Anda di halaman 1dari 26

PPH PASAL 4 AYAT (2)

Peta Konsep PPh Pasal 4 ayat (2)

BUNGA DEPOSITO dan Penghasilan dari


Tabungan serta Diskonto PERSEWAAN TANAH JASA KONSTRUKSI
Sertifikat Bank Indonesia dan/atau BANGUNAN

Selisih Lebih
BUNGA OBLIGASI REVALUASI AKTIVA TETAP

Penghasilan dari
DISKONTO
Surat Perbendaharaan PPh PENGALIHAN HAK ATAS
TANAH dan/atau
Negara
FINAL BANGUNAN

BUNGA SIMPANAN yang


DIVIDEN yang diterima atau
Dibayarkan oleh Koperasi
diperoleh WP Orang Pribadi
kepada Anggota Koperasi
Dalam Negeri
Orang Pribadi

Penghasilan Perusahaan
Modal Ventura dari
Penghasilan dari Transaksi
Transaksi Penjualan Saham
HADIAH UNDIAN PENJUALAN SAHAM
atau Pengalihan Penyertaan
DI BURSA EFEK
Modal pada Perusahaan
Pasangan Usaha

Pemungutan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final dan oleh karena itu apabila
Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari transaksi
penjualan saham di bursa efek, penghasilan tersebut tidak perlu digabung dengan
penghasilan lainnya dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dalam
pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Demikian pula Pajak Penghasilan yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

48
Peta Konsep Konsekuensi Pengenaan PPh Final

TIDAK BOLEH DIKURANGKAN TIDAK PERLU DIGABUNG

PENGHASILAN yang telah dikenai


BIAYA untuk mendapatkan, menagih, dan pemotongan atau pemungutan PPh yang
memelihara penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final TIDAK BOLEH
PPh bersifat final, TIDAK PERLU DIGABUNG
dengan penghasilan lainnya dalam
DIKURANGKAN dalam menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak
FIN penghitungan PPh yang terutang dalam
pengisian SPT Tahunan PPh

TIDAK DAPAT DIKREDITKAN

PPh Final yang telah


dipotong/dipungut
TIDAK DAPAT DIKREDITKAN dengan PPh
yang terutang menurut

A. Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia


(SBI)
Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 51/KMK.04/2001, mengatur antara lain:
1. Yang dimaksud dengan:
a. Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito
berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam mata uang rupiah maupun
dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada atauditerbitkan oleh bank.
b. Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang
penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-
masing bank.
2. Tarif Pemotongan PPh

TARIF PPh FINAL – BUNGA DEPOSITO dan TABUNGAN serta DISKONTO

OBJEK PAJAK SUBJEK PAJAK TARIF


Bunga Deposito WP Dalam Negeri dan 20%
BUT
Bunga Tabungan
20% / sesuai
WP Luar Negeri tarif P3B
Diskonto Sertifikat Bank Indonesia

Catatan:
Pemotongan PPh tidak berlaku terhadap orang pribadi subjek pajak dalam negeri yang seluruh
penghasilannya dalam 1 tahun pajak, termasuk bunga dan diskonto, tidak melebihi PTKP.
3. Dikecualikan dari pemotongan PPh yang bersifat final:
a. Diberikan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB)
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana
Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya
diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
b. Dilaksanakan tanpa Surat Keterangan Bebas
1) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI, sepanjang jumlah deposito dan
tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00.
2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia.
3) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan
sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri.
B. Bunga Obligasi
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 85/PMK.03/2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 07/PMK.011/2012, mengatur antara lain:
1. Yang dimaksud dengan:
a. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebihdari 12
bulan.
b. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegangObligasi
dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.
2. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga
Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
3. Tidak dilakukan Pemotongan PPh atas Bunga Obligasi yang diterima oleh:
a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf h Undang-Undang PPh.
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.
4. Dalam hal terdapat diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan Obligasi, diskonto
negatif atau rugi tersebut dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan.
5. Tarif Pemotongan PPh atas bunga obligasi

BUNGA OBLIGASI
Surat Utang dan Surat Utang Negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan

DISKONTO dan/atau
BUNGA DISKONTO DISKONTO
BUNGA
DENGAN KUPON DENGAN KUPON TANPA BUNGA
WP REKSADANA

Jumlah bruto bunga Selisih lebih harga jual Selisih lebih harga jual Selisih lebih harga jual
sesuai dengan masa atau nilai nominal di atau nilai nominal di atau nilai nominal di
kepemilikan Obligasi atas harga perolehan atas harga perolehan atas harga perolehan
Obligasi, tidak Obligasi Obligasi dan/atau
termasuk bunga jumlah bruto bunga
berjalan sesuai dengan masa
kepemilikan obligasi

▪ 0% Final untuk
Tahun 2009 s.d.
2010
▪ 5% Final untuk
Tahun 2011 s.d.
2013
WP DN dan BUT WP LN selain ▪ 15% Final untuk
BUT Tahun 2014 dst.

15%, Final20% atau sesuai


tarif P3B, Final

6. Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan oleh:


a. Penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk,atas:
1) Bunga dan/atau diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi dengan
kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi.
2) Diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh
tempo Obligasi.
b. Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku perantara, atas bunga dan/atau diskonto
obligasi yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi
c. Perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli Obligasi

48
langsung tanpa melalui perantara, atas bunga dan/atau diskonto Obligasi yang diterima
atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi.
7. Dalam hal penjualan Obligasi dilakukan secara langsung tanpa melalui perantara kepada
pihak-pihak lain selain pemotong pajak tersebut, kustodian atau sub- registry selaku
pihak-pihak yang melakukan pencatatan mutasi hak kepemilikan Obligasi, wajib
melakukan pemotongan dengan cara memungut Pajak Penghasilan yang bersifat final
yang terutang dari penjual Obligasi sebelum mutasihak kepemilikan dilakukan.
8. Dalam hal penjualan Obligasi tidak memerlukan pencatatan mutasi hak kepemilikan
Obligasi melainkan hanya atas unjuk, pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final
dilakukan oleh penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen
pembayaran, dari pembeli/pemegang Obligasi pada saat:
a. Jatuh tempo bunga, untuk penghasilan bunga yang dihitung berdasarkan masa
kepemilikan penuh sejak tanggal jatuh tempo bunga terakhir.
b. Jatuh tempo Obligasi, untuk penghasilan diskonto yang dihitung berdasarkan masa
kepemilikan penuh sejak tanggal penerbitan perdana Obligasi.
9. Dalam hal dapat dibuktikan bahwa penjual Obligasi atas unjuk adalah pihak yang tidak
diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan atau pihak lain yang telah dikenakan
pemotongan Pajak Penghasilan, pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas
bunga pada saat jatuh tempo bunga atau diskonto pada saat jatuh tempo Obligasi,
dihitung berdasarkan masa kepemilikan penuh dikurangi dengan masa kepemilikan
penjual Obligasi tersebut.
Contoh Penghitungan Mengenai Tata Cara Pemotongan Pajak PenghasilanAtas
Bunga Obligasi
a. Pada tanggal 1 Juli 2011, PT ABC (emiten) menerbitkan Obligasi dengan kupon
(interest bearing bond) sebagai berikut:
1) Nilai nominal Rp10.000.000,00 per lembar.
2) Jangka waktu Obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Juli 2016).
3) Bunga tetap (fixed rate) sebesar 16% per tahun, jatuh tempo bunga setiaptanggal 30
Juni dan 31 Desember.
4) Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
PT XYZ (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar Obligasi
dengan harga di bawah nilai nominal (at discount), yaitu sebesar Rp9.000.000,00 per
lembar.

49
Penghitungan bunga dan PPh yang bersifat final yang terutang oleh PT XYZ pada
saat jatuh tempo bunga pada tanggal 31 Desember 2011 adalah:
Bunga =(6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
=Rp8.000.000,00
PPh Final = 15% x Rp8.000.000,00
= Rp1.200.000,00
Dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
Keterangan:
Dalam kenyataannya, harga perolehan Obligasi dengan kupon (interest bearing
bond) pada saat penerbitan perdana tidak harus selalu sama dengan nilai nominalnya.
Pembeli dapat memperoleh Obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount)
atau di atas nilai nominal (at premium). Pada hakekatnya selisih harga beli di bawah
atau di atas nilai nominal tersebut merupakan penyesuaian tingkat bunga Obligasi yang
diperhitungkan ke dalam harga perolehan.
Dalam hal investor atau pembeli Obligasi adalah WP Reksadana, maka
penghitungan PPh final atas bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo tanggal 31
Desember 2011 adalah:
Bunga =(6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
=Rp8.000.000,00
PPh Final = 5% x Rp8.000.000,00
= Rp400.000,00
b. Pada tanggal 31 Maret 2012, PT XYZ menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya
kepada PT PQR melalui perusahaan efek PT MNO di over the counter (OTC), dengan
harga jual Rp10.400.000,00 per lembar termasuk bunga berjalan.
Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT XYZ
pada saat penjualan Obligasi tanggal 31 Maret 2012 adalah:
Bunga Berjalan = (3/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp4.000.000,00
Diskonto = [(Rp10.400.000,00 – Rp400.000,00) – Rp9.000.000,00] x 10
= Rp10.000.000,00

Mengingat Wajib Pajak PT XYZ dikenakan PPh final dengan tarif yang sama,
bunga berjalan dan diskonto dapat dihitung sekaligus yaitu:

50
Bunga berjalan dan diskonto = (Rp10.400.000,00 – Rp9.000.000,00) x 10
= Rp14.000.000,00
PPh final = 15% x Rp14.000.000,00
= Rp2.100.000,00
Dipotong oleh PT MNO selaku perantara.
c. PT PQR memiliki Obligasi yang dibeli dari PT XYZ dengan masa kepemilikan hingga
tanggal 31 Desember 2014. Untuk itu, pada setiap tanggal jatuh tempo bunga selama
masa kepemilikan Obligasi tersebut, PT PQR terutang PPh final sebesar 15% atas bunga
yang diterima atau diperolehnya, yang dipotong oleh emiten atau kustodian yang
ditunjuk sebagai agen pembayaran.
d. Pada tanggal 31 Desember 2014, PT PQR setelah menerima bunga dari emiten menjual
seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada PT CDE melalui Bank “Pundi Nasional”
selaku perantara dengan harga jual Rp10.500.000,00 per lembar.
Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT PQR pada saat
jatuh tempo bunga atau saat penjualan Obligasi tanggal 31 Desember 2014 adalah:
Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
PPh final atas Bunga = 15% x Rp8.000.000,00
= Rp1.200.000,00
Dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
Diskonto = (Rp10.500.000,00 – Rp10.000.000,00) x 10
= Rp5.000.000,00
PPh final atas Diskonto = 15% x Rp5.000.000,00
= Rp750.000,00
Dipotong oleh Bank “Pundi Nasional” selaku perantara.
Keterangan:
Pengertian diskonto tidak hanya terbatas pada realisasi selisih harga perolehan
perdana di bawah (at discount) nilai nominal Obligasi, melainkan mencakup selisih
lebih harga jual di atas harga perolehan Obligasi.
e. Pada tanggal 31 Mei 2016, PT CDE menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada
Dana Pensiun “Sejahtera Mandiri” (dana pensiun yang telah mendapatpersetujuan
Menteri Keuangan) langsung tanpa melalui perantara dengan harga jual
Rp10.666.667,00 per lembar termasuk bunga.
Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh yang terutang oleh PT CDEpada
saat penjualan Obligasi tanggal 31 Mei 2016 adalah:

51
Bunga berjalan =(5/12 x 16% Rp10.000.000,00) x 10
= Rp6.666.670,00
Diskonto = [(Rp10.666.667,00 – Rp666.667,00) – Rp10.500.000,00] x
10
=(Rp5.000.000,00)
Diskonto negatif atau rugi.
Perolehan diskonto negatif atau rugi dapat diperhitungkan dengan penghasilanbunga
berjalan. PPh terutang yang bersifat final karena penjualan Obligasi adalah:
PPh final = 15% x (Rp6.666.670,00 – Rp5.000.000,00)
= Rp250.001,00
Keterangan:
Meskipun penjualan Obligasi tidak dilakukan melalui perantara dan tidak dilaporkan
ke bursa, dana pensiun sebagai pembeli wajib melakukan pemotongan pajak. Ketentuan
yang sama juga berlaku dalam hal pembelian langsung dilakukan oleh perusahaan efek,
bank, dan reksa dana selaku investor.
f. Pada tanggal 1 Juli 2016 (jatuh tempo Obligasi), Dana Pensiun “Sejahtera Mandiri”
menerima pelunasan seluruh Obligasi yang dimilikinya beserta imbalan bunga sesuai
masa kepemilikan (1 bulan) dari PT ABC, yang merupakan emiten Obligasi tersebut.
Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh Dana Pensiun
“Sejahtera Mandiri” pada saat jatuh tempo/pelunasan Obligasi tanggal 1 Juli 2016
adalah:
Bunga =(1/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp1.333.330,00
Diskonto = (Rp10.000.000,00 – Rp10.000.000,00) x 10
=Nihil
g. Pada tanggal 1 Januari 2011, PT ABC menerbitkan Obligasi tanpa bunga (non- interest
bearing debt securitiest) berjangka waktu 10 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Januari 2021)
dengan nilai nominal sebesar Rp10.000.000,00. Penerbitan perdana Obligasi tersebut
tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
PT GHI membeli 100 lembar Obligasi tanpa bunga tersebut dengan harga perdana
sebesar Rp6.000.000,00 per lembar.

Pada tanggal 31 Agustus 2014, PT GHI menjual 50 lembar Obligasi tersebut di BE)
melalui perusahaan efek PT MNO kepada PT JKL seharga Rp7.000.000,00per lembar.
Penghitungan diskonto dan PPh Final yang terutang oleh PT GHI adalah:

52
Diskonto =(Rp7.000.000,00 - Rp6.000.000,00) x 50
=Rp50.000.000,00
PPh final = 15% x Rp50.000.000,00
= Rp7.500.000,00
Dipotong oleh PT MNO selaku perantara.Keterangan:
Diskonto Obligasi tanpa bunga dikenakan pemotongan PPh final pada setiapkali
dilakukan penjualan, sepanjang:
1) penjualan dilakukan melalui perantara atau pembeli langsung yang ditunjuksebagai
pemotong pajak; dan
2) penjual Obligasi tidak dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan.
Pada saat jatuh tempo/pelunasan Obligasi dimaksud, atas diskonto terakhir
dikenakan PPh final.
C. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 63/PMK.03/2008, mengatur antara lain:
1. Yang dimaksud dengan:
a. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang baik
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, yang terdiri
atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara
b. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu
paling lama 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
c. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk
pertama kali.
d. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di
Pasar Perdana.
e. Diskonto SPN adalah selisih lebih antara :
1) Nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdanaatau di
Pasar Sekunder; atau
2) Harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana ataudi Pasar
Sekunder, tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.
2. Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan
pemotongan27 Pajak Penghasilan yang bersifat final.

53
3. Tarif Pemotongan PPh atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

TARIF PPh FINAL – DISKONTO SPN (Surat Perbendaharaan Negara)

OBJEK PAJAK SUBJEK PAJAK TARIF

WP Dalam Negeri dan BUT 20%


Diskonto SPN
(Surat Perbendaharaan Negara)
WP Penduduk/berkedudukan 20% / sesuai
di Luar Negeri tarif P3B

Catatan:
Pemotongan PPh tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak:
a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Reksadana yang terdaftar pada Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga, selama 5
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

4. Pemotongan PPh atas diskonto SPN dilakukan oleh:


a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas
Diskonto yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo;
b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas Diskonto
yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder;
c. Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana selaku pembeli SPN tanpa
melalui pedagang perantara, atas Diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN
pada saat transaksi di Pasar Sekunder.
D. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota
Koperasi Orang Pribadi
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 112/PMK.03/2010, mengatur antara lain:

1. Penghasilan berupa bunga simpanan28 yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di
Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
2. Tarif pemotongan PPh atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada

TARIF PPh FINAL – BUNGA SIMPANAN KOPERASI

OBJEK PAJAK TARIF

s.d. Rp240.000,00 0%
Bunga Simpanan yang Dibayarkan per bulan
oleh Koperasi kepada Anggota 54
Koperasi Orang Pribadi > Rp240.000,00 per
10%
bulan
TARIF PPh FINAL – HADIAH UNDIAN

OBJEK PAJAK SUBJEK PAJAK TARIF

Orang Pribadi dan Badan baik


25% dari Jumlah
Hadiah Undian Dalam Negeri maupun Luar
Anggota Koperasi Orang Pribadi Negeri
Bruto Nilai Hadiah

Pengertian Nilai Hadiah adalah NILAI UANG atau NILAI PASAR apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk
3. Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterimaanggota
natura (misalnya: mobil).
koperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha. Contoh:
a. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp240.000,00 untuk masa Januari, makaPPh
terutang 0% x Rp240.000,00 = Rp0,00
b. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp245.000,00 untuk masa Januari, makaPPh
terutang 10% x Rp245.000,00 = Rp24.500,00
c. Bunga dibayarkan pada bulan April sebesar Rp500.000,00 dengan rincian bunga bulan
Januari Rp250.000,00, Februari Rp150.000,00, dan Maret Rp100.000,00, maka yang
dikenakan PPh 10% adalah bunga bulan Januari sebesar 10% x Rp250.000,00 =
Rp25.000,00 dan untuk bulan Februari dan Maret Rp0,00
E. Hadiah Undian
Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 639/KMK.04/1994, mengatur antara lain:
1. Atas penghasilan berupa hadiah undian29 dengan nama dan dalam bentuk apapun
dipotong atau dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2. Tarif pemotongan PPh atas Hadiah Undian

3. Penyelenggara undian30 wajib memotong Pajak Penghasilan dalam hal hadiah undian
dibayarkan berupa uang dan memungut Pajak Penghasilan dalam hal hadiah undian
diserahkan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
4. Pajak Penghasilan dipotong atau dipungut oleh Penyelenggara undian sebelum hadiah
undian dibayarkan atau diserahkan kepada yang berhak.
F. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan

55
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
282/KMK.04/1997, mengatur antara lain:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifatfinal.
2. Tarif Pemotongan PPh atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di BursaEfek

TARIF PPh FINAL – PENJUALAN SAHAM di BURSA EFEK

OBJEK PAJAK SUBJEK PAJAK TARIF


0,1% dari Jumlah Bruto Nilai Transaksi
Penjualan
Penghasilan dari Orang Pribadi
Transaksi Penjualan atau
0,5% dari Nilai Jual Saham
Saham di Bursa Efek Badan
→ Tambahan PPh untuk Transaksi
Penjualan Saham Pendiri

3. Yang dimaksud dengan "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang namanyatercatat
dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran
Dasar Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana (initial
public offering) menjadi efektif.
4. Termasuk dalam pengertian "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang menerima
pengalihan saham dari pendiri karena:
a. Warisan.
b. Hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang PPh.
c. Cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut
5. Yang dimaksud dengan "saham pendiri" adalah saham yang dimiliki oleh merekayang
termasuk kategori "pendiri" sebagaimana dimaksud di atas.
6. Termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah:
a. Saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkansetelah
penawaran umum perdana (initial public offering).
b. Saham yang yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
7. Tidak Termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah:
a. Saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam bentuksaham.
b. Saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (initial public offering)
yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right issue), waran,

56
obligasi konversi dan efek konversi lainnya;
c. Saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.
8. Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan dengan cara pemotongan oleh penyelenggaraan
bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan
saham.
G. Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham
atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan
Pasangan Usaha
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995, mengatur antara lain:
1. Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal.
2. Perusahaan pasangan usaha adalah perusahaan yang memenuhi syarat sebagaiberikut:
a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam sektor-
sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
3. Dalam hal transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal tersebut
dilakukan melalui bursa efek, maka pengenaan Pajak Penghasilannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang
Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
4. Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang tidak memenuhi
ketentuan, dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang PPh.
I. Dividen yang diterima atau diperoleh WP OP Dalam Negeri
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 111/PMK.03/2010, mengatur antara lain:
1. Penghasilan berupa dividen31 yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% dan bersifat final.

TARIF PPh FINAL – DIVIDEN WP OP DALAM NEGERI

OBJEK PAJAK SUBJEK PAJAK TARIF

Dividen yang Diterima


atau Diperoleh Orang Pribadi 10% dari Jumlah Bruto57
WP Orang Pribadi Dividen yang Diterima
Dalam Negeri
2. Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.
J. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002, mengatur antara lain:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan
tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium,
gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib
dibayar Pajak Penghasilan.
2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari penyewa yang bertindak atau
ditunjuk sebagai Pemotong Pajak, wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh penyewa

3. Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka Pajak Penghasilan yang
terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau
memperoleh penghasilan.
4. Tarif PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

TARIF PPh FINAL – PERSEWAAN TANAH dan/atau BANGUNAN

OBJEK PAJAK SUBJEK PAJAK TARIF

Penghasilan dari
Orang Pribadi 10% dari Jumlah Bruto Nilai
Persewaan
atau Persewaan
Tanah dan/atau
Badan Tanah dan/atau Bangunan
Bangunan

Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh
penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau
bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan,
biaya fasilitas lainnya dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah
maupun yang disatukan.

5. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak,

58
Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa.
6. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan, Pajak
Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1996, mengatur antara lain:
7. Orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan adalah:
a. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT
tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan; yang telah
terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

8. Kepala KPP menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan sebagai Pemotong Pajak


Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kepada Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk.
K. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, mengatur antara
lain:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
2. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak,
lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.
b. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang
disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan
untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus misalnya
penjualan atau pelepasan hak tanah kepada pemerintah untuk proyek Rumah Sakit
Umum dan untuk proyek kampus universitas.
c. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yangmemerlukan
persyaratan khusus yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan
umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya,
saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum seperti

59
tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan fasilitas
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3. Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan bersifat final.
4. Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan
Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan
sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan.

TARIF PPh FINAL – PENGALIHAN HAK ATAS TANAH dan/atau BANGUNAN

OBJEK PAJAK SUBJEK TARIF

BUKAN 5% dari Jumlah Bruto


Usaha Pokok Nilai Pengalihan
Penghasilan
dari USAHA 5% dari Jumlah Bruto
Orang Pribadi
Pengalihan POKOK Nilai Pengalihan untuk
atau
Hak atas Tanah Pengalihan RS dan RSS
Badan
dan/atau Hak atas
Bangunan Tanah 5% dari Jumlah Bruto
dan/atau Nilai Pengalihan untuk
Bangunan Pengalihan Lainnya

5. Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta
Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, kecuali:
a. Dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat
yang bersangkutan;
b. Dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor
189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.
6. NJOP adalah NJOP menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT PBB) tahun yang bersangkutan atau dalam hal SPPT dimaksud belum

60
terbit, adalah NJOP menurut SPPT tahun pajak sebelumnya.
7. Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada KPP, maka NJOP yang
dipakai adalah NJOP menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang
wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan berada.

8. Rumah Sederhana terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang
mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9. Rumah Susun Sederhana adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC
dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan
komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas dibebaskan
dari pengenaan PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
10. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah.
b. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
c. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan,kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
d. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut
tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan; atau

61
e. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
11. Pejabat yang berwenang (Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang,
atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku) hanya menanda tangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya
dibuktikan oleh Orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban telah dipenuhi
dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan
menunjukan aslinya.
L. Jasa Konstruksi
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009, mengatur antara lain:
1. Yang dimaksud dengan:
a. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi,
layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi
pengawasan pekerjaan konstruksi.
b. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing- masing beserta kelengkapannya
untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentukfisik lain.
c. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
d. Pelaksunaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi
terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and
construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and
build).
e. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu

62
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai selesai dan diserahterimakan.

2. Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yangbersifat
final.
3. Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yangmemiliki
kualifikasi usaha32 kecil;
b. 4% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukanoleh
Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukanoleh
Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

JASA KONSTRUKSI
Dikenai PPh yang bersifat Final

PERENCANAAN / PENGAWASAN
PELAKSANAAN KONSTRUKSI
KONSTRUKSI

Memiliki TIDAK Memiliki Memiliki TIDAK Memiliki


Kualifikasi Usaha Kualifikasi Usaha Kualifikasi Usaha Kualifikasi Usaha

SELAIN
KECIL
KECIL

2% 3% 4% 4% 6%

Jumlah Pembayaran/Jumlah Penerimaan Pembayaran (yang merupakan bagian dari Nilai


Kontrak Jasa Konstruksi), tidak termasuk PPN

63
4. Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan tidak
termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
5. Sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final,
dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(4) Undang-Undang PPh (branch profit tax) atau sesuai dengan ketentuandalam P3B.
6. Pajak Penghasilan yang bersifat final:
a. Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa
merupakan pemotong pajak33; atau
b. Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak34.
7. Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah:
a. Jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif Pajak Penghasilan; atau
b. Jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif Pajak Penghasilan
dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
8. Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan
Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang
telah dipotong atau disetor sendiri, selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh
Penyedia Jasa.
9. Dalam hal Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa,
atas Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang Pajak
Penghasilan yang bersifat final, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak
dibayar tersebut dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih.
10. Piutang yang tidak dapat ditagih merupakan piutang yang nyata-nyata tidak dapatditagih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh.
11. Dalam hal piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat ditagih kembali, tetap
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
12. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh.

13. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa

48
Konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh.
14. Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk
dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
15. Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha Jasa
Konstruksi.
M. Penilaian Kembali ( Revaluasi) Aktiva Tetap
Pasal 19 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Menteri Keuangan
berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor
penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan
penghasilan karena perkembangan harga.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008, mengatur antara lain:
1. Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan
perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan
masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
2. Perusahaan adalah Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT),
tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam
bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
3. Untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, perusahaan mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.
4. Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menerbitkan surat keputusan penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan atas permohonan yang diajukan oleh perusahaan.
5. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:
a. Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna
bangunan; atau
b. Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di
Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
6. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat
jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir
yang dilakukan.

49
7. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau
nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap
yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin
dari Pemerintah.
8. Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau
ahli penilai ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal
Pajak menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan.
9. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1
tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai.
10. Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal
semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10%.
11. Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi
sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang, dapat mengajukan permohonan pembayaran
secara angsuran paling lama 12 bulan sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang
KUP.
12. Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian
kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.
b. Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva
tetap tersebut.
c. Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan.
13. Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun
pajak yang bersangkutan.

b. Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak
yang bersangkutan.
c. Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan
dalam bagian tahun pajak tersebut.

50
14. Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali
aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat
fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.
15. Dalam hal Perusahaan melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:
a. Aktiva tetap kelompok 1 dan kelompok 2 yang telah memperoleh persetujuan penilaian
kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru; atau
b. Aktiva tetap kelompok 3, kelompok 4, bangunan, dan tanah yang telah memperoleh
persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 tahun, maka atas selisih
lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi
10%.
16. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi:
a. Pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan
atau kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan;
b. Pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau
pemekaran usaha yang mendapat persetujuan; atau
c. Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat
yang tidak dapat diperbaiki lagi.
17. Selisih antara nilai pengalihan aktiva tetap perusahaan dengan nilai sisa buku fiskal
pada saat pengalihan merupakan keuntungan atau kerugian berdasarkan ketentuan
Undang-Undang PPh.
18. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial
semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan harus dibukukan dalam neraca
komersial pada perkiraan modal dengan nama "Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva
Tetap Perusahaan Tanggal .................................................................................. ".
19. Pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa
penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal, bukan
merupakan Objek Pajak Penghasilan.
20. Dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal lebih besar daripada selisih lebih
penilaian kembali secara komersial, pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan

51
nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan merupakan Objek Pajak, hanya
sampai dengan sebesar selisih penilaian kembalisecara komersial.
N. Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di
Bursa
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Register Perkara Nomor
22P/HUM/2009 terkait dengan permohonan hak uji materiil terhadap PP Nomor 17
Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa
Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, dinyatakan bahwa Pasal 2, Pasal 3
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 5 PPNomor 17 Tahun 2009 bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)huruf c Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, oleh karena itu tidak sah dan tidak
berlaku umum.
Berdasarkan hal tersebut diterbitkan PP Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pencabutan
PP Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi
Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-82/PJ/2011 menyampaikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mengatur
antara lain:
a. Pasal 4 ayat (1), yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.

b. Pasal 4 ayat (2) huruf c, atas penghasilan dari transaksi derivatif yang diperdagangkan
dibursa dapat dikenai pajak bersifat final yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
2. Pasal 19 PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan mengatur bahwa dalam hal
penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan

52
Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang- Undang PPh.
3. Materi pokok yang diatur dalam PP Nomor 31 Tahun 2011 tentang pencabutan PPNomor
17 Tahun 2009 adalah:
a. PP Nomor 17 Tahun 2009 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
b. Terhadap Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif
berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut
berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 2009 dikembalikan dengan mekanisme pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
4. Dengan memperhatikan ketentuan tentang pengembalian Pajak Penghasilan yang bersifat
final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa yang telah dipungut, maka atas penghasilan dari transaksi
derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang diterima
dan/atau diperoleh WP sejak 1 Januari 2009 dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh.
5. Dalam hal terhadap WP diberikan pengembalian atas Pajak Penghasilan yang bersifat
final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa maka penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak
berjangka yang diperdagangkan di bursa tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan
WP yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimanadimaksud dalam Pasal
17 Undang-Undang PPh.
6. Mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang
adalah mengacu pada:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang; dan

b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan
dan Penelitian Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan
yang Seharusnya Tidak Terutang bagi Wajib Pajak Dalam Negeri.

53
O. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)

Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) Tanggal Jatuh Tempo Penyetoran Batas Akhir Pelaporan

Dipotong oleh Paling lama tanggal 10 bulan


Pemotong Pajak berikutnya setelah Masa Pajak Wajib menyampaikan
SPT Masa paling lama 20
hari setelah Masa Pajak
Harus Dibayar Paling lama tanggal 15 bulan berakhir
Sendiri oleh WP berikutnya setelah Masa Pajak

P. Studi Kasus PPh Pasal 4 ayat (2) Contoh:


Pada tanggal 10 Agustus 2011 Rahmat menjual rumahnya di kawasan Palo Alto
Residence Bogor kepada Nasri Samirudin. NJOP atas tanah dan bangunan tersebut yang
sesuai SPPT PBB Tahun 2011 adalah Rp1.500.000.000,00. Harga transaksi yang
disepakati adalah Rp1.700.000.000,00. Rahmat dan Nasri sepakat untuk melakukan
penandatanganan Akta Jual Beli pada tanggal 15 Agustus 2011 di hadapan PPAT Dhea
Tunggadewi, S.H., M.Kn.
Bagaimana kewajiban PPh atas transaksi penjualan tanah tersebut tersebut?
Atas penghasilan yang diterima oleh Rahmat dari pengalihan hak atas tanah

PPh Pasal 4 ayat (2) = 5% x Rp1.700.000.000,00 = Rp85.000.000,00


dan/atau bangunan wajib dibayar PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final sebesar:
Kewajiban Rahmat atas transaksi tersebut adalah:
1. Melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) dengan menggunakan SSP sebesar
Rp85.000.000,00 paling lambat tanggal 15 Agustus 2011 sebelum ditandatanganinya
Akta Jual Beli.

2. Mengajukan formulir penelitian SSP ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi letak
tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya.
3. Melaporkan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa
PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Agustus 2011 paling lambat tanggal 20 September
2011.
Sebelum menandatangani Akta Jual Beli, Dhea Tunggadewi, S.H., M.Kn. selaku PPAT
wajib memastikan kewajiban PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan oleh Rahmat dengan bukti SSP.

54

Anda mungkin juga menyukai