1.filsafat Huku-WPS Office
1.filsafat Huku-WPS Office
NPM : 2021010261076
Jawaban:
(No.1).Filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yaitu filsafat etika (tingkah laku) yang mempelajari
hakekat hukum. Filsafat hukum merupakan refleksi teoritis tentang hukum, merupakan induk dari
semua teoritis tentang hukum. Filsafat hukum memfokuskan pada segi filosofisnya hukum yang
berorientasi pada masalah-masalah fungsi dari filsafat hukum itu sendiri.
Filsafat hukum merupakan ilmu pengetahuan yang berbicara tentang hakekat hukum. Hakekat hukum
meliputi :
Thomas Aquinas dengan aliran hukum alam, yang menurut ajaran aliran ini keberadaan hukum di alam
semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan perintah penguasa yang berdaulat.
J. Austin dengan aliran positivisme, yang menurut ajatran aliran ini hukum berisi perintah, kewajiban,
kedaulatan, dan sanksi. Dalam teorinya yang dikenal dengan 'analytical jurisprudence' , disebutkan
bahwa ada dua bentuk hukum yaitu undang-undang (positive law) dan hukum kebiasaan (morality).
Von Savigny, yang beranggapan bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang
bersama-sama dengan masyarakat. Dikenal dengan mazhab sejarah.
Eugen Eurlich dan Roncoe Pound, dikenal dengan konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar
memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulus.
Keadilan. Menurut Aristoteles bahwa tujuan utama diadakannya hukum adalah keadilan.
Kepastian. Menurut Jan Kelsen dengan konsepnya 'Rule of Law' atau penegakan hukum, mengartikan :
hukum itu ditegakkan demi kepastian hukum, hukum dijadikan sumber utama hakim dalam memutus
perkara, hukum tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya, dan hukum itu bersifat
dogmatik.
Kegunaan. Menurut Jeremy Bentham, tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai
sebesar-besarnya kebahagiaan.
Fungsi Filsafat Hukum. Fungsi filsafat hukum pada dasarnya adalah melakukan penertiban hukum,
penyelesaian pertikaian, mengatur, mempertahankan dan memelihara tata tertib demi terwujudnya
rasa keadilan berdasarkan kaidah hukum yang berlaku. Sedangkan fungsi filsafat hukum, ditinjau dari
fungsi ontologis yaitu mencari dan menciptakan landasar-landasan hakiki yang mempersatukan secara
struktural dan ideal keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang berdiri di atasnya.
Banyak ahli yang mengutarakan pendapatnya tentang fungsi dari filsafat hukum, diantaranya adalah
pendapat dari :
1. G. Del Vecchio.
Del Vecchio membagi fungsi filsafat hukum menjadi tiga bagian, yaitu :
Fungsi fenomenologis, yaitu meneliti sejarah universal dari hukum sebagai bentuk pengejawantahan
dari cita hukum yang lestari.
Fungsi de-ontologis, yaitu meneliti cita hukum, di mana hukum itu keadilan atau hukum kodrat, sebagai
ukuran idiil yang umum bagi keadilan atau kedzoliman hukum positif.
Menambahkan satu fungsi lagi dari fungsi filsafat hukum menurut Del Vecchio tersebut, sehingga fungsi
filsafat hukum menurut Prof. Soejono Koesoemo Siworo adalah :
Fungsi fenomenologis, yaitu meneliti sejarah universal dari hukum sebagai bentuk pengejawantahan
dari cita hukum yang lestari.
Fungsi de-ontologis, yaitu meneliti cita hukum, di mana hukum itu keadilan atau hukum kodrat, sebagai
ukuran idiil yang umum bagi keadilan atau kedzoliman hukum positif.
Fungsi ontologis, yaitu mencari dan menciptakan landasan-landasan hakiki yang mempersatukan secara
struktural dan ideal keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang berdiri di atasnya.
Sedangkan menurut Muchsin dalam bukunya yang berjudul 'Ikhtisar Filsafat Hukum', fungsi mempelajari
filsafat hukum dan sejarah hukum bagi ilmu hukum adalah :
Fungsi edukatif. Memberikan kearifan dan kebijaksanaan bagi yang mempelajarinya. Mempelajari
sejarah di bidang hukum maka orang akan senantiasa berdialog dengan regulasi masa kini dan masa
lampau. Dengan mempelajari sejarah dalam hukujm akan ditemukan hubungan antara peraturan hukum
di masa lampau dengan sekarang. Nilai-nilai penting yang berguna bagi kehidupan akan diperoleh, baik
yang berupa ide ataupun konsep krestif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan masalah yang akan
direalisasikan.
Fungsi inspiratif. Mempelajari sejarah di bidang hukum memberikan konsep kreatif yang berguna bagi
pemecahan masalah masa kini serta untuk memperoleh inspirasi dan semangat bagi mewujudkan
identitas sebagai suatu bangsa.
Fungsi instruktif. Penyelesaian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu dipakai sebagai rujukan
hakim dalam memutuskan suatu perkara. Biasanya dipakai dalam menyelesaikan sengketa internasional.
Tujuan Filsafat Hukum. Filsafat hukum dibuat berdasarkan suatu alasan dan tentu memiliki tujuan
tertentu. Tujuan dari filsafat hukum, dari satu masa ke masa yang lain terus mengalami penyesuaian,
seperti misalnya :
Pada masa Yunani kuno, tujuan dari filsafat hukum adalah untuk mengatur hidup manusia dan
masyarakat. Hukum dibuat untuk dipatuhi agar manusia mengikuti peraturan sesuai dengan hakekatnya.
Pada masa abad pertengahan, di mana muncul anggapan bahwa hukum berasal dari Tuhan, maka tujuan
dari filsafat hukum adalah untuk menjamin suatu aturan hidup seperti yang telah dikehendaki oleh
Tuhan.
Pada masa modern, tujuan dari filsafat hukum adalah bagaimana hukum yang dibuat untuk
mensejahterakan manusia itu sendiri menurut realita yang ada, di mana realitanya manusia merupakan
mahkluk yang bebas.
Filsafat hukum juga dapat menjelaskan tentang nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar
filosofinya, ditemukannya hakekat, esensi, substansi, dan ruhnya hukum sehingga hukum mampu hidup
dalam masyarkat.
(No 2.) Masing-masing ahli memberikan pembidangan sesuai dengan sudut pandangannya sendiri-
sendiri.
D. Runes dalam The Dictionary Of Philosophy (1963) membagi filsafat dalam tiga cabang utama yaitu :
1. Ontologi --- menyelidiki tentang keberadaan sesuatu
2. Epistimologi --- menyelidiki tentang asal, syarat, susunan, metode dan validitas pengetahuan.
3. Aksiologi --- menyelidiki tentang hakiki nilai, kriteria dan kedudukan metafisis (keberadaan) suatu nilai
- logika
- Metodologi
- Estetika
- Filsafat Ilmu
Filsafat Hukum Islam merupakan salah satu ilmu ke-Islaman, di mana ilmu ke-Islaman ini telah tumbuh
dan berkembang sejak lebih dari empat belas abad yang lalu. Sebagai kajian ke-Islaman, ia memiliki
wilayah kajian yang amat luas, seluas kajian hukum Islam itu sendiri. Ia bukan hanya membahas hukum
dari sisi lahiriah manusia, namun juga membahas hukum dari sisi lain manusia, yaitu sisi batiniah
(ruhiyah).
Selain itu, orang yang mempelajari Filsafat Hukum Islam diharapkan bukan hanya memahami rahasia-
rahasia di balik perintah dan larangan hukum, namun juga mampu menghayati rahasia-rahasia itu ketika
mengamalkan perintah atau menghindari larangan tersebut.
Tujuan Filsafat Hukum Islam
Filsafat Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia, makna, hikmah serta nilai-nilai
yang terkandung dalam ilmu fiqh. Sehingga kita melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam disertai
dengan pengertian dan kesadaran yang tinggi. Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai
ketaatan dan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan hukum.
Seorang yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan mempelajari Filsafat Hukum Islam, akan
semakin memahami di mana letak ketinggian dan keindahan ajaran Islam, sehingga menimbulkan rasa
cinta yang mendalam kepada Sumber Tertinggi Hukum yaitu Allah SWT, kepada sesama manusia,
kepada alam, dan kepada lingkungan di mana ia hidup.
Dengan demikian, tujuan mempelajari Filsafat Hukum Islam dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama: Semakin memantapkan keyakinan umat Islam akan keagungan Hukum Islam dibandingkan
dengan hukum-hukum yang lain (hukum produk manusia). Dimana hukum Islam bisa dibuktikan bukan
hanya lebih benar dan unggul, namun juga lebih terhormat dan beradab dibandingkan dengan hukum-
hukum yang lain.
Kedua: Keyakinan yang mantap itu menumbuhkan rasa taat hukum yang hampir tanpa “paksaan”. Umat
Islam mentaati hukum bukan karena terpaksa, namun karena rasa cinta, karena ia berasal dari Tuhan
Maha Adil dan Pengasih. Ia taat kepada hukum karena keyakinan bahwa hukum dibuat sebagai
perwujudan cinta Tuhan kepada makhluk-Nya.
Menurut sumbernya, aliran hukum alam dapat dibagi dua macam yaitu: Irasional dan Rasional. Aliran
hukum yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari
tuhan secara langsung. Sebaliknya, aliran hukum alam yang rasional berpendapat bahwa sumber hukum
yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Pendukung aliran hukum alam irasional antara lain:
a. lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia)
b. lex devina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia)
c. lex naturalis (hukum alam yaitu penjelmaan dari lex aeterna kedalam rasio manusia)
- John Salisbury (1115-1180): menurutnya jika kalau masing-masing penduduk berkerja untuk
kepentingan sendiri, kepentingan masyarakat akan terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
- Dante Alighieri (1265-1321): menurutnya, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari tuhan
sebagai monarki dunia ini adalah kekaisaran romawi.
- Piere Dubois (lahir 1255): ia menyatakan bahwa penguasa dapat langsung menerima kekuasaan
dari tuhan tanpa perlu melewati pimpinan gereja.
- Marsilius padua (1270-1340) dan William Occam (1280-1317): padua berpendapat bahwa Negara
berada diatas kekuasaan paus. Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Dan occam berpendapat rasio
manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran.
- John Wycliffe (1320-1384) dan johnannea Huss (1369-1415): Wycliffe berpendapat kekuasaan
ketuhanan tidak perlu melalui perantara, sehingga baik para rohaniawan maupun orang awam sama
derajatnya dimata tuhan. Dan huss mengatakan bahwa gereja tidak perlu memiliki hak milik.
- Hugo de Groot (Grotius) (1583-1643): menurutnya sumber hukum adalah rasio manusia.
- Samuel von Pufendorf (1632-1694) dan Cristian Thomasius (1655-1728): Pufendorf berpendapat
bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran manusia. Dan Thomasius mengatakan
manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan lainnya.
2. Positivisme hukum
Positivisme hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu secara tegas memisahkan antara hukum
dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen).
Hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Dan menurutnya hukum dipandang sebagai suatu system
yang tetap, logis, dan tertutup. Hukum yang sebenarnya memiliki emapat unsure yaitu:
- Perintah (command)
- Sanksi (sanction)
- Kewajiban (duty)
- Kedaulatan (sovereignty)
3. Utilitaianisme
Utilitaianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakan kemanfaatkan sebagai tujuan utama hukum.
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukan
kedalam Positivisme Hukum, mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan tujun hukum
adalahmenciptakan ketertiban masyarakat.
- Jhon Stuar Mill (1806-1873): ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia
berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin
dicapai oleh manusia bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat
ditimbulkannya.
- Rudolf von Jhering (1818-1892): baginya tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-
kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya
sebagai pengejaran kesenagan dan menghindari penderitaan.
4. Mazhab Sejarah
- Friedrich Karl von savigny (1770-1861): menurutnya hukum timbul bukan karena perintah
penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak dalam jiwa bangsa itu.
- Puchta (1798-1846): sama dengan savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat
pada jiwa bangsa yang bersangkutan.
- Henry Summer Maine (1822-1888): ia melakukan penelitian untuk memperkuat pemikiran von
Savigny, yang membuktikan adanya pola evolusi pada pembagi masyarakat dalam situasi sejarahyang
sama.
2. Melalui undang-undang
Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian “Bangsa” ini dalam dua jenis:
2. Bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu Negara. Adapun yang
memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (Negara), sedangkan “bangsa
alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak
umum masyarakat yang terorganisasi dalam Negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan
membentuk undang-undang. Maka adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum seudah disahkan
oleh Negara. Oleh karena itu, menurut Huijebers, pemikiran Puchta ini sebenarnya tidak jauh dari teori
Absolutisme Negara Dan Positivisme Yuridis. Pengembangan pemikiran Pucta ini banyak diikuti ahli
Hukum jauh di luar Jerman. Bahkan sampai terasa di Indonesia melalui ahli Hukum Belanda.
Demikian besar pengaruhnya sehingga melahirkan cabang ilmu Hukum baru yang dikenal dengan
Hukum adat yang dipelopori Van Vollenhoven, Ter Haar, dll
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan
inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian
sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible),
yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
(No.5) Hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang berbeda namun saling mempengaruhi satu sama
lain. Hukum adalah suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku manusia. Sehingga hukum tidak
merujuk pada satu aturan tunggal, tapi bisa disebut sebagai kesatuan aturan yang membentuk sebuah
sistem. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi
perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan perilaku. Bisa dibayangkan dampak
apabila hukum dan kekuasaan saling berpengaruh. Di satu sisi kekuasaan tanpa ada sistem aturan maka
akan terjadi kompetisi seperti halnya yang terjadi di alam.
Siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan berhak melakukan apapun kepada siapa saja. Sedangkan
hukum tanpa ada kekuasaan di belakangnya, maka hukum tersebut akan “mandul” dan tidak bisa
diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini karena masyarakat tidak memiliki ikatan kewajiban
dengan si pengeluar kebijakan. Sehingga masyarakat berhak melakukan hal-hal yang di luar hukum yang
telah dibuat dan di sisi lain pihak yang mengeluarkan hukum tidak bisa melakukan paksaan ke
masyarakat untuk mematuhi hukum.
Dari dasar pemikiran diatas maka bisa disimpulkan bahwa antara hukum dan kekuasaan saling
berhubungan dalam bentuk saling berpengaruh satu sama lain. Kekuasaan perlu sebuah “kemasan”
yang bisa memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan yaitu politik. Yang menjadi permasalahan
adalah mana yang menjadi hal yang mempengaruhi atau yang dipengaruhi. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa tidak bisa satu hal saja yang mempengaruhi hal yang dipengaruhi. Antara hukum
dan kekuasaan saling berpengaruh satu sama lain atau bisa disebut saling melengkapi. Sehingga di satu
sisi hukum yang dipengaruhi oleh kekuasaan begitu sebaliknya.
Namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa proporsi dari kekuasaan dalam mempengaruhi hukum lebih
berperan atau menyentuh ke ranah substansial dalam artian hukum dijadikan “kendaraan” untuk
melegalkan kebijakan-kebiajakn dari yang berkuasa. Sedangkan hukum dalam mempengaruhi kekuasaan
hanya menyentuh ke ranah-ranah formil yang berarti hanya mengatur bagaimana cara membagai dan
menyelenggarakan kekuasaan seperti yang ada dalam konstitusi.