Anda di halaman 1dari 6

Hari yang belum usai menyapa kalbu, langit yang masih mendung ,matahari

terbendung awan-awan kelam yang hendak menyombongkan diri, Reno masih


terduduk, di antara rak-rak buku perpustakaannya yang usang dan lantainya dingin nan
berdebu, ia seakan tak menggubris dengan waktu.

Reno yang baru pulang dari sekolahnya itu, berjalan menuju kamarnya seketika
ibunya menyuruhnya untuk duduk di kursi ruang tamu dengan membahas soal
sekolahnya di kota.

“Sudahlah, Nak. Turuti saja kata ayahmu, Di desa sebelah kan sudah ada SMP.”

Sudah ia duga bahwa ibunya pasti akan berpihak kepada ayahnya. Apalagi ibunya tahu
bahwa di desa sebelah sudah ada SMP Satap. Sekolah ini Menggunakan gedung SD
sebagai tempat belajar.

“SMP di sini tidak sama dengan SMP di kota, Bu.”

“Ah kau itu, ada-ada saja, di kota namanya SMP, di sini Juga namanya SMP. Apanya
yang beda?”

“Namanya memang sama, Bu. Tapi cara belajarnya tidak sama.”

“Memangnya di kota belajar apa?

“Anu, Bu.”

“Ah, sudah. Jangan banyak alasan, lebih baik kau bantu ibu saja sini!”, serunya.

Peringatan Hardiknas merupakan awal penyebab terbuka Hati ayahnya untuk


merespons keinginan Reno bersekolah di kota. Saat itu Dilaksanakan berbagai kegiatan.
Salah satunya adalah pemilihan siswa Berprestasi tingkat kecamatan. Semua sekolah
diisyaratkan mengutus Perwakilan untuk berlomba. Ia diutus sebagai peserta lomba
untuk mewakili sekolahnya. Seleksi Siswa berprestasi dimulai dari tes pengetahuan,
meliputi Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Tes selanjutnya adalah Hasta
Karya.

Menjelang lomba ia diminta gurunya untuk datang ke sekolahnya, namun ayahnya


melarang tak mengizininya.
“ ayah, Reno izin dulu mau ke sekolah ya?”

“Ke sekolah, untuk apa? Ini kan sudah sore.”

“Mau belajar sore, Yah.”

“Apa tidak cukup waktu belajarmu pagi sampai siang?”

“Kata guruku aku akan diutus mengikuti lomba siswa berprestasi. Aku mendapat
tambahan belajar di sore hari.”

“Ah, ada-ada saja alasan kau. Sudah, jangan banyak bicara, ikut ke sawah.”

“Tapi yah”

Reno terpana. Jawaban ayahnya benar-benar membuat ia hampir menangis histeris.


Bagaimana tidak, Lombanya semakin dekat, sementara masih banyak materi yang
belum ia pahami, Terbayang ia akan hancur dan tidak bisa bersaing dengan siswa
sekolah lain. Otaknya terus berpikir untuk mencari solusi terbaik dan menyusun strategi.
”Bagaimana kalau aku ke rumah kakek, menyampaikan masalahku ini. Ya, hanya dia
yang mampu menundukkan ayah, ”ujar Reno.

sepulang sekolah, ia langsung bergegas menghampiri rumah kakeknya itu.

“ Reno, kenapa kamu lesu?,” tanya kakeknya.

“Anu, kek”, mungkin nanti aku tidak dapat rangking.”

Mendengar kata rangking, kakeknya langsung merespons perkataan yang sedang ia


ucapkan. Sebenarnya, yang mau ia ajukan masalah lomba, tetapi ia terpaksa
mengatakanya karena kakeknya itu tidak Paham dengan istilah siswa berprestasi, dia
hanya tahu istilah rangking, Dalam pikirannya rangking itu berarti pintar.

“Wah, kenapa kamu tidak bisa rangking?”

“karena akhir-akhir ini ayah selalu mengajak ke sawah kek. Jadi, banyak pelajaran yang
Reno tidak ketahui.”

“Ya sudah, tidak usah sedih. Nanti kusampaikan pada ayahmu. Masuklah ke dalam,
makan dulu lalu pulang.”
Ternyata benar, saat malam hari kakeknya itu datang ke rumah Reno. Reno pura-pura
tidur dan mulai memasang telinga untuk menyimak pembicaraan Mereka.

“bapak dari mana? ”, tanyanya.

“dari rumah, tadi sekalian ke rumahnya pak dusun”

Reno yang berada di kamarnya menyimak obrolan mereka, sepertinya pembicaraan


mereka itu belum mengarah ke pokok persoalannya ia mulai kesal campur gelisah. ”Ah,
mengapa kakek belum juga membicarakan perihal sekolahku,” keluhnya dalam hati.
Kegelisahan bertambah saat ibunya keluar dari bilik dapur dan bergabung dalam
pembicaraan kakek dan ayahnya. pembicaraan mereka bertiga justru semakin jauh dari
apa yang ia tunggu. Reno mencoba berpikir bagaimana memancing perhatian mereka
agar pembicaraan mereka berpindah ke masalahnya, Reno merebahkan pelan-pelan
kepalanya, lalu pura-pura menggeliat sambil mengeluarkan suara geliat: “Akhhh….”

Tiba-tiba ia mendengar kakeknya mulai menyampaikan perihal masalahnya kepada


ayahnya. Siasatnya berhasil, Reno memaksimalkan pendengaran nya. “Ya Allah,
berikanlah rahmat-Mu pada hamba-Mu ini,” doa Reno dalam hati.

“Jangan terlalu memaksa anakmu bekerja. Dia kan masih anak-anak, lagi pula dia
bersekolah.” nasihat kakek kepada ayahnya.

“Bukan memaksa, bapak. Saya hanya mengajarkan untuk pembiasaan tidak malas,
seperti halnya bapak dulu yang selalu mengajarkan saya, “ucap Ayahnya.

“Iya, tindakanmu itu tidak salah, tapi masa kau masih anak-anak sudah tidak sama
dengan masa anak-anak sekarang.”

Reno tak menghiraukan lagi percakapan antara ayah dan kakeknya itu, sebab yang
hanya ia ingat adalah kakeknya itu gagal untuk meyakinkan ayahnya. Reno mulai
meneteskan air matanya dengan tanpa suara, hingga bantalnya basah karena linangan air
matanya.

Esok harinya, Reno menghadap ke Bu Henny, menyampaikan bahwa ia tidak bisa ke


sekolah saat sore hari. Tetapi Bu Henny punya ide cukup bijaksana. Dia memberi Reno
bahan lomba untuk dipelajari di rumahnya, Semua bahan tersebut ia bawa ke sawah. Ia
membantu ayahnya di sawah, Reno duduk di dangau mengusir sekawanan burung pipit
yang hinggap di batang padi, dan mempelajari bahan lombanya.

Ia Merasa bahan yang diberikan Bu Henny sudah cukup untuk di kuasai, perhatianya
mengalihkan pada hasta karya. Reno berpikir keras hasta karya apa yang akan ia
presentasikan pada lomba nanti. Meminta uang untuk membeli bahan tidak mungkin.
Selain kendala ayahnya, jarak ke kota untuk membelinya pun sangat jauh. Tiba-tiba
pandangannya tertuju pada telang yang tumbuh subur di pesisir saluran air menuju ke
sawah. Ia menebang beberapa batang dan mengeringkan dekat dangaunya.

“Untuk apa itu, Ren,” tanya ayah saat melintas dekat batang telang yang dikeringkan.
Otaknya cepat berspekulasi, ”Mau buat sangkar burung, Yah.”

“Di rumah kan sudah ada kau punya,” kata ayahnya.

“Mau buat model baru, Yah. Yang di rumah, modelnya sudah banyak yang sama yang
dimiliki teman-temanku.”

“Ya sudah, buat saja. Tapi ingat jangan sampai lupa usir burung Pipit itu,” jawab
ayahnya. Kali ini ia mendapat jawaban yang menyenangkan dari ayahnya.

Tibalah saatnya untuk berlomba, Bu Henny dan Pak Slamet yang menghantar Reno,
Dalam perjalanan tak henti-henti kedua gurunya itu Memberikan motivasi dan
semangat. Bahkan mereka berjanji, jika ia juara, Mereka akan membantu untuk
meyakinkan ayahnya agar bisa melanjutkan Sekolah di kota.

Kegelisahan Reno pun mulai nampak saat ia tiba di tempat lomba, lagi-lagi gurunya itu
memberi saran kepadanya, tiba-tiba lonceng berbunyi tanda dimulainya tes Tertulis.
Sebelum masuk Ruangan, ia tak lupa pamit kedua gurunya itu selalu menyemangati dan
mendoakannya, Sebuah perlakuan yang membuatnya tegar Bersemangat. Terasa sekali,
seakan ada dorongan untuk berjanji jika Reno tidak akan mengecewakan mereka.

Soal lomba telah di bagikan, ia menundukan kepala sambil berdoa dalam hati. Waktu
150 menit berlalu tepat saat bel tanda ujian tulis berakhir. Semua peserta lomba
mengumpulkan jawaban dan kertas soalnya kepada panitia. Reno menyerahkan lembar
soal dan jawaban dengan tangannya Gemetar. Panitia yang menerima pun tersenyum
melihat tingkahnya Itu.
terlihat guru-guru Pendamping berdesakan, seakan tak sabar ingin menjemput siswanya
Masing-masing. Ia keluar dari ruangan, Bu Henny pun Menjemputnya dengan
pertanyaan, “Bagaimana pekerjaanmu, Ren?”, ia menghela nafas panjang. ”Cukup sulit,
tapi ku jawab semua, Bu.”

“ Ya, mudah-mudahan jawabanmu banyak yang benar ya”, ia tak mampu menatap lama
raut wajah gurunya itu. Terlihat Raut muka Reno yang cemas-cemas berharap. Batinya
mampu membaca betapa Malu dan kecewanya gurunya itu jika ia berada di peringkat
terakhir.

Semua peserta dikumpulkan kembali untuk mengikuti tahap seleksi berikutnya. Kali ini
setiap peserta tampil mempersiapkan hasta karyanya. Bu Henny, menyodorkan hasta
karya Reno.

“Kamu punya kesempatan juara satu, Ren.” Lagi-lagi Bu Henny memberi semangat.
”Jangan gugup saat berbicara, tetap tenang”, lanjutnya. “Iya, Bu” jawabnya..

waktu presentasi telah usai, mereka menunggu hasil keputusan panitia. Inilah saat-saat
yang paling mendebarkan. Peserta yang berhasil meraih peringkat pertama akan
mewakili kecamatan ke tingkat kabupaten. Reno duduk di samping Bu Henny. Tak
hentinya-hentinya ia berdoa, memohon kepada Tuhan semoga dapat juara. Reno melirik
Bu Henny, ia tampak tenang dan tersenyum. Namun hati kecilnya menyatakan bahwa di
balik senyumnya itu, berkecamuk rasa cemas dan harap.

Setalah menanti cukup lama, para panitia lomba keluar dari ruangan dan mengumumkan
juara lomba itu, Betapa girang dan bahagianya mereka bertiga, Saat para panitia
menyebut nama Reno meraih juara 1, Bu Henny memeluknya dengan meneteskan air
mata bahagianya. Ia menerima Sebuah piala dan selembar piagam serta buku-buku
bacaan.

Saat tiba di rumah, ia berlari menemui ibunya dan menceritakan bahwa ia juara satu.
Mulanya ia tidak percaya, tapi melihat piala dan piagam yang ia pegang, ibunya
menangis dan memeluknya. ”Ayahmu akan bangga, Ren,” kata ibu saat melepas
pelukannya. Ia langsung bergegas untuk menemui ayahnya yang masih berada di sawah.
Ia berlari menelusuri pematang sawah sambil memeluk erat pialanya. “Ayaaaah… aku
juara satu,” teriak Reno saat tiba di dekat dangau. Dari atas dangau, ayahnya
menjulurkan tangan meminta piala yang masih ia dekap. Ia lalu bercerita panjang
tentang bagaimana perjuangannya saat lomba, dan menceritakan jika ia akan berlomba
kembali di tingkat kabupaten. Mata ayahnya tak berkedip memandang piala itu. Ia lalu
menarik nafas panjang dan menerapnya.

“Ren, kau betul-betul mau sekolah di kota.”

“Iya, Ayah. Mau sekali,” jawabnya spontan.

“iya, ayah mengizinmu untuk sekolah di kota.”

Betapa gembiranya ia mendengar pernyataan ayahnya itu. Ayahnya memeluk erat


tubuhnya, seolah membuat Reno terharu dalam bungkamnya. Sedikit demi sedikit ia
memperbaiki prestasi. berkat usahanya dia mendapat peringkat satu dikelasnya. “Hebat
kamu ya, Ren. Kamu anak yang tidak mudah menyerah,” kata Pak Rahmat.

“Terima kasih pak. Itu semua berkat dukungan Bapak,” jawabnya.

Anda mungkin juga menyukai