Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya
infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea
dapat terjadi dari epitel sampai stroma.1,2 Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang
berpotensi menyebabkan kebutaan yang membutuhkan penatalaksanaan secara
langsung.3
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2011 menyebutkan saat ini terdapat
285 juta orang menderita gangguan penglihatan, 39 juta diantaranya mengalami
kebutaan. Sembilan puluh persen penderitanya berada di negara berkembang.
Ekstrapolasi perkiraan India lanjut ke seluruh Afrika dan Asia, jumlah ulkus
kornea yang terjadi setiap tahunnya di negara berkembang dengan cepat
mendekati 1,5-2 juta, dan jumlah sebenarnya mungkin lebih besar.4,5
Di Indonesia gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah
kesehatan. Survey Kesehatan Indera tahun 1993 – 1996 menunjukkan 1,5%
penduduk Indonesia mengalami kebutaan disebabkan oleh katarak (0,78%),
glaukoma (0,2%), kelainan refraksi (0,14%) gangguan retina (0,13%), kelainan
kornea, (0,10%) dan penyakit mata lain-lain (0,15%).6,7
Kelainan kornea yang dimaksud, termasuk ulkus kornea. di Indonesia
insidensi ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk, sedangkan
predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, infeksi,
pemakaian lensa kontak, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.8
. Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat
untuk mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi berupa descematokel,
perforasi, endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh akan
menimbulkan kekeruhan kornea dan merupakan penyebab kebutaan nomor lima
di Indonesia. Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme berupa bakteri, jamur, dan virus dan bila terlambat didiagnosis
atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan
meninggalkan jaringan parut yang luas yang akhirnya mengarah pada kebutaan

1
2

fungsional. Kebanyakan gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya


bila diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.1,2,9

1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini, yaitu untuk mengetahui diagnosis serta
penatalaksanaan kasus ulkus kornea pada praktik klinis secara tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Kornea


a. Embriologi Kornea
Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu ektoderm,
neuroektoderm dan mesoderm. Kornea dibentuk dari lapisan nureal crest cell
yang merupakan derivat dari ektoderm.
Pada akhir dari minggu ke 6 gestasional, kornea telah terdiri dari 3 lapis,
yaitu lapisan epitel skuamosa superfisial dengan sel basal yang berbentuk kubus,
lapisan stroma dan laisan set endotel. Pada bulan ke empat, lapisan Bowman dan
descement mulai terlihat. Saat lahir ukuran diameter kornea mencapai 10,00 mm
dan terus berkembang kemudian berhenti ketika telah berusia 1 tahun.9

KORNEA

Gambar 2.1
Gambar kornea dan bagian-bagian di sekitar kornea (tampak samping)

3
4

b. Anatomi dan Fisiologi Kornea


Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding dengan
kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus,
lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleraris. Kornea
dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,52 mm di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan
diameternya sekitar 12,5 mm dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima
lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel
konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement, dan lapisan
endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan
lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Kalau kornea
oedema karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang
dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.9

Gambar 2.2 Anatomi Kornea

Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar ke dalam:

1. Lapisan epitel

- Tebalnya 40 µm , terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng.

- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel polygonal
5

didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat


pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.

- Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren.

- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman

- Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari lapisan fibril
kolagen yang tersusun secara random.

- Ketebalan lapisan ini sekitar 8-14 mikro meter. Bila terjadi luka yang mengenai
bagian ini maka akan digantikan dengan jaringan parut karena tidak memiliki
daya regenerasi.

3. Jaringan Stroma

- Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat
6

kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. Jenis kolagen yang dibentuk
adalah tipe I, III dan VI.

- Transparansi kornea juga ditentukan dengan menjaga kandungan air di stroma


sebesar 78%.

4. Membran Descement

- Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea


dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.

- Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40 µm.

5. Endotel

- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 m.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan zonula
okluden.

- Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan ion yang menyebabkan
stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terut menjaga kejernihan kornea.
7

Gambar 2.3 Potongan Melintang Kornea

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus berjalan supra koroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya.
Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan diantaranya. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquous,
dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir.
Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam, avaskularitasnya dan
deturgensinya.2,9
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform,
avaskuler dan deturgenes. Deturgenes, atau keadaan dehidrasi relative jaringan kornea
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel
dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan
cidera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel.
Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan.
Sebaliknya cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal stroma kornea sesaat
yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi. Penguapan air dari film
air mata prakornea akan mengkibatkan film air mata akan menjadi hipertonik; proses itu
dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang yang menarik air dari stroma kornea
superfisialis untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.11
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut lemak dapat
melalui epitel utuh, dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya
agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air sekaligus.11

2.2. Definisi Ulkus Kornea


Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian
jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek
kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel
sampai stroma.1,2
8

Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi menyebabkan kebutaan


yang membutuhkan penatalaksanaan secara langsung.3
2.3. Etiologi Ulkus Kornea2,9,13,14
a. Infeksi
 Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies
Moraxella merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk
sentral. Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar
bersifat mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.
 Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus,
Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.
 Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah
akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila
mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster,
variola, vacinia (jarang).
 Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air yang
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh
acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa
kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi
juga biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air
atau tanah yang tercemar.

b. Noninfeksi
 Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik
dan organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi
pengendapan protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi
maka tidak bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial
saja. Trauma kimia asam adalah trauma pada kornea dan konjungtiva yang
disebabkan karena adanya kontak dengan bahan kimia asam yang dapat
menyebabkan kerusakan permukaan epitel bola mata, kornea dan segmen
9

anterior yang cukup parah serta kerusakan visus permanen baik unilateral
maupun bilateral. Sebagian besar bahan asam hanya akan mengadakan
penetrasi terbatas pada permukaan mata, namun bila penetrasi lebih dalam
dapat membahayakan visus. Asam sulfat merupakan penyebab paling sering
dari seluruh trauma kimia asam. Asam bereaksi dengan air mata yang melapisi
kornea dan mengakibatkan temperatur meningkat (panas) dan terbakarnya
epitel kornea. Semua asam cenderung untuk mengkoagulasi dan
mengendapkan protein. Sel-sel terkoagulasi pada permukaan berfungsi sebagai
penghalang relatif pada penetrasi asam yang lebih parah. Protein jaringan juga
memiliki efek buffer pada asam, yang berkontribusi pada sifat terlokalisir luka
bakar asam.

Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang


mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi
penghancuran kolagen kornea. Trauma basa biasanya lebih berat daripada
trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan
lipolifik dimana dapat mengijinkan  mereka secara cepat untuk penetrasi sel
membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina. Sementara
trauma asam akan menimbulkan koagulasi protein permukaan, dimana
merupakan suatu sawar perlindungan agar asam tidak penetrasi lebih dalam. 
Bahan ammonium hidroksida dan akustik soda dapat menyebabkan kerusakan
yang berat karena mereka dapat penetrasi secara cepat, dan dilaporkan bahwa
bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan  dalam waktu 7
detik. Kornea, pada organ ini dapat terjadi edema kornea karena adanya
kerusakan dari epitel, glikosaminoglikan, keratosit, dan endotel, sehingga
aquos humor dari bilik mata anterior dapat masuk kedalam kornea. Selain itu
karena adanya iskemia limbus suplai nutrisi berkurang sehingga menyebabkan
tidak terjadinya reepitelisai kornea dan pada akhirnya dapat timbul sikatrik
pada kornea. 16,17

 Radiasi atau suhu


Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan
merusak epitel kornea.
10

 Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur
film air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau
kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea.
Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel
kornea terpulas dengan flurosein.

 Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A
dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun
pemanfaatan oleh tubuh.

 Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid,
IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.

 Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.

 Pajanan (exposure)
Dapat timbul pada situasi apapun dengan kornea yang tidak cukup dibasahi dan
dilindung oleh palpebra.
 Neurotropik
Ulkus yang terjadi akibat gangguan saraf ke V atau ganglion Gaseri. Pada
keadaan ini kornea atau mata menjadi anestetik dan reflek mengedip hilang.
Benda asing pada kornea bertahan tanpa memberikan keluhan selain daripada
itu kuman dapat berkembang biak tanpa ditahan daya tahan tubuh. Terjadi
pengelupasan epitel dan stroma kornea sehingga menjadi ulkus kornea.

c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)


 SLE
SLE adalah gangguan autoimun multisistem dengan komplikasi okular di
segmen anterior dan posterior, termasuk keratitis sicca, episkleritis, ulkus
kornea, uveitis, dan vasculitis retina.
11

 Rheumathoid arthritis
RA adalah gangguan vaskulitis sistemik yang paling sering melibatkan
permukaan okular. Pasien dengan RA berat sering hadir dengan ulserasi
progresif indolen dari kornea perifer atau pericentral dengan peradangan
minimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perforasi kornea.

2.4. Epidemiologi Ulkus Kornea


Di Amerika insiden ulkus kornea bergantung pada penyebabnya. Insidensi
ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia,
sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma,
pemakaian lensa kontak, infeksi dan kadang-kadang tidak di ketahui
penyebabnya. Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun
1879 tetapi baru mulai periode 1950 keratomikosis diperhatikan. Banyak laporan
menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan
penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat imunosupresif dan lensa
kontak. Singapura melaporkan selama 2.5 tahun dari 112 kasus ulkus kornea 22
beretiologi jamur. Mortalitas atau morbiditas tergantung dari komplikasi dari
ulkus kornea seperti parut kornea, kelainan refraksi, neovaskularisasi dan
kebutaan. Berdasarkan kepustakaan di USA, laki-laki lebih banyak menderita
ulkus kornea, yaitu sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan
di India Utara ditemukan 61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena
banyaknya kegiatan kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko
terjadinya trauma termasuk trauma kornea.12

2.5. Klasifikasi Ulkus Kornea6,15


Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea , yaitu:
1. Ulkus kornea sentral
a. Ulkus kornea bakterialis
b. Ulkus kornea fungi
c. Ulkus kornea virus
12

d. Ulkus kornea acanthamoeba


2. Ulkus kornea perifer
a. Ulkus marginal
b. Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden)
c. Ulkus cincin (ring ulcer)

2.5.1. Ulkus Kornea Sentral


a. Ulkus Kornea Bakterialis
Ulkus Streptokokus :
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea
(serpiginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan
tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan
perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok
pneumonia.
Ulkus Stafilokokus :
Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putih kekuningan disertai
infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel. Apabila tidak diobati secara
adekuat, akan terjadi abses kornea yang disertai edema stroma dan infiltrasi sel
leukosit. Walaupun terdapat hipopion ulkus seringkali indolen yaitu reaksi
radangnya minimal.

Gambar 2.4 Ulkus Kornea Bakterialis

Ulkus Pseudomonas :
Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral kornea. ulkus sentral ini
dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea. Penyebaran ke dalam dapat
13

mengakibatkan perforasi kornea dalam waktu 48 jam. gambaran berupa ulkus


yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang dikeluarkan berwarna kehijauan.
Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti cincin. Dalam bilik mata depan dapat
terlihat hipopion yang banyak.

Gambar 2.5 Ulkus Kornea Pseudomonas

Ulkus Pneumokokus :
Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam. Tepi ulkus akan
terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran
karakteristik yang disebut Ulkus Serpen. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel
yang penuh dan berwarna kekuning-kuningan. Penyebaran ulkus sangat cepat
dan sering terlihat ulkus yang menggaung dan di daerah ini terdapat banyak
kuman. Ulkus ini selalu di temukan hipopion yang tidak selamanya sebanding
dengan beratnya ulkus yang terlihat.diagnosa lebih pasti bila ditemukan
dakriosistitis.

Gambar 2.6 Ulkus Kornea Bakterialis dengan hipopion


14

b.. Ulkus Kornea Fungi


Mata dapat tidak memberikan gejala selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sesudah trauma yang dapat menimbulkan infeksi jamur ini. Pada permukaan
lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang agak kering. Tepi lesi
berbatas tegas irregular dan terlihat penyebaran seperti bulu pada bagian epitel yang
baik. Terlihat suatu daerah tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat
satelit-satelit disekitarnya. Tukak kadang-kadang dalam, seperti tukak yang disebabkan
bakteri. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan naik. Dapat
terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang. Terdapat injeksi siliar disertai
hipopion.

Gambar 2.7 Ulkus Kornea Fungi

c. Ulkus Kornea Virus

Ulkus Kornea Herpes Zoster :


Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan perasaan lesu. Gejala ini timbul
satu 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit. Pada mata ditemukan vesikel kulit dan
edem palpebra, konjungtiva hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat
subepitel dan stroma. Infiltrat dapat berbentuk dendrit yang bentuknya berbeda
dengan dendrit herpes simplex. Dendrit herpes zoster berwarna abu-abu kotor
dengan fluoresin yang lemah. Kornea hipestesi tetapi dengan rasa sakit keadaan
yang berat pada kornea biasanya disertai dengan infeksi sekunder.
15

Ulkus Kornea Herpes simplex :


Infeksi primer yang diberikan oleh virus herpes simplex dapat terjadi tanpa
gejala klinik. Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda injeksi siliar yang kuat
disertai terdapatnya suatu dataran sel di permukaan epitel kornea disusul dengan
bentuk dendrit atau bintang infiltrasi. terdapat hipertesi pada kornea secara lokal
kemudian menyeluruh. Terdapat pembesaran kelenjar preaurikel. Bentuk dendrit
herpes simplex kecil, ulceratif, jelas diwarnai dengan fluoresin dengan benjolan
diujungnya.

Gambar 2.8 Ulkus Kornea Dendritik

Gambar 2.9 Ulkus Kornea Herpetik

d. Ulkus Kornea Acanthamoeba


16

Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya,


kemerahan dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin
stroma, dan infiltrat perineural.

Gambar 2.10 Ulkus Kornea Acanthamoeba

2.5.2. Ulkus Kornea Perifer

a. Ulkus Marginal
Bentuk ulkus marginal dapat simpel atau cincin. Bentuk simpel berbentuk
ulkus superfisial yang berwarna abu-abu dan terdapat pada infeksi stafilococcus,
toksik atau alergi dan gangguan sistemik pada influenza disentri basilar gonokok
arteritis nodosa, dan lain-lain. Yang berbentuk cincin atau multiple dan biasanya
lateral. Ditemukan pada penderita leukemia akut, sistemik lupus eritromatosis dan
lain-lain.

Gambar 2.11 Ulkus Marginal

b. Ulkus Mooren
17

Merupakan ulkus yang berjalan progresif dari perifer kornea kearah sentral.
ulkus mooren terutama terdapat pada usia lanjut. Penyebabnya sampai sekarang
belum diketahui. Banyak teori yang diajukan dan salah satu adalah teori
hipersensitivitas tuberculosis, virus, alergi dan autoimun. Biasanya menyerang satu
mata. Perasaan sakit sekali. Sering menyerang seluruh permukaan kornea dan
kadang meninggalkan satu pulau yang sehat pada bagian yang sentral.

C
18

Gambar 2.12 Mooren's Ulcer (A : Gambaran awal ulkus Mooren, B : Gambaran


lanjut Ulkus Mooren, C: Ulkus Mooren dengan penyebaran lesi ke tengah)

c. Ring Ulcer
Terlihat injeksi perikorneal sekitar limbus. Di kornea terdapat ulkus yang
berbentuk melingkar dipinggir kornea, di dalam limbus, bisa dangkal atau dalam,
kadang-kadang timbul perforasi. Ulkus marginal yang banyak kadang-kadang
dapat menjadi satu menyerupai ring ulcer. Perjalanan penyakitnya menahun.

Gambar 2.13 Ulcer Ring

2.6. Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan
sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama
terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan
kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh
karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan
penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
19

permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah
ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia.
Rasa sakit juga diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama palbebra
superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif,
regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang
terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan
dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris.
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut.
Infiltrat sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini
menyebar kedua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil
dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi
bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma
maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya
sikatrik.

2.7. Manifestasi Klinis9


Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa :

2.7.1. Gejala Subjektif


a. Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
b. Sekret mukopurulen
c. Merasa ada benda asing di mata
d. Pandangan kabur
e. Mata berair
f. Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
g. Silau
h. Nyeri
i. Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat
pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel
kornea.
20

2.7.2. Gejala Objektif

a. Injeksi siliar
b. Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
c. Hipopion

2.8. Diagnosis Ulkus Kornea4,6,13


Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang
bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering
kambuh. Hendaknya pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien
seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi,
virus terutama keratitis herpes simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat
penyakit sistemik seperti diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi
imunosupresi khusus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi
siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus
berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :
a. Ketajaman penglihatan
b. Tes refraksi
c. Pemeriksaan slit-lamp
d. Keratometri (pengukuran kornea)
e. Respon reflek pupil
f. Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.
21

Gambar 2.14 Ulkus Kornea dengan fluoresensi

g. Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)
h. Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura dari
dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH, gram
atau Giemsa. Lebih baik lagi dengan biopsi jaringan kornea dan diwarnai
dengan periodic acid Schiff. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar
sabouraud atau agar ekstrak maltosa.

Gambar 2.15 Pewarnaan gram ulkus kornea fungi

Gambar 2.16 Pewarnaan gram ulkus kornea herpes simpleks

Gambar 2.17 Pewarnaan gram ulkus kornea herpes zoster


22

A B
Gambar 2.18 A. Pewarnaan gram ulkus kornea bakteri , B : Pewarnaan gram
ulkus kornea akantamoeba

2.9. Penatalaksanaan Ulkus Kornea6,9,10,14


Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Pengobatan
pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang
mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik dan mengurangi reaksi
peradangan dengann steroid. Pasien dirawat bila mengancam perforasi, pasien
tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan perlunya obat
sistemik.

a. Penatalaksanaan ulkus kornea di rumah


- Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya
- Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang
- Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan
mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih
- Berikan analgetik jika nyeri
b. Penatalaksanaan medis
1. Pengobatan konstitusi
Oleh karena ulkus biasannya timbul pada orang dengan keadaan umum
yang kurang dari normal, maka keadaan umumnya harus diperbaiki dengan
makanan yang bergizi, udara yang baik, lingkungan yang sehat, pemberian
roboransia yang mengandung vitamin A, vitamin B kompleks dan vitamin C.
Pada ulkus-ulkus yang disebabkan kuman yang virulen, yang tidak sembuh
dengan pengobatan biasa, dapat diberikan vaksin tifoid 0,1 cc atau 10 cc susu
steril yang disuntikkan intravena dan hasilnya cukup baik. Dengan penyuntikan
23

ini suhu badan akan naik, tetapi jangan sampai melebihi 39,5°C. Akibat
kenaikan suhu tubuh ini diharapkan bertambahnya antibodi dalam badan dan
menjadi lekas sembuh.

2. Pengobatan lokal
Benda asing dan bahan yang merangsang harus segera dihilangkan. Lesi
kornea sekecil apapun harus diperhatikan dan diobati sebaik-baiknya.
Konjungtuvitis, dakriosistitis harus diobati dengan baik. Infeksi lokal pada
hidung, telinga, tenggorok, gigi atau tempat lain harus segera dihilangkan.
Infeksi pada mata harus diberikan :

 Sulfas atropine sebagai salap atau larutan,


Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena bekerja lama 1-2 minggu.

Efek kerja sulfas atropine :

- Sedatif, menghilangkan rasa sakit.


- Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
- Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi
sehingga mata dalan keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M.
konstriktor pupil, terjadi midriasis sehinggga sinekia posterior yang
telah ada dapat dilepas dan mencegah pembentukan sinekia posterior
yang baru

 Skopolamin sebagai midriatika.


 Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau
tetrakain tetapi jangan sering-sering.

 Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum luas diberikan sebagai salap, tetes atau injeksi subkonjungtiva.
Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan salap mata karena dapat
24

memperlambat penyembuhan dan juga dapat menimbulkan erosi kornea


kembali.

 Anti jamur
Terapi medika mentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa
dibagi :

1. Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya :


topikal amphotericin B 1, 2, 5 mg/ml, Thiomerosal 10 mg/ml,
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole
2. Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, thiomerosal,
Natamicin, Imidazol
3. Ragi (yeast) : amphotericin B, Natamicin, Imidazol
4. Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa,
berbagai jenis anti biotik
 Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid
lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, anti biotik spektrum luas untuk
infeksi sekunder analgetik bila terdapat indikasi.

Untuk herpes simplex diberikan pengobatan IDU, ARA-A, PAA, interferon


inducer.Perban tidak seharusnya dilakukan pada lesi infeksi supuratif karena
dapat menghalangi pengaliran sekret infeksi tersebut dan memberikan media yang
baik terhadap perkembangbiakan kuman penyebabnya. Perban memang
diperlukan pada ulkus yang bersih tanpa sekret guna mengurangi
rangsangan.Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan :

1. Kauterisasi
a. Dengan zat kimia : Iodine, larutan murni asam karbolik, larutan murni
trikloralasetat
b. Dengan panas (heat cauterisasion) : memakai elektrokauter atau termophore.
Dengan instrumen ini dengan ujung alatnya yang mengandung panas
disentuhkan pada pinggir ulkus sampai berwarna keputih-putihan.
2. Pengerokan epitel yang sakit
25

Parasentesa dilakukan kalau pengobatan dengan obat-obat tidak menunjukkan


perbaikan dengan maksud mengganti cairan coa yang lama dengan yang baru yang
banyak mengandung antibodi dengan harapan luka cepat sembuh. Penutupan ulkus
dengan flap konjungtiva, dengan melepaskan konjungtiva dari sekitar limbus yang
kemudian ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi perlindungan dan nutrisi
pada ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap konjungtiva
ini dapat dilepaskan kembali.
Bila seseorang dengan ulkus kornea mengalami perforasi spontan berikan
sulfas atropine, antibiotik dan balut yang kuat. Segera berbaring dan jangan
melakukan gerakan-gerakan. Bila perforasinya disertai prolaps iris dan terjadinya
baru saja, maka dapat dilakukan :
- Iridektomi dari iris yang prolaps
- Iris reposisi
- Kornea dijahit dan ditutup dengan flap konjungtiva
- Beri sulfas atripin, antibiotic dan balut yang kuat
Bila terjadi perforasi dengan prolaps iris yang telah berlangsung lama, kita obati
seperti ulkus biasa tetapi prolas irisnya dibiarkan saja, sampai akhirnya sembuh
menjadi leukoma adherens. Antibiotik diberikan juga secara sistemik.

Gambar 2.19 Ulkus kornea perforasi (jaringan iris keluar dan menonjol, infiltrat
pada kornea ditepi perforasi)
26

3. Keratoplasti
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan diatas tidak
berhasil. Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan,
kekeruhan kornea yang menyebabkan kemunduran tajam penglihatan, serta
memenuhi beberapa kriteria yaitu :
a. Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas penderita
b. Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.
c. Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.

Gambar 2.20 Keratoplasti

2.10. Komplikasi Ulkus Kornea5,11


Komplikasi yang paling sering timbul berupa:

a. Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat


b. Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan panopthalmitis
c. Prolaps iris
d. Sikatrik kornea
e. Katarak
f. Glaukoma sekunder

2.11. Prognosis Ulkus Kornea6,9


Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu
penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin
tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya
27

komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama


mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak
ada ketaatan penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat
menimbulkan resistensi.
Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan dengan
pemberian terapi yang tepat. Ulkus kornea dapat sembuh dengan dua metode;
migrasi sekeliling sel epitel yang dilanjutkan dengan mitosis sel dan pembentukan
pembuluh darah dari konjungtiva. Ulkus superfisial yang kecil dapat sembuh
dengan cepat melalui metode yang pertama, tetapi pada ulkus yang besar, perlu
adanya suplai darah agar leukosit dan fibroblas dapat membentuk jaringan
granulasi dan kemudian sikatrik.

BAB III

KESIMPULAN

Ulkus Kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian


jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea
bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai
stroma. Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi menyebabkan kebutaan
yang membutuhkan penatalaksanaan secara langsung.
Berdasarkan kepustakaan di USA, laki-laki lebih banyak menderita ulkus kornea,
yaitu sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di India Utara
ditemukan 61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya kegiatan kaum
28

laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko terjadinya trauma termasuk trauma


kornea.
Ulkus Kornea bisa disebabkan oleh infeksi (bakteri, jamur ,virus dan
Acanthamoeba), noninfeksi ; seperti bahan kimia bersifat asam atau basa tergantung
PH, radiasi atau suhu, Sindrom Sjorgen, defisiensi vitamin, obat-obatan, pajanan
(exposure), neurotropik dan juga bisa disebabkan oleh pengaruh sistem imun (Reaksi
Hipersensitivitas).
Pengobatan pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata
yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik dan mengurangi reaksi
peradangan dengann steroid. Pasien dirawat bila mengancam perforasi, pasien tidak
dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan perlunya obat sistemik.
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya
mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada tidaknya
komplikasi yang timbul.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012, Jakarta. Diunduh dari web


site:http://depkes.go.id/index.php/component/content/article/43newsslider/2084-
kemenkes-canangkan-hari-pemberantasan-gangguan-penglihatan-dan kebutaan-di-
indonesia.html. pada tanggal 12 Oktober 2012
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012, Jakarta. Diunduh dari web
site:http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/845-gangguan penglihatan-
masih-menjadi-masalah-kesehatan.html. pada tanggal 12 Oktober 2012
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012, Jakarta. Diunduh dari web
site:http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1112-menkes-meresmikan-
program-orbis-flying-eye-hospital-.html.
29

4. Suhardjo, Widodo F, dan Dewi MU. Artikel Tingkat Keparahan Ulkus Kornea di
RS Dr. Sardjito Sebagai Tempat Pelayanan Mata Tertier. Bagian SMF Penyakit
Mata RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.2007. Diunduh dari website :
http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/art-1.htm
5. Anonimous. Ulkus Kornea. Dikutip dari www.medicastore.com 2012
6. Biswell R. Ulserasi Kornea. Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. Vaughan
& Asbury Oftamologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2007; 126-138.
7. Whitcher JP. Corneal blindness: a global perspective. In: Bulletin of World
HealthOrganization:79(3).Availablefromhttp://www.who.int/bulletin/archives/
79(3)214.pdf.
8. Whitcher JP. Corneal ulceration in the developing world—a silent epidemic.
BMJ1997;81:622-623doi:10.1136/bjo.81.8.622.Availablefrom:
http://bjo.bmj.com/content/81/8/622.full
9. Ilyas S. Tukak (Ulkus) Kornea. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, 2010. 159-167
10. Wong YT, Corneal Ulcers. Dalam : The Opthalmology Examination Review.
Singapore: World Scientific Printers, 2001. 114-117
11. Kumpulan Blog Dokter Indonesia. 2012. Ulkus Kornea. Di unduh dari web
site:http://blogdokter.com/category/category/pdf-doc-jurnal/page/5/ulkuskornea.
Pada tanggal 13 Oktober 2012.
12. Perhimpunan Dokter Spesislis Mata Indonesia, Ulkus Kornea dalam : Ilmu
Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi ke 2,
Penerbit Sagung Seto, Jakarta,2002
13. Murillo-Lopez FH. Corneal Ulcer. New York: The Medscape from WebMD
Journal of Medicine; [updated 2011, Nov 13; cited 2012, October 14]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1195680-overview
14. Wijana. N.Ulkus Kornea. Dalam: Ilmu Penyakit Mata, cetakan ke-4, 1989. Jakarta
15. Kanski JJ. Disorder of Cornea and Sclera. In: Clinical Opthalmology A Systematic
Approach. Edisi 6: 2007 page.100-149.
16. Ilyas S. Trauma Kimia. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2010. 271-273

Anda mungkin juga menyukai