mengakibatkan pada terjadinya pelanggaran atas
pengakuan hak asasi dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Bentuk
ketidakadilan gender yaitu Marginalisasi, Stereotipe (Pandangan), Kekerasan, Beban
Ganda, dan Subordinasi.
7. Lahirnya sistem patriarki, menempatkan peran laki-laki lebih tinggi dibanding
perempuan, karena menganggap bahwa laki-laki lebih memiliki keunggulan di
beberapa aspek kehidupan. Maka, lahirnya sistem patriarki membuat perempuan
tergeser dari pekerjaannya dan bekerja berdasarkan keinginan laki-laki.
8. Dalam perspektif Islam, dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dan
perempuan dengan bentuk yang terbaik dan kedudukan yang paling hormat,
diciptakan dengan mulia yang memiliki akal, perasaan, dan menerima petunjuk. Islam
tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, karena yang dapat membedakan
hanyalah ketaqwaannya. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak mengenal pembedaan
antara laki-laki dan perempuan karena dihadapan Allah semua sama, yang
membedakannya hanya dari segi biologisnya, tercantum dalam QS. Al-Isra’ (17): 70.
Islam menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dan saling
melengkapi. Ajaran Islam dituangkan ke dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk menjadi
acuan menjalankan hidup termasuk memahami kesetaraan gender.
9. Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan gender yaitu
Pengarusutamaan Gender (PUG)/Gender Mainstreaming. PUG adalah strategi yang
dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dan
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan. Selain itu, strategi PUG yang dapat
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang
memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, serta permasalahan perempuan dan
laki-laki dalam seluruh pembangunan di berbagai bidang kehidupan.
B. SARAN
Untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan gender yang menyebabkan
ketidakadilan dalam dunia gender, masyarakat khususnya para pembaca harus
menjauhkan tindakan seperti diskriminasi atau kekerasan yang menghendaki adanya
pandangan gender dengan membedakan ruang dan peran keduanya dalam berbagai
bidang kehidupan. Karena, telah dijelaskan juga di dalam Al-Qur’an dan Hadits bahwa
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sama, yang membedakannya hanyalah
ketaqwaannya. Islam pun telah mengajarkan kedamaian yang menyeluruh dan mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia baik urusan yang menyangkut dunia maupun akhirat,
tidak membedakan antara hak dan kewajiban manusia, mengedepankan konsep keadilan
bagi siapapun dan untuk siapapun tanpa melihat jenis kelamin, dan selalu menempatkan
semua hal pada posisi yang seimbang dan sama, seperti laki-laki dan perempuan. Bagi
masyarakat dan khususnya untuk pemerintah harus mewujudkan kesetaraan gender sesuai
dengan indikator kesetaraan gender seperti akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat. Yaitu
dengan memberi peluang dan kesempatan yang sama, menyetarakan dan memberi
kekuasaan/wewenang yang sama, keikutsertaan/partisipasi yang sama, dan menikmati
hasil serta memperoleh manfaat yang setara dari perkembangannya. Jadi, masyarakat
ataupun para pembaca harus memperhatikan dan mengaplikasikan kembali persamaan
hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di lingkungan sekitar. Pemerintah pun harus
lebih tegas lagi agar tidak ada perlakuan yang condong merugikan perempuan. Perbedaan
gender bukanlah pembuka terjadinya diskriminasi sosial, akan tetapi kita harus saling
melengkapi satu sama lain sesuai dengan fungsi mutlak masing-masing. Dan terakhir,
untuk para pembaca semoga dapat memahami makalah ini dan mengaplikasikan hal yang
baik di kehidupannya agar terciptanya kedamaian dan kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA

Adriana, Iswah, 2009, Kurikulum Berbasis Gender, Tadris. Vol. 4, No. 1.


Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1971, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fadh li
Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif.
Azra, Azyumardi, 2004, Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta, Jakarta: McGill
IAIN.
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2014, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Kedudukan
dan Peran Perempuan, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik Jilid 3, Jakarta:
Kamil Pustaka.
Budiman, Arif, Pengembangan Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologi Tentang
Peran Waktu didalam Masyarakat, Jakarta: Gramedia.
Coobs, Mary, 1991, Abandoned Women dalam At the Boundaries of Law: Feminism and Legal
Theory, New York: An Imprint of Routledge.
Djohani, Rianingsih, 1996, Dimensi Gender dalam Pengembangan Program Secara Partisipatif,
Bandung: Driya Media.
Drap RUU, 24 Agustus 2011, Kesetaraan dan Keadilan Gender.
Fakih, Mansour, 2013, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour, Gerakan Perempuan.
Hazel, Reevs dan Sally Baden, February 2000, Gender and Development: Concepts and
Definitions Prepared for the Department for International Development for its gender
mainstreaming intranet resource.
Hesri, Setiawan, Awan Theklek Mbegi Lemeti Tentang Perempuan dan Pengasuhan Anak,
Yogyakarta: Sekolah Mbrosot dan Gending Publishing.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Khotimah, K., 2009, Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan, Jurnal
Studi Gender dan Anak, Vol. 4.
Lisdamayatun, 2018, Pandangan Islam Terhadap Kesetaraan Gender.
Mardiyah, 2015 Isu Gender Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Sosial, Vol. 25 No. 2.
Megawangi, Ratna, 1999, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Relasi Gender, Bandung:
Mizan.
Muawanah, Evi, 2009, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Penerbit Teras.
Muhammad, Kristiawan, 2016, Filsafat Pendidikan: The Choice is Yours, Yogyakarta: Valia
Pustaka.
Munir, Lily Zakiyah, 2002, Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan Dalam Perspektif
Islam.
Nicolson, Paula, 1996, Gender, Power, and Organization: A Psychological Perspective,
Buckinghamsire: Chesham.
Shihab, M. Quraish, 2004, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Suaedi, 2016, Pengantar Filsafat Ilmu, Bogor: IPB Press.
Suryadi A. dan Idris, 2004, Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan, Bandung: PT.
Ganesindo.
Suryadi, A., 2001, Analisis Gender Dalam Pembangunan Pendidikan, Jakarta: Bappenas &
WSPII-CIDA.
Susanto, A., 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi, Jakarta: Bumi Aksara.
Susanto, Nanang Hasan, 2015, Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya
Patriarki, Jurnal Pendidikan Sosial, Vol. 7 No. 2.
Susilaningsih dan Agus M. Najib, 2004, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islamic:
Baseline and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Syafe’I, Imam, 2015, Subordinasi Perempuan Implikasi Terhadap Rumah Tangga, Jurnal Al-
Tadzkiyah Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan Lampung, Vol. 15 No. 1.
Tierney, Helen (ed), 1991, Woman’s Studies Encyclopedia, New York: Peter Bedrick Book.
Todaro dan Smith, 2006, Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Erlangga.
Tridewiyanti, Kunthi, 2012, Kesetaraan dan Keadilan Gender di Bidang Politik “Pentingnya
Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan Di Legislatif”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.
9 No. 1.
Umar, Nasaruddin, 1999, Kodrat Perempuan Dalam Islam, Jakarta: LKAJ.
Umar, Nasaruddin, 2001, Argumen Kesetaraan Gender (Perspektif Al-Qur’an), Jakarta:
Paramadina.
Umar, Nasaruddin, 2002, Qur’an Untuk Perempuan, Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL) dan
Teater Utan Kayu.
Umar, Nasaruddin, 2010, Argumen Kesetaraan Gender, Jakarta: Dian Rakyat.
UNDP, 2013, Gender Mainstreaming Mode Easy: Handbook for Programme Staff, Somalia:
Country Office for UNDP Somalia.
United Nation Women, 2014, Gender Mainstreaming in Development Programming, New York:
USA.
United Nations, 2002, Gender Mainstreaming: An Overview, New York: USA.
https://www.universitaspsikologi.com/2020/03/pengertian-gender-dan-klasifikasi-gender.html,
24 Maret 2020.

Anda mungkin juga menyukai