Anda di halaman 1dari 2

Wa’alaikumussalam warhmatullahi wabarakatuh.

Penanya yang budiman, semoga rahmat dan


kasih sayang Allah subhanahu wata’ala senantiasa menyertai kita semua! Âmîn yâ rabbal
‘âlamîn.   Bersyukurlah, Saudara masih mendapat anugerah kesadaran untuk tetap peduli
dengan hak sesama manusia (haq adami). Terus terang, penulis cemburu dengan Saudara yang
dikaruniai kelembutan hati sedemikian ini. Kadang penulis merasa malu sendiri untuk
menjawabnya karena merasa tidak lebih baik. Semoga kita semua dapat istiqamah memegang
komitmen menjauhi segala perkara haram, sedikit apa pun itu.   Ada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh al-Imam Al-Baihaqi dari Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radliyallahu ‘anhu,
dan tertuang di dalam kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syekh Nawawi Umar al-Jawi, atau yang biasa
dikenal dengan panggilan Syekh Nawawi Banten. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: kullu lahmin nabata min suhtin fa al-naru aula bihi (setiap daging yang tumbuh dari
perkara yang haram, maka api adalah lebih utama baginya dibanding perkara haram tersebut).  
Di dalam kesempatan yang lain juga disampaikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman, dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda:
َّ ‫ار‬
‫إن‬ ِ ّ‫ق بِ ِه فَيُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوالَيَ ْت ُر ُكهُ خَ ْلفَ ظَ ْه ِر ِه إالَّ ك اَنَ زَ ا َدهُ إلى الن‬ َ َ‫ك لَهُ فِ ْي ِه َوالَ يَت‬
َ ‫ص َّد‬ َ َ‫ق ِم ْنهُ فَيُب‬
َ ‫ار‬ ٍ ‫َوالَيَ ْك ِسبُ َع ْب ٌد َماالً ِم ْن َح‬
ُ ِ‫رام فَيُنف‬
‫ْث‬ َ ‫ْث الَ يَ ْم ُح وْ ْالخَ بِي‬
َ ‫إن ْالخَ بِي‬
َّ ‫الس ْي َء بِ ْال َح َس ِن‬
َّ ْ‫الس ْي ِء َول ِك ْن يَ ْم ُح و‬ َّ ِ‫الس ْي َء ب‬ َّ ْ‫ هّللا َ الَ يَ ْم ُح و‬  "Tiada seseorang bekerja
dengan cara haram, lalu setelah mendapatkan kemudan ia infakkan harta itu lantas ia beroleh
keberkahan. Tiada pula karena bersedekah dengan harta itu, lantas kemudian ia menjadi
seorang yang diterima (amal ibadahnya). Tiadalah ia karena meninggalkan harta itu ke ahli
warisnya, melainkan justru semakin mendekatkannya ke api neraka. Ketahuilah sesunguhnya
Allah subhanahu wata’ala tiada menghapus suatu keburukan dengan keburukan. Namun, Allah
hanya akan menghapus suatu keburukan lewat jalan kebaikan. Sesungguhnya keburukan tiada
menghapus keburukan” (HR al-Baihaqi).   Apa yang disampaikan dalam hadits ini merupakan
penghasilan yang diperoleh lewat jalan bekerja. Adanya menjadi perhatian disebabkan rezeki
itu harus masuk ke perut, sehingga tumbuh menjadi daging. Bila daging tumbuh dari perkara
haram, maka nerakalah yang kelak pasti akan menjadi hisabnya. Lantas, bagaimana lagi bila
penghasilan itu didapat dari jalan mengambil hak orang lain? Sudah barang tentu, imbasnya
akan lebih besar dan lebih berat hisabnya kelak di akhirat.
Untuk itulah, maka di dalam Islam, berlaku yang namanya upaya mencari pelebur (kafarat) dari
dosa yang pernah dilakukan.
Jika dalil asal cara bertobat dari mengambil hak orang lain adalah dengan cara mengembalikan
fisik materi dari hak itu, apalagi dalam kasus pencurian, maka bila tidak ditemui adanya pihak
yang layak menerima hak tersebut untuk dimintai ridhanya, maka solusinya adalah dengan
melakukan amal kebaikan. Hal ini sebagaimana bunyi eksplisit hadits yang menyatakan
bahwasannya “iringilah perbuatan yang buruk (sayyiah) dengan perbuatan yang baik (hasanah)
sebagai peleburnya!” (wa atbi’is sayyiatal-hasanata tamhuha).   Itu artinya, perbuatan baik
dengan tujuan melebur perbuatan buruk yang terlanjur dilakukan memang bisa menjadi solusi
meski hal itu belumlah sempurna. Sebab, sempurnanya pelebur adalah mengembalikan hak.
Selama tidak bisa kembali, maka melakukan perbuatan baik, hanyalah merupakan sarana yang
paling realistis dibanding tidak sama sekali. Hal ini sesuai dengan bunyi kaidah ma la yudraku
kulluh, la yutraku kulluh (segala sesuatu bila tidak bisa dilakukan menurut idealitasnya, ya
jangan ditinggalkan seluruhnya). Meski tak seluruhnya, minimal sebagian dari idealiatas itu
harus dilakukan. Semoga menjadi pelebur.   Sejauh mana perbuatan baik itu akan dilakukan?
Seperti apa ukurannya?   Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tuntunan, yaitu
“wa khaliq al-nas bi khuluqin hasanin” (pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik). Jadi,
kisaran kafarat pencurian itu ada pada kisaran idealitas pengembalian, berbuat baik, dan aksi
sosial. Alhasil, wasilah yang paling dekat dalam konteks ini, adalah dengan jalan berbuat
kebaikan dalam bentuk materi kepada masyarakat. Caranya, ya berbuat sedekah kepada
masyarakat, minimal adalah senilai barang curian itu. Tentu, lebih besar adalah lebih baik,
sebab bagaimanapun sedekah ini cuma solusi alternatif akibat kendala menemukan pemilik
harta yang kita curi.
Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi inspirasi kebaikan bagi para pembaca! Ada banyak
kisah yang bisa kita temui untuk dijadikan dasar pedoman. Termasuk kisah ayah dari Imam Abu
Hanifah atau Imam Al-Syafi’i (dalam sebagian versi) yang pernah mengambil buah apel yang
jatuh di sungai dan hanyut tanpa diketahui pemiliknya. Bagi seorang yang wara’ (senantiasa
menjaga perkara halal dan haram yang dikonsumsi), tentu mengambil sesuatu yang statusnya
tidak jelas ini menjadi sebuah permasalahan.   Imbasnya, kita bisa rasakan sendiri sehingga
sekarang, kedua keturunan dari beliau-beliau ini, menjadi ulama mujtahid mutlak. Pendapatnya
banyak diikuti oleh umat Islam di hampir seantero wilayah dunia. Berkah dari riyadlah dan
kehati-hatian sang orang tua, akhirnya lahir generasi unggul. Wallahu a’lam bish shawab.  
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean

Anda mungkin juga menyukai