Anda di halaman 1dari 88

MODUL

KEPERAWATAN KOMUNITAS 1

Oleh:
Ns. Lukman Handoyo, M.Kep.

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG
TANGERANG SELATAN
2022
BAB 1

KONSEP DASAR KEPERAWATAN KESEHATAN KOMUNITAS

Tujuan :

Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan dapat :


1. Menjelaskan definisi sehat
2. Menjelaskan definisi keperawatan kesehatan komunitas
3. Menjelaskan perbedaan keperawatan kesehatan komunitas dari disiplin keperawatan lain
4. Menjelaskan area praktik keperawatan kesehatan komunitas
5. Menjelaskan sasaran praktik keperawatan kesehatan komunitas
6. Menjelaskan keperawatan kesehatan masyarakat (perkesmas) di Indonesia

Konsep penting :
1. Kesehatan merupakan keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial dan tidak sedang menderita
sakit atau kelemahan
2. Kesehatan komunitas merupakan sintesis dari ilmu kesehatan masyarakat dan teori keperawatan
profesional yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan pada keseluruhan komunitas
3. Fokus utama kegiatan pelayanan keperawatan kesehatan komunitas adalah meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan keperawatan, membimbing dan mendidik individu, keluarga,
kelompok, masyarakat untuk menanamkan pengertian, kebiasaan dan perilaku hidup sehat
sehingga mampu memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya.

Latar Belakang
Konsep pendekatan dalam upaya penanganan kesehatan penduduk mengalami banyak
perubahan sejalan dengan pemahaman dan pengetahuan kita bagaimana suatu masyarakat menghayati
dan menghargai bahwa kesehatan itu merupakan Human Capital yang sangat besar nilainya. Konsep
sehat-sakit senantiasa berubah sejalan dengan pemahaman kita tentang nilai, peran, penghargaan dan
pemahaman kita terhadap kesehatan. Dimulai pada zaman keemasan Yunani bahwa sehat merupakan
keadaan standar yang harus dicapai dan dibanggakan, sedangkan sakit sebagai sesuatu yang tak
bermanfaat. Setelah ditemukan kuman penyebab penyakit, batasan sehat juga berubah, seseorang
disebut sehat apabila setelah diadakan pemeriksaan secara seksama tidak ditemukan penyebab
penyakit. Tahun lima puluhan definisi World Health Organization (WHO) tentang sehat sebagai
keadaan sehat sejahtera fisik mental sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan.
Kemudian pada tahun delapan puluhan, definisi sehat WHO mengalami perubahan seperti yang
tertera dalam Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 telah memasukkan
unsur hidup produktif sosial dan ekonomi (Mattalatta 2009).
Berbicara mengenai kesehatan tentunya kita tidak terlepas dari definisi klasik WHO tentang
kesehatan yaitu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial dan tidak sedang menderita sakit atau
kelemahan. Mengapa WHO memasukkan istilah sosial? karena sosial berarti hidup bersama dalam
kelompok dengan situasi yang saling membutuhkan satu dengan yang lain.
Kesehatan yang optimal bagi setiap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat merupakan
tujuan dari keperawatan, khususnya keperawatan komunitas, yang lebih menekankan kepada upaya
peningkatan kesehatan dan pencegahan terhadap berbagai gangguan kesehatan dan keperawatan,
dengan tidak melupakan upaya-upaya pengobatan dan perawatan serta pemulihan bagi yang sedang
menderita penyakit maupun dalam kondisi pemulihan terhadap penyakit.
Keperawatan komunitas ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, serta
memberikan bantuan melalui intervensi keperawatan sebagai dasar keahliannya dalam membantu
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam mengatasi berbagai masalah keperawatan
kesehatan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Perawat sebagai orang pertama dalam
tatanan pelayanan kesehatan, melaksanakan fungsi-fungsi yang sangat relevan dengan kebutuhan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Sehat secara sosial merupakan hasil dari interaksi
positif di dalam komunitas. Kesehatan manusia berubah-ubah bergantung pada pemicu stres
(stressor) yang ada dan kemampuannya untuk mengatasi masalah serta memelihara homeostasis.
Setiap manusia mempunyai rentang yang terdiri dari dua kutub yaitu keadaan sehat optimal dan
keadaan sakit.
Definisi sehat terkini yang dianut oleh beberapa negara maju seperti Kanada yang
mengutamakan konsep sehat-produktif, sehat adalah sarana atau alat untuk hidup sehari-hari secara
produktif. Upaya kesehatan harus diarahkan untuk dapat membawa setiap penduduk memiliki
kesehatan yang cukup agar bisa hidup produktif.
Sehat-produktif bisa diwujudkan dengan pembangunan kesehatan karena merupakan investasi
utama bagi pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Pembangunan kesehatan pada dasarnya
adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, serta kemampuan setiap orang untuk dapat
berperilaku hidup yang sehat untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pembangunan kesehatan yang semula bersifat kuratif dan rehabilitatif, sekarang lebih diarahkan pada
upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif. Untuk itu, diperlukan upaya penguatan tiga
pilar pembangunan kesehatan yaitu: Paradigma Sehat, Penguatan Pelayanan Kesehatan dan Jaminan
Kesehatan Nasional.
Pilar pertama paradigma sehat menjadi fokus utama yang diimplementasikan melalui dua
pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan Keluarga dimana aktivitas kegiatan sepenuhnya dilakukan oleh
jajaran kesehatan khususnya ditingkat Puskesmas dan 2) Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
(GERMAS) yang kegiatannya tidak hanya dilakukan oleh jajaran kesehatan saja, namun juga lintas
sektor (Kemenkes 2017).
Pendekatan pertama melalui Program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga (PIS-PK)
yang ditujukan sebagai acuan dalam proses monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan
dengan kunjungan keluarga. Kondisi kesehatan keluarga dan permasalahannya akan dilakuan
pencatatan pada Profil Kesehatan Keluarga sehingga memungkinkan untuk diberikan intervensi dini.
Intervensi awal diharapkan mampu dilakukan oleh unit pelayanan kesehatan paling dasar untuk
meminimalkan dampak lanjutan yang mungkin saja timbul apabila tidak dilakukan monitoring secara
rutin (Kemenkes 2016).
Pendekatan kedua melalui GERMAS yang difokuskan pada tiga kegiatan: 1) melakukan
aktivitas fisik, 2) mengonsumsi sayur dan buah, 3) memeriksa kesehatan secara rutin. Pelaksanaan
GERMAS harus dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat, lintas kementerian dan lintas sektor
baik pemerintah pusat dan daerah, swasta, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, serta masyarakat,
untuk bersama-sama berkontribusi mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat (Kemenkes
2017).

Konsep Keperawatan Kesehatan Komunitas


Keperawatan kesehatan komunitas merupakan praktik keperawatan dalam promosi dan
proteksi kesehatan suatu komunitas menggunakan pengetahuan ilmu keperawatan, ilmu sosial, dan
ilmu kesehatan masyarakat (American Public Health Association, 2013). Praktik yang dilakukan
komprehensif dan umum serta tidak terbatas pada kelompok tertentu, berkelanjutan dan tidak terbatas
pada perawatan yang bersifat episodik. ICN mendefinisikan keperawatan sebagai perawatan manidiri
dan kolaboratif pada individu dari segala usia, keluarga, kelompok dan komunitas, dalam keadaan
sakit atau sehat. Bentuk keperawatan termasuk promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan
perawatan orang sakit, cacat dan akan meninggal. Advokasi dan promosi lingkungan yang aman,
penelitian, partisipasi dalam membentuk kebijakan kesehatan dan dalam manajemen pasien maupun
sistem kesehatan, serta pendidikan juga merupakan peran kunci keperawatan (ICN 2014).
Keperawatan kesehatan komunitas adalah bidang keperawatan yang memberikan layanan
profesional secara holistik meliputi bio-psiko-sosio-spiritual dengan fokus utama kepada kelompok
resiko tinggi dengan tujuan derajat kesehatan bisa meningkat melalui upaya promotif, preventif, tetapi
tetap memperhatikan kuratif dan rehabilitatif yang dalam menyelesaikan masalah melibatkan
komunitas sebagai mitra (Stanhope & Lancaster 2016).
Keperawatan Kesehatan Masyarakat adalah suatu bidang dalam keperawatan kesehatan yang
merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat dengan dukungan peran serta
aktif masyarakat, serta mengutamakan pelayanan promotif, preventif secara berkesinambungan tanpa
mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu, ditujukan kepada
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh, melalui proses
keperawatan untuk meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal sehingga mandiri dalam
upaya kesehatannya (Kemenkes 2006b).
Keperawatan kesehatan masyarakat (Perkesmas) pada dasarnya adalah pelayanan
keperawatan profesional yang merupakan perpaduan antara konsep kesehatan masyarakat dan konsep
keperawatan yang ditujukan pada seluruh masyarakat dengan penekanan pada kelompok resiko tinggi.
Dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal dilakukan melalui peningkatan kesehatan
(promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) di semua tingkat pencegahan (levels of prevention)
dengan menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan klien sebagai
mitra kerja dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelayanan keperawatan (Kemenkes 2006b)
Tujuan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat adalah meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam mengatasi masalah keperawatan kesehatan masyarakat yang optimal. Tiga fokus
utama dari tujuan keperawatan komunitas adalah mempertahankan sistem klien dalam keadaan stabil
melalui upaya prevensi primer (ditujukan kepada masyarakat yang sehat), sekunder (ditujukan kepada
masyarakat beresiko mengalami masalah kesehatan) dan tersier (ditujukan kepada masyarakat yang
pada masa pemulihan setelah mengalami masalah kesehatan) (Leavell & Clark 1953). Pelayanan
keperawatan diberikan secara langsung kepada seluruh masyarakat dalam rentang sehat-sakit.
Sasaran keperawatan kesehatan masyarakat adalah seluruh masyarakat termasuk individu,
keluarga, kelompok beresiko tinggi termasuk kelompok/ masyarakat penduduk di daerah kumuh,
terisolasi, berkonflik, dan daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan Keperawatan kesehatan
masyarakat, merupakan salah satu kegiatan pokok Puskesmas yang sudah ada sejak konsep
Puskesmas di perkenalkan. Perawatan Kesehatan Masyarakat sering disebut dengan PHN (Public
Health Nursing) namun pada akhir-akhir ini lebih tepat disebut CHN (Community Health Nursing).
Perubahan istilah public menjadi community, terjadi di banyak negara karena istilah public sering kali
di hubungkan dengan bantuan dana pemerintah (government subsidy atau public funding), sementara
keperawatan kesehatan masyarakat dapat dikembangkan tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh
masyarakat atau swasta, khususnya pada sasaran individu (UKP), contohnya perawatan kesehatan
individu di rumah (home health nursing) (Kemenkes 2006b).

Perbedaan keperawatan Komunitas Dari Disiplin Keperawatan Lain


Keperawatan kesehatan komunitas pada awalnya bekerja di sektor pemerintahan seperti
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan dan puskesmas tetapi dalam perkembangannya perawat
komunitas juga bekerja di setting lainnya misal pusat layanan kesehatan mandiri, organisasi home
care maupun organisasi kemasyarakatan lainnya. Keperawatan Kesehatan Komunitas adalah layanan
keperawatan profesional yang diberikan oleh perawat yang telah memeperoleh pendidikan
keperawatan komunitas atau disiplin lain yang berkaitan untuk meningkatkan derajat kesehatan
individu, kelompok, dan masyarakat dengan pendekatan primary health care (PHC) (Institute of
Medicine 2007).
Keperawatan kesehatan komunitas dibedakan dari spesialis keperawatan lainnya berdasarkan
delapan prinsip di bawah ini :
1. Klien atau unit keperawatan adalah populasi.
Walaupun perawat komunitas memberikan asuhan pada individu, keluarga dan kelompok tetapi
tanggung jawab dominan tetap pada populasi keseluruhan.
2. Tugas utama adalah meraih yang terbaik bagi sejumlah orang atau populasi keseluruhan.
Perawat kesehatan komunitas mengidentifikasi kemungkinan menemukan individu yang
kebutuhannya tidak sesuai dengan prioritas kesehatan yang menguntungkan bagi populasi
keseluruhan.
3. Proses yang digunakan oleh perawat komunitas termasuk bekerja dengan klien sebagai mitra yang
sejajar.
Tindakan perawat kesehatan komunitas harus menggambarkan kesadaran dari kebutuhan yang
komprehensif dari kesehatan dalam kemitraan dengan komunitas dan populasi meliputi
perspektif, prioritas dan nilai dari populasi dalam menginterpretasikan data, kebijakan dan
memutuskan program serta memilih strategi yang sesuai untuk dilakukan.
4. Pencegahan primer adalah prioritas dalam memilih tindakan yang sesuai.
Pencegahan primer meliputi promosi strategi kesehatan dan proteksi kesehatan.
5. Memilih strategi untuk menciptakan lingkungan sehat, kondisi sosial dan ekonomi pada populasi
yang berkembang merupakan fokus utama.
Intervensi keperawatan kesehatan komunitas meliputi pendidikan, pengembangan masyarakat,
perencanaan sosial, kebijakan pengembangan serta enforcement. Dan intervensi tersebut akan
berkembang ketika kita bekerja dengan komunitas dan berakibat pada hukum, peraturan,
kebijakan dan prioritas dana. Advokasi pada komunitas untuk menciptakan kondisi sehat
merupakan bagian penting dari praktik keperawatan kesehatan komunitas.
6. Ada tanggung jawab untuk mencapai keseluruhan populasi yang memerlukan intervensi spesifik
atau pelayanan.
Beberapa faktor resiko tidak terdistribusi secara acak, subpopulasi spesifik kemungkinan lebih
dapat dipantau perkembangan penyakitnya atau kecacatannya atau kemungkinan sulit untuk
mengakses atau menggunakan pelayanan, oleh sebab itu memerlukan jangkauan yang khusus.
Keperawatan kesehatan komunitas berfokus pada keseluruhan populasi dan tidak hanya pada
mereka yang datang ke pelayanan.
7. Penggunaan sumber-sumber kesehatan yang optimal untuk mendapatkan perbaikan yang terbaik
dari populasi merupakan kunci pokok dari kegiatan praktik.
Perawat kesehatan komunitas harus terlibat dalam koordinasi dan organisasi tindakan dalam
merespon isu-isu yang berhubungan dengan kesehatan. Perawat komunitas menggunakan dan
memberikan informasi pada pembuat kebijakan berdasarkan bukti ilmiah yang berhubungan
dengan outcome aksi spesifik, program atau kebijakan, seperti keuntungan biaya atau efektifitas
biaya dari strategi yang potensial. Pada pembuatan kebijakan berdasarkan bukti ilmiah yang
berhubungan dengan outcome aksi spesifik, program atau kebijakan, seperti keuntungan biaya
atau efektifitas biaya dari strategi yang potensial. Perawat kesehatan komunitas harus selalu
berkembang untuk mencari bukti ilmiah ketika diperlukan.
8. Kolaborasi dengan berbagai jenis profesi, organisasi dan perkumpulan merupakan cara paling
efektif untuk mempromosikan dan melindungi kesehatan orang-orang.
Menciptakan kondisi dimana komunitas selalu sehat kemungkinan sangat kompleks dan proses
sumber daya yang intensif. Perawat kesehatan komunitas bekerja sama dengan disiplin ilmu lain
dari berbagai bidang dan profesi dalam upaya meningkatkan kesehatan populasi. Hal ini meliputi
identifikasi perawat kesehatan komunitas akan pentingnya tindakan legislatif dan keterlibatan
kebijakan sosial maupun kesehatan di semua tingkat. Kolaborasi ini kemungkinan terjadi dalam
sistem pelayanan kesehatan dan pemerintah mengadopsi program promotif serta kebijakan yang
perlu direvisi.

Area Praktik Perawat Kesehatan Komunitas


Perawat kesehatan komunitas merupakan praktik promotif dan proteksi kesehatan populasi
menggunakan pengetahuan keperawatan, sosial dan ilmu kesehatan masyarakat (American Public
Health Association 2013). Praktik yang dilakukan berfokus pada populasi dengan tujuan utama
promosi kesehatan dan mencegah penyakit serta kecacatan untuk semua orang melalui kondisi yang
dicipakan dimana orang bisa menjadi sehat. Meskipun praktik yang dilakukan berada pada berbagai
jenis organisasi dan masyarakat, semua perawat kesehatan komunitas berfokus pada populasi.
Populasi dapat didefinisikan pada mereka yang hidup pada area geografis yang spesifik (contoh:
tetangga, komunitas, kota atau negara) atau mereka kelompok etnik atau ras khusus yang mengalami
beban berlebihan dari outcome kesehatan yang rendah. Populasi juga dapat berpartisipasi dalam
program khusus seperti perawatan maternitas untuk remaja yang hamil, atau mereka yang terkena
penyakit-penyakit khusus seperti HIV/AIDS atau tuberkulosis; atau faktor resiko seperti hipertensi,
kurangnya akses terhadap perawatan. Meskipun perawat kesehatan komunitas melayani indvidu dan
keluarga, fokus utama adalah populasi. Perawat kesehatan komunitas bisa bekerja sama dengan
komunitas dan populasi untuk mengurangi resiko kesehatan dan meningkatkan, mempertahankan
serta memperbaiki kembali kesehatan. Perawat kesehatan komunitas melakukan advokasi pada tingkat
sistem untuk merubah kesehatan. Perawat kesehatan komunitas harus memahami dan menerapkan
konsep dari berbagai area. Perawat komunitas juga harus mengaplikasikan konsep pengorganisasian
dan pengembangan komunitas, koordinasi perawatan, pendidikan kesehatan, kesehatan lingkungan
dan ilmu kesehatan masyarakat. Perawat kesehatan komunitas bekerja sama dengan populasi dan
berbagai kelompok meliputi :
1) Anggota dari tim kesehatan masyarakat seperti epidemiologis, pekerja sosial, nutrisionis dan
pendidik kesehatan.
2) Organisasi kesehatan pemerintah.
3) Penyedia layanan kesehatan .
4) Organisasi dan koalisi masyarakat.
5) Unit pelayanan komunitas seperti sekolah, lembaga bantuan hukum dan unit gawat darurat.
6) Industri dan bisnis.
7) Institusi penelitian dan pendidikan.
Perawat kesehatan komunitas bekerja untuk meningkatkan kesehatan individu, keluarga,
komunitas dan populasi melalui fungsi inti dari pengkajian, jaminan dan kebijakan pengembangan
(Institute of Medicine 2007). Fungsi inti diaplikasikan dalam cara sistematik dan komprehensif.
Proses pengkajian meliputi identifikasi kepedulian, kekuatan dan harapan populasi serta dipandu
dengan metode epidemiologi. Jaminan diperoleh melalui regulasi, advokasi pada penyedia layanan
kesehatan profesional lain untuk memenuhi kebutuhan layanan yang dikehendaki populasi, koordinasi
pelayanan komunitas atau ketentuan langsung pelayanan. Strategi asuransi meliputi ketersediaan, bisa
diterima, dapat diakses dan kualitas layanan. Kebijakan ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian,
prioritas ditentukan oleh populasi dan dengan pertimbangan dari subpopulasi dan komunitas pada
resiko terbesar, seperti bukti keefektifan dari berbagai aktivitas atau strategi. Perawat kesehatan
komunitas proaktif dengan menghormati kecenderungan pelayanan kesehatan dan sosial, merubah
kepedulian, dan aktivitas legislatif serta kebijakan. Fungsinya sebagai advokat pada populasi yang
mereka layani. Seperti advokasi untuk kesehatan masyarakat dan promosi kesehatan lingkungan,
menciptakan kondisi yang memperbaiki dan mempertahankan kesehatan populasi dan merupakan
peranan kunci dari perawat kesehatan komunitas. Perawat kesehatan komunitas terlibat dalam
penelitian untuk meningkatkan praktik perawat kesehatan komunitas dan strategi serta intervensi
khusus. Perawat harus memiliki tanggung jawab secara aktif dalam meningkatkan ilmu berbasis bukti
yang profesional. Dokumentasi yang baik dan jelas merupakan bukti praktik perawat kesehatan
komunitas yang efisien, efektif dan strategi biaya yang menguntungkan dalam promotif kesehatan
masyarakat. Ketika perawat kesehatan komunitas bermitra dengan individu, fokusnya menjadi
meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik yang mendukung serta meningkatkan kesehatan dengan
tujuan utama memperbaiki keseluruhan kesehatan dari populasi. Sama juga tindakan dengan keluarga
dan komunitas yang meningkatkan kesehatan keluarga dan masyarakat keseluruhan. Aktivitas dengan
populasi berhubungan dengan organisasi, kebijakan, hukum dan termasuk stake holder kunci yang
mempengaruhi lingkungan dimana orang-orang tinggal dan menciptakan kondisi yang meningkatkan
kesehatan untuk semua.
Pelayanan keperawatan kesehatan komunitas dapat diberikan secara langsung pada semua
tatanan pelayanan kesehatan (Kemenkes 2006a) , yaitu :

1. Di dalam unit pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) yang mempunyai pelayanan
rawat jalan dan rawat inap.
2. Di rumah .
Perawat home care memberikan pelayanan secara langsung pada keluarga di rumah yang
menderita penyakit akut maupun kronis. Peran home care dapat meningkatkan fungsi keluarga
dalam merawat anggota keluarga yang mempunyai resiko tinggi masalah kesehatan.

3. Di sekolah
Perawat sekolah dapat melakukan perawatan sesaat (day care) diberbagai institusi pendidikan
(TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan tinggi, guru dan karyawan). Perawat sekolah melaksanakan
program screening kesehatan, mempertahankan kesehatan, dan pendidikan kesehatan.

4. Di tempat kerja/industri.
Perawat dapat melakukan kegiatan perawatan langsung dengan kasus kesakitan/kecelakaan
minimal di tempat kerja/kantor, home industry, pabrik dan lainnya. Melakukan pendidikan
kesehatan untuk keamanan dan keselamatan kerja, nutrisi seimbang, penurunan stress, olah raga
dan penanganan perokok serta pengawasan makanan.

5. Di barak-barak penampungan.
Kasus yang ada di barak dan penampungan adalah kasus akut, penyakit kronis, dan kecacatan
fisik ganda, dan mental sehingga tindakan yang diberikan oleh perawat adalah memberikan
perawatan langsung.

6. Dalam kegiatan Puskesmas keliling.


Puskesmas keliling memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, kelompok masyarakat
di pedesaan, kelompok terlantar. Bentuk pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh perawat saat
puskesmas keliling adalah pengobatan sederhana, screening kesehatan, perawatan kasus penyakit
akut dan kronis, pengelolaan dan rujukan kasus penyakit.

7. Di Panti atau kelompok khusus lain, seperti panti asuhan anak, panti werdha, dan panti sosial
lainya serta rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (Lapas).
8. Pelayanan pada kelompok resiko tinggi:
a. Pelayanan perawatan pada kelompok wanita, anak-anak, lansia yang rentang mendapatkan
perlakukan kekerasan,
b. Pelayanan keperawatan di pusat pelayanan kesehatan jiwa,
c. Pelayanan keperawatan di pusat pelayanan penyalahgunaan obat,
d. Pelayanan keperawatan ditempat penampungan kelompok lansia, gelandangan
pemulung/pengemis, kelompok penderita HIV (ODHA/Orang Dengan Hiv-Aids), dan WTS,
9. Pelayanan keperawatan wisata seperti pelayanan keperawatan di pantai.
10. Pelayanan keperawatan pada komunitas dalam krisis bencana dilakukan dengan manajemen
bencana, promosi dan pendidikan kesehatan, memastikan komunikasi berjalan dalam bencana,
menyediakan transportasi dalam bencana, mendirikan rumah sakit lapangan dan melakukan
rujukan. Pada saat pre hospital yang dilakukan dalam penanganan bencana adalah kontrol infeksi
dalam bencana, pengkajian individu, keluarga, dan komunitas, triage bencana, mental healt care,
perawatan psikososial dan spiritual, recovery pasca bencana individu, keluarga, dan komunitas
(Fauzan et al. 2015).

Fokus utama kegiatan pelayanan keperawatan kesehatan komunitas adalah meningkatkan


pengetahuan dan keterampilan keperawatan, membimbing dan mendidik individu, keluarga,
kelompok, masyarakat untuk menanamkan pengertian, kebiasaan dan perilaku hidup sehat sehingga
mampu memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya.

Sasaran Keperawatan Kesehatan Komunitas (Kemenkes 2006b)


1. Sasaran individu
Sasaran priotitas individu adalah balita gizi buruk, ibu hamil risiko tinggi, usia lanjut, penderita
penyakit menular (TB Paru, Kusta, Malaria, Demam Berdarah, Diare, ISPA/Pneumonia) dan
penderita penyakit degeneratif.
2. Sasaran keluarga
Sasaran keluarga adalah keluarga yang termasuk rentan terhadap masalah kesehatan ( vulnerable
group) atau risiko tinggi (high risk group), dengan prioritas :
a. Keluarga miskin belum kontak dengan sarana pelayanan kesehatan (Puskesmas dan
jaringannya) dan belum mempunyai kartu sehat.
b. Keluarga miskin sudah memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan mempunyai masalah
kesehatan terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan balita, kesehatan reproduksi,
penyakit menular.
c. Keluarga tidak termasuk miskin yang mempunyai masalah kesehatan prioritas serta belum
memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan.
3. Sasaran kelompok
Sasaran kelompok adalah kelompok masyarakat khusus yang rentan terhadap timbulnya masalah
kesehatan baik yang terikat maupun tidak terikat dalam suatu institusi.
a. Kelompok masyarakat khusus tidak terikat dalam suatu institusi antara lain Posyandu,
Kelompok Balita, Kelompok ibu hamil, Kelompok Usia Lanjut, Kelompok penderita
penyakit tertentu, kelompok pekerja informal.
b. Kelompok masyarakat khusus terikat dalam suatu institusi, antara lain sekolah, pesantren,
panti asuhan, panti usia lanjut, rumah tahanan (rutan), lembaga pemasyarakatan (lapas).
4. Sasaran masyarakat
Sasaran masyarakat adalah masyarakat yang rentan atau mempunyai risiko tinggi terhadap
timbulnya masalah kesehatan, diprioritaskan pada:
a. Masyarakat di suatu wilayah (RT, RW, Kelurahan/Desa) yang mempunyai :
1). Jumlah bayi meninggal lebih tinggi di bandingkan daerah lain.
2). Jumlah penderita penyakit tertentu lebih tinggi dibandingkan daerah lain.
3). Cakupan pelayanan kesehatan lebih rendah dari daerah lain.
b. Masyarakat di daerah endemis penyakit menular (malaria, diare, demam berdarah, dan
lainnya).
c. Masyarakat di lokasi/barak pengungsian, akibat bencana atau akibat lainnya.
d. Masyarakat di daerah dengan kondisi geografi sulit antara lain daerah terpencil, daerah
perbatasan.
e. Masyarakat di daerah pemukiman baru dengan transportasi sulit seperti daerah transmigrasi.

Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di Indonesia

Kegiatan Perkesmas berdasarkan Permenkes RI no. 75 tahun 2014 meliputi kegiatan diluar
gedung Puskesmas dalam dua bentuk yakni upaya kesehatan perorangan (UKP) dan atau upaya
kesehatan masyarakat (UKM). Bentuk kegiatan yang dilakukan oleh perawat adalah kunjungan ke
keluarga/kelompok/masyarakat/individu dalam keluarga untuk melakukan asuhan keperawatan
komunitas. Dua area kerja perawat di komunitas adalah memberikan:

1. Asuhan Keperawatan Kelompok Khusus


Merupakan asuhan keperawatan pada kelompok masyarakat rawan kesehatan yang memerlukan
perhatian khusus, baik dalam suatu institusi maupun non institusi. Kegiatannya meliputi:

1) Identifikasi faktor resiko terjadinya masalah kesehatan di kelompok.


2) Pemberian asuhan keperawatan langsung dengan memberikan terapi keperawatan dan terapi
komplementer pada para penghuni yang membutuhkan perawatan.
3) Pendidikan atau penyuluhan kesehatan sesuai kebutuhan.
4) Pembentukan, bimbingan, dan pemantauan kader-kader kesehatan sesuai jenis kelompoknya
dan memberikan motivasi pada kader.
5) Pendokumentasian keperawatan.
2. Asuhan Keperawatan Masyarakat di Daerah Binaan
Merupakan asuhan keperawatan yang ditujukan pada masyarakat yang berisiko, rentan, atau
mempunyai risiko tinggi terhadap timbulnya masalah kesehatan. Kegiatannya adalah melakukan
kunjungan rumah ke daerah binaan dengan tujuan:

1) Mengidentifikasi masalah kesehatan yang terjadi di suatu daerah dengan masalah spesifik.
2) Memberikan asuhan keperawatan di suatu daerah dengan masalah spesifik.
3) Meningkatkan partisipasi masyarakat dengan membentuk upaya kesehatan berbasis
masyarakat (UKBM).
4) Memberikan pendidikan atau penyuluhan kesehatan.
5) Memberikan advokasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan keperawatan yang optimal.
6) Membentuk kelompok swabantu.
7) Membentuk, mengembangkan, dan memantau kader kesehatan di masyarakat dan
meningkatkan motivasinya.
8) Melaksanakan dan memonitoring PHBS.
9) Meningkatkan jejaring kerja melalui kemitraan.
10) Mendokumentasikan asuhan keperawatan.

Keperawatan Kesehatan Komunitas di Masa Mendatang


Saat ini permasalahan kesehatan yang dihadapi cukup kompleks, upaya kesehatan belum
dapat menjangkau seluruh masyarakat meskipun dapat dilihat beberapa terobosan dalam upaya
pembangunan bidang kesehatan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi
yaitu 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003) serta angka kematian ibu yaitu 307 per
100.000 kelahiriran hidup (SDKI 2002-2003), 44 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup (SDKI
2004-2007), 228 kematian ibu per 100 000 kelahiran hidup (SDKI 2004-2007), 32 kematian bayi per
1.000 kelahiran hidup (SDKI 2008-2012), 359 kematian ibu per 100 000 kelahiran hidup (SDKI
2008-2012).
Masalah kesehatan lainnya adalah munculnya penyakit-penyakit (emerging diseases) seperti
HIV/AIDS, SARS, Chikungunya, dan meningkatnya kembali penyakit-penyakit menular (re-
emerging diseases) seperti TBC, malaria, serta penyakit yang dapat dicegah dengan immunisasi.
Sementara itu untuk penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan penyakit pembuluh
darah, juga terjadi peningkatan. Selain permasalahan penyakit, krisis dalam komunitas seperti
bencana dan terjadinya kekerasan juga menjadi fokus perhatian kita, oleh sebab itu di tahun-tahun
mendatang dapat diprediksi bahwa kebutuhan akan pelayanan keperawatan kesehatan komunitas yang
berkualitas meningkat.
Pada akhirnya kemampuan kita untuk menangkap peluang dan berespon terhadap perubahan
maupun tantangan di masa mendatang merupakan dasar yang kuat bagi perkembangan keperawatan
kesehatan komunitas. Kompetensi perawat kesehatan komunitas, perawatan kesehatan di rumah,
peran perawat Puskesmas di komunitas, kepemimpinan serta pemakaian teknologi informasi
diprediksi menjadi fokus dari sistem kesehatan komunitas di masa mendatang.

Pertanyaan Ulangan :

1. Jelaskan definisi sehat!


2. Jelaskan definisi keperawatan kesehatan komunitas!
3. Jelaskan perbedaan keperawatan kesehatan komunitas dari disiplin keperawatan lain!
4. Jelaskan area praktik keperawatan kesehatan komunitas!
5. Jelaskan sasaran praktik keperawatan kesehatan komunitas!
6. Jelaskan perkesmas di Indonesia!

DAFTAR PUSTAKA

American Public Health Association, P.H.N.S., 2013. The definition and practice of public health
nursing: a statement of the public health nursing section, Washington, DC: American Public
Health Association.
Fauzan, Mudatsir & Aulia, T.B., 2015. Optimalisasi Materi dan Kompetensi Mata Kuliah
Keperawatan Bencana pada Akademi Keperawatan ( Studi Kasus di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar ). Jurnal Ilmu Kebencanaan, 2(1), pp.1–10.
ICN, 2014. Definition of Nursing. International Council of Nurses. Available at:
http://www.icn.ch/who-we-are/icn-definition-of-nursing/ [Accessed May 16, 2018].
Institute of Medicine, 2007. Certificate nursing curriculum, Nepal: Kathmandu.
Kemenkes, 2006a. Kepmenkes No. 279 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelanggaraan Upaya
Keperawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas, Jakarta: Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Available at:
http://manajemenrumahsakit.net/wp-content/uploads/2012/09/KMK-279-2006-
PERKESMAS.pdf [Accessed December 17, 2018].
Kemenkes, 2006b. Pedoman Penyelenggaraan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di
Puskesmas, Jakarta: Depkes RI.
Kemenkes, 2016. Pedoman Umum Program Indonesia Sehat Pendekatan Keluarga, Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes, 2017. RAKERKESNAS 2017: Integrasi Seluruh Komponen Bangsa Mewujudkan
Indonesia Sehat. Available at: http://www.depkes.go.id/article/print/17022700006/rakerkesnas-
2017-integrasi-seluruh-komponen-bangsa-mewujudkan-indonesia-sehat.html [Accessed May 10,
2018].
Leavell, H. & Clark, E., 1953. Textbook of Preventive Medicine 3rd ed., New York: McGraw-Hill.
Mattalatta, A., 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009. Menteri Hukum dan
HAM RI. Available at: http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2009/36TAHUN2009UU.HTM
[Accessed May 19, 2018].
Stanhope & Lancaster, 2016. Public health nursing: population centered health care in the
community, USA: Mosby.
American Public Health Association, P.H.N.S., 2013. The definition and practice of public health
nursing: a statement of the public health nursing section, Washington, DC: American Public
Health Association.
Fauzan, Mudatsir & Aulia, T.B., 2015. Optimalisasi Materi dan Kompetensi Mata Kuliah
Keperawatan Bencana pada Akademi Keperawatan ( Studi Kasus di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar ). Jurnal Ilmu Kebencanaan, 2(1), pp.1–10.
ICN, 2014. Definition of Nursing. International Council of Nurses. Available at:
http://www.icn.ch/who-we-are/icn-definition-of-nursing/ [Accessed May 16, 2018].
Institute of Medicine, 2007. Certificate nursing curriculum, Nepal: Kathmandu.
Kemenkes, 2006a. Kepmenkes No. 279 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelanggaraan Upaya
Keperawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas, Jakarta: Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Available at:
http://manajemenrumahsakit.net/wp-content/uploads/2012/09/KMK-279-2006-
PERKESMAS.pdf [Accessed December 17, 2018].
Kemenkes, 2006b. Pedoman Penyelenggaraan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di
Puskesmas, Jakarta: Depkes RI.
Kemenkes, 2016. Pedoman Umum Program Indonesia Sehat Pendekatan Keluarga, Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes, 2017. RAKERKESNAS 2017: Integrasi Seluruh Komponen Bangsa Mewujudkan
Indonesia Sehat. Available at: http://www.depkes.go.id/article/print/17022700006/rakerkesnas-
2017-integrasi-seluruh-komponen-bangsa-mewujudkan-indonesia-sehat.html [Accessed May 10,
2018].
Leavell, H. & Clark, E., 1953. Textbook of Preventive Medicine 3rd ed., New York: McGraw-Hill.
Mattalatta, A., 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009. Menteri Hukum dan
HAM RI. Available at: http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2009/36TAHUN2009UU.HTM
[Accessed May 19, 2018].
Stanhope & Lancaster, 2016. Public health nursing: population centered health care in the
community, USA: Mosby.

BAB 2
ETIKA DAN NILAI DALAM KOMUNITAS
Tujuan :
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan dapat :

1. Menjelaskan pengertian dan definisi etika


2. Menjelaskan macam-macam etika
3. Mendiskusikan konsep etik keperawatan
4. Menjelaskan asas etik keperawatan
5. Mendiskusikan permasalahan etik dengan menggunakan model penyelesaian dilema etik
6. Menjelaskan Kode Etik Keperawatan Indonesia

Konsep Penting :
1. Etika memiliki pengertian etimologi berupa watak kesusilaan atau adat kebiasaan.
2. Terdapat dua macam etika yaitu etika normatif dan deskriptif.
3. Etik profesi keperawatan adalah kesadaran dan pedoman yang mengatur nilai-nilai moral di dalam
melaksanakan kegiatan profesi keperawatan, sehingga mutu dan kualitas profesi keperawatan
tetap terjaga dengan cara yang terhormat.
4. Norma atau kaidah merupakan nilai yang memberikan patokan atau pedoman tertentu dan
mengatur masyarakat atau setiap orang untuk berperilaku, bersikap, dan bertindak sesuai
peraturan yang telah ditetapkan bersama.
5. Enam asas etik yang menjadi pedoman adalah asas menghormati otonomi pasien (autonomy), asas
manfaat (beneficence), asas tidak merugikan (non maleficence), asas kejujuran (veracity), asas
kerahasiaan (confidentiality) dan asas keadilan (justice).
6. Model penyelesaian dilema etik menggunakan prinsip DECIDE.
7. Kode Etik Keperawatan Indonesia mengatur hubungan antara perawat dan klien, perawat dan
praktik, perawat dan masyarakat, perawat dan teman sejawat serta perawat dan profesi.

Pengertian Etika
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari kata “Ethos”, yang merupakan bahasa yunani
dengan arti adat kebiasaan (custom) atau watak kesusilaan. Istilah etika berkaitan dengan perkataan
moral yang berasal dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan memiliki bentuk jamak “Mores”, yang artinya
juga adat kebiasaan atau cara hidup dengan menghindari hal-hal tindakan yang buruk dan melakukan
perbuatan yang baik (kesusilaan). Etika dan moral memiliki pengertian yang sama, tetapi dalam
kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang
berlaku sedangkan moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan. Istilah lain yang
terkait dengan etika, yaitu sebagai berikut:
• Susila (Sanskerta), dari kata prinsip aturan hidup (sila) dan yang lebih baik (su) sehingga lebih
menunjukkan kepada dasar-dasar hidup.
• Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika,
sebagai berikut:
• Terminius Techicus, yakni etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah
perbuatan atau tindakan manusia.
• Manner dan Custom, yakni etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang
melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik
dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya antara
lain:

1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak.
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan
manusia.
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual.
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban.

Macam-macam Etika
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau
etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara
utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara
kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai
makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-
norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Brown 1993) sebagai berikut :
Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang
dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif
tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia
sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan
bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang
dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia
atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini.
Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara
baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan
berlaku di masyarakat.

Norma dan Nilai Dalam Masyarakat


Di dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal dengan istilah norma-norma atau kaidah, yaitu
biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang
atau masyarakat untuk bersikap, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang
telah disepakati bersama. Patokan atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang
merupakan standar yang harus ditaati atau dipatuhi (Oreg & Katz-gerro 2006).
Kehidupan masyarakat memiliki berbagai aliran dan golongan yang bermacam-macam,
setiap aliran memiliki kepentingan sendiri, tetapi demi kepentingan bersama maka diperlukan
peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat sehingga terwujud
keamanan dan ketertiban, yang dikenal dengan peraturan hidup. Tata atau orde atau ordnung yang ada
dalam bentuk “aturan main” sehingga menjadi petunjuk bagi berbagai interaksi kehidupan manusia
sehari-hari, diperlukan agar kebutuhan masing-masing orang terjamin dan terpelihara. Tujuan adanya
tata adalah agar terpenuhi kebutuhan dan kepentingan untuk hidup dengan tertib, damai dan aman
tanpa hambatan. Setiap orang mengerti “kewajiban dan haknya masing-masing sesuai tata peraturan”,
dan tata lebih dikenal dengan “kaidah” di dalam bahasa Arab, dan “norma” dalam bahasa Latin atau
standar yang menjadi petunjuk. Menurut isinya norma tersebut mempunyai dua jenis, yaitu:
1. Perintah, yang merupakan kewajiban bagi seseorang untuk melakukan sesuatu karena akibatnya
dipandang baik.
2. Larangan, yakni kewajiban seseorang untuk tidak melakukan sesuatu karena dipandang akan
menimbulkan akibat yang tidak baik. Artinya norma memberikan petunjuk bagaimana seseorang
harus bertindak dalam masyarakat, perbuatan mana yang harus dihindari dan perbuatan mana
yang harus dilakukan oleh manusia.
Norma dapat dipertahankan melalui sanksi, yakni hukuman untuk siapa saja yang telah
melanggarnya. Kehidupan masyarakat yang terikat oleh norma atau peraturan hidup, sehingga jika
melanggar norma, maka dikenakan sanksi sesuai dengan level dan sifat dari pelanggaran yang
dilakukan, misalnya sebagai berikut:
• Aturan tidak berbicara sambil menghisap rokok di hadapan orang yang dihormatinya atau tamu,
maka jika melanggar akan mendapat sanksi berupa celaan karena dianggap tidak sopan
walaupun merokok itu tidak dilarang.
• Menurut tata krama seorang tamu yang hendak pulang harus diantar sampai di muka pintu rumah
atau kantor, bila dilanggar maka akann mendapat sanksi celaan karena dianggap tidak
menghormati tamunya dan sombong.
• Jika mengangkat telepon yang sedang berdering dengan berbicara kasar, maka akan mendapat
sanksi beruapa anggapan “interupsi” atau menunjukkan tidak menghormati si penelepon atau
orang yang ada disekitarnya dan ketidaksenangan yang tidak sopan.
• Orang yang mencuri barang milik orang lain, maka akan mendapat sanksi yang cukup berat dan
dikenakan sanksi hukuman, baik hukuman pidana penjara maupun perdata (ganti rugi).
Norma memiliki empat (4) kaidah dalam kehidupan sehari-hari, yaitu norma hukum,
kesopanan, agama, dan kesusilaan. Pelaksanaan keempat kaidah tersebut dibagi lagi menjadi norma
non hukum (umum) dan norma hukum, terdapat dua macam kaidah dalam pemberlakuan norma di
aspek kehidupan yakni:

1. Aspek kehidupan pribadi (individual) meliputi:


• Kaidah kepercayaan untuk mendapatkan kehidupan pribadi yang beriman atau suci.
• Kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang bertujuan pada kebaikan hidup pribadi demi
memiliki hati nurani yang berakhlak berbudi luhur (akhlakul kharimah) dan suci.
2. Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) meliputi:
• Kaidah atau norma tata krama, etiket dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat (pleasant living together).
• Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan kepada terwujudnya keadilan, kedamaian, dan ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat atau bersama dengan penuh ketenteraman (peaceful living together) atau
kepastian. Masalah norma non hukum merupakan masalah yang cukup penting dan akan dijelaskan
secara lebih lengkap mengenai kode perilaku dan kode profesi Humas, yakni seperti tata krama, etika,
nilai-nilai moral, etis, etiket, dalam pergaulan bermasyarakat, sebagai nilai aturan yang menjadi
kesepakatan bersama, dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati.
Norma moral tidak akan digunakan untuk menilai perawat ketika sedang merawat klien, atau
ketika dosen menyampaikan materi kuliah kepada mahasiswa, tetapi untuk menilai bagaimana sebagai
profesional tersebut melakukan kewajiban dan tugasnya dengan baik sebagai manusia yang bermoral,
bertanggung jawab, berbudi luhur, penuh integritas, dan jujur. Penilaian lebih menekankan pada
“sikap atau perilaku” perawat dalam mengerjakan tugas dan fungsi untuk saling menghargai sesama
sebagai profesional sesuai dengan yang diembannya.
Kode etik standar profesi, kode perilaku, nilai moral, dan etika, pada akhirnya memberikan
petunjuk, panduan, acuan, dan tolak ukur dalam pengambilan keputusan mengenai tindakan yang
akan diberikan pada berbagai kondisi dan situasi tertentu ketika memberikan pelayanan profesi atau
keahlian. Pengambilan keputusan etik (etis) adalah aspek kompetensi berupa perilaku moral dari
seorang profesional yang sudah memperkirakan konsekuensinya, baik atau buruk akibat yang akan
ditimbulkan dari tindakan yang dilakukan secara obyektif, dan memiliki integritas atau tanggung
jawab yang tinggi. Kode etik profesi oleh para profesional dibentuk dan disepakati untuk melindungi
kepentingan yang lebih luas (obyektif) bukan untuk kepentingan individual (subyektif).

Etik Keperawatan
Etik profesi keperawatan adalah pedoman dan kesadaran di dalam melaksanakan kegiatan
profesi keperawatan yang mengatur nilai-nilai moral, sehingga tetap terjaga dengan cara yang
terhormat mutu dan kualitas profesi keperawatan. Etik keperawatan sangat penting dihayati oleh para
mahasiswa di bidang keperawatan. Mahasiswa keperawatan secara teoritik belum terikat oleh etika
keperawatan, tetapi harus sudah mulai memahami sehingga etik keperawatan menjadi bagian dari
kurikulum pendidikan keperawatan agar dapat menghadapi tugas dan kewajiban sebagai perawat di
kemudian hari.
Menurut UU Keperawatan No.38 Tahun 2014 perawat berkewajiban memberikan pelayanan
keperawatan sesuai dengan kode etik, standar pelayanan keperawatan, standar profesi, standar
prosedur operasional, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Etika keperawatan tersebut
antara lain mengandung unsur-unsur pengorbanan, dedikasi, pengabdian, dan hubungan antara
perawat dengan pasien, dengan dokter, sejawat perawat maupun diri sendiri.

Perilaku etik dapat dibagi menjadi dua kelompok :

1. Etik yang berorientasi kepada kewajiban


Kelompok ini menggunakan pedoman segala hal yang wajib dan harus dilakukan oleh seseorang
untuk mendapatkan kebajikan dan kebaikan.

2. Etik yang berorientasi kepada larangan


Kelompok ini menggunakan pedoman segala hal yang tidak boleh dan dilarang dilakukan untuk
mendapatkan kebajikan dan kebaikan.

Asas etik yang tidak akan tergantikan dalam etik profesi keperawatan dan asuhan keperawatan ada
enam yaitu sebagai berikut:
1. Asas Autonomy (menghormati otonomi klien)
Klien bebas dan berhak mengambil keputusan untuk segala hal yang akan dilakukan terhadapnya
setelah mendapatkan informasi. Persetujuan tindakan medik (informed consent) diperlukan karena
klien berhak untuk didengarkan dan dihormati pendapatnya. Perawat tidak diperkenankan
memaksakan suatu intervensi atau tindakan.

2. Asas Beneficence (manfaat)


Tujuan dari semua tindakan harus untuk memberi manfaat kepada klien sehingga bisa tertolong.
Perawat harus menyadari bahwa tindakan yang akan dilakukan memang memberi manfaat bagi
kesembuhan dan kesehatan klien. Kesehatan penderita senantiasa diutamakan sehingga selalu
memaksimalkan manfaat bagi klien dan risiko yang mungkin timbul dikurangi sampai seminimal
mungkin.

3. Asas Non Maleficence (tidak merugikan) Tindakan dan pengobatan harus berpedoman “Primum
non nocere” (yang paling utama jangan merugikan). risiko fisik, psikologik maupun sosial akibat
tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan hendaknya seminimal mungkin.
4. Asas Veracity (Kejujuran)
Dokter dan perawat hendaknya mengatakan secara jujur dan jelas apa yang akan dilakukan, serta
akibat yang dapat terjadi. Informasi yang diberikan hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan
pasien.
5. Asas Confidentiality (Kerahasiaan)
Perawat harus menghormati “privacy” dan kerahasiaan pasien, meskipun penderita telah
meninggal.

6. Asas Justice (keadilan)


Perawat harus berlaku adil dan tidak berat sebelah.
Ke-enam asas etik diatas disepakati secara nasional sebagai kode etik di bidang profesi
kesehatan termasuk didalamnya Kode Etik Keperawatan Indonesia.

Model Penyelesaian Dilema Etik


Perawat berada dalam berbagai situasi sehari-hari yang mengharuskan mereka dalam
membuat keputusan-keputusan profesional dan bertindak sesuai keputusan tersebut. Keputusan
tersebut biasanya dibuat dalam hubungan dengan orang lain dalam situasi : pasien, keluarga dan
profesi kesehatan lain. Ketika keputusan etik dibuat, setiap orang yang terlibat harus menghormati dan
menghargai sudut pandang orang lain. Melalui kolaborasi yang saling menghormati, keputusan terbaik
dapat dicapai meskipun dalam dilema yang sulit sekalipun. Perlu diperhatikan bahwa keputusan yang
dibuat bukan yang paling benar tetapi yang paling baik karena di dalam dilema etik tidak ada yang
benar maupun yang salah. Pada penyelesaian dilema etik kita kenal prinsip DECIDE yaitu :

• D = Define the problem (or problems)


• E = Ethical review
• C = Consider the options
• I = Investigate outcomes
• D = Decide on action
• E = Evaluate results

Contoh kasus dan penyelesaian menurut langkah DECIDE


Kasus Jari Bayi Tergunting
Dikutip dari Kompas, 10 Februari 1984
Alih-alih akan menggunting perban, ternyata yang terkena malah ujung jari bayi. Dan konyolnya
karena ketakutan, perawat yang melakukan hal itu bukannya langsung meminta pertolongan dokter,
melainkan malah membuang jari itu ke bak sampah. Kejadian itu mungkin tidak segera diketahui
kalau tak ada seorang staf RS anak di Salford (Inggris) tersebut yang melihat tangan bayi S, nama
bayi yang baru berusia tiga minggu itu berdarah. Pencarian segera dilakukan dan beruntung setelah
bak sampah dibongkar, ujung jari itu masih ada. Menurut keterangan juru bicara rumah sakit selasa
(8/2), dokter bedah pun segera menjahitkan kembali kedua bagian jari yang terpisah itu (Rtr/fit).

1. Memperjelas masalah
Pada kasus ini perlu ditambahkan tempat kejadian, situasi lingkungan di sekitar tempat
kejadian. Selain itu kita perlu mengkaji lebih jauh prosedur keperawatan yang seharusnya dilakukan,
dokumentasi keperawatan serta rekam medik. Adanya saksi baik dari perawat, dokter dan keluarga
pasien perlu dilakukan untuk menambah validitas data

2. Identifikasi komponen-komponen etik


Setelah masalah tersebut teridentifikasi, perawat harus menggambarkan komponen-komponen
etik yang terlibat. Sangatlah sulit untuk memutuskan masalah etik tanpa melibatkan pandangan hukum
dan terkadang etik dan hukum menimbulkan konflik tersendiri. Komponen etik dan hukum yang
terlibat dalam kasus ini meliputi negligence dan malapraktik.
3. Identifikasi orang yang terlibat
Pada kasus ini pelaku yang terlibat dalam permasalahan etik meliputi keluarga pasien, tenaga
kesehatan dan rumah sakit. Karena pasien yang menjadi korban adalah bayi maka penentu keputusan
terletak pada orang tua klien. Sedangkan tenaga kesehatan yang terlibat diantaranya perawat, dokter
dan staf rumah sakit yang melihat tangan bayi tersebut berdarah.

4. Identifikasi alternatif yang bisa diberikan


Walaupun dalam kasus ini mutlak adalah kesalahan perawat namun tetap diupayakan jalan
pengadilan merupakan solusi akhir yang akan diambil. Sesuai dengan kasus di atas perawat bersalah
terutama dari segi lalai, ceroboh sehingga mengakibatkan luka dan trauma fisik serta psikologis pada
pasien dan keluarga. Penyelesaian dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan seyogyanya tetap
lebih diutamakan. Seorang perawat juga seorang manusia yang juga tidak luput dari khilaf dan salah.
Adapaun alternatif-alternatif yang bisa diberikan adalah:

a. Menyelesaikan dengan jalan damai dan kekeluargaan. Cara ini ditempuh bila perawat mau
mengakui dan meminta maaf atas perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan. Konsekuensinya
perawat tersebut harus mau menanggung biaya perawatan serta biaya immaterial jika keluarga
memintanya. Besarnya biaya materiil dan immaterial ditentukan sesuai dengan kesepakatan antara
perawat dengan keluarga.
b. Apabila perawat lepas tangan dan tidak mau bertanggungjawab maka jalan terakhir adalah
pengadilan umum. Dengan demikian perawat dapat dituntut pasal berlapis baik hukum pidana,
hukum kesehatan, UU perlindungan konsumen dan pengadilan profesi.
5. Terapkan prinsip-prinsip etik
Prinsip-prinsip etik yang bisa kita terapkan pada kasus ini adalah :
a. Nonmaleficence (the duty to do no harm)
Dalam hal ini perawat menyalahi prinsip etik dengan melakukan suatu tindakan yang melukai
klien.

b. Beneficence (the duty to do good and actively prevent and remove harm)
Perawat telah menyalahi prinsip ini dengan melakukan perbuatan tidak semestinya. Selain itu
perawat tidak bertanggungjawab dan terkesan lari dari masalah dengan membuang potongan jari
ke tempat sampah.

c. Justice (the duty to treat the patient fairly)


Apapun keputusan etik yang diambil seharusnya lebih menjunjung tinggi keadilan bagi keluarga
dan pasien.

6. Memutuskan tindakan
Tindakan yang diambil adalah dengan mendiskusikan bersama antara pasien-perawat-dokter
dan pihak rumah sakit. Keputusan yang diambil dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip diatas.
Menurut pandangan penulis sebaiknya perawat bersedia mengakui dan meminta maaf kepada pihak
keluarga. Selain itu perawat harus bersedia mengganti biaya perawatan dan kerugian lain yang
diakibatkan oleh tindakannya.
Organisasi profesi dalam hal ini PPNI perlu memberikan keputusan tegas berupa mencabut
surat ijin praktek/kerja di institusi untuk memberikan kesempatan kepada perawat untuk evaluasi diri.
Sehingga diharapkan di masa mendatang tidak ditemukan lagi kejadian serupa.

Kode Etik Keperawatan Indonesia


Sebagai profesi yang turut serta mengusahakan tercapainya kesejahteraan fisik, material dan
spiritual untuk makhluk insani dalam wilayah Republik Indonesia, maka kehidupan profesi
keperawatan di Indonesia selalu berpedoman kepada sumber asalnya yaitu kebutuhan masyarakat
Indonesia akan pelayanan keperawatan.
Warga Keperawatan di Indonesia menyadari bahwa kebutuhan akan keperawatan bersifat
universal bagi klien (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat), oleh karenanya pelayanan yang
diberikan oleh perawat selalu berdasarkan pada cita-cita yang luhur, niat yang murni untuk
keselamatan dan kesejahteraan umat tanpa membedakan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur,
jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
Dalam melaksanakan tugas profesional yang berdaya guna dan berhasil, para perawat harus
mampu dan ikhlas memberikan pelayanan yang bermutu dengan memelihara dan meningkatkan
integritas pribadi yang luhur dengan ilmu dan keterampilan yang memenuhi standar serta kesadaran
bahwa pelayanan yang diberikan merupakan bagian dari upaya kesehatan secara menyeluruh.
Dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksankan tugas pengabdian untuk
kepentingan kemanusiaan, bangsa dan Tanah Air, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
menyadari bahwa perawat Indonesia yang berjiwa Pancasila dan berlandaskan pada UUD 1945
merasa terpanggil untuk menunaikan kewajiban dalam bidang keperawatan dengan penuh
tanggungjawab serta berpedoman kepada dasar-dasar seperti tertera dibawah ini:

Perawat dan Klien


1. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia,
keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit,
umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
2. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan
yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari klien.
3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan.
4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang
dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.

Perawat dan Praktek


1. Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang keperawatan melalui belajar terus
menerus.
2. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran
professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan klien.
3. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima
delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain.
4. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan
perilaku profesional.

Perawat dan Masyarakat


Perawata mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung
berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.

Perawat dan Teman Sejawat


1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga
kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam
mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
2. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
secara tidak kompeten, tidak etis dan ilegal.

Perawat dan Profesi


1. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan
keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan.
2. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan.
3. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja
yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi (PPNI 2014).

Pertanyaan ulangan :
1. Jelaskan pengertian dari etika!
2. Jelaskan pengertian etik profesi keperawatan!
3. Jelaskan enam asas etik yang menjadi pedoman!
4. Jelaskan model penyelesaian dilema etik!
5. Jelaskan kode etik keperawatan Indonesia!

DAFTAR PUSTAKA
Brown, K.H., 1993. Descriptive and normative ethics: Class, context and confidentiality for mothers
with HIV. Social Science and Medicine, 36(3), pp.195–202.
Kementerian Koordinator Pengembangan Manusia dan Kebudayaan, 2014. UU NOMOR 38 TAHUN
2014 _ Situs Resmi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Available at: http://www.kemenkopmk.go.id/content/uu-nomor-38-tahun-2014 [Accessed May
25, 2018].
Oreg, S. & Katz-gerro, T., 2006. Predicting Proenvironmental Behavior Cross-Nationally: Values, the
Theory of Planned Behavior, and Value-Belief-Norm Theory. Environment and Behavior, 38(4),
pp.462–483.
PPNI, 2014. Kode Etik Perawat Indonesia. PPNI. Available at:
http://www.observatorisdmkindonesia.org/wp-content/uploads/2014/09/13.-Code-of-Ethics-of-
Nurses-Ind-Ver.pdf [Accessed July 6, 2018].
BAB 3
EPIDEMIOLOGI DALAM KEPERAWATAN
Tujuan :

1. Mendiskusikan sejarah dari epidemiologi


2. Menjelaskan model host, agent dan environment
3. Menjelaskan teori kausalitas dalam sehat dan sakit
4. Menjelaskan imunitas dan mampu membedakan antara imunitas aktif, pasif, silang dan herd
5. Menjelaskan bagaimana epidemiologis menentukan risiko dalam populasi
6. Menggunakan metode epidemiologi untuk menggambarkan kesehatan kelompok

Konsep Penting :

1. Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian dan faktor-
faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan, kematian dalam
populasi manusia.
2. Derajat sehat dan sakit individu atau kelompok dapat dianalisis menurut pendekatan model
antara Agent, Host, dan Environment.
3. Tiga jenis imunitas yang dimiliki manusia yaitu imunitas didapat, aktif dan imunitas pasif.
4. Dalam batasan epidemiologi ini sekurang-kurangnya mencakup 3 elemen pendekatan yaitu
penyakit, populasi dan ekologi.
5. Surveilens Epidemiologi meliputi keterangan mengenai penderita penyakit, waktu, keadaan
vektor, tempat, dan faktor lain yang ada kaitannya dengan penyakit.
6. Unsur Surveilens Epidemiologi pada penyakit, terutama penyakit yang menular adalah
pencatatan kematian, laporan penyakit, laporan wabah, pemeriksaan laboratorium, penyakit
kasus, penyelidikan wabah/kejadian luar biasa, survei, penyelidikan tentang distribusi dari vektor
dan reservoir penyakit, keterangan mengenai penduduk dan lingkungan, penggunaan obat-
obatan, serum dan vaksin.
7. Pengukuran epidemiologi meliputi pengukuran angka penyakit dan pengukuran angka
mortalitas.
8. Sumber-sumber informasi utama epidemiologi, statistik vital, data sensus, laporan dan
pencatatan penyakit, monitoring lingkungan, survei kesehatan rumah tangga, survei kesehatan
nasional, studi observasi informal, studi penelitian dan registrasi kejadian vital.
9. Kriteria kausalitas diantaranya konsistensi, kekuatan, spesifitas, hubungan waktu, kongruensi,
sensitivitas, biologis/medis, plausibilitas, eksperimen dan penelitian serta faktor analogi.
10. Faktor-faktor dalam kausalitas penyakit meliputi faktor predisposing, faktor enabling, faktor
precipitating dan faktor reinforcing.
11. Populasi yang berisiko adalah kelompok populasi yang digunakan sebagai penyebut dan harus
dibatasi hanya pada mereka yang dapat terpajan atau mengalami penyakit, kondisi, cedera,
ketidakmampuan ataupun kematian.

Definisi Epidemiologi
Secara harfiah epidemiologi berasal dari kata “epi” yang berarti “permukaan, di atas,
menimpa”, demo berarti “orang, populasi, manusia” dan ologi berarti “ilmu tentang”. Dengan
demikian, istilah epidemiologi jika diartikan kata per kata memiliki arti “sesuatu yang menimpa
manusia”. Epidemiologi telah didefiniskan dengan berbagai cara. Salah satu definisinya adalah ilmu
yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian dan faktor-faktor yang mempengaruhi
frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan, kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi juga
meliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan, penyakit atau masalah kesehatan masyarakat
lainnya berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan, pekerjaan, perlikau, waktu,
tempat, orang dan sebagainya. Karakterisasi ini dilakukan guna menjelaskan distribusi suatu penyakit
atau masalah yang terkait dengan kesehatan jika dihubungkan dengan faktor penyebab. Selain
berfokus pada tipe dan keluasan cedera, kondisi atau penyakit yang menimpa suatu kelompok atau
populasi, epidemiologi juga menangani faktor risiko yang dapat memberikan dampak, pengaruh,
pemicu dan efek pada distribusi penyakit, cacat/defek, ketidakmampuan dan kematian (Timmreck TC
2005).

Sejarah Epidemiologi
Dalam sejarahnya, epidemiologi dikembangkan dengan menggunakan epidemi penyakit
menular sebagai suatu model studi. Landasan epidemiologi masih berpegang pada model penyakit,
metode dan pendekatannya. Dewasa ini epidemiologi sudah terbukti efektif dalam mengembangkan
hubungan sebab akibat pada kondisi-kondisi non infeksius seperti penyalahgunaan obat, bunuh diri,
kecelakaan lalu lintas, keracunan zat kimia, kanker dan penyakit jantung. Epidemiologi digunakan
untuk menentukan kebutuhan akan program-program pengendalian penyakit, untuk mengembangkan
program pencegahan dan kegiatan layanan kesehatan serta untuk menetapkan pola penyakit endemik,
epidemik dan pandemik. Endemik adalah berlangsungnya suatu penyakit pada tingkatan yang sama
atau keberadaan suatu penyakit yang terus menerus di dalam populasi atau wilayah tertentu.
Hiperendemik merupakan istilah yang menyatakan aktivitas yang terus-menerus melebihi prevalensi
yang diperkirakan, sering dihubungkan dengan populasi tertentu, populasi yang kecil atau populasi
yang jarang seperti yang ditemukan di rumah sakit, klinik, bidan atau institusi lain. Istilah ini juga
menunjukkan keberadaan penyakit menular dengan tingkat insidensi yang tinggi dan terus menerus
melebihi angka prevalensi normal dalam populasi dan menyebar merata pada semua usia dan
kelompok. Holoendemik menggambarkan suatu penyakit yang kejadiannya dalam populasi sangat
banyak dan umumnya terdapat di awal kehidupan pada sebagian besar anak dalam populasi,
contohnya adalah malaria. Epidemik adalah wabah atau munculnya penyakit tertentu yang berasal dari
sumber tunggal, dalam satu kelompok, populasi, masyarakat atau wilayah yang melebihi tingkatan
kebiasaan yang diperkirakan. Kejadian Luar Biasa (KLB) atau peningkatan secara tajam dari kasus
baru yang mempengaruhi kelompok tertentu biasanya juga disebut sebagai epidemik. Pandemik
adalah epidemik yang menyebar luas melintasi negara, benua atau populasi yang besar dan bahkan
kemungkinan seluruh dunia.
Secara umum sejarah epidemiologi dibagi ke dalam empat periode, yaitu :

1. Periode Kuno
Periode ini dimulai pada saat jaman Hippocrates yang dikenal sebagai bapak Kedokteran yang
berkembang semasa 460-375 sebelum masehi.

2. Masa Pertengahan
Masa pertengahan dimulai sejak awal tahun 1348 yang dikenal dengan jaman “Kematian hitam”.
Pada saat itu dikenal penyakit wabah dengan korban jiwa yang tidak sedikit.

3. Abad XVIII
Pada abad XVIII mulai terjadi peningkatan derajat kesehatan yang didukung dengan
berkembangnya penelitian-penelitian ke arah penyakit-penyakit menular. Dalam dunia keperawatan,
pada tahun 1820-1910 lahir tokoh yang dikenal sebagai simbol keperawatan dunia,
Florence Nightingale. Florence Nightingale mengemukakan konsep perawatan dengan
memperhatikan lingkungan sekitar klien. Florence berkeyakinan jika lingkungan diperbaiki maka
masa perawatan dapat dipersingkat.
4. Abad XIX : Epidemiologi Modern
Dalam epidemiologi modern telah memandang determinan penyakit secara holistik, oleh sebab itu
telah digunakan beberapa pendekatan diantaranya :

• Statistik yang berhubungan dengan keadaan yang mempengaruhi hygiene dan kesehatan
• Epidemiologi penyakit infeksi
• Epidemiologi penyakit kronis
• Eko-epidemiologi

Konsep Epidemiologi
Pada mulanya epidemiologi diartikan sebagai studi tentang epidemik. Hal ini berarti bahwa
epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja tetapi dalam perkembangan
selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi, sehingga dewasa ini
epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit pada manusia di dalam
konteks lingkungannya. Epidemiologi juga mencakup studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian
determinan-determinan penyakit tersebut. Dapat disimpulkan bahwa epidemiologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang penyebaran penyakit serta determinan-determinan yang mempengaruhi penyakit
tersebut (Notoatmodjo S 2003).
Di dalam batasan epidemiologi ini sekurang-kurangnya mencakup 3 elemen, yakni :
a. Mencakup semua penyakit
Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun penyakit non
infeksi, seperti kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrisi), kecelakaan lalu lintas maupun
kecelakaan kerja, sakit jiwa dan sebagainya. Bahkan di negara-negara maju, epidemiologi ini
mencakup juga kegiatan pelayanan kesehatan.
b. Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran dari penyakit-penyakit
individu maka epidemiologi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi penyakit dalam populasi
(masyarakat) atau kelompok.
c. Pendekatan ekologi
Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada keseluruhan lingkungan
manusia baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal inilah yang dimaksud pendekatan
ekologis. Terjadinya penyakit pada seseorang dikaji dari manusia dan total lingkungannya.

Konsep Penularan Penyakit


Beberapa konsep epidemiologi tentang penyakit yang berhubungan atau mempengaruhi
segitiga epidemiologi antara lain benda tak hidup (fomite), vektor, reservoir dan carrier. Fomite atau
benda mati adalah benda yang mempunyai peran dalam penularan penyakit. Fomite dapat berupa
pensil, pulpen, gelas, gagang pintu, mata pena, pakaian, atau benda mati lainnya yang
menghantarakan infeksi akibat terkontaminasi organisme penyebab penyakit yang kemudian disentuh
oleh orang lain. Vektor adalah serangga, misal lalat, kutu, nyamuk, hewan kecil seperti mencit, tikus
atau hewan pengerat lain. Vektor adalah setiap makhluk hidup selain manusia yang membawa
penyakit (carrier) yang menyebarkan dan menjalani proses penularan penyakit. Vektor menyebarkan
agen infeksi dari manusia atau hewan yang terinfeksi ke manusia atau hewan lain yang rentan melalui
kotoran, gigitan dan cairan tubuhnya atau secara tidak langsung melalui kontaminasi pada makanan.
Reservoir adalah manusia, hewan, tumbuhan, tanah, zat organik (seperti tinja dan makanan) yang
menjadi tempat tumbuh dan berkembangbiak organisme infeksius. Manusia sering berperan sebagai
reservoir sekaligus sebagai penjamu. Sedangkan carrier mengandung, menyebarkan dan merupakan
tempat persinggahan organisme penyebab infeksi. Kondisi carrier dapat berlangsung dalam
keseluruhan perjalanan penyakit atau selama perjalanan hidup manusia jika tidak diobati dan bahkan
tidak terlihat karena carrier mungkin tidak sakit (carrier yang sehat). Beberapa carrier dari penyakit
tertentu bisa terinfeksi dan menjadi carrier seumur hidup seperti Typhoid Mary. Ada enam tipe
carrier yang diidentifikasi oleh bidang ilmu kesehatan masyarakat yaitu :
Active carrier : seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme penyebab
penyakit dan kondisi ini sudah berlangsung selama beberapa waktu walaupun sudah sembuh dari
penyakitnya.
Convalescent carrier : seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme
penyebab penyakit dan berada dalam masa pemulihan, tetapi masih dapat menularkan penyakit ke
orang lain.
Healthy carrier : seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme penyebab
penyakit (patogen) dan berada dalam masa pemulihan, tetapi tidak menunjukkan gejala sakit.
Incubator carrier : seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme penyebab
penyakit (patogen), masih berada pada tahap awal penyakit serta menunjukkan gejala dan kemampuan
untuk menularkan penyakit.
Intermittent carrier : seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme penyebab
penyakit (patogen) dan secara berulang dapat menyebarkan penyakit.
Passive carrier : seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme penyebab
penyakit (patogen), tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda dan gejala penyakit. Di dalam
epidemiologi biasanya timbul pertanyaan yang perlu direnungkan yakni :

1. Siapa (who), siapakah yang menjadi sasaran penyebaran penyakit itu atau orang yang terkena
penyakit.
2. Di mana (where), di mana penyebaran atau terjadinya penyakit.
3. Kapan (when), kapan penyebaran atau terjadinya penyakit tersebut.
Jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan ini adalah merupakan faktor-faktor yang menentukan
terjadinya suatu penyakit. Dengan perkataan lain terjadinya atau penyebaran suatu penyakit
ditentukan oleh 3 faktor utama yakni orang, tempat dan waktu.

Manfaat Epidemiologi
Peranan epidemiologi, khususnya dalam konteks program Kesehatan dan Keluarga Berencana
adalah sebagai tool (alat) dan sebagai metode atau pendekatan. Epidemiologi sebagai alat diartikan
bahwa dalam melihat suatu masalah kesehatan selalu mempertanyakan siapa yang terkena masalah, di
mana dan bagaimana penyebaran masalah, serta kapan penyebaran masalah tersebut terjadi.
Demikian pula pendekatan pemecahan masalah tersebut selalu dikaitkan dengan masalah, di
mana atau dalam lingkungan bagaimana penyebaran masalah serta bilamana masalah tersebut terjadi.
Kegunaan lain dari epidemiologi khususnya dalam program kesehatan adalah ukuran-ukuran
epidemiologi seperti prevalensi, point of prevalence dan sebagainya dapat digunakan dalam
perhitungan-perhitungan : prevalensi, kasus baru, case fatality rate dan sebagainya.
Contoh Kasus : Typhoid Mary
Seorang koki asal Irlandia, Mary Mallon, disebut sebagai Typhoid Mary, dianggap sebagai
orang yang bertanggung jawab terhadap terjadinya 53 kasus demam tifoid dalam 15 tahun. Di awal
tahun 1900 an, terjadi sekitar 350.000 kasus tifoid setiap tahunnya di Amerika Serikat.
George Soper, seorang insinyur sanitasi, yang meneliti beberapa KLB demam tifoid yang
terjadi di New York tahun 1900 an, membuktikan bahwa persediaan makanan dan minuman tidak lagi
diduga sebagai media penyebaran penyakit tifoid. Soper mulai mencari media lain penyebaran
penyakit tersebut. Ia mulai menyelidiki manusia bukan fomite (benda mati) atau makanan maupun air.
Hasil penyelidikannya menunjukkan bahwa Mary Mallon telah bekerja sebagai juru masak di
banyak rumah yang terserang tifoid. Penyakit tampaknya selalu terjadi setelah ia berhenti dari
pekerjannya. Pemeriksaan bakteriologis pada tinja Mary Mallon memperlihatkan bahwa Mary
merupakan carrier tifoid kronis. Mary tampaknya menyadari bahwa dirinya menyebabkan orang lain
menjadi sakit sehingga jika terjadi tifoid, ia akan berhenti dan pindah tanpa meninggalkan alamat
yang jelas. Kasus Mary Mallon menunjukkan bahwa perhatian khusus perlu diberikan pada carrier
tifoid kronis yang menyebabkan dan menyebarkan penyakit. Layaknya 20% dari semua carrier tifoid
lainnya, Mary tidak mengalami sakit karena penyakit tersebut. Hasil investigasi epidemiologi
menunjukkan bahwa carrier mungkin luput diamati jika pengkajian epidemiologi hanya dibatasi pada
air, makanan dan mereka yang mempunyai sejarah tersebut.
Dari tahun 1907 sampai 1910, Mary ditahan oleh petugas kesehatan sampai dibebaskan
karena tuntutan hukum yang ia ajukan. The New York supreme Court membela kepentingan penduduk
dengan menjaganya tetap dalam tahanan dan isolasi. Typhoid Mary dibebaskan pada tahun 1910 dan
ia begitu cepat menghilang. Dua tahun kemudian, terjadi demam tifoid di Rumah Sakit New Jersey
dan Rumah Sakit New York. Lebih dari 200 orang terserang. Ternyata, Thyphoid Mary bekerja di
kedua Rumah sakit tersebut sebagai juru masak, dengan memakai nama yang berbeda. Insiden ini
menyadarkan petugas kesehatan masyarakat dan ahli epidemiologi bahwa pengawasan yang cermat
dan menjaga jejak carrier adalah sangat penting untuk dilakukan. Insiden itu juga memperlihatkan
bahwa carrier tifoid jangan sampai diperbolehkan menangani makanan atau minuman untuk
konsumsi publik. Di tahun selanjunya, Typhoid Mary akhirnya bersedia diisolasi. Seandainya ia mau,
Mary dapat meminta agar kandung empedunya diangkat, yang terbukti dapat menyembuhkan 60%
carrier tifoid. Thyphoid Mary meninggal pada usia 70 tahun.
Investigasi, penelusuran, dan pengendalian terhadap tipe penyakit tertentu yang dapat
mempengaruhi sebagian besar populasi merupakan ajaran epidemiologis yang didapat dari kasus
Typhoid Mary. Perlindungan terhadap persediaan makanan untuk umum sekali lagi ditekankan
demikian pula dengan aspek investigatif pada pengendalian penyakit dan kedua hal tersebut semakin
penting dan berarti dalam kesehatan masyarakat.

Model Host, Agent dan Environment


Menurut pendekatan model ini tingkat sehat dan sakit individu atau kelompok ditentukan oleh
hubungan dinamis antara Agent, Host, dan Environment.

Agent: Berbagai faktor internal dan eksternal yang dengan atau tanpanya dapat menyebabkan
terjadinya penyakit atau sakit. Agen ini bisa bersifat biologis, kimia, fisik, mekanis, atau psikososial.
Jadi Agent ini bisa berupa yang merugikan kesehatan (bakteri, stress) atau yang meningkatkan
kesehatan (nutrisi dan lainnya).
Host: Seseorang atau sekelompok orang yang rentan terhadap penyakit/sakit tertentu. Faktor host
antara lain yaitu situasi atau kondisi fisik dan psikososoial yang menyebabkan seseorang yang
berisiko menjadi sakit. Misalnya: Riwayat keluarga, usia, gaya hidup dan lainnya.
Environment: seluruh faktor yang ada diluar host.

• Lingkungan fisik: tingkat ekonomi, iklim, kondisi tempat tinggal, penerangan, kebisingan.
• Lingkungan sosial: hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial, misalnys: stress, konflik,
kesulitan ekonomi, krisis hidup.
Model ini menyatakan bahwa sehat dan sakit ditentukan oleh interaksi yang dinamis dari ketiga
variabel tersebut. Selain dalam keperawatan komunitas model ini juga dikembangkan dalam teori
umum tentang berbagai penyebab penyakit.
Pengertian dan Jenis-jenis Imunitas
Imunisasi: Melindungi Masyarakat Terhadap Penyakit

Upaya imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya ini merupakan salah
satu tindakan pencegahan penyebaran penyakit ke wilayah lain yang terbukti sangat cost effective.
Dengan upaya imunisasi terbukti bahwa penyakit cacar telah tereliminasi dan Indonesia dinyatakan
bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974 (Kemenkes 2017).

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Imunisasi


merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit menular yang merupakan salah
satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan sebagai salah satu bentuk nyata komitmen
pemerintah untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya untuk
menurunkan angka kematian pada anak.
Mulai tahun 1977, upaya imunisasi diperluas menjadi program pengembangan imunisasi
dalam rangka pencegahan penularan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
yaitu tuberkulosis, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Dengan upaya imunisasi pula,
Indonesia sudah dapat menekan penyakit polio dan sejak tahun 1995 tidak ditemukan lagi virus polio
liar yang berasal dari Indonesia (indigenous). Hal ini sejalan dengan upaya global untuk membasmi
polio di dunia dengan Program Eradikasi Polio (ERAPO). Penyakit lain yang sudah dapat ditekan
sehingga perlu ditingkatkan programnya adalah tetanus maternal dan neonatal serta campak. Untuk
tetanus telah dikembangkan upaya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (ETMN).

Masalah yang harus dihadapi sekarang adalah munculnya kembali PD3I yang sebelumnya
telah berhasil ditekan (Reemerging Diseases), maupun penyakit menular baru (New Emerging
Diseases) yaitu penyakit-penyakit yang tadinya tidak dikenal (memang belum ada, atau sudah ada
tetapi penyebarannya sangat terbatas; atau sudah ada tetapi tidak menimbulkan gangguan
kesehatan yang serius pada manusia).
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyelenggaraan Imunisasi
terus berkembang antara lain dengan pengembangan vaksin baru (Rotavirus, Japanese
Encephalitis, Pneumococcus, Dengue Fever dan lain-lain) serta penggabungan beberapa jenis
vaksin sebagai vaksin kombinasi misalnya DPT-HB-Hib.
Terdapat tiga jenis imunitas yang dimiliki manusia yaitu imunitas didapat, aktif dan imunitas
pasif. Imunitas didapat diperoleh karena pernah menderita suatu penyakit yang menstimulasi sistem
perubahan alami tubuh atau karena sengaja (secara buatan) menstimulasi sistem pertahanan melalui
imunisasi. Pada imunisasi aktif, tubuh membentuk antibodinya sendiri. Hal ini dapat dilakukan
melalui pemberian vaksin atau karena harus merespon patogen penyakit tertentu yang menginvasi
tubuh. Imunitas aktif dan didapat memang serupa. Imunitas pasif didapat melalui transfer
transplasental imunitas ibu terhadap terhadap penyakit ke janinnya. Imunitas pasif juga dapat
diperoleh dengan memasukkan antibodi yang sudah terbentuk ke dalam penderita yang rentan.
Proses imunisasi sebenarnya adalah pengenalan suatu substansi yang dapat menimbulkan
sistem imun melalui pembentukan antibodi penolak penyakit. Ada bebarapa substansi yang diberikan
melalui oral (seperti polio), tetapi kebanyakan diberikan melalui injeksi/suntikan atau tusukan pada
kulit. Antigen spesifik yang berasal dari bakteri, virus atau toksin mikroba yang diinaktivasi
dimasukkan ke dalam tubuh dalam bentuk vaksin. Antigen merupakan suatu substansi yang mampu
menstimulasi pembentukan antibodi dalam tubuh. Kemampuan sistem antigen untuk mendapatkan
kekuatan, aktivitas dan keefektifan sehingga dapat memberikan reaksi terhadap suatu penyakit disebut
antigenisitas. Tujuan pemberian vaksin adalah agar tubuh dapat memiliki antibodi yang dapat bekerja
dengan cara yang spesifik dan dalam jalur yang dapat ditelususri di dalam sistem pertahanan tubuh.
Antigen yang dimasukkan menstimulasi sistem imun sehingga tubuh mengira dirinya diserang
penyakit. Laporan terakhir menunjukkan bahwa revaksinasi mungkin diperlukan untuk beberapa
penyakit ketika seseorang semakin berumur. Booster shot akan menjaga agar proses imun di dalam
tubuh tetap aktif. Jika antigen dan antibodi untuk sementara waktu habis, booster shot diperlukan
untuk memperkuat atau mereaktivasi imun. Jenis-jenis penyakit yang dapat dilawan dengan vaksin
diantaranya :

Antraks Pneumonia
Kolera Polio
Difteri Rabies

Campak jerman (rubella) Smallpox


Hepatitis A Spotted
Hepatitis B fever
Tetanus
Influenza
Campak Tuberkulosis
Demam
Meningitis
tifoid
Gondong
Tifus
Pertusis
Batuk rejan
Pes
Yellow fever

Konsep imunitas kelompok (herd immunity) ini didasarkan pada pemikiran yang menyatakan bahwa
jika massa (populasi atau kelompok) dilindungi dengan ketat melalui imunisasi, peluang munculnya
epidemik besar dapat dikurangi sesedikit mungkin. Imunitas kelompok juga dianggap sebagai
resistensi yang dimiliki suatu populasi atau kelompok terhadap invasi dan penyebaran penyakit
infeksius.
Pencegahan dan pengendalian penyakit infeksius dan menular merupakan dasar bagi semua tindakan
di bidang kesehatan masyarakat. Ada beberapa metode pencegahan dan juga beberapa tindakan
pengendalian yang telah dikembangkan. Di dalam pengendalian penyakit menular ini, terdapat tiga
faktor kunci yaitu :

• Memindahkan, menghilangkan atau menekan penyebab atau sumber infeksi.


• Memutus atau menghalangi mata rantai penularan penyakit.
• Melindungi populasi yang rentan terhadap infeksi dan penyakit.

Surveilens Epidemiologi
Surveilens Epidemiologi yaitu pekerjaan praktis yang utama dari “ ahli epidemiologi”. Pada
awalnya “metode epidemiologi” digunakan untuk mempelajari epidemi, kemudian berkembang
menjadi mempelajari penyakit infeksi atau penyakit menular, dan berkembang lagi menjadi
mempelajari penyakit kronis termasuk penyakit kekurangan gizi, kanker, kardiovaskuler, kecelakaan
dan lain-lain.
Perkembangan Surveilens Epidemiologi juga diawali dengan surveilens penyakit menular,
kemudian berkembang ke penyakit tidak menular, seperti cacat bawaan, kekurangan gizi dan lain-lain.
Surveilens epidemiologi saat ini juga digunakan untuk menilai, memonitor, mengawasi dan menyusun
rencana program kesehatan secara umum. Penjelasan tentang Surveilens Epidemiologi yang meliputi
perkembangan istilahnya, elemennya, penggunaannya, kerjasama internasional dan pelaksanaannya di
Indonesia dibahas dibawah ini.

Perkembangan Istilah Surveilens


Istilah “Surveillance” telah lama digunakan dalam epidemiologi, pada awalnya “Surveillance”
diartikan sebagai semacam observasi dari seorang atau orang-orang yang diperkirakan menderita
penyakit menular dengan melakukan pengawasan medis, tanpa memberi batasan kebebasan dari orang
yang diawasi untuk bergerak. Observasi dilakukan khususnya pada penderita penyakit menular yang
berbahaya seperti kolera, pes, cacar, dan sifilis. Waktu observasi sama dengan masa tunas penyakit
penderita yang diawasi. Tujuan utama pengamatan yakni agar segera dapat memberikan tindakan dan
isolasi pada penyakit yang muncul pada kasus yang dicurigai berisiko.
Arti dari “Surveillance” kemudian berkembang dan lebih meluas cakupannya. Istilah
“Surveillance” pada tahun 1950 dipakai dalam hubungan suatu penyakit seluruhnya dan bukan pada
penderita saja. Pada waktu itu, mulai diterapkan program pemberantasan penyakit malaria, cacar dan
kusta. Evaluasi untuk melihat keberhasilan dari program tersebut dilakukan dengan melihat
penurunan jumlah kejadian dan lokasi terdapat kejadian tersebut. “Surveillance” ini membutuhkan
ilmu epidemiologi, sehingga disebut “Epidemiological Surveillance”, yang kalau diartikan dalam
bahasa Indonesia adalah Surveilans Epidemiologi. Berdasarkan penjelasan tersebut, Surveilans
Epidemiologi meliputi keterangan mengenai penderita penyakit, waktu, keadaan vektor, tempat, dan
faktor lain yang ada kaitannya dengan penyakit (Notoatmodjo S 2003).
Pendapat orang pada awalnya adalah penyakit menular hanya karena satu faktor saja yakni
kuman, tetapi pendapat orang sekarang, meskipun kuman dibutuhkan untuk menyebakan infeksi,
kuman tersebut dalam tubuh tidak selalu harus menyebabkan satu penyakit atau menularkan penyakit
tersebut lebih lanjut. Faktor lain seperti gaya hidup penderita, seberapa besar paparan dari infeksi,
lingkungan, jenis dan lama penularan, keadaan secara umum dan gizi penderita ikut menjadi penentu
terjadinya penyakit.
Surveilans Epidemiologi kemudian berkembang lagi menjadi kegiatan tersendiri, yakni
mengumpulkan, menganalisis data dan menyebarluaskan informasi berdasarkan hasil analisis kepada
pihak yang bersangkutan.
Berdasarkan pejelasan sebelumnya, maka surveilans epidemiologi memiliki ciri khas yakni :

1. Pengumpulan data epidemiologi secara terus menerus, sistematis dan teratur.


2. Pengolahan, analisis dan interpretasi data akan menghasilkan informasi.
3. Penyebaran informasi dilakukan kepada orang atau lembaga yang bersangkutan.
4. Informasi tersebut digunakan untuk memantau, menilai dan merencanakan kembali program atau
pelayanan kesehatan.

Unsur-Unsur dari Surveilens Epidemiologi


Data dikumpulkan dari berbagai sumber dan berbeda antar satu negara dan negara yang lain.
Sumber tersebut disebut unsur Surveilens Epidemiologi. Unsur Surveilens Epidemiologi untuk
penyakit, terutama penyakit menular yakni sebagai berikut (Nieto FJ 2002):

1. Pencatatan Kematian
Pencatatan kematian yang dilakukan di tingkat desa dilaporkan ke Kantor Kelurahan seterusnya
ke Kantor Kecamatan dan Puskesmas dan dari Kantor Kecamatan dikirim ke Kantor Kabupaten
Daerah Tingkat II. Pada beberapa daerah tertentu, Amil yaitu yang memandikan mayat berperan
dalam melaporkan kematian tertentu di desa-desa. Beberapa seminar di Indonesia telah diadakan
pula untuk menilai dan membahas usaha untuk meningkatkan kelengkapan pencatatan kematian,
yang validitasnya relatif lebih baik karena didiagnosis oleh dokter. Unsur ini akan bermanfaat bila
data pada pencatatan kematian itu cepat diolah dan hasilnya segera diberitahukan kepada yang
berkepentingan.

2. Laporan Penyakit
Unsur ini penting untuk mengetahui distribusi penyakit menurut waktu, apakah musiman, “cyclic,
atau sekular”. Dengan demikian kita mengetahui pula ukuran endemis suatu penyakit. Bila terjadi
lonjakan frekuensi penyakit melebihi ukuran endemis berarti terjadi kejadian luar biasa pada
daerah atau lokasi tertentu. Macam data yang diperlukan sesederhana mungkin, variabel “orang”
cukup nama dan umurnya; variabel tempat, cukup alamatnya. Dan yang tidak boleh dilupakan
adalah diagnosis penyakit dan kapan mulai timbulnya penyakit tersebut.

3. Laporan Wabah
Penyakit tersebut terjadi dalam bentuk wabah, misalnya keracunan makanan, influenza, demam
berdarah, dan lain-lain. Laporan wabah dengan distribusi penyakit menurut waktu, tempat dan
orang, penting artinya untuk menganalisis dan menginterpretasikan data dalam rangka
mengetahui sumber dan penyebab wabah tersebut.

4. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium merupakan suatu sarana yang penting untuk mengetahui kuman penyebab penyakit
menular dan pemeriksaan tertentu untuk penyakit-penyakit lainnya, misalnya kadar gula darah
untuk penyakit Diabetes Mellitus, Trombosit untuk penyakit DBD, dan sebagainya.

5. Penyelidikan Kasus
Penyelidikan kasus dilakukan untuk dapat mengetahui mengenai riwayat alamiah penyakit yang
belum diketahui secara umum tetapi sedang terjadi pada satu individu atau lebih.

6. Penyelidikan Wabah/Kejadian Luar Biasa


Penyelidikan wabah dilakukan jika terjadi kenaikan frekuensi penyakit yang lebih dari yang biasa
terjadi di lokasi yang jika dilakukan analisis data sekunder, akan diketahui terjadi kenaikan
frekuensi kasus. Selain penyelidikan epidemi di lapangan, dibutuhkan juga diagnosis klinis dan
diagnosis laboratoris. Istilah lain dari wabah yang terjadi adalah Kejadian Luar Biasa (KLB).
Pelaksanaan teknis dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1501/Menteri/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang dapat Menimbulkan
Wabah dan Upaya Penanggulangan. Upaya penanggulangan KLB dilakukan kurang dari 24 (dua
puluh empat) jam terhitung sejak terjadi KLB berdasarkan pasal 14.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau
kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu,
dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Disamping penyakit
menular, penyakit yang juga dapat menimbulkan KLB adalah penyakit tidak menular, dan
keracunan. Keadaan tertentu yang rentan terjadinya KLB adalah keadaan bencana dan keadaan
kedaruratan (Kemenkes 2011).
Suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai
berikut:
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
c. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
d. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun
sebelumnya.
e. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
per bulan pada tahun sebelumnya.
f. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.
g. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.
Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat. Meliputi: penyelidikan epidemiologi; penatalaksanaan
penderita, yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita,
termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit;
penanganan jenazah akibat KLB/wabah; penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya
penanggulangan lainnya, mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1501/Menteri/Per/X/2010. Program Penanggulangan KLB adalah suatu proses manajemen
penanggulangan KLB yang bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat.
Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-KLB), yang
dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan penanggulangan KLB secara dini dengan
melakukan kegiatan untuk mengantisipasi KLB. Kegiatan yang dilakukan berupa pengamatan
yang sistematis dan terus-menerus yang mendukung sikap tanggap/waspada yang cepat dan tepat
terhadap adanya suatu perubahan status kesehatan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah
pengumpulan data kasus baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi terjadi KLB secara
mingguan sebagai upaya SKD-KLB. Data-data yang telah terkumpul dilakukan pengolahan dan
analisis data untuk penyusunan rumusan kegiatan perbaikan oleh tim epidemiologi Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/Menteri/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular
Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan, maka penyakit DBD
harus dilaporkan segera dalam waktu kurang dari 24 jam. Dalam rangka mengantisipasi wabah
secara dini, dikembangkan istilah kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan lebih dini
terhadap kejadian wabah. Tetapi kelemahan dari sistem ini adalah penentuan penyakit didasarkan
atas hasil pemeriksaan klinik laboratorium sehingga seringkali KLB terlambat diantisipasi
(Sidemen A 2003).
Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru 2 telah mengembangkan suatu sistem
surveilans dengan menggunakan teknologi informasi (computerize) yang disebut dengan Early
Warning Outbreak Recognition System (EWORS). EWORS adalah suatu sistem jaringan
informasi yang menggunakan internet yang bertujuan untuk menyampaikan berita adanya
kejadian luar biasa pada suatu daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS secara cepat (Badan
Litbangkes, Kemenkes). Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui
dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini mungkin.
Dalam masalah DBD kali ini EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan data kasus
DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari
seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia (Sidemen A 2003).

7. Survei
Survei ialah suatu cara penelitian epidemiologi untuk mengetahui prevalensi penyakit. Dengan
ukuran ini diketahui luas masalah penyakit tersebut. Bila setelah disurvei pertama dilakukan
pengobatan terhadap penderita, maka dengan survei kedua dapat ditentukan keberhasilan
pengobatan tersebut.

8. Penyelidikan tentang distribusi dari vektor dan reservoir penyakit


Penyakit zoonosis terdapat pada manusia dan binatang; dalam hal ini binatang dan manusia
merupakan reservoir. Penyakit malaria ditularkan oleh vektor Anopheles, dan penyakit demam
berdarah ditularkan oleh vektor Aedes Aegypti. Vektor-vektor tersebut perlu diselidiki ahli
entomologi untuk mengetahui apakah mengandung plasmodium malaria, atau virus dari demam
berdarah.

9. Penggunaan Obat-obatan, Serum dan Vaksin


Keterangan yang menyangkut penggunaan bahan-bahan tersebut, yaitu mengenai banyak, jenis
dan waktu memberi petunjuk kepada kita mengenai masalah penyakit. Disamping itu dapat pula
dikumpulkan keterangan mengenai efek samping dari bahan-bahan tersebut.

10. Keterangan Mengenai Penduduk dan Lingkungan


Keterangan tentang penduduk penting untuk menetapkan “population at risk”. Persediaan bahan
makanan penting diketahui apakah ada hubungan dengan kekurangan gizi, faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan kependudukan dan lingkungan ini perlu selalu dipikirkan dalam rangka
analisis epidemiologis. Data atau keterangan mengenai kependudukan dan lingkungan itu tentu
harus didapat di lembaga-lembaga non kesehatan. Dari beberapa unsur tersebut, seorang
epidemiologis mendapat keterangan untuk mengetahui dan melengkapi gambaran epidemiologi
suatu penyakit.

Kegunaan Surveilens Epidemiologi


Surveilens epidemiologi pada umumnya digunakan untuk:

1. Mengetahui dan melengkapi gambaran epidemiologi dari suatu penyakit.


2. Untuk menentukan penyakit mana yang diprioritaskan untuk diobati atau diberantas.
3. Untuk meramalkan terjadinya wabah.
4. Untuk menilai dan memantau pelaksanaan program pemberantasan penyakit menular, dan
program-program kesehatan lainnya seperti program mengatasi kecelakaan, program kesehatan
gigi, program gizi, dll.
5. Untuk mengetahui jangkauan atau cakupan dari pelayanan kesehatan.

Pengukuran Epidemiologi
Untuk mengetahui kejadian dan pola suatu penyakit atau permasalahan yang terjadi di
masyarakat digunakan alat atau metode yang dapat dipakai sebagai tolok ukur atau indikator. Alat
ukur yang sering dipakai adalah ratio dan rate. Rasio atau proporsi digunakan untuk membandingkan
frekuensi suatu penyakit/masalah pada dua kelompok individu atau lebih, misalnya frekuensi penyakit
DBD pada kelompok A dan B. Sedangkan rate dipakai untuk menyatakan frekuensi distribusi suatu
penyakit atau suatu peristiwa yang terjadi di masyarakat, misalnya jumlah kematian penduduk di Kota
Surabaya karena DBD adalah 20 orang per 1000 penduduk.
Rate adalah pernyataan numerik, yang menggunakan sebuah rumus untuk menghitung
frekuensi suatu kejadian yang berasal dari pembagian jumlah kasus (pembilang) dengan jumlah
populasi total yang mengalami kejadian tersebut (penyebut atau populasi berisiko), kemudian hasilnya
dikalikan 100, 1000 atau 10000 (suatu konstanta) untuk mengetahui jumlah kasus yang terjadi pada
unit populasi tersebut.

Rate = Jumlah kasus X 1000

Populasi di area dalam periode waktu tertentu

Rasio adalah hubungan dalam angka, tingkatan atau penjumlahan yang terbentuk antara dua
hal; hubungan yang kuat dalam hal jumlah atau tingkatan di antara dua hal serupa, misalnya 25 laki-
laki terhadap 30 perempuan. Karena sifatnya yang lebih umum, rasio merupkan angka relatif yang
menunjukkan tingkatan suatu kejadian yang berkaitan dengan kejadian lain. Semua rate dapat
dianggap rasio, tetapi rasio belum tentu rate. Dalam epidemiologi, rasio kurang bermanfaat
dibandingkan rate karena elemen waktunya dihilangkan sehingga hasilnya lebih umum (Friedman GD
2000).
Proporsi adalah suatu bentuk persentase, sementara persentase merupakan tipe khusus
proporsi. Dalam epidemiologi jika jumlah orang yang saat itu mengalami penyakit atau kondisi
dibandingkan dengan keseluruhan jumlah orang yang pernah mengalami penyakit atau kondisi itu, hal
ini disebut proporsi. Jika dinyatakan dalam perbandingannya dengan populasi keseluruhan, hal itu
disebut rate. Dalam epidemiologi, salah satu rasio yang digunakan adalah rasio kematian bayi, yang
umumnya dinyatakan sebagai jumlah kematian bayi dibandingkan dengan jumlah kelahiran hidup.
Total jumlah angka kematian akibat penyebab tertentu dapat dinyatakan sebagai suatu proporsi dari
semua kematian, tetapi tidak untuk semua kelahiran.

Pengukuran Angka Penyakit (Morbiditas)


Pengukuran frekuensi penyakit dititikberatkan pada angka kesakitan dan angka kematian yang terjadi
pada masyarakat. Pengukuran angka kesakitan relatif lebih sulit dibandingkan dengan angka
kematian.
Incidence Rate
Incidence rate dari suatu penyakit adalah jumlah kasus baru yang terjadi di kalangan penduduk
selama periode waktu tertentu. Rumus yang digunakan :

Incidence rate = Jumlah kasus suatu penyakit selama periode tertentu X 1000
Populasi yang mempunyai risiko tertular penyakit yang sama

Attack rate
Bila penyakit terjadi secara mendadak dan orang yang menderita dalam jumlah besar, seperti
keracunan makanan maka formula yang dipakai untuk menghitung adalah attack rate. Rumus yang
digunakan :

Attack rate = Jumlah orang yang sakit X 1000


Populasi yang mempunyai risiko

Prevalence rate
Frekuensi penyakit lama dan baru yang terjadi pada suatu masyarakat pada waktu tertentu. Bila
prevalence rate ditentukan pada suatu saat, misalnya pada bulan Juli 2018, maka disebut sebagai
point prevalence rate, tetapi jika ditentukan dalam satu periode waktu tertentu misalnya 1 tahun (1
Januari 2018 sampai 31 desember 2018) maka disebut sebagai prevalence rate. Rumus yang
digunakan :

Prevalence rate = Jumlah orang yang menderita penyakit pada periode tertentu X
1000
Jumlah penduduk seluruhnya

Pengukuran Angka Kematian (Mortalitas)


Pengukuran angka kematian jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan pengukuran angka kesakitan,
karena kejadiannya sudah pasti dan lebih mudah untuk mendapatkan datanya dari sumber-sumber
yang pasti. Angka kematian yang sering digunakan adalah Angka Kematian Kasar, Angka Kematian
Bayi, Angka Kematian Ibu, Angka Kasus Fatal dan Angka Kematian Neonatal.
Angka Kematian Kasar
Angka Kematian Kasar merupakan jumlah seluruh kematian selama tahun berjalan dibagi jumlah
penduduk pertengahan tahun. Rumus yang digunakan :

AKK = Jumlah seluruh kematian X 1000


Jumlah Penduduk Pertengahan tahun

Angka Kematian Bayi


Angka Kematian Bayi adalah angka kematian anak berumur kurang dari satu tahun. AKB merupakan
indikator penting dalam menilai status kesehatan masyarakat yang meliputi keadaan tingkat ekonomi,
sanitasi, gizi, pendidikan dan fasilitas kesehatan yang terdapat di suatu negara. Rumus yang
digunakan :

AKB = Jumlah kematian bayi < 1 tahun X 1000


Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama
Angka Kematian Ibu
Angka Kematian Ibu oleh sebab kehamilan merupakan indikator penting pelayanan obstetri dan
keberhasilan program keluarga berencana. Selain itu juga bisa dipakai sebagai tolok ukur
pengembangan status sosial ekonomi masyarakat. Rumus yang digunakan :

AKI = Jumlah kematian ibu karena kehamilan, kelahiran dan nifas X 1000
Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama

Angka Kasus Fatal


Angka Kasus Fatal merupakan persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu yang dipakai
untuk menentukan derajat keganasan atau kegawatan dari penyakit tersebut. Rumus yang digunakan :
AKF = Jumlah kematian akibat suatu penyakit X 1000
Jumlah seluruh kasus penyakit yang sama

Angka Kematian Neonatal


Angka Kematian Neonatal adalah jumlah kematian bayi berumur kurang dari 4 minggu atau 28 hari
per 1000 kelahiran hidup. Rumus yang digunakan :

AKN = Jumlah kematian bayi < 28 hari X 1000


Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama
Angka Kematian Pasca Neonatal
Angka Kematian Pasca Neonatal diperlukan untuk menelusuri kematian di negara belum
berkembang, terutama pada wilayah tempat bayi meninggal pada tahun pertama kehidupannya
akibat malnutrisi, defisiensi nutrisi, dan penyakit infeksi.

Angka Kematian Pasca Neonatal = Jumlah kematian bayi usia 28 hari - 1 tahun X 1000

Jumlah kelahiran hidup di tahun yang sama

Sumber-sumber Informasi Utama Epidemiologi


Statistik Vital
Data Statistik Vital juga disebut kejadian vital, mengacu pada proses pengumpulan data dan
penerapan metode statistik dasar pada data tersebut guna mengidentifikasi fakta-fakta kesehatan yang
vital di dalam suatu masyarakat, populasi atau wilayah tertentu. Data morbiditas, mortalitas, harapan
hidup, kelahiran, kematian, pernikahan, perceraian, data kependudukan dan sensus, semuanya
merupakan data statistik vital. Data statistik vital mencakup data populasi yang dipadukan dengan
informasi yang berkaitan dengan status kesehatan, penyakit, cedera dan peristiwa kematian.
Singkatnya, data statistik vital terdiri dari semua data penduduk ditambah dengan data yang berkaitan
dengan kesehatan (penyakit). Informasi yang diperoleh dari pengumpulan, analisis, dan distribusi data
penting untuk perencanaan dan prediksi pergerakan dan perubahan penduduk. Informasi kematian dan
kelahiran merupakan inti dari dan sangat berguna di dalam perencanaan layanan kesehatan.
Hal yang diperlukan untuk membuat data sensus adalah laporan dan pencatatan penyakit,
monitoring lingkungan, survei kesehatan rumah tangga, survei kesehatan nasional, studi observasi
informal, studi penelitian, dan registrasi kejadian vital. Registrasi kejadian vital adalah pencatatan
kelahiran, kematian, status perkawinan, abortus, dan penyakit yang harus dilaporkan, serta pencatatan
dan penelusuran riwayat penderita penyakit menular tertentu.

Kausalitas Dalam Epidemiologi


Proses mempelajari serangkaian peristiwa yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit di
komunitas melibatkan pengembangan hubungan sebab akibat yang menghasilkan kesimpulan.
Kausalitas atau hubungan kausal berkaitan dengan hubungan sebab akibat, yang digunakan untuk
memastikan bagaimana kejadian atau lingkungan yang berbeda berhubungan satu sama lain dan
bagaimana kejadian tersebut bisa berhubungan. Contohnya bagaimana satu tipe pajanan menyebabkan
suatu penyakit atau bagaimana pajanan tertentu menyebabkan KLB penyakit dalam populasi.

Necessary dan Sufficient sebagai Konsep Kausalitas Penyakit


Pengkajian kausalitas menggunakan beberapa pendekatan pemikiran kritis. Untuk menemukan
hubungan sebab akibat, diperlukan keberadaan beberapa unsur tertentu untuk menimbulkan sebuah
penyakit. Satu unsur kausalitas yang diperlukan disebut necessary (keberadaan). Necessary mengacu
pada konsep bahwa suatu variabel (patogen atau kejadian) harus selalu ada dan mendahului suatu
akibat, menghasilkan hubungan sebab akibat. Bagian akibat tidak terbatas pada penyebab satu
kejadian atau variabel.
Istilah kausalitas kedua adalah sufficient (kecukupan). Sufficient mengacu pada konsep bahwa
variabel tertentu pasti menghasilkan suatu akibat atau paling tidak memprakarsai munculnya akibat.
Sebuah patogen mungkin diperlukan (necessary) untuk menyebabkan terjadinya penyakit, tetapi
patogen itu juga harus ada dalam jumlah yang cukup (sufficient) untuk menyebabkannya. Kedua
variabel tersebut mungkin ada bersamaan, tetapi sebenarnya hanya satu yang menyebabkan penyakit
dan oleh karena itu, patogen perlu ada untuk menetapkan hubungan sebab akibat yang dapat
diprediksi. Patogen mungkin selalu ada dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan penyakit,
tetapi kondisi yang diperlukan mungkin tidak ada.
Contohnya, bakteri selalu ada dalam mulut, tetapi tidak menyebabkan kerusakan gigi kecuali
lingkungan mulut mendukung. Jika media yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri tidak tersedia,
bakteri tidak akan berproduksi, tumbuh atau menyebabkan kerusakan gigi. Sikat gigi membersihkan
plak yang merupakan media pertumbuhan bakteri yang menyebabkan karies dan unsur yang
diperlukan (necessary) tidak ada walaupun bakteri dalam jumlah yang cukup memang ada. Sepuluh
kriteria kausalitas diantaranya (Phillips & Goodman 2004):

1. Konsistensi.
Jika variabel, faktor atau peristiwa yang sama muncul dan muncul lagi dalam keadaan yang
berbeda dan memiliki hubungan berulang yang sama dengan penyakit (Pada penyakit Kuru di
Papua Nugini penduduk asli, tanpa memandang pria, wanita, ataupun usianya, yang selalu
memakan otak kerabatnya yang sudah meninggal akan memperlihatkan gejala penyakit Kuru).

2. Kekuatan.
Jika hubungan menunjukkan bahwa faktor tertentu menyebabkan beberapa penyakit atau KLB
penyakit lebih mungkin terjadi akibat keberadaan satu faktor dibandingkan keberadaan faktor atau
peristiwa lain dan penyakit itu terjadi dalam tahap yang lebih parah atau dalam jumlah yang lebih
besar. Hasil pengamatan Dr. John Snow dalam epidemik Kolera tahun 1854 memperlihatkan
bahwa semakin banyak bakteri kolera yang ada, semakin parah penyakit yang diderita dan
semakin besar kemungkinan terkena penyakit.

Peta asli Dr. John Snow menunjukkan area dari kasus epidemik kolera di London

3. Spesifitas.
Jika hubungan sebab akibat dari suatu KLB berhubungan secara khusus dengan satu atau dua
penyakit yang saling berkaitan. Hubungan sebab akibat itu memang memiliki kemampuan
menghasilkan hubungan negatif sejati, yang dalam sebuah KLB, pengkajian sebab akibat
difokuskan pada mereka yang tidak terjangkit penyakit. Kelompok masyarakat dalam populasi
selama KLB berlangsung tampaknya termasuk dalam mereka yang tidak terkena penyakit dan
dikategorikan sebagai populasi yang tidak terkena penyakit. Dalam sebuah studi tentang kanker
paru, hampir semua bukan perokok ditetapkan tidak mengidap kanker paru.

4. Hubungan waktu.
Jika hubungan sebab akibat suatu kejadian atau pajanan secara logis terjadi sebelum penyakit atau
kondisi berkembang, faktor waktu dipertimbangkan. Gigitan nyamuk terjadi sebelumnya dan
mengakibatkan malaria.
5. Kongruensi.
Jika suatu hubungan sebab akibat dicurigai, apakah hubungan tersebut sesuai dengan pengetahuan
yang ada dan apakah observasi dan pengkajian yang logis secara ilmiah masuk akal? Misalnya
makan daging ayam mentah, yang secara alamiah sering terkontaminasi bakteri salmonella,
menyebabkan keracunan makanan salmonellosis.

6. Sensitivitas.
Jika terjadi KLB apakah analisis sebab akibat mengandung kebenaran dan apakah pengkajian
memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dengan benar bahwa mereka yang sakit karena
penyakit, pada kenyataannya, memang sakit akibat penyakit yang dicurigai? Contoh kelompok
buruh menjalani skrining kanker paru. Sejumlah 50% kasus mengidap kanker paru dan
disimpulkan bahwa kanker paru berhubungan dengan merokok. Invesitigasi selanjutnya
mengungkap bahwa 80% pekerja yang mengidap kanker paru bekerja dalam gedung yang
terisolasi oleh asbestos selama 3 tahun. Setelah menjalani pemeriksaan abestosis, dipastikan
bahwa kanker paru berhubungan dengan pajanan asbestos.

7. Biologis/Medis.
Jika hubungan didasarkan pada virilitas patogen atau faktor risiko dan pada kemampuannya untuk
menyebabkan penyakit atau suatu kondisi (hubungan respon dosis) serta tingkat kerentanan
penjamu, hubungannya adalah kausal. Contoh orang yang tidak divaksinasi dipajankan pada virus
polio dan kemudian akan memperlihatkan gejala awal penyakit.

8. Plausibilitas (kelogisan).
Hubungan harus dibuktikan sebagai hubungan kausal dan didasarkan pada ilmu pengetahuan
biologis, kedokteran, epidemiologi dan pengetahuan ilmiah. Analisis logis yang didasarkan pada
pengetahuan yang baru jangan sampai mencampuri atau membatasi kausal yang jelas dan masuk
akal. Contoh konsumsi air yang mengandung bibit penyakit kolera akan menyebabkan munculnya
penyakit.

9. Eksperimen dan Penelitian.


Pengetahuan dan kesimpulan tentang hubungan sebab akibat yang didasarkan pada penelitian dan
eksperimen menambah bukti pendukung substansial dan bobot sifat kausal dari hubungan
tersebut. Contoh penelitian yang memperlihatkan bahwa cacar air dapat dicegah melalui
imunisasi.

10. Faktor Analogi.


Jika hubungan yang sama ternyata bersifat kausal dan memperlihatkan sebab akibat, transfer
pengetahuan harus berguna dan secara analogis hubungan tersebut dapat dievaluasi sebagai
hubungan kausal. Contoh pengamatan historis bahwa vaksinasi dengan cowpox dapat mencegah
smallpox.

Faktor-faktor dalam Kausalitas Penyakit


Banyak faktor yang terbukti berguna untuk menentukan penyebab penyakit di masyarakat. Penentuan
penyebab penyakit di populasi merupakan salah satu pendekatan yang akhir-akhir ini terbukti efektif
untuk dua area kunci kegiatan kesehatan masyarakat, yaitu pendidikan kesehatan dan promosi
kesehatan. Faktor-faktor penyebab penyakit yang biasa digunakan dalam investigasi epidemiologi
muncul secara bertahap. Faktor tersebut antara lain :

a. Faktor predisposing.
Merupakan faktor atau kondisi yang memang sudah ada yang menyebabkan penjamu merespon
patogen atau agen dengan cara tertentu. Jika penjamu telah diimunisasi atau jika penjamu
memiliki imunitas alami terhadap penyakit, respon umum yang terjadi adalah dia tidak terjangkit
penyakit. Jika tidak terlindungi, respon umum yang terjadi adalah penjamu akan terkena penyakit
karena penjamu dipengaruhi keadaan saat terjadinya pajanan terhadap patogen atau agen. Jika
peka terhadap suatu kondisi, penjamu akan memberikan respons sebagaimana mestinya. Misal,
jika penjamu memiliki alergi terhadap suatu zat dan kemudian terpajan zat tersebut, reaksi alergi
akan muncul.

b. Faktor enabling.
Merupakan faktor atau kondisi yang memungkinkan atau mendorong terjadinya penyakit, kondisi,
cedera, ketidakmampuan atau kematian. Beberapa faktor yang dapat mendorong penyebaran
penyakit bisa berupa kurangnya pelayanan kesehatan masyarakat dan perawatan medis.
Sebaliknya, ketersediaan dan akses ke pelayanan kesehatan masyarakat dan perawatan medis
dapat mencegah, mengendalikan, mengatasi, mengobati dan memfasilitasi pemulihan akibat sakit
sekaligus meningkatkan status kesehatan populasi.

c. Faktor precipitating.
Merupakan faktor yang esensial dalam perkembangan penyakit, kondisi, cedera, ketidakmampuan
dan kematian. Di dalam kausalitas penyakit, penyebab suatu penyakit, kondisi atau luka mungkin
tampak jelas, sementara dalam kasus lain mungkin saja penyebabnya tidak begitu jelas. Seringkali
satu kasus berkaitan dengan beberapa faktor risiko, terutama pada penyakit kronis atau penyakit
akibat gaya hidup dan perilaku. Faktor precipitating yang mungkin ada pada penyakit menular
antara lain sanitasi yang buruk, tidak adanya imunisasi, dan banyak penduduk yang rentan
terhadap satu jenis patogen saja. Pada penyakit atau kondisi kronis yang berkaitan dengan
perilaku, banyak faktor yang berperan terhadap suatu kondisi.

d. Faktor reinforcing.
Seperti faktor enabling, faktor reinforcing juga memiliki kemampuan untuk mendukung
keberadaan dan penularan penyakit atau kondisi untuk mendukung dan meningkatkan status
kesehatan masyarakat sekaligus membantu mengendalikan penyakit dan kondisi. Faktor yang
dapat memperburuk dan mempertahankan penyakit, kondisi, ketidakmampuan atau kematian
merupakan faktor reinforcing yang negatif. Faktor reinforcing negatif adalah faktor yang polanya
berulang dan mendukung penyebaran serta perjalanan penyakit dalam populasi. Faktor
reinforcing positif adalah faktor yang mendukung, meningkatkan dan memperbaiki langkah-
langkah pengendalian dan pencegahan penyebab penyakit.

Populasi Berisiko
Populasi yang berisiko adalah kelompok populasi yang digunakan sebagai penyebut dan harus
dibatasi hanya pada mereka yang dapat terpajan atau mengalami penyakit, kondisi, cedera,
ketidakmampuan ataupun kematian. Penetapan populasi semacam ini dapat dilakukan secara
langsung. Akan tetapi, kompleksitas yang sesederhana apapun dari kelompok populasi ini tidak boleh
diabaikan begitu pula dengan setiap aspek yang tidak boleh dipandang sekilas saja karena semua
aspek yang berkaitan dengan kejadian penyakit mungkin penting untuk menginvestigasi wabah.
Salah satu masalah dalam menentukan populasi yang berisiko adalah bahwa populasi yang
dilibatkan dalam penelitian sering dihitung dalam kerangka waktu satu tahun. Walaupun begitu,
penduduk mungkin terkena penyakit sebelum periode waktu tersebut, terinfeksi dalam kerangka
waktu tersebut tetapi tidak terdiagnosis dan penduduk melakukan migrasi. Orang-orang yang bergerak
masuk atau keluar dan tinggal untuk sementara waktu di dalam kelompok studi populasi akan
menggoyahkan angka yang terbentuk. Salah satu cara untuk mengatasi masalah semacam itu adalah
dengan melakukan estimasi penduduk pada pertengahan tahun atau pada titik tengah periode waktu
pelaksanaan studi. Ahli epidemiologi juga harus mempertimbangkan semua perbedaan yang ada
dalam karakteristik kelompok studi. Bias yang ditemukan dalam pengambilan sampel dan seleksi
individu yang terpajan pada sesuatu yang dicurigai sebagai penyebab dan beragam cara pengukuran
pajanan dan risiko dengan tingkatan yang berlainaan juga diperhitungkan (Timmreck TC 2005).

Epidemiologi Deskriptif dan Analitik


Studi epidemiologi juga dapat diklasifikasikan sebagai studi deskriptif dan analitik. Studi deskriptif
digunakan jika pengetahuan tentang suatu penyakit hanya sedikit. Studi analitik digunakan jika
tersedia pengetahuan atau informasi mengenai berbagai aspek penyakit. Studi deskriptif memberikan
pengetahuan, data dan informasi tentang perjalanan atau pola penyakit, kondisi, cedera,
ketidakmampuan dan kematian dalam kelompok atau populasi. Informasi biasanya berasal dari data
yang dikumpulkan secara rutin berdasarkan karakteristik demografi yang biasa seperti usia, jenis
kelamin, ras, status perkawinan, pendidikan, kelas sosial ekonomi, pekerjaan, wilayah geografis dan
periode waktu.
Studi analitik digunakan untuk menguji hubungan sebab akibat dan berpegang pada
pengembangan data baru. Kunci dari studi analitik ini adalah untuk menjamin bahwa studi didesain
dengan tepat sehingga temuannya dapat dipercaya (reliable) dan valid. Jika desain dilakukan dengan
tepat, kesimpulan yang lebih pasti tentang hubungan sebab akibat dapat ditarik dari temuannya.
Penelitian analitik yang terencana kurang lebih sama dengan uji klinis dan desain eksperimental
(Timmreck TC 2005).

Pertanyaan Ulangan :

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan epidemiologi!


2. Jelaskan rentang sehat sakit menurut pendekatan model antara Agent, Host, dan Environment!
3. Jelaskan jenis-jenis imunitas yang dimiliki manusia!
4. Jelaskan 3 elemen pendekatan yang digunakan dalam epidemiologi!
5. Jelaskan aspek yang dikaji dalam surveilans epidemiologi!
6. Jelaskan unsur-unsur dalam surveilens epidemiologi!
7. Jelaskan jenis-jenis pengukuran dalam epidemiologi!
8. Jelaskan sumber-sumber informasi utama dalam epidemiologi!
9. Jelaskan kriteria yang digunakan dalam konsep kausalitas!
10. Jelaskan faktor-faktor dalam kausalitas penyakit!
11. Jelaskan definisi dari populasi yang berisiko!

DAFTAR PUSTAKA
Friedman GD, 2000. Primer of Epidemiology, New York: McGraw Hill.
Kemenkes, 2011. Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa, Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes, 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi, Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Available at:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._12_ttg_Penyelenggaraan_Imunisa
si_.pdf.
Nieto FJ, 2002. Epidemiology: Beyond the Basic, New York: Aspen Publishers, Inc.
Notoatmodjo S, 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta.
Phillips, C. V & Goodman, K.J., 2004. The missed lessons of Sir Austin Bradford Hill. Epidemiologic
Perspectives & Innovations, 1(1), p.3. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15507128 [Accessed July 8, 2018].
Sidemen A, 2003. Pengembangan Early Warning Outbreak Recognition System Di Jawa Timur. In
Surabaya: Kumpulan Abstrak Konas JEN X.
Timmreck TC, 2005. Epidemiologi : Suatu Pengantar, Jakarta: EGC.
BAB 4
EKONOMI PERAWATAN KESEHATAN
Tujuan :
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan dapat:

1. Menjelaskan konsep dari ekonomi kesehatan


2. Menjelaskan sumber-sumber pembiayaan kesehatan
3. Membedakan sistem pembayaran kesehatan prospektif dan retrospektif
4. Mendiskusikan tentang pembiayaan kesehatan yang bersumber dari asuransi kesehatan
5. Menjelaskan pentingnya jaminan kesehatan masyarakat dan restrukturisasi sistem kesehatan

Konsep Penting :
1. Bidang ilmu ekonomi secara tradisional dibagi menjadi dua sub bidang yang luas yaitu ekonomi
mikro dan ekonomi makro.
2. Sumber-sumber pembiayaan kesehatan dapat diperoleh dari pemerintah, swasta, masyarakat dan
sumber-sumber lain dalam bentuk hibah atau pinjaman dari luar negeri.
3. Asuransi merupakan perlindungan terhadap resiko keuangan yang disediakan pihak insurer.
4. Terdapat dua sistem pembayaran yaitu prospektif dan retrospektif.
5. Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-undang dasar 1945 telah dicetuskan kebijakan Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat
6. Restrukturisasi sistem kesehatan meliputi keuangan, organisasi makro, sistem pembayaran,
regulasi dengan coercive power dan upaya edukasi, persuasi serta informasi.

Konsep Dasar Ekonomi Kesehatan


Berbagai subyek dipelajari pada berbagai tingkatan, misalnya ilmu keperawatan kesehatan
komunitas. Seorang spesialis komunitas mempelajari intervensi pada masyarakat, kelompok, keluarga
dan individu. Ahli biologi sel mempelajari senyawa-senyawa kimia yang membangun mahluk hidup,
yang dibangun oleh senyawa-senyawa kimia dan pada saat bersamaan sel-sel itulah yang membangun
bagian-bagian dari organisme hidup. Ahli biologi evolusioner mempelajari berbagai variasi hewan
dan tumbuhan dan bagaimana spesies berubah secara perlahan, abad demi abad.
Ekonomi juga dipelajari pada berbagai disiplin ilmu. Kita dapat mempelajari keputusan
rumah tangga dan perusahaan. Atau kita dapat mempelajari interaksi rumah tangga dan perusahaan
pada pasar barang dan jasa tertentu. Kita juga dapat mempelajari operasi perekonomian sebagai suatu
keseluruhan, yang hanyalah merupakan jumlah dari segala kegiatan para pembuat keputusan ini pada
semua pasar yang ada (Mankiw NG 2006).
Bidang ilmu ekonomi secara tradisional dibagi menjadi dua sub bidang yang luas. Ekonomi
mikro merupakan pelajaran tentang bagaimana rumah tangga dan perusahaan membuat keputusan
dan bagaimana mereka berinteraksi pada pasar tertentu. Dapat dikatakan ekonomi mikro mempelajari
tentang ketersediaan, kebutuhan dan alokasi serta distribusi. Ekonomi makro mempelajari tentang
fenomena-fenomena ekonomi secara luas. Studi ini bisa tentang pekerja, pendapatan, harga dan
pertumbuhan ekonomi. Seorang ahli ekonomi mikro dapat mempelajari dampak pengendalian biaya
sewa rumah di Jakarta, pengaruh kuat kompetisi asing pada industri otomotif di Indonesia, atau
hubungan antara kelulusan sekolah dasar dengan penghasilan para pekerja. Seorang ahli ekonomi
makro mungkin mempelajari dampak peminjaman oleh pemerintah daerah, perubahan-perubahan
sepanjang waktu dalam tingkat perekonomian atau kebijakan-kebijakan alternatif untuk meningkatkan
standar hidup bangsa (Mankiw NG 2006).
Hubungan ekonomi mikro dan makro sangat erat. Karena perubahan-perubahan dalam
keseluruhan perekonomian muncul dari keputusan jutaan individu, tidaklah mungkin memahami
perkembangan ekonomi makro tanpa mempertimbangkan keputusan-keputusan ekonomi mikro yang
terkait. Sebagai contoh, seorang ahli ekonomi makro dapat mempelajari dampak pemotongan pajak
penghasilan terhadap keseluruhan produksi barang dan jasa, tentunya untuk menganalisisnya juga
terkait dengan kondisi di rumah tangga.
Walaupun ada hubungan yang erat antara ekonomi mikro dan makro, kedua bidang tersebut
sangat berbeda, dalam perekonomian, seperti dalam keperawatan kesehatan komunitas, merupakan hal
yang wajar jika kita memulai dari unit terkecil dan kemudian meningkat ke unit yang besar.
Keperawatan komunitas, dalam beberapa hal, dibangun di atas keperawatan keluarga, karena
komunitas merupakan kumpulan dari keluarga-keluarga. Namun, komunitas dan keluarga merupakan
bidang yang terpisah, masing-masing dengan pertanyaan-pertanyaan dan metode-metode tersendiri.
Demikian pula, karena ekonomi mikro dan makro membicarakan persoalan-persoalan berbeda,
keduanya kadang-kadang membutuhkan pendekatan-pendekatan yang cukup berbeda (Mankiw NG
2006).
Pembelajaran keperawatan kesehatan komunitas pada bidang ekonomi lebih difokuskan pada
ekonomi kesehatan. Latar belakang dari fokus bahasan tersebut adalah bahasan kesehatan, biaya
perawatan kesehatan, dan asuransi kesehatan menjadi topik yang mendominasi pada bidang ekonomi
dan politik di United States dan di beberapa negara lain sehingga ekonomi kesehatan menjadi sub
pokok ilmu tersendiri dalam ekonomi. Alasan lain adalah karena sektor kesehatan menjadi sektor
terbesar di United States pada bidang ekonomi dan selain itu menghasilkan gross domestic product
(GDP) yang tumbuh semakin baik pada abad ke-21 (Folland et al. 2013).
Ekonomi kesehatan menggambarkan beberapa jenis sub pembahasan seperti pelatihan pada
bidang ekonomi, termasuk tenaga kerja khusus bidang ekonomi, organisasi suatu industri, keuangan
publik, dan analisis manfaat suatu biaya. Ekonomi kesehatan merupakan sub pokok ilmu yang masih
baru tetapi akan dapat menjawab pertanyaan mengenai sistem kesehatan, termasuk analisis biaya
perawatan kesehatan yang semakin berkembang mengikuti perkembangan penggunaan teknologi pada
bidang kesehatan. Sebagai contoh, analisis prosedur baru operasi klien dengan acute myocardiac
infraction (serangan jantung) tidak cukup hanya mengenai biaya prosedur operasinya dan manfaatnya
untuk klien dalam waktu dekat. Prosedur baru operasi tersebut akan memberikan dampak seumur
hidup bagi klien sehingga diperlukan analisis yang lebih luas. Cluter (2007) mengembangkan
kerangka untuk memahami analisis tersebut dalam penelitian berjudul “Life time cost and benefits of
medical technology”. Penelitiannya dilakukan dengan menganlisis revascularization yakni
serangkaian prosedur operasi untuk coronary bypass dan angioplasty. Selain itu juga mengamati klien
dengan serangan jantung dan mengikuti mereka hingga 17 tahun. Kesimpulan dari penelitiannya
adalah diketahui biaya hidup per tahun klien yang telah menjalankan prosedur operasi baru tersebut
sebesar 33,000 dolar. Oleh karena itu ekonomi kesehatan menjadi suatu sub pokok ilmu yang relevan
dan penting untuk dipelajari.

Ekonomi Perawatan Kesehatan


Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 telah berakibat pada tiap aspek
kehidupan Bangsa dan Negara Indonesia. Hal ini diperparah pula dengan terjadinya berbagai bencana
alam yang berskala nasional maupun lokal di beberapa wilayah Indonesia dan berdampak pada bidang
kesehatan. Kemampuan pusat-pusat pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta yang
menyediakan jasa pelayanan kesehatan bermutu dan harga obat yang terjangkau oleh masyarakat
umum semakin menurun. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan semakin
meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran mereka akan arti hidup sehat. Namun, daya beli
masyarakat untuk memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan semakin menurun akibat krisis ekonomi
yang berkepanjangan, terutama harga obat-obatan yang hampir semua komponennya masih diimpor.
Kementerian Kesehatan sudah mengantisipasi dampak krisis ekonomi di bidang kesehatan
dengan menyesuaikan terus kebijakan pelayanannya terutama di tingkat operasional. Peningkatan
mutu pelayanan kesehatan primer, baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit Kabupaten harus
dijadikan indikator penerapan kebijakan baru di bidang pelayanan kesehatan. Realokasi Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) juga perlu terus dikembangkan oleh Pemda untuk
membantu penduduk miskin. Beberapa kebijakan operasional yang sudah mendapat perhatian dalam
menghadapi krisis kesehatan ini adalah :
1. Meletakkan landasan kebijakan kesehatan yang lebih bersifat pencegahan (preventif).

2. Kebijakan obat nasional harus diarahkan untuk pemasyarakatan obat-obatan esensial yang
terjangkau oleh masyarakat. Meskipun dengan dalih untuk membuka peluang bagi penanaman
modal asing (PMA), pembatasan jumlah industri farmasi harus dilaksanakan secara ketat.
3. Etika kedokteran dan tanggung jawab profesi seharusnya mendapat porsi yang lebih besar dalam
pendidikan dokter agar dokter yang ditamatkan oleh Fakultas Kedokteran di Indonesia juga dapat
berfungsi sebagai cendikiawan di bidang kesehatan.
4. Kesehatan merupakan hak masyarakat yang perlu terus diperjuangkan terutama penduduk miskin
karena sudah merupakan komitmen global pemerintah. Oleh karena itu, Lembaga Swadaya
Masyarakat kesehatan perlu terus diberdayakan (bagian dari reformasi kesehatan) agar mereka
mampu menjadi pendamping kelompok-kelompok masyarakat yang membutuhkan perlindungan.

Pembiayaan kesehatan
Sumber-sumber pembiayaan kesehatan dapat diperoleh dari :

1. Pemerintah
2. Swasta
3. Masyarakat dalam bentuk pembiayaan langsung (fee for service) dan asuransi
4. Sumber-sumber lain dalam bentuk hibah atau pinjaman dari luar negeri
Pembiayaan kesehatan di masa depan akan semakin mahal karena :

1. Pertumbuhan ekonomi nasional yang juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan (demand)


masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu.
2. Perkembangan teknologi kedokteran dan pertumbuhan industri kedokteran. Hampir semua
teknologi kedokteran masih diimpor sehingga harganya relatif mahal karena nilai rupiah kita jatuh
dibandingkan dolar Amerika.
3. Subsidi Pemerintah semakin menurun akibat krisis ekonomi tahun 1998. Biaya pelayanan
kesehatan di Indonesia sebelum krisis adalah 18 US dolar/kapita/tahun, tapi kondisi ini menurun
lagi setelah krisis yaitu 12 US dolar/kapita/tahun pada tahun 2000. Seiring dengan turunnya
kemampuan pemerintah, daya beli masyarakat juga menurun untuk mengakses pelayanan
kesehatan.

Sumber kegiatan sektor kesehatan


1. Pemerintah, yaitu APBN yang disalurkan ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi Khusus. Pada tahun 2018 APBN untuk sektor kesehatan sebesar 5% dari belanja APBN.
Anggaran kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, baik dari sisi
supply side maupun layanan, upaya kesehatan promotif preventif, serta menjaga dan
meningkatkan kualitas program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN) bagi penerima bantuan
iuran (PBI) hingga menjangkau 92,4 juta jiwa (Kemenkeu, 2018).
2. APBD yang bersumber dari PAD (pendapatan asli daerah) baik yang bersumber dari pajak, atau
penghasilan Badan Usaha Milik Pemda. Mobilisasi dana kesehatan juga bisa bersumber dari
masyarakat dalam bentuk asuransi kesehatan, investasi pembangunan sarana pelayanan kesehatan
oleh pihak swasta dan biaya langsung yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk perawatan
kesehatan. Dana pembangunan kesehatan yang diserap oleh berbagai sektor harus dibedakan
dengan dana sektor kesehatan yang diserap oleh Dinas kesehatan.
3. Bantuan luar negeri, dapat dalam bentuk hibah (grant) atau pinjaman (loan) untuk investasi atau
pengembangan pelayanan kesehatan.

Asuransi kesehatan
Asuransi merupakan perlindungan terhadap resiko keuangan yang disediakan pihak insurer. Asuransi
juga dapat diartikan sebagai alat penggabungan risiko dari dua atau lebih orang-orang atau perusahaan
melalui sumbangan aktual atau yang dijanjikan untuk membentuk dana guna membayar klaim
(Darmawi H 2004). Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari asuransi kesehatan merupakan salah
satu cara yang terbaik untuk mengantisipasi mahalnya biaya pelayanan kesehatan. Alasannya antara
lain :

1. Pemerintah dapat mendiversifikasi sumber-sumber pendapatan dari sektor kesehatan.


2. Meningkatkan efisiensi dengan cara memberikan peran kepada masyarakat dalam pembiayaan
pelayanan kesehatan.
3. Meratakan beban biaya kesehatan menurut waktu dan populasi yang lebih luas sehingga dapat
mengurangi risiko secara individu.
Asuransi kesehatan adalah suatu mekanisme pengalihan risiko (sakit) dari risiko perorangan menjadi
risiko kelompok. Dengan cara mengalihkan risiko individu menjadi risiko kelompok, beban ekonomi
yang harus dipikul oleh masing-masing peserta asuransi akan lebih ringan tetapi mengandung
kepastian karena memperoleh jaminan.
Unsur-unsur asuransi kesehatan :
1. Ada perjanjian
2. Ada pemberian perlindungan
3. Ada pembayaran premi oleh masyarakat
Jenis asuransi kesehatan yang berkembang di Indonesia
1. Asuransi kesehatan sosial (Sosial Health Insurance)
Contoh : Jaminan Kesehatan Nasional (JKN yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan untuk PNS dan penerima pensiun serta BPJS Ketenagakerjaan untuk
tenaga kerja swasta.

2. Asuransi kesehatan komersial perorangan (Private Voluntary Health Insurance) Contoh:


Prudential, Allianz, AIA,  Cigna, dan Manulife.
3. Asuransi kesehatan komersial kelompok (Regulated Private Health Insurance) Contoh: produk
Asuransi Kesehatan Sukarela oleh BPJS Kesehatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS), jenis asuransi kesehatan di Indonesia telah mengalami transformasi. Keempat BUMN yang
selama ini menyelenggarakan program jaminan sosial, yaitu PT Askes (Persero), PT Jamsostek
(Persero), PT Asabri (Persero), dan PT Taspen (Persero) berubah. PT Askes (Persero) menjadi BPJS
Kesehatan dan PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Peserta BPJS Kesehatan ada 2 kelompok yaitu:
1. PBI Jaminan Kesehatan.
Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang
tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayari Pemerintah sebagai peserta
program Jaminan Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh Pemerintah dan
diatur melalui Peraturan Pemerintah.
2. Bukan PBI jaminan kesehatan.
Peserta bukan PBI jaminan kesehatan terdiri dari:
1) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya.
2) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya.
3) Buka pekerja dan anggota keluarganya (Kemenkes 2013).
Secara umum dikenal dua sistem pembayaran kesehatan yaitu :
Retrospektif
Biaya dibebankan di awal
Pembayaran diberikan setelah pelayanan diberikan
Penyalahgunaan melalui permintaan atau adanya tes yang tidak diperlukan
Lebih berfokus pada keadaan sakit dibanding sejahtera
Prospektif
Pihak yang berwenang sudah menentukan besarnya premi
Besarnya premi dari prediksi yang ditentukan sejak awal
Besarnya premi relatif tetap dibanding keseluruhan biaya
Provider beresiko rugi atau untung

Jaminan Kesehatan Nasional


Kesehatan Bagi Semua
Falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak
ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang
kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa
setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya,
setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Untuk
mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan
jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan
perorangan.
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa
bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT
Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan
pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan
melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, (terbagi-bagi) sehingga
biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit dikendalikan.
Untuk mengatasi hal itu, pada tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi
seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan
diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus
untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang
implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012
tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional) (Kemenkes RI 2013).

Perlunya Jaminan Kesehatan Nasional


Derajat kesehatan masyarakat berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 26,9 per 1000 kelahiran
hidup dan AKI sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup serta Umur Harapan Hidup 70,5 tahun (BPS
2007). Pada tahun berikutnya terjadi peningkatan 32 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup dan
359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2008-2012). Tahun berikutnya mengalami
penurunan yakni angka kematian ibu 305 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi 22
kematian bayi per 1.000 kelahiran (BPS 2015).
Derajat kesehatan masyarakat yang masih rendah tersebut diakibatkan karena belum bisa
dipastikan setiap orang mendapatkan perawatan dan pelayanan kesehatan yang memadai, terjangkau,
kapan saja, dan di mana saja. Asuransi kesehatan mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya
kesehatan dari kantong sendiri (out of pocket), dalam jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang
memerlukan biaya yang sangat besar. Untuk itu diperlukan suatu jaminan dalam bentuk asuransi
kesehatan karena peserta membayar premi dengan besaran tetap. Dengan demikian pembiayaan
kesehatan ditanggung bersama secara gotong royong oleh keseluruhan peserta, sehingga tidak
memberatkan secara orang per orang.
Asuransi kesehatan saja tidak cukup, diperlukan Asuransi Kesehatan Sosial atau Jaminan
Kesehatan Sosial (JKN). Alasan yang pertama adalah premi asuransi komersial relatif tinggi sehingga
tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat. Alasan kedua, manfaat yang ditawarkan umumnya
terbatas. Sebaliknya, asuransi kesehatan sosial memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut.
Pertama, memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau. Kedua, asuransi
kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Itu berarti peserta bisa mendapatkan
pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali, bukan “terserah dokter” atau
terserah “rumah sakit”. Ketiga, asuransi kesehatan sosial menjamin sustainabilitas (kepastian
pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan). Keempat, asuransi kesehatan sosial memiliki
portabilitas, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, untuk melindungi
seluruh warga, kepesertaan asuransi kesehatan sosial/ JKN bersifat wajib (Kemenkes RI 2013).

Restrukturisasi Sistem Kesehatan


Sarana yang digunakan untuk mencapai fungsi sistem kesehatan tersebut adalah komponen
struktural sistem kesehatan. Hsiao (2000) mengusulkan perlunya upaya restrukturisasi terhadap 5
(lima) komponen utama yang akan berdampak pada hasil. Pertama, restrukturisasi keuangan
(financing). Keuangan atau anggaran merupakan komponen struktural utama yang akan
mempengaruhi hasil karena dapat berdampak pada pendistribusian status kesehatan dan kemampuan
pembiayaan pemerintah terhadap pelayanan kesehatan. Untuk itu diperlukan upaya memobilisasi dana
bagi pelayanan kesehatan yang salah satunya melalui dana asuransi kesehatan untuk masyarakat luas.
Pengalokasian dana hanya diperlukan terhadap pelayanan kesehatan tertentu. Pelayanan kesehatan apa
yang akan didanai ditentukan berdasarkan cost-effectiveness dalam memproduksi hasil kesehatan.
Subsidi hanya diberikan untuk kepentingan pendidikan kesehatan, pembangunan sarana kesehatan,
dan untuk keperluan riset yang berpengaruh terhadap peningkatan pengadaan pelayanan kesehatan
berkualitas. Sebab dengan adanya perubahan dan peningkatan dalam pengadaan (supply) pelayanan
kesehatan akan mempengaruhi status kesehatan, kepuasan masyarakat, efisiensi dan penggunaan
pelayanan kesehatan.
Kedua, restrukturisasi organisasi makro melalui penggorganisasian pasar seperti membagi fungsi
pelaksanaan pelayanan kesehatan pada bagian terkecil untuk alasan efisiensi dan kualitas (misalnya
home care, pusat rehabilitasi dll) yang terintegrasi secara vertikal. Ketiga, memilih sistem
pembayaran (payment system) yang tepat kepada pemberi pelayanan kesehatan (provider). Misalnya
pada asuransi menggunakan konsep tarif paket (package tariff) seperti dikembangkan BPJS atau
konsep kapitasi (capitation-concept) untuk mencegah dampak over utilization atau unnecessary-
utilization pelayanan kesehatan. Keempat, diperlukan regulasi dengan coercive power dari pemerintah
melalui instrumen undang-undang dan peraturan seperti UU SJKN baru-baru ini dan ketentuan
undang-undang lain yang mewajibkan setiap orang untuk melindungi dirinya dengan asuransi
kesehatan. Regulasi ini akan efektif apabila terbukti desain dan cara pelaksanaannya memang baik
(good design and wording) dan pemerintah sanggup melaksanakan dan menegakkan regulasi tersebut.
Kelima, diperlukan upaya edukasi, informasi dan persuasi untuk mempengaruhi keyakinan, harapan,
gaya hidup dan pilihan masyarakat. Untuk sektor kesehatan upaya ini dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan yang profesional di bidangnya.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat
vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting
dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan
akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena
itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada
kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy),
pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu
sendiri. Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing)
akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan
kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif.
Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat
miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal.
Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada
perkembangan sosial dan ekonomi. Pelayanan kesehatan itu sendiri pada akhir-akhir ini menjadi amat
mahal baik pada negara maju maupun pada negara berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari
pelayanan kesehatan dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab utamanya. Penyebab yang
lain adalah dominasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran tunai (fee for
service) dan lemahnya kemampuan dalam penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri
(poor management of resources and services).

Pertanyaan Ulangan :
1. Jelaskan apa perbedaan dari ekonomi makro dan mikro!
2. Jelaskan sumber-sumber pembiayaan kesehatan!
3. Jelaskan macam-macam sistem pembayaran!
4. Jelaskan perlunya jaminan kesehatan nasional!
5. Jelaskan upaya-upaya restrukturisasi sistem kesehatan!

DAFTAR PUSTAKA

BPS, 2007. Indikator Kesehatan Indonesia, Jakarta.


BPS, 2015. Profil Penduduk Indonesia Hasil Supas 2015, Jakarta: Badan Pusat Statistik. Available at:
https://www.bps.go.id.
Cluter, D.M., 2007. The Lifetime Costs and Benefits of Medical Technology. Journal of Health
Economics, 26, pp.1081–1100.
Darmawi H, 2004. Manajemen Risiko, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Folland, S., Goodman, A.C. & Stano, M., 2013. The Economic of Health and Health Care 7th ed.,
United States: Pearson.
Hsiao, W.C., 2000. Toward a theoretical model of health systems, Work in Progress, Cambridge.
Kemenkes, 2013. Jaminan Kesehatan Nasional - Untuk Indonesia Lebih Sehat. Pusat Pembiayaan
dan Jaminan Kesehatan Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Available at:
http://www.jkn.kemkes.go.id/detailfaq.php?id=9 [Accessed July 10, 2018].
Kemenkes RI, 2013. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Departemen Kesehatan RI, pp.1–75.
Kemenkeu, 2018. APBN 2018. Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Available at:
https://www.kemenkeu.go.id/apbn2018 [Accessed August 2, 2018].
Mankiw NG, 2006. Pengantar Ekonomi Makro dan Mikro. Jakarta : Salemba Empat, Jakarta:
Salemba Empat.

BAB 5
DASAR KESEHATAN LINGKUNGAN

Tujuan :
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan dapat :

1. Menjelaskan konsep dan batasan kesehatan lingkungan


2. Menjelaskan ruang lingkup kesehatan lingkungan
3. Menjelaskan sasaran dan sejarah kesehatan lingkungan
4. Menjelaskan faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit
5. Mendiskusikan penyebab dan masalah-masalah kesehatan lingkungan
6. Mendiskusikan pengaruh dan hubungan antara kondisi lingkungan dengan kesehatan masyarakat
7. Menjelaskan indikator kesehatan lingkungan
8. Menjelaskan program lingkungan sehat menurut program pembangunan nasional

Konsep penting :
1. Kesehatan lingkungan merupakan suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang
keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung
tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia.
2. Karakteristik host, agent dan environment berperan dalam menimbulkan penyakit.
3. Masalah-masalah kesehatan lingkungan di Indonesia meliputi air bersih, pembuangan tinja,
kesehatan pemukiman, pembuangan sampah, serangga dan binatang pengganggu, makanan dan
minuman dan pencemaran lingkungan
4. Terdapat hubungan yang kuat dan pengaruh yang signifikan antara kondisi lingkungan terhadap
kesehatan masyarakat di perkotaan dan pemukiman
5. Indikator kesehatan lingkungan diantaranya rumah tangga sehat, akses terhadap air minum, jarak
sumber air minum dengan tempat penampungan akhir kotoran/tinja, fasilitas tempat buang air
besar dan luas lantai.

Konsep dan Batasan Kesehatan Lingkungan


Lingkungan dapat didefinisikan sebagai tempat pemukiman dengan segala sesuatunya dimana
organisme/individu hidup beserta segala keadaan dan kondisi yang secara langsung maupun tidak
dapat diduga ikut mempengaruhi tingkat kehidupan maupun kesehatan dari organisme/individu
tersebut. Sedangkan kesehatan lingkungan dapat dijabarkan sebagai suatu kondisi lingkungan yang
mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk
mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia (Himpunan Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia). Menurut WHO (2005), kesehatan lingkungan merupakan suatu keseimbangan
ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari
manusia.

Ruang lingkup kesehatan lingkungan


Menurut WHO ada 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan yaitu :

1) Penyediaan air minum


2) Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran
3) Pembuangan sampah padat
4) Pengendalian vektor
5) Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia
6) Higiene makanan, termasuk higiene susu
7) Pengendalian pencemaran udara
8) Pengendalian radiasi
9) Kesehatan kerja
10) Pengendalian kebisingan
11) Perumahan dan pemukiman
12) Aspek kesehatan lingkungan dan transportasi udara
13) Perencanaan daerah dan perkotaan
14) Pencegahan kecelakaan
15) Rekreasi umum dan pariwisata
16) Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah, bencana alam dan
perpindahan penduduk
17) Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan.

Menurut Pasal 22 ayat (3) UU No. 23 tahun 1992, ruang lingkup kesehatan lingkungan ada 8
yaitu :
1) Penyehatan air dan udara
2) Pengamanan limbah padat/sampah
3) Pengamanan limbah cair
4) Pengamanan limbah gas
5) Pengamanan radiasi
6) Pengamanan kebisingan
7) Pengamanan vektor penyakit
8) Penyehatan dan pengamanan lainnya seperti pada situasi pasca bencana

Sasaran kesehatan lingkungan (Pasal 22 ayat (2) UU 23/1992) meliputi:


1) Tempat umum : hotel, terminal, pasar, pertokoan, dan usaha-usaha yang sejenis
2) Lingkungan pemukiman : rumah tinggal, asrama/yang sejenis
3) Lingkungan kerja : perkantoran, kawasan industri/yang sejenis
4) Angkutan umum : kendaraan darat, laut dan udara yang digunakan untuk umum
5) Lingkungan lainnya : misalnya yang bersifat khusus seperti lingkungan yang berada dalam
keadaan darurat, bencana, perpindahan penduduk secara besar-besaran, reaktor/tempat yang
bersifat khusus

Menurut Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, upaya kesehatan lingkungan
ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.  Lingkungan
sehat tersebut antara lain mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta
tempat dan fasilitas umum. Sedangkan syarat lingkungan sehat bebas dari unsur-unsur yang
menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain: limbah cair; limbah padat; limbah gas; sampah yang
tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah; binatang pembawa penyakit;
zat kimia yang berbahaya; kebisingan yang melebihi ambang batas; radiasi sinar pengion dan non
pengion; air yang tercemar; udara yang tercemar; dan makanan yang terkontaminasi (Kesmas 2014).
Sejarah perkembangan kesehatan lingkungan
1. Sebelum Orde Baru
Pada masa sebelum orde baru sebenarnya telah dipikirkan perlindungan dan pelestarian
lingkungan yang dimulai sejak tahun 1882 dengan dikeluarkannya Undang-Undang tentang
hygiene. Undang-undang tersebut mengatur hygiene perseorangan dan umum walaupun masih
diterbitkan dalam Bahasa Belanda. Dilanjutkan pada tahun 1924 atas prakarsa Rockefeller
Foundation, Amerika Serikat, yaitu didirikan Rival Hygiene Work di Banyuwangi dan Kebumen.
Upaya tersebut dilanjutkan dengan integrasi usaha pengobatan dan usaha kesehatan lingkungan di
Bekasi hingga didirikan Bekasi Training Centre tahun 1956. Selanjutnya Prof. Muchtar
mempelopori tindakan kesehatan lingkungan di Pasar Minggu sebagai upaya sosialisasi kepada
masyarakat. Berlanjut ke tahun 1959 dengan dicanangkan program pemberantasan Malaria
sebagai program kesehatan lingkungan di tanah air.

2. Setelah Orde Baru


Masa setelah orde baru dimulai tahun 1968 dengan dicanangkannya program kesehatan
lingkungan terintegrasi dalam upaya pelayanan Puskesmas. Mengingat masih buruknya kesehatan
keluarga maka pada tahun 1974 dikeluarkan instruksi presiden mengenai Samijaga (Sarana Air
Minum dan Jamban Keluarga). Berikutnya dilanjutkan dengan program Perumahan Nasional,
Proyek Husni Thamrin, Kampanye Keselamatan dan kesehatan kerja serta berbagai program
lainnya.

Konsep hubungan interaksi antara Host–Agent-Environment


1. Tiga komponen/faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit (Model Ecology)
• Agent (agen/penyebab) : adalah penyebab penyakit pada manusia
• Host (tuan rumah/induk semang/penjamu/pejamu) adalah manusia yang ditumpangi penyakit
• Environment / lingkungan: segala sesuatu yang berada di luar kehidupan organisme Contoh :
lingkungan fisik, kimia dan Biologi
Interaksi antara agent, host dan environment serta model ekologinya adalah sebagai berikut : jika
antara agent, host dan environment dalam keadaan seimbang maka tidak terjadi penyakit. Jika
kemampuan agent meningkat maka dapat menginfeksi manusia serta mengakibatkan penyakit pada
manusia. Perubahan lingkungan yang buruk juga dapat menyebabkan meningkatnya perkembangan
agent.
2. Karakteristik 3 komponen/ faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit
1) Karakteristik Lingkungan
• Fisik : air, udara, tanah, iklim, geografis, perumahan, pangan, panas, radiasi.
• Sosial : status sosial, agama, adat istiadat, organisasi sosial politik.
• Biologis : mikroorganisme, serangga, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
2) Karakteristik Agent/penyebab penyakit
Agent penyakit dapat berupa agent hidup atau agent tidak hidup. Agent penyakit dapat
dikualifikasikan menjadi 5 kelompok, yaitu :
a. Agent biologis
Beberapa penyakit beserta penyebab spesifiknya antara lain sebagai berikut:

Jenis agent Spesies agent Nama penyakit

Metazoa Ascaris lumbricoides Ascariasis

Protozoa Plasmodium vivax Malaria Quartana

Fungi Candida albicans Candidiasis


Bakteri Salmonella typhi Typhus abdominalis

Rickettsia Rickettsia tsutsugamushi Scrub typhus

Virus Virus influenza Influenza

b. Agent nutrien : protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air.


c. Agent fisik : suhu, kelembaban, kebisingan, radiasi, tekanan dan panas.
d. Agent kimia :
eksogen contohnya alergen, gas, debu.
endogen contohnya metabolit, hormon.
e. Agent mekanis : gesekan, pukulan, tumbukan atau tindakan yang dapat menimbulkan
kerusakan jaringan.

3) Karakteristik Host/pejamu
Faktor manusia sangat kompleks dalam proses terjadinya penyakit dan tergantung dari
karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing individu, yakni :

a. Umur : penyakit aterosklerosis pada usia lanjut, penyakit kanker pada usia pertengahan.
b. Seks : risiko kehamilan pada wanita, kanker prostat pada laki-laki.
c. Ras : sickle cell anemia pada ras negro.
d. Genetik : buta warna, hemofilia, diabetes melitus, thalassemia.
e. Pekerjaan : asbestosis, bisinosis.
f. Nutrisi : gizi kurang menyebabkan TBC, obesitas, diabetes melitus.
g. Status kekebalan : kekebalan terhadap penyakit virus yang tahan lama dan seumur hidup.
h. Adat istiadat : kebiasaan makan ikan mentah menyebabkan cacing hati.
i. Gaya hidup : merokok, minum alkohol
j. Psikis : stress menyebabkan hipertensi, ulkus peptikum, insomnia.

Masalah-masalah Kesehatan Lingkungan di Indonesia


1. Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi
syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air yang kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Syarat-syarat Kualitas Air Bersih
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Syarat Fisik : tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna.
b. Syarat Kimia : kadar besi (maksimum yang diperbolehkan 0,3 mg/l), kesadahan (maksimal
500 mg/l).
c. Syarat Mikrobiologis : Coliform tinja/total koliform (maks 0 per 100 ml air).

2. Pembuangan Kotoran/Tinja
Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban dengan syarat sebagai berikut
(Soeparman & Suparmin 2001):
a. Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi.
b. Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau
sumur.
c. Tidak boleh terkontaminasi air permukaan.
d. Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain.
e. Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar ; atau, bila memang benar-benar diperlukan,
harus dibatasi seminimal mungkin.
f. Jamban harus babas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang.
g. Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal.

3. Kesehatan Pemukiman
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu : pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang
cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
b. Memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu : privasi yang cukup, komunikasi yang sehat antar
anggota keluarga dan penghuni rumah.
c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan
penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan
tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya
makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang
cukup.
d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan
luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak
mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh
tergelincir.

4. Pembuangan Sampah
Teknik pengelolaan sampah yang baik harus memperhatikan faktor-faktor/unsur sebagai berikut:

a. Penimbulan sampah. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sampah adalah jumlah


penduduk dan kepadatannya, tingkat aktivitas, pola kehidupan/tingkat sosial dan ekonomi,
letak geografis, iklim, musim, serta kemajuan teknologi.
b. Penyimpanan sampah.
c. Pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali.
d. Pengangkutan.
e. Pembuangan.
Dengan mengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah, kita dapat mengetahui hubungan dan
urgensinya masing-masing unsur tersebut agar kita dapat memecahkan masalah-masalah ini secara
efisien.

5. Serangga dan Binatang Pengganggu


Serangga sebagai reservoir (habitat dan survival) bibit penyakit yang kemudian disebut sebagai
vektor misalnya : pinjal tikus untuk penyakit pes/sampar, Nyamuk Anopheles sp untuk penyakit
Malaria, Nyamuk Aedes sp untuk Demam Berdarah Dengue (DBD), Nyamuk Culex sp untuk
Penyakit Kaki Gajah/Filariasis. Penanggulangan/pencegahan dari penyakit tersebut diantaranya
dengan merancang rumah/tempat pengelolaan makanan dengan rat proff (rapat tikus), Kelambu
yang dicelupkan dengan pestisida untuk mencegah gigitan Nyamuk Anopheles sp, Gerakan 3 M
(menguras mengubur dan menutup) tempat penampungan air untuk mencegah penyakit DBD,
Penggunaan kasa pada lubang angin di rumah atau dengan pestisida untuk mencegah penyakit kaki
gajah dan usaha-usaha sanitasi.
Binatang pengganggu yang dapat menularkan penyakit misalnya anjing dapat menularkan penyakit
rabies/anjing gila. Kecoa dan lalat dapat menjadi perantara perpindahan bibit penyakit ke makanan
sehingga menimbulkan diare. Tikus dapat menyebabkan Leptospirosis dari kencing yang
dikeluarkannya yang telah terinfeksi bakteri penyebab.
6. Makanan dan Minuman
Sasaran higiene sanitasi makanan dan minuman adalah restoran, rumah makan, jasa boga dan
makanan jajanan (diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan/atau disajikan sebagai
makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah
makan/restoran, dan hotel).
Persyaratan hygiene sanitasi makanan dan minuman tempat pengelolaan makanan meliputi :
a. Persyaratan lokasi dan bangunan;
b. Persyaratan fasilitas sanitasi;
c. Persyaratan dapur, ruang makan dan gudang makanan;
d. Persyaratan bahan makanan dan makanan jadi;
e. Persyaratan pengolahan makanan;
f. Persyaratan penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi;
g. Persyaratan peralatan yang digunakan.

7. Pencemaran Lingkungan
Pencemaran lingkungan diantaranya pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara.
Pencemaran udara dapat dibagi lagi menjadi indoor air pollution dan outdoor air pollution. Indoor
air pollution merupakan problem perumahan/pemukiman serta gedung umum, bis kereta api, dan
lainnya. Masalah ini lebih berpotensi menjadi masalah kesehatan yang sesungguhnya, mengingat
manusia cenderung berada di dalam ruangan daripada berada di jalanan. Diduga akibat pembakaran
kayu bakar, bahan bakar rumah tangga lainnya merupakan salah satu faktor resiko timbulnya infeksi
saluran pernafasan bagi anak balita. Mengenai masalah outdoor pollution atau pencemaran udara di
luar rumah, berbagai analisis data menunjukkan bahwa ada kecenderungan peningkatan. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya perbedaan risiko dampak pencemaran pada beberapa kelompok risiko
tinggi penduduk kota dibanding pedesaan. Keadaan ini, bagi jenis pencemar yang akumulatif, tentu
akan lebih buruk di masa mendatang. Pembakaran hutan untuk dibuat lahan pertanian atau sekedar
diambil kayunya ternyata membawa dampak serius, misalnya infeksi saluran pernafasan akut, iritasi
pada mata, terganggunya jadwal penerbangan, terganggunya ekologi hutan dan masih banyak lagi.

Penyebab masalah kesehatan lingkungan di Indonesia


Penyebab dari terjadinya masalah kesehatan lingkungan di Indonesia adalah terjadinya
pertambahan dan kepadatan penduduk, keanekaragaman sosial budaya dan adat istiadat dari sebagian
besar penduduk, dan belum memadainya pelaksanaan fungsi manajemen.

Hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan masyarakat di perkotaan dan
pemukiman
Contoh hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan masyarakat di perkotaan dan
pemukiman diantaranya sebagai berikut :

1. Urbanisasi menyebabkan kepadatan kota sehingga terjadi keterbatasan lahan, kemudian tercipta
daerah slum/kumuh yang menyebabkan sanitasi kesehatan lingkungan buruk.
2. Kegiatan di kota (industrialisasi) menghasilkan limbah cair yang dibuang tanpa pengolahan (ke
sungai), padahal sungai dimanfaatkan untuk mandi, cuci, kakus sehingga menimbulkan penyakit
menular.
3. Kegiatan di kota (lalu lintas alat transportasi) menghasilkan emisi gas buang (asap) yang
mencemari udara kota sehingga udara tidak layak dihirup dan menyebabkan penyakit ISPA.

Healthy City (Kabupaten/kota sehat)


Dalam tatanan desentralisasi/otonomi daerah di bidang kesehatan, pencapaian Visi Indonesia Sehat
2010 ditentukan oleh pencapaian Visi Pembangunan Kesehatan setiap provinsi (yaitu Provinsi Sehat).
Khusus untuk Kabupaten/Kota, penetapan indikator hendaknya mengacu kepada indikator yang
tercantum dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan. SPM ini dimasukkan sebagai
bagian dari Indikator Kabupaten/Kota Sehat. Kemudian ditambah ha-hal spesifik yang hanya
dijumpai/dilaksanakan di Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Misalnya Kota/Kabupaten yang area
pertaniannya luas dicantumkan indikator pemakaian pestisida.
Lima diantara 16 indikator merupakan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan,
yaitu :

a. Menggunakan Air Bersih untuk kebutuhan sehari-hari


b. Menggunakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan
c. Membuang sampah pada tempat yang disediakan
d. Membuang air limbah pada saluran yang memenuhi syarat
e. Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar
Terdapat juga Penilaian Rumah Sehat yaitu rumah digunakan orang untuk tempat berlindung
yang termasuk juga fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna utnuk
kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan perorangan (Harsanto
2002).
Kriteria rumah sehat yang digunakan adalah apabila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap
berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi
cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni (lebih besar atau sama dengan 8 m 2 /orang).
Sebanyak 24,9% rumah penduduk di Indonesia sudah termasuk dalam kriteria rumah sehat. Provinsi
yang paling rendah persentasenya yaitu Nusa Tenggara Timur (7,50%), sedangkan provinsi yang
persentasenya paling tinggi yaitu Kalimantan Timur (43,60%) selanjutnya Kepulauan Riau (42,7%)
(Kemenkes RI 2012).
Selain Rumah Tangga sehat terdapat pula point “R” yakni Pelayanan Kesehatan Lingkungan
dimana item pertama (institusi yang dibina) meliputi RS, Puskesmas, Sekolah, Instalasi Pengolahan
Air Minum, Perkantoran, Industri Rumah Tangga dan Industri Kecil serta tempat penampungan
pengungsi. Institusi yang dibina tersebut adalah unit kerja yang dalam memberikan pelayanan/jasa
potensial menimbulkan resiko/dampak kesehatan.
Menurut Pembina KKS (2017) terdapat 9 tatanan dengan beberapa indikator masing-masing
yang harus dipenuhi agar termasuk kota/ kabupaten sehat yakni sebagai berikut:

No Tatanan Indikator

1 Kawasan 1. Udara bersih


permukiman,
2. Air sungai bersih
sarana dan
prasarana sehat 3. Penyediaan air bersih individu dan umum
4. Pembuangan air limbah domestik (rumah tangga)
5. Pengelolaan sampah
6. Perumahan dan pemukiman sehat
7. Pertamanan dan Hutan Kota
8. Sekolah
9. Pengelolaan pasar
10. Sarana olah raga ,rekreasi dan tempat bermain anak
11. Penataan sektor informal (PKL/ asongan/industri RT)

2 Kawasan tertib 1. Pelayanan angkutan umum


lalu lintas dan
2. Pelayanan terminal dan halte
pelayanan
transportasi 3. Rawan kecelakaan
4.Penataan lalu lintas
5.Tertib lalu lintas dan keselamatan
6. Kemasyarakatan

3 Kawasan 1. Informasi wisata dan kesehatan


pariwisata sehat
2. Sarana pariwisata
3. Obyek dan daya tarik wisata
4. Pelayanan kesehatan
5. Sarana penunjang
6. Pelayanan kemasyarakatan

4 Kawasan 1. Pengujian polusi limbah padat dan limbah cair


industri dan
2. Penyehatan kawasan industri berbasis masyarakat
perkantoran
sehat 3. Kelompok usaha/sektor informal kerja di lingkungan industri
4. Keselamatan dan Kesehatan kerja serta pencegahan kecelakaan dan ruda
paksa
5. Sosial ekonomi dan budaya serta kesehatan masyarakat

5 Kawasan 1. Lingkungan pertambangan


pertambangan
2. Reklamasi daerah bekas tambang
sehat
3. Keselamatan dan kesehatan kerja
4. Sosial ekonomi dan kemasyarakatan
5.Pemukiman

6 Kawasan hutan 1. Kemantapan kawasan


sehat
2. Peningkatan keamanan hutan
3. Rehabilitasi lahan dan konservasi tanah
4. Keanekaragaman hayati
5. Sosial ekonomi dan kemasyarakatan

7 Ketahanan 1. Ketersediaan
pangan dan gizi
2. Distribusi
3. Konsumsi
4. Kewaspadaan
5. Kemasyarakatan

8 Kehidupan 1. Perilaku hidup bersih dan sehat di tatanan RT


masyarakat
2. Tempat-tempat umum
sehat
3. Permukiman, perumahan dan bangunan sehat
4. Penyediaan air bersih
5. Kesehatan dan keselamatan kerja, pencegahan kecelakaan dan rudapaksa
6. Kesehatan keluarga, reproduksi, KB
7. Pembinaan kesehatan Jiwa masyarakat dan pola asuh anak
8. Kesehatan olahraga dan kebugaran jasmani
9. Program anti tembakau
10. Imunisasi
11. Pelayanan pengobatan dan perawatan
12. Pemberantasan Malaria
13. Pemberantasan DBD
14. Pemberantasan TB Paru
15. Pemberantasan Diare
16. Pencegahan Penyakit Sehat Degeneratif
17. Gizi
18. JPKM

9 Kehidupan 1. Penanganan kemiskinan dan ketunaan sosial


Sosial yang
2. Penanganan kecacatan
sehat
3. Penanganan komunitas adat terpencil
4. Penanganan ketelantaran anak/lansia
5. Penanggulangan korban bencana, kekerasan (anak, wanita dan usia lanjut),
dan kerusuhan

Indikator Kesehatan Lingkungan Menurut Kemenkes 2007


Lingkungan adalah salah satu indikator yang sering kali mendapatkan perhatian khusus saat menilai
kondisi kesehatan masyarakat. Bersama dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik,
lingkungan menentukan baik buruknya status derajat kesehatan masyarakat.
Untuk menggambarkan keadaan lingkungan, akan digunakan indikator-indikator seperti; persentase
rumah tangga sehat, persentase rumah tangga menurut sumber air minum, persentase rumah tangga
dengan sumber air minum dari pompa/sumur/mata air menurut jarak ke tempat penampungan akhir
kotoran/tinja, dan persentase rumah tangga menurut kepemilikan fasilitas buang air besar.

1. Rumah Tangga Sehat


Terdapat beberapa indikator lingkungan yang harus dipenuhi sebuah rumah tangga agar dapat
disebut sebagai rumah tangga sehat, yaitu ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban,
kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni, dan lantai rumah bukan dari tanah. Selain itu juga
terdapat indikator lain yang terkait dengan faktor perilaku dan keterjangkauan terhadap jaminan
pemeliharaan kesehatan.

2. Akses Terhadap Air Minum


Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 2006 yang diterbitkan oleh BPS mengkategorikan sumber
air minum yang digunakan rumah tangga menjadi 2 kelompok besar, yaitu sumber air minum
terlindung dan tidak terlindung. Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng,
pompa, mata air terlindung, sumur terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak
terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai, dan lainnya.

3. Jarak Sumber Air Minum dengan Tempat Penampungan Akhir Kotoran/Tinja


Sumber air minum sering menjadi sumber pencemar pada penyakit water borne disease. Oleh
karena itu sumber air minum harus memenuhi syarat lokalisasi dan konstruksi. Syarat lokalisasi
menginginkan agar sumber air minum terhindar dari pengotoran, sehingga perlu diperhatikan
jarak sumber air minum dengan cubluk (kakus) lubang galian sampah, lubang galian untuk air
limbah dan sumber-sumber pengotor lainnya. Jarak tersebut tergantung pada keadaan tanah dan
kemiringannya. Pada umumnya jarak sumber air minum dengan beberapa sumber pengotor
termasuk tempat penampungan akhir kotoran/tinja tidak kurang dari 10 meter dan diusahakan
agar letaknya tidak berada di bawah sumber-sumber tersebut.

4. Fasilitas Tempat Buang Air Besar


Keberadaan fasilitas buang air besar telah menjadi kebutuhan penting pada kehidupan
masyarakat modern. Kepemilikan dan penggunaan fasilitas tempat buang air besar merupakan
isu penting dalam menentukan kualitas hidup penduduk. Statistik Kesra Tahun 2006 membagi
rumah tangga berdasarkan kepemilikan fasilitas tempat buang air besar yang terdiri dari; sendiri,
bersama, umum, dan tidak ada.

5. Luas Lantai
Pertambahan penduduk baik di perkotaan maupun perdesaan berdampak negatif terhadap
perbandingan antara jumlah luas lantai hunian terhadap penghuni dan berkurangnya ruang
terbuka pada area pemukiman. Hal ini tentu saja memiliki implikasi terhadap status kesehatan
masyarakat penduduk. Jumlah penduduk sangat berpengaruh terhadap jumlah koloni kuman.
Kuman yang pada umumnya adalah penyebab penyakit menular saluran napas semakin banyak
bila penghuni semakin besar. Ukuran rumah yang relatif kecil dan berdesak-desakan diketahui
juga dapat mempengaruhi tumbuh kembang mental atau jiwa anak-anak. Anak-anak memerlukan
lingkungan bebas, tempat bermain luas yang mampu mendukung daya kreatifitasnya. Dengan
kata lain, rumah bila terlampau padat di samping merupakan media yang cocok untuk terjadinya
penularan penyakit khususnya penyakit saluran napas juga dapat mempengaruhi perkembangan
anak.

Pengendalian Lingkungan
Program pengendalian lingkungan bertujuan untuk menyediakan air, udara dan makanan yang
bersih dan aman. Hal yang juga tercakup di dalam pengendalian lingkungan adalah manajemen
pengelolaan limbah padat (sampah kering dan sampah basah), limbah cair (air kotor) dan
pengendalian vektor (serangga dan vektor pengerat) penyakit. Untuk mendapatkan udara yang aman
perlu dilakukan pengendalian patogen infeksius yang menyebar melalui udara (airborne). Asap (fume)
beracun, sinar ultraviolet, pencemaran udara dan asap mesin juga termasuk permasalahan yang ada di
bidang pengendalian keamanan udara. Persediaan air yang bersih dan aman merupakan faktor kunci di
dalam pengendalian penyakit infeksius, khususnya penyakit bawaan air (penyakit enterik atau
penyakit saluran pembuangan). Dengan demikian, menjaga agar persediaan air tetap aman merupakan
salah satu kegiatan yang paling pokok dan juga penting dalam program kesehatan dewasa ini.
Dewasa ini manajemen pengelolaan limbah padat merupakan tantangan terbesar yang harus
dihadapi bidang kesehatan masyarakat. Masalah yang tetap akan menjadi tantangan bagi bidang ini
adalah masalah pembuangan yang tepat untuk sampah dan limbah padat lain, seperti hazardous
material dan biohazardous material, yang jumlahnya melimpah. Pengendalian terhadap masalah bau,
lalat dan serangga yang berasal dari kumpulan sampah di rumah, di pinggir jalan, dan juga di tempat
pembuangan akhir dapat membantu mencegah penyebaran penyakit menular melalui vektor.
Makanan harus dijaga agar tidak dimasuki benda asing, tidak terkontaminasi dan tidak rusak.
Makanan juga harus disimpan dan dihidangkan dengan cara yang tepat. Suhu yang tepat untuk
pendinginan, pemasakan, penyimpanan dan transportasi harus dijaga agar tidak menyimpang.
Pengelolaan makanan yang baik, termasuk mencuci tangan selama persiapan, sangat penting didalam
pengendalian infeksi. Binatang dan serangga juga dapat menjadi sumber penyakit dan infeksi.
Pengendalian terhadap binatang (peliharaan dan binatang liar) dan serangga di dalam komunitas, baik
di desa maupun kota, sangat penting di dalam program pengendalian penyakit (Slamet JS 2002).

Program Lingkungan Sehat Menurut Program Pembangunan Nasional (Propenas)


Program ini bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang sehat yang mendukung
tumbuh kembang anak dan remaja, memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehat, dan
memungkinkan untuk interaksi sosial, serta melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal
dari lingkungan sehingga tercapai derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat yang optimal.
Lingkungan yang diharapkan adalah yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat fisik, mental,
sosial, dan spiritual. Lingkungan tersebut mencakup unsur fisik, biologis, dan psikososial. Berbagai
aspek lingkungan yang membutuhkan perhatian adalah tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan
yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, dan lingkungan yang memungkinkan
kecukupan ruang gerak untuk interaksi psikososial yang positif antar anggota keluarga maupun
anggota masyarakat. Lingkungan yang kondusif juga diperlukan untuk mendorong kehidupan
keluarga yang saling asih, asah, asuh untuk menciptakan ketahanan keluarga dari pengaruh negatif
modernisasi. Beberapa masalah lingkungan biologis yang perlu diantisipasi adalah pembukaan lahan
baru, pemukiman pengungsi, dan urbanisasi yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit melalui
vektor, perubahan kualitas udara karena polusi, dan paparan terhadap bahan berbahaya lainnya.
Peningkatan mutu lingkungan mensyaratkan kerjasama dan perencanaan lintas sektor bahkan lintas
negara yang berwawasan kesehatan.
Sasaran yang akan dicapai oleh program ini adalah :

1. Tersusunnya kebijakan dan konsep peningkatan kualitas lingkungan di tingkat lokal, regional dan
nasional dengan kesepakatan lintas sektoral tentang tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan.
2. Terselenggaranya upaya peningkatan lingkungan fisik, sosial, dan budaya masyarakat dengan
memaksimalkan potensi sumber daya secara mandiri.
3. Meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk memelihara lingkungan sehat.
4. Meningkatnya cakupan keluarga yang mempunyai akses terhadap air bersih yang memenuhi
kualitas bakteriologis dan sanitasi lingkungan di perkotaan dan pedesaan.
5. Tercapainya pemukiman dan lingkungan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan di
pedesaan dan perkotaan termasuk penanganan daerah kumuh.
6. Terpenuhinya persyaratan kesehatan ditempat-tempat umum termasuk saran dan cara
pengelolaannya.
7. Terpenuhinya lingkungan sekolah dengan ruang yang memadai dan kondusif untuk menciptakan
interaksi sosial dan mendukung perilaku hidup sehat.
8. Terpenuhinya persyaratan kesehatan ditempat kerja, perkantoran, dan indusri ternasuk bebas
radiasi.
9. Terpenuhinya persyaratan kesehatan di seluruh rumah sakit dan saran pelayanan kesehatan lain
termasuk pengelolaan limbah.
10. Terlaksananya pengolahan limbah industri dan polusi udara oleh industri maupun saran
transportasi.
11. Menurunnya tingkat paparan pestisida dan insektisida di lingkungan kerja pertanian dan industri
serta pengawasan terhadap produk-produknya untuk keamanan konsumen.

Kinerja Kegiatan Kesehatan Lingkungan (Kemenkes 2017)


Dalam Undang-Undang Kesehatan No 36/2009 telah diamanatkan bahwa kesehatan
lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat terhadap
sarana sanitasi seperti di tempat–tempat umum, di lingkungan pemukiman, perumahan, hotel,
sekolah, fasyankes, tempat pengolahan makanan, fasilitas umum dan sarana air minum, baik
dalam situasi normal maupun dalam situasi darurat akibat bencana alam. Pada Tahun 2017
Direktorat Kesehatan Lingkungan memiliki 8 indikator kinerja sasaran yang meliputi :
1. Persentase Kabupaten/Kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan
2. Jumlah Desa/Kelurahan yang melaksanakan STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat)
3. Persentase sarana air minum yang dilakukan pengawasan
4. Persentase/ jumlah Tempat-Tempat Umum (TTU) yang memenuhi syarat kesehatan
5. Persentase/ jumlah RS yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai standar
6. Persentase Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) yang memenuhi syarat kesehatan
7. Jumlah Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan tatanan kawasan sehat
8. Jumlah pasar yang diawasi memenuhi syarat kesehatan

Target Realisasi/Capaian
% Absolut Realisasi Capaian
No Indikator Ket
(Realisasi/
Target*100)
1 Persentase Kabupaten/Kota 30% 154 Kab/Kota 53.89% 179.63% IKU
yang memenuhi kualitas dari 514 (277
kesehatan lingkungan Kab/Kota Kab/Kota)
2 Jumlah Desa/Kelurahan yang 35.000 39.616 113.19% IKK
melaksanakan STBM Desa/Kel dari Desa/Kel
80.276
Desa/Kel
3 Persentase RS yang melakukan 21% 541 RS dari 22 % (579 104.76% IKK
pengelolaan limbah medis 2575 RS RS)
sesuai standar
4 Persentase Tempat-Tempat 54% 135.494 TTU 54.01% 100.02% IKK
Umum (TTU) yang memenuhi dari 240.586 (135.519
syarat kesehatan TTU TTU)
5 Jumlah Kabupaten/Kota yang 366 Kab/Kota 355 96.99% IKK
menyelenggarakan tatanan Kab/Kota
kawasan sehat
Tabel 1. Indikator realisasi kinerja Direktorat Kesehatan Lingkungan Tahun 2017

Pada tahun 2017, terdapat 4 indikator yang capaian kinerjanya sudah di atas 100 %
dan terdapat 4 indikator yang capaian kinerjanya masih di bawah 100 %. Capaian kinerja
paling rendah sebesar 56.90 % yaitu indikator persentase sarana air minum yang dilakukan
pengawasan. Sedangkan capaian kinerja paling tinggi sebesar 179.63 % yaitu indikator
persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesling. Jadi dari 8 indikator yang ada, 4
indikator sudah mencapai target sehingga dapat disimpulkan bahwa capaian kinerja Dit.
Kesling Th 2017 berdasarkan jumlah indikator yang dapat tercapai sebesar 50 % dan belum
mencapai target kinerja 100 %.

Kegiatan pokok yang tercakup dalam program lingkungan sehat adalah :


1 Meningkatkan promosi higiene dan sanitasi di tingkat individu, keluarga, dan masyarakat.
2 Meningkatkan mutu lingkungan perumahan dan pemukiman termasuk pengungsian.
3 Meningkatkan hygiene dan sanitasi tempat-tempat umum dan pengelolaan makanan.
4 Meningkatkan kesehatan keselamatan kerja.
5 Meningkatkan wilayah/kawasan sehat termasuk kawasan bebas rokok.

Pertanyaan Ulangan :
1. Jelaskan definisi dari kesehatan lingkungan!
2. Jelaskan ruang lingkup kesehatan lingkungan!
3. Jelaskan berbagai faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit!
4. Jelaskan penyebab dan masalah-masalah kesehatan lingkungan!
5. Jelaskan pengaruh dan hubungan antara kondisi lingkungan dengan kesehatan masyarakat!
6. Jelaskan indikator kesehatan lingkungan!

DAFTAR PUSTAKA

Harsanto, et al., 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat, Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes, 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2006, Jakarta. Available at:
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/
profil-kesehatan-indonesia-2006.pdf [Accessed February 13, 2019].
Kemenkes RI, 2017. Laporan Kinerja Kegiatan Kesehatan Lingkungan, Jakarta: Direktorat Kesehatan
Lingkungan Ditjen Kesehatan Masyarakat Kementrian Kesehatan.
Kemenkes RI, 2012. Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2010, Jakarta.
Kesmas, 2014. Pengertian Kesehatan Lingkungan Menurut Undang-Undang dan WHO. Available at:
http://www.indonesian-publichealth.com/pengertian-kesehatan-lingkungan/ [Accessed July 11,
2018].
Pembina KKS (Kabupaten Kota Sehat), 2017. Indikator Penyelenggaran Kabupaten/ Kota Sehat,
Jakarta: Pembina KKS (Kapubaten/Kota Sehat). Available at: http://202.70.136.105/wp-
content/uploads/2017/03/1-Kawasan-Permukiman-Sehat.pdf [Accessed July 11, 2018].
Slamet JS, 2002. Kesehatan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Soeparman & Suparmin, 2001. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair : Suatu Pengantar, Jakarta:
EGC.

BAB 6
KEPERAWATAN KESEHATAN KERJA

Tujuan :
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan dapat :

1. Menjelaskan konsep kesehatan kerja


2. Menjelaskan ruang lingkup kesehatan kerja
3. Menjelaskan komponen utama dalam kesehatan kerja
4. Menjelaskan lingkungan kerja dan penyakit akibat kerja
5. Menjelaskan pengertian dan penyebab kecelakaan kerja
6. Menjelaskan tata laksana penyakit akibat kerja
7. Menjelaskan penerapan konsep five level of prevention diseases pada penyakit akibat kerja (PAK)
8. Menjelaskan fungsi dan tugas perawat dalam K3

Konsep Penting :
1. Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan
lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya
sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal.
2. Kesehatan Kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan pekerjaan dan
lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal cara/metode kerja, proses kerja dan
kondisi.
3. Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama dalam
kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan
menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal.
4. Penerapan konsep 5 tingkatan pencegahan penyakit (five level of prevention diseases) pada
Penyakit Akibat Kerja diantaranya health promotion, specific protection, early diagnosis and
prompt treatment , rehabilitation, disability limitation.

Prinsip Dasar Kesehatan Kerja


Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan
kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun
masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan Tahun
1992). Konsep dasar dari Upaya Kesehatan Kerja ini adalah identifikasi permasalahan, evaluasi dan
dilanjutkan dengan tindakan pengendalian. Sifat dari kesehatan kerja adalah sasarannya manusia dan
meliputi aspek kesehatan dari pekerja itu sendiri. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun
2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja disusun untuk memberikan acuan
dalam melakukan tatalaksana penyakit akibat kerja, yang meliputi tata laksana medis dan tata laksana
okupasi (Kemenkes RI, 2016).

Ruang Lingkup Kesehatan Kerja


Kesehatan Kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan pekerjaan dan
lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal cara/metode kerja, proses kerja dan kondisi
yang bertujuan untuk (Canadian Public Health Association, 2010; Gheorghe, 2017):

1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat pekerja di semua lapangan
kerja setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun kesejahteraan sosialnya.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang diakibatkan oleh
keadaan/kondisi lingkungan kerjanya.
3. Memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya dari kemungkinan
bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang membahayakan kesehatan.
4. Menciptakan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan fisik dan psikis pekerjanya.

Kapasitas Kerja, Beban Kerja dan Lingkungan Kerja


Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama dalam
kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan
menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal. Kapasitas kerja yang baik seperti status
kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima diperlukan agar seorang
pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja sebagai
(modal) awal seseorang untuk melakukan pekerjaan harus pula mendapat perhatian. Kondisi awal
seseorang untuk bekerja dapat dipengaruhi oleh kondisi tempat kerja, gizi kerja dan lain-lain. Beban
kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja yang terlalu berat atau
kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang pekerja menderita gangguan atau
penyakit akibat kerja. Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising debu, zat-zat kimia dan lain-
lain) dapat merupakan beban tambahan terhadap pekerja. Beban-beban tambahan tersebut secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat menimbulkan gangguan atau penyakit akibat kerja
(International Labour Organization, 2016; Magnavita, 2018).
Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor yang berhubungan dengan
pekerjaan maupun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa status kesehatan masyarakat pekerja dipengaruhi tidak hanya oleh bahaya kesehatan ditempat
kerja dan lingkungan kerja tetapi juga oleh faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja
serta faktor lainnya.

Lingkungan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja yang Ditimbulkan


Penyakit akibat kerja dan/atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pajanan
di lingkungan kerja. Dewasa ini terdapat kesenjangan antara pengetahuan ilmiah tentang bagaimana
bahaya-bahaya kesehatan berperan dan usaha-usaha untuk mencegahnya. Misalnya antara penyakit
yang sudah jelas penularannya dapat melalui darah dan pemakaian jarum suntik yang berulang-ulang,
atau perlindungan yang belum baik pada para pekerja rumah sakit dengan kemungkinan terpajan
melalui kontak langsung. Untuk mengantisipasi permasalahan ini maka langkah awal yang penting
adalah pengenalan / identifikasi bahaya yang bisa timbul dan dievaluasi, kemudian dilakukan
pengendalian (Kobb and Stikova, 2013). –
+
Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya dilingkungan kerja ditempuh tiga
langkah utama, yakni:

1. Pengenalan lingkungan kerja.


Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan mengenal (“walk
through inspection”), dan ini merupakan langkah dasar yang pertama-tama dilakukan dalam
upaya kesehatan kerja.

2. Evaluasi lingkungan kerja.


Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya yang mungkin
timbul, sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam mengatasi permasalahan.

3. Pengendalian lingkungan kerja.


Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pajanan terhadap zat/bahan yang
berbahaya dilingkungan kerja. Kedua tahapan sebelumnya, pengenalan dan evaluasi, tidak dapat
menjamin sebuah lingkungan kerja yang sehat. Jadi hanya dapat dicapai dengan teknologi
pengendalian yang adekuat untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan di kalangan para
pekerja. Upaya yang ketiga ini dapat ditempuh melalui:

1) Pengendalian lingkungan (Environmental Control Measures).


▪ Desain dan tata letak yang adekuat.
▪ Penghilangan atau pengurangan bahan berbahaya pada sumbernya.
2) Pengendalian perorangan (Personal Control Measures).
Penggunaan alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk melindungi pekerja dari
bahaya kesehatan. Namun alat pelindung perorangan harus sesuai dan adekuat. Pembatasan
waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang berbahaya dapat menurunkan risiko
terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja.
Kebersihan perorangan dan pakaiannya, merupakan hal yang penting, terutama untuk para
pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan kimia serta partikel lain.

Tujuan Penerapan Keperawatan Kesehatan Kerja


Secara umum, tujuan dari keperawatan kesehatan kerja adalah menciptakan tenaga kerja yang
sehat dan produktif.
Tujuan Hygiene Perusahaan dan Kesehatan kerja (hyperkes) dapat dirinci sebagai berikut :

a. Agar tenaga kerja dan setiap orang berada di tempat kerja selalu dalam keadaan sehat dan
selamat.
b. Agar sumber-sumber produksi dapat berjalan secara lancar tanpa adanya hambatan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 52 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), tujuan dari penerapan K3
adalah menciptakan Fasyankes yang sehat, aman, dan nyaman bagi Sumber Daya Manusia
Fasyankes, pasien, pengunjung, maupun lingkungan Fasyankes melalui penyelenggaraan K3
secara optimal, efektif, efisien dan berkesinambungan, sehingga proses pelayanan berjalan baik
dan lancar (Kemenkes RI, 2018).
Kecelakaan kerja
1. Pengertian
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: 03 /MEN/1998 tentang Tata Cara
Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan bahwa yang dimaksud dengan kecelakaan adalah suatu
kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban
manusia dan atau harta benda (Menaker, 1981).

2. Penyebab kecelakaan kerja


Secara umum, ada dua sebab terjadinya kecelakaan kerja, yaitu penyebab langsung (immediate
causes) dan penyebab dasar (basic causes) (International Labour Organization, 2016; Magnavita,
2018).
a. Penyebab Dasar

1) Faktor manusia/pribadi, antara lain karena :


a) Kurangnya kemampuan fisik, mental, dan psikologis.
b) Kurangnya/lemahnya pengetahuan dan keterampilan/keahlian.
c) Stress.
d) Motivasi yang tidak cukup/salah.
2) Faktor kerja/lingkungan, antara lain karena :
a) Tidak cukup kepemimpinan dan atau pengawasan.
b) Tidak cukup rekayasa (engineering).
c) Tidak cukup pembelian/pengadaan barang.
d) Tidak cukup perawatan (maintenance).
e) Tidak cukup alat-alat, perlengkapan dan barang-barang/bahan-bahan.
f) Tidak cukup standar-standar kerja.
g) Penyalahgunaan.

b. Penyebab Langsung
1) Kondisi berbahaya (unsafe conditions/kondisi-kondisi yang tidak standar) yaitu tindakan
yang akan menyebabkan kecelakaan, misalnya:
a) Peralatan pengaman/pelindung/rintangan yang tidak memadai atau tidak memenuhi
syarat.
b) Bahan, alat-alat/peralatan rusak.
c) Terlalu sesak/sempit.
d) Sistem-sistem tanda peringatan yang kurang memadai.
e) Bahaya-bahaya kebakaran dan ledakan.
f) Kerapian/tata-letak (housekeeping) yang buruk.
g) Lingkungan berbahaya/beracun : gas, debu, asap, uap, dll.
h) Bising.
i) Paparan radiasi.
j) Ventilasi dan penerangan yang kurang.
2) Tindakan berbahaya (unsafe act/tindakan-tindakan yang tidak standar) adalah tingkah
laku, tindak-tanduk atau perbuatan yang akan menyebabkan kecelakaan, misalnya:
a) Mengoperasikan alat/peralatan tanpa wewenang.
b) Gagal untuk memberi peringatan.
c) Gagal untuk mengamankan.
d) Bekerja dengan kecepatan yang salah.
e) Menyebabkan alat-alat keselamatan tidak berfungsi.
f) Memindahkan alat-alat keselamatan.
g) Menggunakan alat yang rusak.
h) Menggunakan alat dengan cara yang salah.
i) Kegagalan memakai alat pelindung/keselamatan diri secara benar (Sugeng, 2003).

Penyakit akibat kerja


1. Pengertian
Peraturan Menaker No. Per 01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja
menyebutkan bahwa Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja (Menaker, 1981). Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja termasuk penyakit terkait kerja. Penyakit terkait
kerja adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab dengan faktor pekerjaan dan/atau
lingkungan kerja memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya (Kemenkes RI, 2016).
Beberapa ciri penyakit akibat kerja adalah dipengaruhi oleh populasi pekerja; disebabkan oleh
penyebab yang spesifik, ditentukan oleh pajanan di tempat kerja; ada atau tidaknya kompensasi.
Contohnya adalah keracunan Pb, Asbestosis, Silikosis (Sugeng, 2003).

2. Jenis Penyakit Akibat Kerja


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-01/MEN/1981
mencantumkan 30 jenis penyakit, sedangkan Keputusan Presiden RI No 22/1993 tentang Penyakit
yang Timbul Karena Hubungan Kerja memuat jenis penyakit yang sama, ditambah dengan “penyakit
yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat”. Jenis penyakit akibat kerja tersebut
adalah :

1) Pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentukan jaringan parut (silikosis,
antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya merupakan faktor
utama penyebab cacat atau kematian.
2) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu
logam keras.
3) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu
kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis).
4) Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang yang
dikenal yang berada dalam proses pekerjaan.
5) Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan debu
organik.
6) Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun.
7) Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun.
8) Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun.
9) Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun.
10) Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
11) Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.
12) Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun.
13) Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun.
14) Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun.
15) Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida.
16) Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik atau
aromatik yang beracun.
17) Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun.
18) Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzena atau homolognya yang
beracun.
19) Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya.
20) Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.
21) Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti
karbon monoksida, hidrogen sianida, hidrogen sulfida atau derivatnya yang beracun,
amoniak, seng, braso dan nikel.
22) Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23) Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang
persendian, pembuluh darah tepi atau saraf tepi).
24) Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih.
25) Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetik dan radiasi yang mengion.
26) Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau biologis.
27) Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral,
antrasena, atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.
28) Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29) Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang didapat dalam suatu
pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus.
30) Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau kelembaban
udara tinggi.
31) Penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.

Menurut Peraturan Menteri No. 56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Penyakit


Akibat Kerja, penyebab penyakit akibat kerja dibagi menjadi 5 (lima) golongan, yaitu:

1. Golongan fisika
Suhu ekstrem, bising, pencahayaan, vibrasi, radiasi pengion dan non pengion dan
tekanan udara.
2. Golongan kimia
Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan, kabut, partikel
nano dan lain-lain.
3. Golongan biologi
Bakteri, virus, jamur, bioaerosol dan lain-lain.

4. Golongan ergonomi
Angkat angkut berat, posisi kerja janggal, posisi kerja statis, gerak repetitif, penerangan,
Visual Display Terminal (VDT) dan lain-lain.

5. Golongan psikososial
Beban kerja kualitatif dan kuantitatif, organisasi kerja, kerja monoton, hubungan
interpersonal, kerja shift, lokasi kerja dan lain-lain.

3. Diagnosis Spesifik Penyakit Akibat Kerja


Secara teknis penegakkan diagnosis dilakukan dengan:

a. Anamnesis/wawancara meliputi : identitas, riwayat kesehatan, riwayat penyakit, keluhan.


b. Riwayat pekerjaan (kunci awal diagnosis).
a) Sejak pertama kali bekerja.
b) Kapan, bilamana, apa yang dikerjakan, bahan yang digunakan, jenis bahaya yang ada,
kejadian sama pada pekerja lain, pemakaian alat pelindung diri, cara melakukan
pekerjaan, pekerjaan lain yang dilakukan, kegemaran (hobby), kebiasaan lain (seperti
merokok, alkohol).
c) Sesuai tingkat pengetahuan, pemahaman pekerjaan.
c. Membandingkan gejala penyakit waktu bekerja dan dalam keadaan tidak bekerja.
a) Waktu bekerja gejala timbul/lebih berat, waktu tidak bekerja/istirahat gejala
berkurang/hilang.
b) Perhatikan juga kemungkinan pemajanan di luar tempat kerja.
c) Informasi tentang ini dapat ditanyakan dalam anamnesis atau dari data penyakit di
perusahaan.
d. Pemeriksaaan fisik, yang dilakukan dengan catatan.
a) Gejala dan tanda mungkin tidak spesifik.
b) Pemeriksaan laboratorium penunjang membantu diagnostik klinik.
c) Dugaan adanya penyakit akibat kerja dilakukan juga melalui pemeriksaan laboratorium
khusus/pemeriksaan biomedik.
e. Pemeriksaan laboratorium khusus/pemeriksaan biomedik.
a) Misal : pemeriksaan spirometri, foto paru (pneumokoniosis-pembacaan standar ILO).
b) Pemeriksaan audiometri.
c) Pemeriksaan hasil metabolit dalam darah/urine.
f. Pemeriksaan/pengujian lingkungan kerja atau data higiene perusahaan, yang memerlukan:
a) Kerjasama dengan tenaga ahli higiene perusahaan.
b) Kemampuan mengevaluasi faktor fisik/kimia berdasarkan data yang ada.
c) Pengenalan secara langsung cara/sistem kerja, intensitas dan lama pajanan.
g. Konsultasi keahlian medis/keahlian lain.
a) Seringkali penyakit akibat kerja ditentukan setelah ada diagnosis klinik, kemudian dicari
faktor kausa di tempat kerja, atau melalui pengamatan/penelitian yang relatif lebih lama.
b) Dokter spesialis lainnya, ahli toksikologi dan dokter penasehat (kaitan dengan
kompensasi) (Sugeng, 2003).

4. Tata laksana Penyakit Akibat Kerja


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Penyakit Akibat Kerja, tatalaksana penyakit akibat kerja secara garis besar dibagi
menjadi dua yaitu tata laksana medis dan tata laksana okupasi.
1. Tatalaksana Medis
Tatalaksana medis dilakukan setelah diagnosis klinis pada langkah pertama diagnosis
penyakit akibat kerja ditegakkan. Tatalaksana medis berupa rawat jalan dan/atau rawat
inap yang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai
dengan kompetensinya.
Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan/atau non-medikamentosa seperti
edukasi, exercise, fisioterapi, konseling, psikoterapi dan nutrisi. Rujukan klinis
dilakukan apabila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan karena :
a. Timbul keraguan dari dokter yang melakukan pemeriksaan.
b. Sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang tidak memadai.
2. Tata Laksana Okupasi
Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis PAK ditegakkan. Sasaran tatalaksana
okupasi adalah individu pekerja dan komunitas pekerja. Tatalaksana okupasi pada individu
pekerja terdiri dari penetapan kelaikan kerja, program kembali bekerja dan penentuan
kecacatan.
1) Tata laksana Okupasi pada Individu Pekerja
A. Penetapan Kelaikan Kerja
Penetapan kelaikan kerja meliputi penilaian risiko, kapasitas dan toleransi pekerja
dengan tuntutan pekerjaan yang ada di tempat kerja. Hasil penilaian digunakan untuk
menentukan pekerja tersebut dapat kembali bekerja pada pekerjaan sebelumnya, bekerja
dengan keterbatasan (limitasi) ataupun restriksi tertentu atau berganti pekerjaan yang sesuai
dengan kondisi kesehatan pekerja. Rujukan penentuan kelaikan kerja diperlukan jika:
a. Status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1 (satu) sistem organ atau
melibatkan hanya 1 (satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital).
b. Pajanan faktor risiko yang ada di tempat kerja kompleks dan saling berkaitan.
c. Terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang dapat
diterima (acceptable risk).
d. Terdapat ketidakpuasan pekerja atas penetapan kelaikan kerja.
e. Penetapan kelaikan kerja diperlukan untuk penetapan kelaikan kerja calon kepala
daerah atau pimpinan lembaga tinggi negara lainnya.
f. ada permintaan dari bagian kepegawaian atau bagian keselamatan dan kesehatan kerja
suatu perusahaan.
g. SDM dan sarana prasarana di fasilitas pelayanan kesehatan tidak memadai.
(2) Program Kembali Bekerja (return to work)
Suatu upaya terencana agar pekerja yang mengalami cedera/sakit dapat segera kembali
bekerja secara produktif, aman dan berkelanjutan. Dalam upaya ini termasuk pemulihan medis,
pemulihan kerja, pelatihan keterampilan, penyesuaian pekerjaan, penyediaan pekerjaan baru,
penatalaksanaan biaya asuransi dan kompensasi serta partisipasi pemberi kerja.
Rujukan program kembali bekerja dilakukan jika:
a. Diperlukan kunjungan ke tempat kerja pasien untuk melihat pekerjaan lain yang
tersedia yang cocok dengan kondisi medis pasien.
b. Status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1(satu) sistem organ atau
melibatkan hanya 1 (satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital).
c. Pajanan faktor risiko yang ada di tempat kerja kompleks dan saling berkaitan.
d. Terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang dapat
diterima (acceptable risk).
e. Terdapat ketidakpuasan pekerja atas program kembali bekerja.
(3) Penentuan Kecacatan
Penyakit akibat kerja dapat menimbulkan disabilitas akibat kecacatan anatomi maupun
fungsi yang perlu dinilai persentasenya sehingga pekerja berhak mendapatkan kompensasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Rujukan penentuan kecacatan diperlukan jika:
a. Jenis kecacatan belum ada dalam pedoman penentuan kecacatan.
b. Terdapat ketidakpuasan pekerja atas penetapan persentase kecacatan.
c. Terdapat keberatan dari pihak pemberi jaminan pelayanan kesehatan atas penetapan
persentase kecacatan.
d. Diperlukan untuk kepentingan legal seperti kompensasi ganti rugi di luar dari yang
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
2). Tata Laksana Okupasi pada Komunitas Pekerja
Tata laksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri dari pelayanan pencegahan penyakit
akibat kerja dan penemuan dini penyakit akibat kerja.
(1) Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja
Pada umumnya penyakit akibat kerja bersifat irreversible sehingga tindakan pencegahan
sangat diperlukan, karena bila tidak dilakukan akan menimbulkan penyakit akibat kerja pada
pekerja lain dengan risiko pekerjaan yang sama. Upaya pencegahan penyakit akibat kerja antara
lain:
a. Melakukan identifikasi potensi bahaya penyakit akibat kerja.
b. Promosi kesehatan kerja sesuai dengan hasil identifikasi potensi bahaya yang ada di
tempat kerja.
c. Melakukan pengendalian potensi bahaya di tempat kerja.
d. Pemberian informasi mengenai alat pelindung diri yang sesuai dengan potensi bahaya
yang ada di tempat kerja dan cara pemakaian alat pelindung diri yang benar.
e. Pemberian imunisasi bagi pekerja yang terpajan dengan agen biologi tertentu.
(2) Penemuan Dini Penyakit Akibat Kerja
Penemuan dini penyakit akibat kerja dilakukan dengan :
a. Pemeriksaan kesehatan pra kerja.
b. Pemeriksaan berkala.
c. Pemeriksaan khusus dilakukan sesuai indikasi bila ditemukan ada keluhan dan/atau
potensi bahaya di tempat kerja. Sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan
berkala dan menjelang masa akhir kerja.
d. Surveilans kesehatan pekerja dan lingkungan kerja.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan sesuai potensi bahaya yang dihadapi di tempat
kerja. Hal ini merupakan bagian dari surveilans kesehatan pekerja. Data surveilans
kesehatan pekerja dihubungkan dengan data surveilans lingkungan kerja untuk
mengetahui keterkaitan penyakit dengan potensi bahaya di tempat kerja.

5. Penerapan konsep five level of prevention diseases pada PAK


Penerapan konsep 5 tingkatan pencegahan penyakit (five level of prevention deseases) pada
Penyakit Akibat Kerja adalah :

a. Health Promotion (peningkatan kesehatan)


Misalnya : pendidikan kesehatan, meningkatkan gizi yang baik, pengembangan kepribadian,
perusahaan yang sehat dan memadai, rekreasi, lingkungan kerja yang memadai, penyuluhan
perkawinan dan pendidikan seks, konsultasi tentang keturunan dan pemeriksaan kesehatan
periodik.
b. Specific Protection ( perlindungan khusus)
Misalnya : imunisasi, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, proteksi terhadap bahaya dan
kecelakaan kerja.

c. Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan pengobatan tepat)
Misalnya : diagnosis dini setiap keluhan dan pengobatan segera, pembatasan titik-titik lemah
untuk mencegah terjadinya komplikasi.

d. Disability limitation (membatasi kemungkinan cacat)


Misalnya : memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif, mengobati tenaga
kerja secara sempurna, pendidikan kesehatan.

e. Rehabilitation (pemulihan kesehatan)


Misalnya : rehabilitasi dan mempekerjakan kembali para pekerja yang menderita cacat.
Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan karyawan-karyawan cacat di jabatan-
jabatan yang sesuai.
Fungsi dan Tugas Perawat dalam K3
Fungsi dan tugas perawat dalam usaha K3 di Industri adalah sebagai berikut (Effendy, 1998):

a. Fungsi
a) Mengkaji masalah kesehatan
b) Menyusun rencana asuhan keperawatan pekerja
c) Melaksanakan pelayanan kesehatan dan keperawatan terhadap pekerja
d) Penilaian
b. Tugas
a) Pengawasan terhadap lingkungan pekerja
b) Memelihara fasilitas kesehatan perusahaan
c) Membantu dokter dalam pemeriksaan kesehatan pekerja
d) Membantu dalam penilaian keadaan kesehatan pekerja
e) Merencanakan dan melaksanakan kunjungan rumah dan perawatan di rumah kepada pekerja
dan keluarga pekerja yang mempunyai masalah
f) Ikut menyelenggarakan pendidikan K3 terhadap pekerja
g) Turut ambil bagian dalam usaha keselamatan kerja
h) Pendidikan kesehatan mengenai keluarga berencana terhadap pekerja dan keluarga pekerja.
i) Membantu usaha penyelidikan kesehatan pekerja
j) Mengkordinasi dan mengawasi pelaksanaan K3

Pertanyaan Ulangan :
1. Jelaskan konsep kesehatan kerja !
2. Jelaskan ruang lingkup kesehatan kerja !
3. Jelaskan komponen utama dalam kesehatan kerja !
4. Jelaskan lingkungan kerja dan penyakit akibat kerja !
5. Jelaskan tata laksana penyakit akibat kerja !
6. Jelaskan penerapan konsep five level of prevention diseases pada PAK !
7. Jelaskan fungsi dan tugas perawat dalam k3 !

DAFTAR PUSTAKA

Canadian Public Health Association (2010) Public Health ~ Community Health Nursing Practice in
Canada Role and Activities. Canada: Canadian Public Health Association.
Gheorghe, C. (2017) ‘Study regarding the Steps of Occupational Health in Safety Management
System’, International Journal of Economics and Management Systems, 2, pp. 13–16.
Indonesia, P. R. (1992) ‘Undang Undang No . 23 Tahun 1992 Tentang : Kesehatan’, (23).
International Labour Organization (2016) Occupational Safety and Health Management System.
Switzerland: International Labour Organization.
Kemenkes RI (2016) Peraturan Menteri Kesehatan No 56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Penyakit Akibat Kerja. Indonesia.
Kemenkes RI (2018) Peraturan Menteri Kesehatan No. 52 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Indonesia.
Kobb, T. and Stikova, E. (2013) ‘Occupational Health and Safety Management System and
Workplace Risk Assessment Prof . Dr . Elisaveta Stikova , Prof . Drf . Doncho Donev ’, Qatar
Petroleum Occupational Health Conference, (November). doi: 10.13140/RG.2.1.1954.8000.
Magnavita, N. (2018) ‘Obstacles and Future Prospects : Considerations on Health Promotion
Activities for Older Workers in Europe’, International Journal of Environmental Research and
Public Health, 15(1), pp. 1–14. doi: 10.3390/ijerph15061096.
Menaker (1981) Peraturan Menaker No Per 01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit
Akibat Kerja. Indonesia.
Sugeng, B. (2003) Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Haji Masagung.

BAB 12
PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT (PUSKESMAS)

Konsep Penting :
1. Menjelaskan definisi Puskesmas
2. Menjelaskan konsep wilayah kerja Puskesmas
3. Menjelaskan fungsi dan peran Puskesmas
4. Menjelaskan program pokok Puskesmas
5. Menjelaskan jangkauan pelayanan kesehatan
6. Menjelaskan peran perawat di Puskesmas
7. Menjelaskan definisi desa siaga
8. Menjelaskan peran dan fungsi kader kesehatan

Tujuan :
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan dapat :

1. Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat
pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat
disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat
diwilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
2. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur
lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas.
3. Pelayanan Kesehatan yang diberikan Puskesmas adalah pelayanan kesehatan menyeluruh yang
meliputi pelayanan kuratif, preventif, promotif dan rehabilitatif.
4. Kedudukan Puskesmas bisa dilihat secara administratif dan dalam hirarki pelayanan kesehatan.
5. Kegiatan pokok Puskesmas dilaksanakan sesuai kemampuan tenaga maupun fasilitasnya,
karenanya kegiatan pokok di setiap Puskesmas dapat berbeda-beda.
6. Puskesmas Perawatan atau Puskesmas Rawat Inap adalah Puskesmas yang diberi tambahan
ruangan dan fasilitas untuk menolong penderita gawat darurat, baik berupa tindakan operatif
terbatas maupun rawat inap sementara.
7. Desa siaga merupakan gambaran bagi Indonesia sehat 2010 yang sesuai dengan semangat
otonomi daerah di bidang kesehatan yaitu bottom up.
8. Desa siaga adalah desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk mencegah
dan mengatasi masalah kesehatan (bencana dan kegawatdaruratan kesehatan) secara mandiri.
9. Kader kesehatan dinamakan juga promotor kesehatan desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang
dipilih oleh dari masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat.

Mulai tahun 1968 pemerintah mulai mengenalkan konsep Puskesmas yang tertuang dalam
Pembangunan Jangka Panjang (PJP). Puskesmas dibangun untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan dasar, menyeluruh dan terpadu bagi seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah kerjanya.
Program kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas merupakan program pokok yang wajib
dilaksanakan oleh Pemerintah untuk melindungi rakyatnya, termasuk mengembangkan program
khusus untuk penduduk miskin. Setelah 32 tahun Puskesmas dikembnagkan sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan di Indonesia, reformasi dan system desentralisasi yang mulai dikembangkan
tahun 2001 menghendaki adanya perubahan visi, misi dan strategi Puskesmas. Kebutuhan untuk
kembali mengkaji kembali peran dan manajemen Puskesmas tertuang di dalam UU No. 22 dan 25
tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Reformasi kebijakan kesehatan merupakan
strategi jangka panjang pembangunan berwawasan kesehatan untuk mewujudkan Indonesia sehat pada
tahun 2010. Untuk itu, sebagai perawat komunitas kita harus mengetahui dan memahami program
kerja Puskesmas yang merupakan pelayanan keperawatan lini pertama dalam komunitas.
Sejak diperkenalkannya konsep Puskesmas berbagai hasil telah banyak dicapai.angka
kematian ibu dan kematian bayi telah berhasil diturunkan dan sementara itu umur harapan hidup rata-
rata bangsa Indonesia telah meningkat secara bermakna. Jika pada tahun 1995 Angka Kematian Ibu
dan Angka Kematian Bayi masing-masing adalah 373/100.000 kelahiran hidup (SKRT 1995) serta
60/1000 kelahiran hidup (Susenas, 1995), maka pada tahun 1997 Angka Kematian Ibu turun menjadi
334/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 1997), sedangkan Angka Kematian Bayi pada tahun 2001 turun
menjadi 51/1000 kelahiran hidup (Susenas, 2001). Sementara itu umur harapan hidup rata-rata
meningkat dari 45 pada tahun 1970 menjadi 65 pada tahun 2000 (Depkes RI, 2004).

1. Pengertian
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat
pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping
memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat diwilayah kerjanya
dalam bentuk kegiatan pokok (Kemenkes RI, 2014).
Puskesmas juga dapat didefinisikan sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah
kerja. Dengan kata lain Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan
kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya (Kemenkes RI, 2018).

2. Wilayah Kerja Puskemas


Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan.
Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur lainnya
merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas merupakan
perangkat Pemerintah Daerah Tingkat II, sehingga pembagian wilayah kerja puskesmas
ditetapkan oleh Bupati atau Walikota, dengan saran teknis dari kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kota. Sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk
setiap Puskesmas (Kemenkes RI, 2014; Wardani, 2014).
Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka Puskesmas perlu ditunjang dengan unit
pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yanng disebut Puskesmas Pembantu dan Puskesmas
Keliling (HAPSARI, 2009).
Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih, wilayah kerja
Puskesmas bisa meliputi 1 Kelurahan. Puskesmas di ibukota Kecamatan dengan jumlah
penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan
“Puskesmas Pembina“ yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi Puskesmas kelurahan dan juga
mempunyai fungsi koordinasi. Dalam perkembangannya, batasan-batasan di atas makin kabur
seiring dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah yang lebih mengedepankan desentralisasi.
Dengan Otonomi, setiap daerah tingkat II punya kesempatan mengembangkan Puskesmas sesuai
Rencana Strategis (renstra) Kesehatan Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Bidang Kesehatan sesuai situasi dan kondisi daerah Tingkat II.
Konsekuensinya adalah perubahan struktur organisasi kesehatan serta tugas pokok dan fungsi
yang menggambarkan lebih dominannya aroma kepentingan daerah tingakt II, yang
memungkinkan terjadinya perbedaan penentuan skala prioritas upaya peningkatan pelayanan
kesehatan di tiap daerah tingkat II, dengan catatan setiap kebijakan tetap mengacu kepada
Renstra Kesehatan Nasional. Di sisi lain daerah tingkat II dituntut melakukan akselerasi di
semua sektor penunjang upaya pelayanan kesehatan (Hatmoko, 2006).

3. Pelayanan Kesehatan Menyeluruh


Pelayanan Kesehatan yang diberikan Puskesmas adalah pelayanan kesehatan menyeluruh
yang meliputi pelayanan (WENDIMAGEGN, 2017; WHO, 2018):
a. Kuratif (pengobatan)

b. Preventif (upaya pencegahan)


c. Promotif (peningkatan kesehatan)
d. Rehabilitatif (pemulihan kesehatan)
Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk, tidak membedaan jenis kelamin dan
golongan umur, sejak pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia.

4. Pelayanan Kesehatan Integratif


Sebelum ada Puskesmas, pelayanan kesehatan di Kecamatan meliputi Balai Pengobatan, Balai
Kesejahteraan Ibu dan Anak, Usaha Hyegiene Sanitasi Lingkungan, Pemberantasan Penyakit
Menular, dan lain-lain. Usaha-usaha tersebut masih bekerja sendiri-sendiri dan langsung melapor
kepada Kepala Dinas Kesehatan Dati II. Petugas Balai Pengobatan tidak tahu menahu apa yang terjadi
di BKIA, begitu juga petugas BKIA tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh petugas higiene
sanitasi dan sebaliknya (Saepudin, Encang et.al., 2017).

5. Fungsi dan Peran Puskesmas Fungsi Puskesmas:


Puskesmas memiliki peran dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, yang terbagi menjadi
(Wardani, 2014; Kemenkes RI, 2018):
1) Sebagai Pusat Pembangunan Kesehatan Masyarakat di wilayah kerjanya.
2) Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan
kemampuan untuk hidup sehat
3) Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di
wilayah kerjanya.
Proses dalam melaksanakan fungsinya, dilaksanakan dengan cara :
a. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka
menolong dirinya sendiri.
b. Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali dan menggunakan
sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien.
c. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan medis maupun
rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak
menimbulkan ketergantungan.
d. Memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat.
e. Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program
Puskesmas.

Peran Puskesmas:
Dalam konteks Otonomi Daerah saat ini, Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital
sebagai institusi pelaksana teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasanjauh ke
depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk
ikut serta menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan realisize,
tatalaksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat.
Rangkaian maajerial di atas bermanfaat dalam penentuan skala prioritas daerah dan sebagai bahan
kesesuaian dalam menentukan Rancangan Anggaran Pembelanjaan Daerah (RAPBD) yang
berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Adapun ke depan, Puskesmas juga dituntut berperan
dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara
komprehensif dan terpadu (Kemenkes RI, 2014, 2016).
Kedudukan Puskesmas (Kemenkes RI, 2014):

1. Kedudukan secara administratif :


Puskesmas merupakan perangkat teknis Pemerintah Daerah Tingkat II dan bertanggung jawab
langsung baik teknis maupun administratif kepada Kepala Dinas Kesehatan Dati II.

2. Kedudukan dalam hirarki pelayanan kesehatan :


Dalam urutan hirarki pelayanan kesehatan, sesuai SKN maka Puskesmas berkedudukan pada
Tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pertama.
Yang dimaksud Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama adalah fasilitas, sedangkan dalam hal
pengembangan pelayanan kesehatan, Puskesmas dapat meningkatkan dan mengembangkan diri ke
arah modernisasi sistem pelayanan kesehatan di semua lini, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif sesuai kebijakan Rencana Strategis daerah tingkat II di bidang kesehatan. Sebagai
contoh :

� Di bidang promotif, Puskesmas dimungkinkan menggunakan LCD Proyektor sebagai sarana


penyuluhan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi terkini yang bersifat interaktif
menggunakan perangkat audiovisual multimedia.
� Di bidang penunjang kuratif, Puskesmas dapat mengembangkan Laboratorium modern
menggunakan Elektro Fotometri, USG, EEG dan lain-lain secara bertahap, agar mutu pelayanan
meningkat dan masyarakat dapat menikmati berbagai pelayanan kesehatan di Puskesmas.
� Di bidang pengembangan SDM petugas, pimpinan Puskesmas dapat mengupayakan nursing
review dan prosedur tetap pelayanan keperawatan, agar upaya kuratif lebih bermutu dan dapat
dipertanggung jawabkan.
� Di bidang preventif, Puskesmas dapat mengembangkannya dalam bentuk pembuatan brosur
semisal Brosur jadwal imunisasi, brosur DBD, Diare dan lain-lain sesuai skala priotitas dan
kondisi tiap Puskesmas.
� Di bidang rehabilitatif, juga dapat dikembangkan transfer pengetahuan kesehatan kepada
khalayak berupa brosur, semisal brosur jadwal makan Diabetes saat puasa dan lain-lain.

Organisasi Puskesmas
Susunan organisasi Puskesmas terdiri dari (Kemenkes RI, 2014):
1. Unsur Pimpinan : Kepala Puskesmas 2. Unsur Pembantu
Pimpinan : Urusan Tata Usaha 3. Unsur Pelaksana :
a. Unit yang terdiri dari tenaga / pegawai dalam jabatan fungsional
b. jumlah unit tergantung kepada kegiatan, tenaga dan fasilitas tiap daerah
c. Unit terdiri dari: unit I, II, III, IV, V, VI dan VII (Lihat gambar 1)

Ringkasan Uraian Tugas :


Rincian tugas dari puskesmas adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014):

1. Kepala Puskesmas :
Mempunyai tugas pokok dan fungsi : memimpin, mengawasi dan mengkoordinir kegiatan
Puskesmas yang dapat dilakukan dalam jabatan struktural dan jabatan fungsional.

2. Kepala Urusan Tata Usaha:


Mempunyai tugas pokok dan fungsi: di bidang kepegawaian, keungan, perlengkapan dan surat
menyurat serta pencatatan dan pelaporan. a. Unit I:
Mempunyai tugas pokok dan fungsi: melaksanakan kegiatan Kesejahteraan Ibu dan Anak,
Keluarga Berencana dan Perbaikan Gizi.

b. Unit II:
Mempunyai tugas pokok dan fungsi: melaksanakan kegiatan pencegahan dan pemberantasan
penyakit, khususnya imunisasi, kesehatan lingkungan dan laboratorium.

c. Unit III:
Mempunyai tugas pokok dan fungsi: melaksanakan kegiatan Kesehatan Gigi dan Mulut,
Kesehatan tenaga Kerja dan Lansia (lanjut usia).

d. Unit IV:
Mempunyai tugas pokok dan fungsi: melaksanakan kegiatan Perawatan Kesehatan
Masyarakat, Kesehatan Sekolah dan Olah Raga, Kesehatan Jiwa, Kesehatan Mata dan
kesehatan khusus lainnya.

e. Unit V:
Mempunyai tugas pokok dan fungsi: melaksanakan kegiatan di bidang pembinaan dan
pengembangan upaya kesehatan masyarakat dan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.

f. Unit VI:
Mempunyai tugas pokok dan fungsi: melaksanakan kegiatan pengobatan Rawat Jalan dan
Rawat Inap (Puskesmas Perawatan).

g. Unit VII:
Mempunyai tugas pokok dan fungsi: melaksanakan pengelolaan Farmasi.
Ringkasan Tata Kerja
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Puskesmas wajib menetapkan prinsip koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungan Puskesmas maupun dengan satuan organisasi di luar
Puskesmas sesuai dengan tugasnya masing-masing. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala
Puskesmas wajib mengikuti dan mematuhi petunjukpetunjuk atasan serta mengikuti bimbingan teknis
pelaksanaan yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Dati II, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kepala Puskesmas bertanggung jawab memimpin,
mengkoordinasi semua unsur dalam lingkungan Puskesmas, memberikan bimbngan serta petunjuk
bagi pelaksanaan tugas masing-masing petugas bawahannya. Setiap unsur di lingkungan Puskesmas
wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk dari dan bertanggung jawab kepada Kepala Puskesmas. Hal-
hal yang menyangkut tata hubungan dan koordinasi dengan instansi vertikal Departemen Kesehatan
RI (akan diatur dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan RI)
(Kemenkes RI, 2014).
Gambar 1. Gambar bagan struktur organisasi Puskesmas

Catatan:
Dalam realisasi pelaksanaan penyusunan Struktur Orgaanisasi dan Penempatan petugas dapat
dilakukan secara fleksibel, bergantung kepada jumlah dan jenis tenaga, kegiatan dan fasilitas di
masing-masing Puskesmas atau Daerah Tingkat II.
Selain itu, juga dapat dimodifikasi sesuai kemudahan koordinasi dan integrasi personal maupun
program serta akses layanan.
Contoh :
Unit V yang mestinya melaksanakan Rawat Jalan dan Rawat Inap, dapat ditambahkan Lab, mengingat
kemudahan akses dan alur pelayanan, dan Rawat Jalan sebagai koordinator.
Berarti di Unit II tanpa Laboratorium karena sudah disubstitusi. Setiap modifikasi sistem unit
hendaknya disertai narasi atau keterangan agar tidak berulangkali ditanyakan oleh Tim Supervisi
Dinas kesehatan Dati II. Bentuk dan tampilan Struktur organisasi juga fleksibel dan tidak mengikat,
yang penting dapat dilihat oleh petugas maupun pengunjung.
Perlu diingat, adakalanya Supervisor atau staf SubDin Dinas Kesehatan Dati II, kurang memahami
keterkaitan Struktur sistem Unit dengan Renstra Daerah maupun kondisi setiap Puskesmas, untuk itu
diperlukan penjelasan dalam bentuk tertulis yang termuat dalam narasi Rencana Kerja dan Evaluasi
Puskesmas.

Fasilitas Penunjang
1. Puskesmas Pembantu
Puskesmas Pembantu yang lebih sering dikenal sebagai Pustu atau Pusban, adalah unit pelayanan
kesehatan sederhana dan berfungsi menunjang serta membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan Puskesmas dalam ruang lingkup wilayah yang lebih kecil.
Pada akhir Pelita V di wilayah kerja Puskesmas Pembantu diperkirakan meliputi 2 – 3 desa,
dengan sasaran penduduk anatara 2.500 jiwa (di luar Jawa-Bali) hingga 10.000 jiwa (di perkotaan
Jawa-Bali). Puskesmas Pembantu merupakan bagian integral dari Puskesmas, atau setiap
Puskesmas memiliki beberapa Puskesmas Pembantu di dalam wilayah kerjanya. Namun
adakalanya Puskesmas tidak memiliki Puskesmas Pembantu, khususnya di daerah Perkotaan.

2. Puskesmas Keliling
Puskesmas Keliling merupakan unit pelayanan kesehatan Keliling yang dilengkapi dengan
kendaraan bermotor roda 4 atau perahu bermotor dan peralatan kesehatan, peralatan komunikasi
serta sejumlah tenaga dari Puskesmas.
Puskesmas Keliling berfungsi menunjang dan membantu melaksanakan kegiatankegiatan
Puskesmas dalam wilayah kerjanya yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan.
Kegiatan Puskesmas Keliling adalah:

1) Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di daerah terpencil atau daerah yang
tidak atau sulit dijangkau oleh pelayanan Puskesmas atau Puskesmas Pembantu dengan
frekuensi 4 kali dalam seminggu, atau disesuaikan dengan kondisi geografis tiap Puskesmas.
2) Melakukan penyelidikan tentang Kejadian Luar Biasa ( KLB ).
3) Dapat dipergunakan sebagai alat transport penderitra dalam rangka rujukan bagi kasus
darurat.
4) Melakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan alat audiovisual.
3. Bidan Desa
Pada setiap desa yang belum ada fasilitas pelayanan kesehatannya, ditempatkan seorang Bidan
yang bertempat tinggal di desa tersebut dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala
Puskesmas.
Wilayah kerja bidan desa adalah satu desa dengan jumlah penduduk rata-rata 3.000 jiwa. Tugas
utama bidan desa adalah membina peran serta masyarakat melalui pembinaan Posyandu dan
pembinaan kelompok Dasawisma, disamping memberikan pelayanan langsung di Posyandu dan
pertolongan persalinan di rumah penduduk. Selain itu juga menerima rujukan masalah kesehatan
anggota keluarga Dasawisma untuk diberi pelayanan seperlunya atau dirujuk lebih lanjut ke
Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu dan terjangkau secara rasional.

Program Pokok Puskesmas


Kegiatan pokok Puskesmas dilaksanakan sesuai kemampuan tenaga maupun fasilitasnya,
karenanya kegiatan pokok di setiap Puskesmas dapat berbeda-beda. Namun demikian kegiatan pokok
Puskesmas yang lazim dan seharusnya dilaksanakan adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016,
2018; Fetene and Bezuidenhout, 2019):
1. Kesejahteraan ibu dan Anak (KIA)
2. Keluarga Berencana
3. Usaha Peningkatan Gizi
4. Kesehatan Lingkungan
5. Pemberantasan Penyakit Menular
6. Upaya Pengobatan termasuk Pelayanan Darurat Kecelakaan
7. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
8. Usaha Kesehatan Sekolah
9. Kesehatan Olah Raga
10. Perawatan Kesehatan Masyarakat
11. Usaha Kesehatan Kerja
12. Usaha Kesehatan Gigi dan Mulut
13. Usaha Kesehatan Jiwa
14. Kesehatan Mata
15. Laboratorium (diupayakan tidak lagi sederhana)
16. Pencatatan dan Pelaporan Sistem Informasi Kesehatan
17. Kesehatan Usia Lanjut
18. Pembinaan Pengobatan Tradisional
Semua kegiatan program pokok yang dilaksanakan di Puskesmas dikembangkan berdasarkan
program pokok pelayanan kesehatan dasar seperti yang dianjurkan oleh badan kesehatan dunia yang
dikenal dengan basic seven WHO. Basic seven tersebut terdiri dari MCHC (Maternal and Child
Health Care), MC (Medical Care), ES (Environmental Sanitation), HE (Health Education) untuk
kelompok-kelompok masyarakat, Simple Laboratory (Laboratorium Sederhana), CDC
(Communicable Disease Control), dan Simple Statistic (recording/reporting atau pencatatan dan
pelaporan) (Kemenkes RI, 2018).
Pelaksanaan kegiatan pokok Puskesmas diarahkan kepada keluarga sebagai satuan masyarakat
terkecil. Karenanya, kegiatan pokok Puskesmas ditujukan untuk kepentingan kesehatan keluarga
sebagai bagian dari masyarakat di wilayah kerjanya. Setiap kegiatan pokok Puskesmas dilaksanakan
dengan pendekatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Disamping penyelenggaraan
usaha-usaha kegiatan pokok Puskesmas seperti tersebut di atas, Puskesmas sewaktu-waktu dapat
diminta untuk melaksanakan program kesehatan tertentu oleh Pemerintah Pusat (contoh : Pekan
Imunisasi Nasional). Dalam hal demikian, baik petunjuk pelaksanaan maupun perbekalan akan
diberikan oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah. Keadaan darurat mengenai kesehatan
dapat terjadi, misalnya karena timbulnya wabah penyakit menular atau bencana alam. Untuk
mengatasi kejadian darurat seperti di atas bisa mengurangi atau menunda kegiatan lain (HAPSARI,
2009; Fetene and Bezuidenhout, 2019).

Jangkauan Pelayanan Kesehatan.


Sesuai dengan keadaan geografis, luas wilayah, sarana perhubungan dan kepadatan penduduk
dalam wilayah kerja Puskesmas, tidak semua penduduk dapat dengan mudah mendapatkan akses
layanan Puskesmas. Agar jangkauan pelayanan Puskesmas lebih merata dan meluas, Puskesmas perlu
ditunjang dengan Puskesmas Pembantu, Bidan desa di daerah yang belum terjangkau oleh pelayanan
kesehatan yang sudah ada. Disamping itu penggerakan peran serta masyarakat untuk mengelola
Posyandu dan membina dasawisma akan dapat menunjang jangkauan pelayanan kesehatan (Tse,
Suprojo and Adiwidjaja, 2017).

Dukungan Rujukan
1. Sistem Rujukan Upaya Kesehatan:
Adalah suatu sistem jaringan pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan
tanggung jawab secara timbal balik atas timbulnya masalah dari suatu kasus atau masalah
kesehatan masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal, kepada yang lebih kompeten,
terjangkau dan dilakukan secara rasional.

2. Jenis Rujukan:
Sistem Rujukan secra konsepsional menyangkut hal-hal sebagai berikut: a. Rujukan
Medik, meliputi:

� Konsultasi penderita untuk keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan operatif dan lain-
lain.
� Pengiriman bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap.
� Mendatangkan atau mengirim tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk meningkatkan
mutu pelayanan pengobatan.
b. Rujukan Kesehatan.
Adalah rujukan yang menyangkut masalah kesehatan masyarakat yang bersifat preventif dan
promotif yang antara lain meliputi bantuan :

� Survey epidemiologi dan pemberantasan penyakit atas kejadian Luar Biasa atau
berjangkitnya penyakit menular
� Pemberian pangan atas terjadinya kelaparan di suatu wilayah
� Penyidikan penyebab keracunan, bantuan teknologi penanggulangan keracunan dan
bantuan obat-obatan atas terjadinya keracunan massal
� Pemberian makanan, tempat tinggal dan obat-obatan untuk pengungsi atas terjadinya
bencana alam
� Saran dan teknologi untuk penyediaan air bersih atas masalah kekurangan air bersih bagi
masyarakat umum
� Pemeriksaan spesimen air di Laboratorium Kesehatan, dan lain-lain
3. Tujuan Sistem Rujukan Upaya Kesehatan
a. Umum:
Dihasilkannya pemerataan upaya pelayanan kesehatan yang didukung kualitas pelayanan
yang optimal dalam rangka memecahkan masalah kesehatan secara berdaya guna dan berhasil
guna

b. Khusus:
� Dihasilkannya upaya pelayanan kesehatan klinik yang bersifat kuratif dan rehabilitatif
secara berhasil guna dan berdaya guna
� Dihasilkannya upaya kesehatan masyarakat yang bersifat preventif dan promotif secara
berhasil guna dan berdaya guna
4. Jenjang Tingkat Pelayanan Kesehatan

Jenjang ( Hirarki ) Komponen/unsur pelayanan kesehatan

Tingkat Rumah Tangga Pelayanan Kesehatan oleh individu atau oleh


keluarganya sendiri
Tingkat Masyarakat Kegiatan swadaya masyarakat dalam
menolong mereka sendiri oleh Kelompok
Paguyuban, PKK, Saka Bhakti Husada,
anggota RW, RT dan masyarakat

Fasilitas Peleyanan Kesehatan Profesional Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas


Keliling, Praktek Dokter
Tingkat Pertama
Swasta, Poloklinik Swasta, dan lain-lain

Fasilitas Pelayanan Rujukan Rumah Sakit Kabupaten/Kota, RS Swasta,


Tingkat Pertama Klinik Swasta, Laboratorium, dan lalin-lain

Fasilitas Pelayanan Rujukan yang RS tipe B dan type A, Lembaga


lebih tinggi
Spesialistik Swasta, Lab. Kes. Daerah, Lab.
Klinik Swasta, dll

5. Alur Rujukan Rujukan medik:


� Intern antara petugas puskesmas
� Antara Puskesmas pembantu dengan Puskesmas
� Antara masyarakat dengan Puskesmas
� Antara Puskesmas yang satu dengan Puskesmas yang lain
� Antara Puskesmas dengan RS, Laboratorium, atau fasilitas kesehatan lainnya.
6. Upaya Peningkatan Mutu Rujukan
Langkah-langkah dalam upaya meningkatkan mutu rujukan:

� Meningkatkan mutu pelayanan di Puskesmas dalam menampung rujukan dari Puskesmas


Pembantu dan Pos kesehatan lain dari masyarakat
� Mengadakan Pusat rujukan antara dengan mengadakan ruangan tambahan untuk
10 tempat tidur perawatan penderita gawat darurat di lokasi yang strategis
� Meningkatkan sarana komunikasi antara unit pelayanan kesehatan
� Menyediakan Puskesmas Keliling di setiap Kecamatan dalam bentuk kendaraan roda 4
atau perahu bermotor yang dilengkapi alat komunikasi
� Menyediakan sarana pencatatan dan pelaporan bagi sistem rujukan, baik rujukan medik
maupun rujukan kesehatan
� Meningkatkan upaya dana sehat masyarakat untuk menunjang pelayanan rujukan
Puskesmas Perawatan Pengertian:
Puskesmas Perawatan atau Puskesmas Rawat Inap adalah Puskesmas yang diberi tambahan ruangan
dan fasilitas untuk menolong penderita gawat darurat, baik berupa tindakan operatif terbatas maupun
rawat inap sementara.
Kriteria:
� Puskesmas terletak kurang lebih 20 km dari Rumah Sakit
� Puskesmas mudah dicapai dengan kendaraan bermotor
� Puskesmas dipimpin oleh dokter dan telah mempunyai tenaga yang memadai
� Jumlah kunjungan Puskesmas minimal 100 orang per hari
� Penduduk wilayah kerja Puskesmas dan penduduk wilayah 3 Puskesmas di sekitarnya
minimal 20.000 jiwa per Puskesmas
� Pemerintah Daerah “bersedia” menyediakan dana rutin yang memadai. Fungsi :
Merupakan “Pusat Rujukan Antara” bagi penderita gawat darurat sebelum dibawa ke Rumah Sakit.

Kegiatan :
Melakukan tindakan operatif terbatas terhadap penderita gawat darurat, antara lain: a.
Kecelakaan lalu lintas

b. Persalinan denngan penyulit


c. Penyakit lain yang mendadak dan gawat
� Merawat sementara penderita gawat darurat atau untuk observasi penderita dalam rangka
diagnostik dengan rata-rata 3-7 hari perawatan
� Melakukan pertolongan sementara untuk pengiriman penderita ke Rumah Sakit
� Memberi pertolongan persalinan bagi kehamilan denngan resiko tinggi dan persalinan dengan
penyulit
� Melakukan metode operasi pria dan metode operasi wanita (MOP dan MOW) untuk Keluarga
Berencana.
Ketenagaan:
� Dokter kedua di Puskesmas yang telah mendapatkan latihan klinis di Rumah sakit selama 6 bulan
dalam bidang bedah, obstetri-ginekologi, pediatri dan interna.
� Seorang perawat yang telah dilatih selama 6 bulan dalam bidang perawatan bedah, kebidanan,
pediatri dan penyakit dalam.
� Tiga (3) orang perawat/bidan yang diberi tugas bergilir 🖎 Satu (1) orang pekarya kesehatan
(SMA atau lebih) Sarana :
Untuk melaksanakan kegiatannya Puskesmas dengan tempat perawatan memiliki luas bangunan,
ruangan-ruangan pelayanan serta peralatan yang lebih lengkap, antara lain: Ruangan rawat tinggal
yang memadai (nyaman, luas dan terpisah antara anak, wanita dan pria untuk menjaga privacy) -
Ruangan operasi dan ruang post operasi

- Ruangan persalinan (dan ruang menyusui sekaligus sebagai ruang recovery)


- Kamar perawat jaga
- Kamar linen dan cuci

Peralatan Medis:
- Peralatan operasi terbatas
- Peralatan obstetri patologis, peralatan vasektomi dan tubektomi
- Peralatan resusitasi
- Minimal 10 tempat tidur dengan peralatan perawatan Alat Komunikasi dan Transportasi:
- Telpon atau Radio Komunikasi jarak sedang
- Minimal satu buah ambulance
Peran Perawat di Puskesmas
Tugas pokok, Fungsi dan kegiatan dokter di Puskesmas (WHO, 2010, 2017):
Tugas pokok:
Mengusahakan agar fungsi Puskesmas dapat diselenggarakan dengan baik dan dapat memberi
manfaat kepada masyarakat di wilayah kerjanya.
Fungsi:
� Sebagai seorang perawat 🖎 Sebagai seorang manajer Kegiatan Pokok:
� Melaksanakan fungsi-fungsi manajerial
� Melakukan pelayanan asuhan keperawatan
� Mengkoordinir kegiatan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
� Mengkoordinir pembinaan peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD
(Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Desa) Kegiatan Lain :
Melakukan koordinasi lintas sektoral

Upaya Pengembangan Kesehatan Masyarakat Melalui Desa Siaga


Sebagai salah satu upaya Pemerintah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat
melalui kemandirian, maka Departemen Kesehatan mencetuskan program baru yang dinamakan desa
siaga. Adanya program desa siaga ini merupakan perwujudan dari grand strategy Depkes dalam
mempercepat terwujudnya kemandirian di bidang kesehatan, yaitu : menggerakkan dan
memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat (Rejeki et al., 2012; Bergas and Semarang, 2018).
Sasaran dari grand strategy ini adalah :

1. Seluruh keluarga (rumah tangga sadar gizi)


2. Seluruh masyarakat mempraktekkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
3. Seluruh desa menjadi desa siaga (Tahun 2008)
Desa siaga merupakan gambaran bagi Indonesia sehat 2010 yang sesuai dengan semangat otonomi
daerah di bidang kesehatan yaitu bottom up.
Desa siaga adalah desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk
mencegah dan mengatasi masalah kesehatan (bencana dan kegawatdaruratan kesehatan) secara
mandiri (Depkes RI, 2006). Konsep desa disini serupa dengan desa/kelurahan/nagari/dan lain-lain
yang sepadan.
Tujuan dibentuknya desa siaga ini adalah :
Tujuan umum
Terwujudnya desa dengan masyarakat yang sehat, peduli dan tanggap terhadap masalahmasalah
kesehatan (bencana dan kegawatdaruratan kesehatan) di desanya.
Tujuan khusus :

1. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang pentingnya kesehatan dan
melaksanakan kesehatan
2. Meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk menolong dirinya sendiri di
bidang kesehatan
3. Meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa terhadap resiko dan bahaya yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan (bencana, wabah penyakit dll)
4. Meningkatnya kesehatan lingkungan di desa
Sasaran dalam pengembangan desa siaga diantaranya :
1. Pihak-pihak yang dapat mempengaruhi individu dan keluarga yaitu tokoh masyarakat, Lembaga
SwadayaMasyarakat (LSM), kader dan media massa
2. Pihak-pihak yang dapat memberi dukungan atau bantuan yaitu pejabat atau dunia usaha
3. Semua individu dan keluarga di desa
Semua sasaran di atas diharapkan lebih mandiri dalam mengatasi masalah-masalah kesehatan.
Untuk menuju desa siaga, ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi yaitu desa tersebut
minimal mempunyai pos kesehatan desa (poskesdes). Poskesdes disini merupakan suatu upaya
bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang melaksanakan kegiatan-kegiatan minimal yaitu :
1. Pengamatan epidemiologis penyakit menular dan yang berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa
(KLB) serta faktor-faktor resikonya
2. Penanggulangan penyakit menular dan yang berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa serta
kekurangan gizi
3. Kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan
4. Pelayanan kesehatan dasar, sesuai dengan kompetensinya (Jika dekat dengan Puskesmas/Pustu
bisa diambil alih oleh Puskesmas/Pustu).
5. Kegiatan lain-lain yaitu promosi untuk sadar gizi dan perilaku hidup bersih dan sehat, penyehatan
lingkungan dan kegiatan pengembangan.
Poskesdes di masyarakat juga berfungsi sebagai koordinator dari UKBM lainnya seperti
Posyandu, warung obat desa, dll. Oleh sebab itu Poskesdes perlu didukung sumber daya tenaga
(minimal 1 orang perawat maternitas/bidan dan 2 orang kader) serta sarana (fisik bangunan, peralatan
dan pelengkapan serta alat komunikasi ke masyarakat dan ke puskesmas). Untuk membentuk
Poskesdes tidak harus memulai dari awal, tetapi bisa dengan menggunakan sumber daya kesehatan
yang sudah ada yaitu : 1. Polindes yang sudah ada dikembangkan menjadi Poskesdes

2. Memanfaatkan bangunan lain yang sudah ada (misal : balai desa)


3. Dibangun baru, dengan alternatif (bantuan pemda/pempus, donatur, dunia usaha, swadaya
masyarakat)
Indikator keberhasilan pengembangan desa siaga :
1. Input (Indikator masukan)
- Ada/tidaknya forum masyarakat desa
- Ada/tidaknya poskesdes atau sarananya
- Ada/tidaknya tenaga kesehatan
- Ada/tidaknya UKBM lain
2. Proses (Indikator proses)
- Frekuensi pertemuan masyarakat desa
- Berfungsi/tidaknya Poskesdes
- Berfungsi/tidaknya UKBM yang ada
- Berfungsi/tidaknya sistem kesiapsiagaan dan penanggulangan kegawatdaruratan bencana
- Berfungsi/tidaknya sistem surveilans (pengamatan dan pelaporan)
- Ada/tidaknya kunjungan rumah kadarzi dan PHBS
3. Output (Indikator pengeluaran)
- Cakupan yankes Poskesdes
- Cakupan pelayanan UKBM yang ada
- Jumlah kasus kegawatdaruratan dan KLB yang dilaporkan atau diatasi
- Cakupan rumah tangga yang mendapat kunjungan rumah untuk kadarzi dan PHBS
4. Outcome (Indikator dampak)
- Jumlah yang menderita sakit (kesakitan kasar)
- Jumlah yang menderita gangguan jiwa
- Jumlah ibu melahirkan yang meninggal dunia
- Jumlah bayi dan balita yang meninggal dunia
- Jumlah balita dengan gizi buruk

Peran dan Fungsi Kader Kesehatan


Batasan tentang kader kesehatan yaitu “kader kesehatan dinamakan juga promotor kesehatan
desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dari masyarakat dan bertugas mengembangkan
masyarakat”. Direktorat bina peran serta masyarakat Depkes RI memberikan batasan kader (Kadir,
2017):
“Kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat
bekerja secara sukarela”.
Tujuan pembentukan kader
Dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional, khusus dibidang kesehatan, bentuk
pelayanan kesehatan diarahkan pada prinsip bahwa masyarakat bukanlah sebagai objek akan tetapi
merupakan subjek dari pembangunan itu sendiri. Pada hakekatnya kesehatan dipolakan mengikut
sertakan masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab. Keikut sertaan masyarakat dalam
meningkatkan efisiensi pelayanan adalah atas dasar terbatasnya daya dan adaya dalam operasional
pelayanan kesehatan masyarakat akan memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat seoptimal
mungkin. Pola pikir yang semacam ini merupakan penjabaran dari karsa pertama yang berbunyi,
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan (Pakasi,
Korah and Imbar, 2016; Tse, Suprojo and Adiwidjaja, 2017).
Kader yang dinamis dengan pendidikan rata-rata tingkat desa teryata mampu melaksanakan
beberapa hal yang sederhana, akan tetapi berguna bagi masyarakat sekelompoknya meliputi :

a. Pengobatan/ringan sederhana, pemberian obat cacing pengobatan terhadap diare dan pemberian
larutan gula garam, obat-obatan sederhan dan lain-lain.
b. Penimbangan dan penyuluhan gizi.
c. Pemberantasan penyakit menular, pencarian kasus, pelaporan vaksinasi, pemberian distribusi
obat/alat kontrasepsi KB penyuluhan dalam upaya menanamkan NKKBS.
d. Peyediaan dan distribusi obat/alat kontasepsi KB penyuluhan dalam upaya menamakan NKKBS.
e. Penyuluhan kesehatan dan bimbingan upaya keberhasilan lingkungan, pembuatan jamban
keluarga da sarana air sederhana.
f. Penyelenggaraan dana sehat dan pos kesehatan desa dan lain-lain.
2. Dari Segi Kemasyarakatan
Perilaku kesehatan tidak terlepas dari pada kebudayaan masyarakat. Dalam upaya untuk
menumbuhkan partisipasi masyarakat harus pula diperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat.
Sehingga untuk mengikut sertakan masyarakat dalam upaya pembangunan khususnya dalam bidang
kesehatan, tidak akan membawa hasil yang baik bila prosesnya melalui pendekatan dengan edukatif
yaitu, berusaha menimbulkan kesadaran untuk dapat memecahkan permasalahan dengan
memperhitungkan sosial budaya setempat.
Dengan terbentuknya kader kesehatan, pelayanan kesehatan yang selama ini dikerjakan oleh
petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat. Dengan demikian masyarakat bukan hanya
merupakan objek pembangunan, tetapai juga merupakan mitra pembangunan itu sendiri. Selanjutnya
dengan adanya kader, maka pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dengan sempurna berkat
adanya kader, jelaslah bahwa pembentukan kader adalah perwujudan pembangunan dalam bidang
kesehatan.
Tugas kegiatan kader
Tugas kegiatan kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah
tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini perlu
adanya pembatasan tugas yang diemban, baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan. Adapun
kegiatan pokok yang perlu diketahui oleh dokter kader dan semua pihak dalam rangka melaksanakan
kegiatan-kegiatan baik yang menyangkut didalam maupun diluar Posyandu antara lain:

a. Kegiatan yang dapat dilakukan kader di Posyandu adalah: - Melaksanan pendaftaran.


- Melaksanakan penimbangan bayi dan balita.
- Melaksanakan pencatatan hassil penimbangan.
- Memberikan penyuluhan.
- Memberi dan membantu pelayanan. - Merujuk.
b. Kegiatan yang dapat dilakukan kader diluar Posyandu KB-kesehatan adalah:
a) Bersifat yang menunjang pelayanan KB, KIA, Imunisasi, Gizi dan penanggulan diare.
b) Mengajak ibu-ibu untuk datang para hari kegiatan Posyandu.
c) Kegiatan yang menunjang upanya kesehatan lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang
ada :
- Pemberantasan penyakit menular.
- Penyehatan rumah.
- Pembersihan sarang nyamuk. - Pembuangan sampah.
- Penyediaan sarana air bersih.
- Menyediakan sarana jamban keluarga.
- Pembuatan sarana pembuangan air limbah.
- Pemberian pertolongan pertama pada penyakit.
- P3K
- Dana sehat.
- Kegiatan pengembangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan.
c. Peranan Kader diluar Posyandu KB-Kesehatan:
a) Merencanakan kegiatan, antara lain: menyiapkan dan melaksanakan survei mawas diri,
membahas hasil survei, menentukan masalah dan kebutuhan kesehatan masyarakat desa,
menentukan kegiatan penanggulangan masalah kesehatan bersama masyarakat, membahas
pembagian tugas menurut jadwal kerja.
b) Melakukan komunikasi, informasi dan motivasi wawan muka (kunjungan), alat peraga dan
percontohan.
c) Menggerakkan masyarakat: mendorong masyarakat untuk gotng ronyong, memberikan
informasi dan mengadakan kesepakatan kegiatan apa yang akan dilaksanakan dan lain-lain.

Memberikan pelayanan yaitu, :

- Membagi obat
- Membantu mengumpulkan bahan pemeriksaan
- Mengawasi pendatang didesanya dan melapor
- Memberikan pertolongan pemantauan penyakit
- Memberikan pertolongan pada kecelakaan dan lainnya

Melakukan pencatatan, yaitu:

- KB atau jumlah Pus, jumlah peserta aktif dsb


- KIA : jumlah ibu hamil, vitamin A yang dibagikan dan sebagainya
- Imunisasi : jumlah imunisasi TT bagi ibu hamil dan jumlah bayi dan balita yang diimunisasikan
- Gizi: jumlah bayi yang ada, mempunyai KMS, balita yang ditimbang dan yang naik timbangan
- Diare: jumlah oralit yang dibagikan, penderita yang ditemukan dan dirujuk
- Melakukan pembinaan mengenai laima program keterpaduan KB-kesehatan dan upaya
kesehatan lainnya.
- Keluarga pembinaan yang untuk masing-masing untuk berjumlah 10-20KK atau diserahkan
dengan kader setempat hal ini dilakukan dengan memberikan informasi tentang upanya
kesehatan dilaksanakan.
- Melakukan kunjungan rumah kepada masyarakat terutama keluarga binaan. - Melakukan
pertemuan kelompok.

Persyaratan menjadi kader


Pembangunan dibidang kesehatan dapat dipengaruhi dari keaktifan masyarakat dan pemuka-
pemukanya termasuk kader, maka pemilihan calon kader yang akan dilatih perlu mendapat perhatian.
Secara disadari bahwa memilih kader yang merupakan pilihan masyarakat dan mendapat dukungan
dari kepala desa setempat kadang-kadang tidak gampang. Namun bagaimanapun proses pemilihan
kader ini hendaknya melalui musyawarah dengan masyarakat, sudah barang tentu para pamong desa
harus juga mendukung (Agustini, 2013; Pakasi, Korah and Imbar, 2016; Solehati, Lukman and
Kosasih, 2017).
Dibawah ini salah satu persyaratan umum yang dapat dipertimbangkan untuk pemilihan calon
kader adalah:

- Dapat baca, tulis dengan bahasa Indonesia


- Secara fisik dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai kader
- Mempunyai penghasilan sendiri dan tinggal tetap di desa yang bersangkutan.
- Aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial maupun pembangunan desanya
- Dikenal masyarakat dan dapat bekerjasama dengan masyarakat calon kader lainnya dan
berwibawa
- Sanggup membina paling sedikit 10 KK untuk meningkatkan keadaan kesehatan lingkungan
Bagus I (1987), mempunyai pendapat lain mengenai persaratan bagi seorang kader antara lain:

- Berasal dari masyarakat setempat.


- Tinggal di desa tersebut.
- Tidak sering meninggalkan tempat untuk waktu yang lama.
- Diterima oleh masyarakat setempat.
- Masih cukup waktu bekerja untuk masyarakat disamping mencari nafkah lain.
- Sebaiknya yang bisa baca tulis.
Dari persyaratan-persyaratan yang diutamakan oleh beberapa ahli diatas dapatlah disimpulkan
bahwa kriteria pemilihan kader kesehatan antara lain, sanggup bekerja secara sukarela, mendapat
kepercayaan dari masyarakat serta mempunyai kredibilitas yang baik dimana perilakunya menjadi
panutan masyarakat, memiliki jiwa pengabdian yang tinggi, mempunyai penghasilan tetap, pandai
baca tulis, sanggup membina masyarakat sekitarnya.
Kader kesehatan mempunyai peran yang besar dalam upanya meningkatkan kemampuan
masyarakat menolong dirinya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Selain itu peran kader
ikut membina masyarakat dalam bidang kesehatan dengan melalui kegiatan yang dilakukan baik di
Posyandu.

Istilah-istilah yang berkaitan dengan tugas kader di masyarakat diantaranya :


ASI = Air Susu Ibu
BADUTA = bawah dua tahun
BGM = bawah garis merah
BKB = bina keluarga balita
BALITA = bawah lima tahun
BATITA = bawah tiga tahun
BUMIL RESTI = ibu hamil resiko tinggi
BUTEKI = ibu meneteki
DBD = demam berdarah dengue
GAKY = gangguan akibat kekurangan yodium
KEK = kurang energi kronis
KEP = kurang energi protein
KIE = komunikasi, informasi dan edukasi
KMS = kartu menuju sehat
KVA = kurang vitamin A
LGG = larutan gula garam
LILA = lingkar lengan atas
MP-ASI = makanan pendamping air susu ibu
PAB-PL = penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan
PMT = pemberian makanan tambahan
SAMIJAGA = sarana air minum dan jamban keluarga
SIP = sistem informasi posyandu
TPA = tempat penitipan anak
UKGMD = usaha kesehatan gizi masyaakat desa

Pertanyaan Ulangan :
1. Jelaskan definisi Puskesmas?
2. Jelaskan konsep wilayah kerja Puskesmas?
3. Jelaskan fungsi dan peran Puskesmas?
4. Jelaskan program pokok Puskesmas?
5. Jelaskan jangkauan pelayanan kesehatan
6. Jelaskan peran perawat di Puskesmas?
7. Jelaskan definisi desa siaga?
8. Jelaskan peran dan fungsi kader kesehatan?

DAFTAR PUSTAKA

Agustini. (2013) ‘Remaja Sehat Melalui Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja Di Tingkat Puskesmas’,
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9(1), pp. 66–73.
Bergas, D. I. and Semarang, K. (2018) ‘Kajian Pemberdayaan Masyarakat Melalui Desa Siaga Dalam
Rangka Upaya Penurunan Aki Di Bergas Kabupaten Semarang’, Jurnal Kebidanan, 7(15), pp.
10–16.
Fetene, N. and Bezuidenhout, M. C. (2019) ‘Integrating promotive , preventive , and curative health
care services at hospitals and health centers in Addis Ababa , Ethiopia’, pp. 243–255.
HAPSARI, I. R. (2009) Peranan Puskesmas Dalam Pelayanan Program Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Surakarta (PKMS). Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Kadir, S. (2017) ‘Peran Kader Kesehatan pada Saat Posyandu dalam Upaya Peningkatan Status Gizi
Balita’, Jurnal Health & Sport, 15(2).
Kemenkes RI (2014) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 TAHUN 2014
Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes RI (2016) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 TAHUN 2016
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes RI (2018) Pendekatan Program Kesehatan Masyarakat Tahun 2018. Jakarta: Kemenkes
RI.
Pakasi, A. M., Korah, B. H. and Imbar, H. S. (2016) ‘Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Kader
Kesehatan Dengan Pelayanan Posyandu’, Jurnal Ilmiah Bidan, 4(1), pp. 15–21.
Rejeki, L. S. et al. (2012) ‘Peran Puskesmas Dalam Pengembangan Desa Siaga Di Kabupaten Bantul’,
Jurnal kebijakan kesehatan indonesia, 1(3), pp. 154–160.
Saepudin, Encang et.al. (2017) ‘Posyandu Roles as Mothers and Children Health Information Center
Encang’, Record And Library Journal, 3(2), pp. 201–208.
Solehati, T., Lukman, M. and Kosasih, C. E. (2017) ‘Pendidikan Kesehatan pada Kader dalam
Meningkatkan Pengetahuan Masyarakat tentang Perbaikan Gizi Balita 1(1), pp. 101–108.
Tse, A. D. P., Suprojo, A. and Adiwidjaja, I. (2017) ‘PERAN KADER POSYANDU TERHADAP
PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT Andy’, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, 6(1), pp. 60–62.
Wardani, R. K. (2014) ‘Analisis Penetapan Prioritas Program Upaya Kesehatan Dasar
(PUSKESMAS) Pada Tingkat Pemerintah Daerah (STUDI’, Jurnal kebijakan kesehatan
indonesia, 3(4), pp. 199–212.
WENDIMAGEGN, N. F. (2017) Integration Of Promotive, Preventive And Curative Health Care
Services In Public Hospitals And Health Centres Of Addis Ababa, Ethiopia.
WHO (2010) A framework for community health nursing education. Mahatma: World Health
Organization.
WHO (2017) Enhancing the role of community health nursing for universal health coverage. World
Health Organization.
WHO, U. (2018) A vision for primary health care in the 21st century. World Health Organization and
the United Nations Children’s Fund (UNICEF).

Anda mungkin juga menyukai