Anda di halaman 1dari 30

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

TUBERKULOSIS (TB)

Kelompok 8:

Ita Husnul Chotimah 192211101055


Navisa Noor Haifa 192211101056
Nimas Ayu Amanda Putri 192211101057
Diana Hanifiyah Sutipno 192211101058
Yesika Yuristi Mahardika 192211101059
Aissa Dinar Yanuariski 192211101060
Ulfi Mawadatur Rohmah 192211101061

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAAS JEMBER
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
BAB 1. PENDAHULUAN.................................................................................5
1.1 Definisi Tuberkulosis....................................................................................5
1.2 Tanda dan Gejala..........................................................................................5
1.3 Patogenesis....................................................................................................6
1.4 Patofisiologi..................................................................................................8
1.5 Etiologi........................................................................................................10
1.6 Faktor Resiko..............................................................................................10
1.7 Klasifikasi...................................................................................................12
1.8 Strategi Terapi.............................................................................................13
1.9 Terapi Farmakologi.......................................................................................2
1.10 Terapi Non Farmakologi...............................................................................8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

ii
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1. 1 ALGORITMA TERAPI GAGAL JANTUNG STAGE A DAN B


MENURUT ACC/AHA...........................................................................................9
Gambar 1. 2 Algoritma terapi gagal jantung stage C menurut ACC/AHA...........10
Gambar 1. 3 Terapi gagal jantung menurut NYHA...............................................16

iii
BAB 1. DAFTAR
TABEL

TABEL 1. 1 ETIOLOGI GAGAL JANTUNG........................................................6


Tabel 1. 2 Klasifikasi gagal jantung.........................................................................8

iv
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Definisi Tuberkulosis


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis atau kuman TB. Sebagian bakteri ini menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ
tubuh lainnya (Depkes RI, 2011). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, 85% dari seluruh kasus
TB adalah TB paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain mulai dari kulit, tulang, organ-organ
dalam seperti ginjal, usus, otak, dan lainnya (Icksan dan Luhur, 2008). Berdasarkan hasil
pemeriksaan sputum, TB dibagi dalam: TB paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum
BTA positif, TB paru BTA negatif: dari 3 spesimen BTA negatif, foto toraks positif (Rani, 2006).
Infeksi pada paru-paru dan kadang-kadang pada struktur-struktur di sekitarnya, yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis (Saputra, 2010). Manusia adalah satu-satunya tempat untuk
bakteri tersebut menyerang. Bakteri ini berbentuk batang dan termasuk bakteri aerob obligat (Todar,
2009). Bakteri Mycobacterium tuberculosis tidak menghasilkan sporadan toksin. Bakteri ini memiliki
panjang dan tinggi antara 0,3-0,6 dan 1-4 μm, pertumbuhan bakteri ini lambat dan bakteri ini
merupakan bakteri pathogen makrofag intraselluler (Ducati dkk, 2006).Pada saat penderita TB batuk
dan bersin kuman menyebar melalui udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei) dimana
terdapat 3.000 percikan dahak dalah sekali batuk (Depkes RI, 2007). M. tuberculosis ditularkan
melalui percikan ludah. Infeksi primer dapat terjadi diparu-paru, kulit dan usus (Hull, 2008).

1.2 Tanda dan Gejala


Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai
dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru,
sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Gejala sistemik/umum :

 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)


 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul
 Penurunan nafsu makan dan berat badan
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah

5
Gejala khusus:

 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening
yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai
sesak.
 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu
saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini
akan keluar cairan nanah.

Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan
kejang-kejang. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TB dapat terdeteksi kalau diketahui
adanya kontak dengan pasien TB dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TB
paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal
serumah dengan penderita TB paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi
berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

1.3 Patogenesis
Pasien mendapatkan penyakit TBC akibat terinfeksi Micobacterium
Tuberculosis. Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil (bacilli) M.
Tuberculosis melalui udara ke paru-paru. Bakteri menyebar melalui jalan napas,
menempel pada bronkus atau alveolus untuk memperbanyak diri. Setelah infeksi
pertama, sel pertahanan tubuh orang sehat (makrofag) akan bergerak menuju tempat
infeksi dan memakan bacilli. Namun, tubercle bacilli sangatlah kuat karena struktur
dinding selnya. Perlindungan ini membuat tubercle bacilli dapat bertahan meskipun
makrofag memakannya. Setelah makrofag memakan tubercle bacilli, bacilli kemudian
menginfeksi makrofag. Bacilli hidup di dalam makrofag hidup yang tumbuh seperti
biasa. Setelah makrofag ditaklukkan oleh tubercle bacilli, sistem imun tubuh mencoba
strategi pertahanan lain. Sejumlah sel pertahanan sampai di kelenjar limfa dan
mengelilingi area infeksi. Sel-sel ini membentuk gumpalan sel keras dengan sebutan
tubercle. Sel ini membantu untuk membunuh bacilli melalui pembentukkan dinding

6
pencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Pada beberapa kasus, sel pertahanan dapat
merusak semua tubercle bacilli secara permanen (Irianti dkk., 2016).
Pada beberapa kasus, sel pertahanan tidak mampu untuk merusak semua
tubercle bacilli. Tubercle bacilli yang bertahan masuk ke dalam status dormant dan
dapat bertahan lama. Sepanjang waktu ini, bakteri tertidur. Pasien tidak
menunjukkan gejala dan tidak dapat menularkannya ke orang lain. Kondisi tersebut
dikenal dengan TB laten. Bakteri dormant dapat bangun kembali dan merusak
dinding sel pertahanan dalam suatu proses. Proses tersebut dikenal sebagai
Secondary TB infection. Secondary TB infection dapat terjadi ketika sistem imun tubuh
menjadi lemah dan tidak mampu melawan bakteri, atau ketika bakteri mulai untuk
memperbanyak diri dan melimpah. Secondary TB infection biasanya terjadi dalam 5
tahun dari primary infection. Secondary TB infection sering dianggap sebagai onset
penyakit TB aktif ( kondisi ketika bakteri mulai memenangkan perlawanan terhadap
sistem pertahanan tubuh dan mulai menyebabkan gejala) (WHO, 2004). Patogenesis
Latent Tuberculosis Infection (LTBI) dan penyakit TB dapat dilihat pada Gambar 1.1.

7
a Keterangan :
a. Droplet nuclei berisi tubercle
bacilli terhirup, masuk ke dalam
paru-paru dan bergerak ke
alveolus.
b. Tubercle bacilli memperbanyak
b diri di dalam alveolus
c. Sebagian kecil tubercle bacilli
masuk ke dalam aliran darah
kemudian menyebar ke seluruh
tubuh. Tubercle bacilli dapat
mencapai setiap bagian tubuh,
termasuk otak, laring, saluran

c limfa, paru-paru, tulang


belakang,tulang atau ginjal.
d. Makrofag akan mengelilingi dan
memakan tubercle bacilli dalam 2
hingga 8 minggu. Makrofag akan
d membentuk lapisan pelindung
(granuloma) sebagai penampung
dan pengendali tubercle bacilli
(LTBI).
e. Jika sistem imun tidak dapat
mengendalikan tubercle bacilli,
e
bacilli mulai memperbanyak diri
dengan cepat (terjadi penyakit
TB). Proses ini dapat terjadi pada

Gambar 1. 1 Patogenesis penyakit TBC (CDC, 2016)

1.4 Patofisiologi

8
Basil M. Tuberculosis terhirup oleh pasien melalui udara kemudian masuk paru-paru. Bakteri
menyebar melalui jalan napas, menempel pada bronkus atau alveolus untuk memperbanyak diri.
Perkembangan M. Tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus
atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah kebagian tubuh lain (ginjal, tulang,
dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas). Selanjutnya, sistem kekebalan tubuh
memberikan respon dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi
fagositosis (menelan bakteri). Sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan)
basil dan jaringan normal. Reaksi ini mengakibatkan peningkatan metabolisme tubuh yang
menyebabkan suhu tubuh meningkat (demam), terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang
menyebabkan bronkopneumonia, dan produksi sputum yang menyebabkan akumulasi jalan napas
terganggu. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri (Knechel,
2009).

Interaksi antara M. Tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi
membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan
basil hidup dan mati yang dikekelingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah
bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle.
Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi
yang penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan
akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi non-aktif (Knechel, 2009).

Setelah infeksi awal, jika respon sistem imun tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih
parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak
aktif menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan
necrotizing caseosa di dalam bronkus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan
membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan timbulnya
bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil terus di fagosit atau berkembang biak di dalam sel.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel
tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami
nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respon
berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel
(Knechel, 2009). Patofisiologi terjadinya tuberkulosis ditunjukkan Gambar 1.2.

9
Gambar 1. 2 Patofisiologi penyakit TBC.

1.5 Etiologi
Penyebab dari penyakit TB adalah Mycobacterium tuberculosa, Mycobacterium bovis serta
mycobacterium avium, tetapi lebih sering disebabkan oleh Mycobactreium tuberculosa (Ikeu, 2007).
TB menular melalui udara yang dapat berupa ludah, bersin, dan batuk. Penyakit ini menyerang organ
paru, namun dapat juga menyerang organ tubuh yang lainnya (Aditama, 2002).
Mycobacterium tuberculosa berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora
dan tidak berkapsul. Lebarnya sekitar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1-4 µm. Dinding bakteri tersebut
sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak sekitar 60%. Penyusun utama dinding sel adalah asam
mikolat, lilin kompleks (waxes), trahelosa dimikolat dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri tersebut bersifat
tahan asam (anonim, 2004).

1.6 Faktor Resiko


Beberapa faktor risiko untuk menderita TB adalah:
1. Penurunan sistem imun oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV)
10
HIV merupakan penyakit infeksi virus yang menyebabkan gangguan sistem imun.
Setelah menginfeksi tubuh penderita, virus HIV menyerang dan merusak sel limfosit T-helper
(CD4) yang berperan sebagai pengatur utama respon imun, kerusakan pada sel tersebut
menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada sel imun lainnya. Makrofag
akan memfagosit kuman yang masuk, sedangkan sel CD4 berfungsi untuk memperbesar
kapasitas makrofag untuk memfagositosis sehingga kuman TB tidak dapat berkembang
(Simbolon, 2011). Pada penderita HIV sel CD4 turun menjauhi kadar normal. Penurunan
kadar CD4 dan kerusakan fungsi makrofag pada penderita HIV berpotensi terserang TB
(Murtiastutik, 2008).
2. Jenis kelamin dan usia
Pada penelitian Muchtar dan Herman (2018) didapatkan bahwa laki-laki sebesar 80%
lebih berpotensi menderita TB daripada perempuan. Hal tersebut dapat disebabkan karena
aktivitas laki-laki yang lebih banyak di luar dan kebiasaan merokok. Adapun berdasarkan
pengelompokan umur, penderita TB tertinngi pada lansia di atas 45 tahun, kejadian ini
disebabkan karena penurunan imun sehingga rentan untuk terkena penyakit terutama infeksi
yang salah satunya adalah TB.
3. Diabetes Melitus (DM)
Penurunan sistem imun dan rentannya kerusakan jaringan terjadi karena adanya
glukotoksisitas (proses kerusakan yang timbul akibat efek samping hiperglikemi). Gangguan
daya imun seluler menyebabkan sel imun tidak mampu menghadang dan memfagosit kuman
TB yang menginfeksi tubuh, sehingga kuman TB terus berkembang dan menimbulkan
penyakit TB pada orang tersebut (Manaf, 2008).
4. Malnutrisi
Pada infeksi TB dengan dengan malnutrisi terjadi gangguan sistem imun akibat
penurunan produksi limfosit dan kemampuan proliferasi sel imun. Pada kondisi kekurangan
gizi, ditemukan gangguan aspek imunitas, termasuk fagositosis, respon proliferasi sel, serta
produksi limfosit Tdan sitokin, sehingga kuman dapat secara mudah mvsuk dan berkembang
di dalam tubuh (Siagan, 2010).
5. Riwayat merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko yang meningkatkan kejadian TB akibat
penurunan daya tahan tubuh dan kerusakan saluran pernapasan pada orang yang sering
merokok (Muchtar, 2018).
6. Alkohol

11
Pengkonsumsian alkohol secara kronik menyebabkan penurunan fungsi limfosit T dan B.
Funsgi makrofag dan sistem imun seta sel-sel yang berfungsi dalam proses inhibisi mengalami
gangguan, sehingga proses destruksi dari Mycobacterum tuberculosis menjadi terhambat (Lonnorth
dkk., 2008).

1.7 Klasifikasi
1. Tuberkulosis paru Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
a. Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
negatif b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis c) Tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan)
oleh dokter untuk diberi pengobatan
2. Tuberkulosis ekstra paru Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien,
yaitu:
1. Kasus Baru Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).

12
3. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulangan.

Skema Klasifikasi Tuberkulosis

1.8 Strategi Terapi


Algoritma Tuberkulosis

13
Gambar 1. Algortima diagnosis awal untuk individu dengan gejala TB
paru yang konsisten (WHO, 2017)

Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai algoritma pada Gambar 1, yaitu:


1. Hasil tes molecular harus disampaikan kepada dokter tanpa menunggu hasil kultur.
2. Melakukan rapid molecular test (seperti: Xpert atau LPA/Line Probe Assay (Genotype
MTBDR®)) untuk resistensi obat pada sampel primer mengurangi keterlambatan
untuk hasil resistensi fenotipik yang sesuai.
3. Pada kondisi tidak adanya Xpert MTB/RIF, maka sputum smear microscopy dapat
digunakan sebagai tes awal, dan sampel harus dikirim secepat mungkin ke
laboratorium dengan kapasitas untuk melakukan molecular test yang
direkomendasikan oleh WHO selain kultur.
4. Dalam kasus tidak adanya Xpert MTB/RIF tetapi tersedia FL-LPA (First Line-LPA),
maka tes ini harus digunakan untuk sampel smear-positive sputum untuk mengetahui
adanya resistensi Rifampicin (R) dan Isoniazid (INH atau H). Jika ditemukan
resistensi

14
INH, maka hal ini dapat menjadi acuan untuk diagnosis lebih lanjut dan perlu
dipertimbangkan untuk memberikan terapi.
5. Untuk dilakukan ketika FL-LPA tersedia dan belum dilakukan.
6. Dengan tidak adanya FL-LPA, maka terapi regimen FL disarankan untukdimulai dan
disesuaikan segera setelah hasil DST (drug-susceptibility testing) tambahan tersedia.
7. Dalam kasus dimana hasil SL-LPA (Second Line-LPA) tidak dapat tersedia dalam satu
minggu, maka pengobatan empiris MDR-TB dapat dimulai.
8. SL-LPA cocok untuk digunakan di tingkat laboratorium rujukan pusat atau nasional;
atau di tingkat regional dengan infrastruktur yang sesuai.
9. Mengikuti kriteria kelayakan.

Gambar 2. Algoritma untuk memantau tindak lanjut pasien dengan TB paru yang
peka terhadap obat (WHO, 2017)

Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai algortitma pada Gambar 2, yaitu:

15
1. Melakukan rapid molecular test (seperti: Xpert atau LPA) untuk resistensi obat pada
sampel primer mengurangi keterlambatan untuk hasil resistensi fenotipik yang sesuai.
2. SL-LPA cocok untuk digunakan di tingkat laboratorium rujukan pusat atau nasional;
atau di tingkat regional dengan infrastruktur yang sesuai.
3. Jika hasil sampel secara mikroskopis dan/atau kultur positif setelah dua bulan terapi,
maka disarankan untuk melakukan molecular diagnostic test yang disetujui WHO dan
DST untuk mengkonfirmasi ada atau tidaknya MTB serta untuk menentukan pola
resistensi.
4. Sebelum memulai molecular test yang disetujui WHO, hasil molecular test yang
dilakukan pada isolat harus diperiksa untuk memastikan bahwa molecular test pilihan
dapat mendeteksi resistensi tambahan.

Gambar 3. Algoritma untuk pemantauan tindak lanjut pasien MDR-TB dan RIF-
resistant (WHO, 2017)
Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai algoritma pada Gambar 3, yaitu:
1. Harus dilakukan hanya jika tidak ada resistensi terhadap obat lini kedua
(FLQ/fluoroquinolone dan SLID/second-line injectable drug) yang terdeteksi
sebelumnya.
2. Tidak perlu mengulangi test resistensi rifampicin awal, karena ini akan tetap resisten.

16
1.6.2. Algoritma Diagnosis dan Interpretasi
2

1.9 Terapi Farmakologi


1. Pengobatan TB

Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan. Dalam pengobatan TB, OAT lini pertama merupakan jenis
obat utama yang digunakan. OAT lini pertama di antaranya adalah isoniazid
(INH), rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Kemasan obat-obat
tersebut merupakan obat tunggal, disajikan secara terpisah, masing-masing
isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol atau bisa juga sebagai obat
kombinasi dosis tetap (KDT). KDT ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan (PDPI, 2006).

Tabel 1. Jenis dan dosis OAT (PDPI, 2006)

Keterangan : R = Rifampisin; H = Isoniazid; Z = Pirazinamid; E = Etambutol; S =


Streptomisin; BB = Berat Badan; Maks. = Maksimal.

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun, sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu,
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan (PDPI, 2006).
Efek samping OAT mengurangi efektivitas pengobatan, karena secara
signifikan OAT berkontribusi terhadap ketidakpatuhan, yang pada akhirnya
3

menyebabkan kegagalan pengobatan, kambuh, atau munculnya MDR-TB.


Kepatuhan terhadap pengobatan TB sangat penting untuk menyembuhkan pasien
dengan TB aktif. Karena masa pengobatan TB yang panjang, pasien harus tetap
dimotivasi untuk melanjutkan pengobatan bahkan ketika dia sudah sehat. Selain
itu, halangan dalam pengobatan TB dan pengalihan ke OAT lini kedua, yang
diperlukan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi obat standar, berdampak
pada respon pengobatan yang suboptimal (Tostmann dkk., 2008).

Tabel 2. Ringkasan paduan OAT (PDPI, 2006)

Keterangan : * Obat yang disediakan oleh Progam TB Nasional


4

Tabel 3. Dosis OAT kombinasi dosis tetap (PDPI, 2006)

Keterangan : R = Rifampisin; H = Isoniazid; Z = Pirazinamid; E = Etambutol; S =


Streptomisin; BB = Berat Badan.

2. Evaluasi pengobatan TB

Evaluasi pasien TB meliputi evaluasi klinik, bakteriologi, radiologi dan


efek samping obat serta evaluasi keteraturan berobat. Dari segi evaluasi klinik,
pasien TB harus dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan dan
selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi ini mencakup respons pengobatan TB dan ada
tidaknya efek samping OAT serta ada tidaknya komplikasi TB. Selain itu,
evaluasi klinik juga meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik pada
pasien TB. Dari segi evaluasi bakteriologik, pemeriksaannya harus dalam masa 0-
2 bulan dan 2-6 bulan atau 9 bulan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mendeteksi
ada tidaknya konversi dahak. Dalam evaluasi ini, pemeriksaan dan evaluasi
mikroskopik harus dilakukan pada 3 keadaan, yaitu sebelum pengobatan dimulai,
setelah 2 bulan pengobatan, dan pada akhir pengobatan. Pada evaluasi radiologik,
pemeriksaannya harus dilaksanakan dalam waktu 0-2 bulan dan 2-6 bulan atau 9
bulan. Evaluasi foto toraks juga dilakukan pada 3 keadaan, yaitu sebelum
pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan, dan pada akhir pengobatan. Selanjutnya,
evaluasi efek samping OAT secara klinis pula merangkumi pemeriksaan fungsi
hati. Pemeriksaan ini dilakukan dari awal, sebelum, dan sesudah bermulanya
pengobatan OAT. Fungsi hati adalah parameter yang selalu dinilai dengan melihat
kadar Alanine Aminotransferase (ALT) / Serum Glumtamate Pyruvate
Aminotrasnferase (SGPT) atau Aspartate Aminotransferase (AST) / Serum
5

Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT). Pemeriksaan kadar SGOT dan


SGPT ini bertujuan untuk mengetahui apakah telah terjadi hepatotoksisitas akibat
OAT (PDPI, 2006).

3. Farmakologi Obat Anti-Tuberkulosis (OAT)


 Isoniazid
Isonizaid atau isonikotinil hidrazid sering disingkat dengan INH. Hanya
satu derivatnya yang dapat menghambat pembelahan kuman TB, yaitu iproniazid,
tetapi obat ini terlalu toksik untuk manusia (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Mekanisme kerja INH belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang
diajukan, di antaranya efek pada lemak, biosintesis asam nukleat, dan glikolisis.
Ada pendapat bahwa efek utamanya adalah menghambat biosintesis asam mikolat
(mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. INH
kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang
yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. INH menghilangkan sifat
tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh methanol dari
mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap obat ke dalam selnya, dan
ambilan ini merupakan proses aktif (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada saraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks.
Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain adalah
menyerupai defisiensi piridoksin (sindrom pelagra). Efek samping berat dapat
berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi
hepatitis imbas obat atau ikterik, isoniazid harus dihentikan dan pengobatan
selanjutnya disesuaikan dengan pedoman TB pada keadaan khusus (PDPI, 2006).

 Rifampisin

Rifampisin adalah derivat semisintetik rifampisin B, yaitu salah satu


anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat
ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini merupakan ion zwitter,
6

larut dalam pelarut organik, dan air yang pH-nya asam. Derivat rifampisin lainnya
adalah rifabutin dan rifapentin (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya
menghambat DNA (Deoxyribonucleic Acid)-dependent RNA (Ribonucleic Acid)
polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula
terbentuknya rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA Polymerase dari berbagai sel
eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNA-nya tidak dipengaruhi.
Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi
diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan pada kuman
(Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik adalah sindrom flu (berupa demam, menggigil, dan nyeri
tulang), sindrom perut (berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, dan
kadang-kadang diare), sindrom kulit (seperti gatal-gatal dan kemerahan). Selain
itu, efek samping rifampisin juga dapat berat meskipun jarang terjadi. Efek
samping tersebut adalah hepatitis imbas obat atau ikterik, purpura, anemia
hemolitik akut, syok, gagal ginjal, dan sindrom respirasi (sesak napas). Bila
terjadi efek samping tersebut (baik yang ringan maupun yang berat), rifampisin
dihentikan dan pengobatan dilakukan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan
khusus. Selain itu, rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada
penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir (PDPI, 2006).

 Etambutol

Hampir semua M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap


etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Obat ini tetap menekan
pertumbuhan kuman TB yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin.
Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat
dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan
khasiat tuberkulostatik (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
7

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa penurunan


ketajaman dan buta warna merah dan hijau. Meskipun demikian, keracunan okuler
tersebut tergantung pada dosis yang digunakan, jarang sekali terjadi bila dosisnya
15-25 mg/kgBB/hari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak-anak karena resiko
kerusakan okuler sulit untuk dideteksi (PDPI, 2006).

 Pirazinamid

Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya.


Pirazinamid dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang
aktif sebagai tuberkulostatik pada media bersifat asam. In vitro, pertumbuhan
kuman TB dalam monosit dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 μg/ml.
Mekanisme kerja obat ini belum diketahui (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Efek samping pirazinamid yang utama adalah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga
dapat terjadi (berikan aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan
artritis gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan,
dan reaksi kulit yang lain (PDPI, 2006).

 Streptomisin

Streptomisin adalah OAT pertama yang secara klinis dinilai efektif.


Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman TB.
Kadar serendah 0,4 μg/ml dapat menghambat pertumbuhan kuman. Sebagian
besar M. tuberculosis strain human dan bovin dihambat dengan kadar 10 μg/ml.
Adanya mikroorganisme yang hidup dalam abses atau kelenjar limfe regional
serta hilangnya pengaruh obat setelah beberapa bulan pengobatan, mendukung
konsep bahwa kerja streptomisin in vivo adalah supresi, bukan eradikasi kuman
TB. Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan
intrasel (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
8

Efek samping utama obat ini adalah kerusakan saraf ke-VIII (nervus
vestibulokoklear) yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko
efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang
digunakan dan umur penderita. Efek samping yang terlihat adalah telinga
berdenging (tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat
dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 g. Jika
pengobatan diteruskan, maka kerusakan alat keseimbangan semakin parah dan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitivitas
kadangkadang dapat terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah, dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan
seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang berdenging dapat terjadi segera
setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 g.
Obat ini dapat menembus sawar plasenta sehingga obat ini tidak boleh diberikan
kepada ibu hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin (PDPI, 2006).

1.10 Terapi Non Farmakologi


Penatalaksanaan penderita gagal jantung juga meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis disamping terapi farmakologis. Keduanya dibutuhkan
karena akan saling melengkapi untuk penatlaksaan paripurna penderita gagal
jantung (Mariyono dan Santoso, 2007)
Penatalaksanaan nonfarmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah
dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta
pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti
pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan.
Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan
perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif
berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan
juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan
hidup belum dapat dibuktikan (Mariyono dan Santoso, 2007).
9

Manifestasi klinis gagal jantung yang sering terjadi adalah penurunan


toleransi latihan dan sesak nafas. Kedua kondisi ini menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari, mengganggu atau membatasi
pekerjaan atau aktivitas yang disukai. Akibatnya pasien kehilangan kemampuan
fungsional. Kapasitas fungsional dapat ditingkatkan, salah satunya dengan
melakukan latihan fisik. Latihan ini meliputi: tipe, intensitas, durasi, dan frekuensi
tertentu sesuai dengan kondisi pasien. Latihan fisik dengan aerobik selama 20-30
menit, 3 kali per minggu dengan intensitas 40-60% dari heart rate reserve, aman
dilakukan pada pasien gagal jantung stabil. Latihan fisik pada pasien gagal
jantung dapat meminimalkan gejala, meningkatkan toleransi latihan, kualitas
hidup, dan mungkin dapat juga memberikan efek yang memuaskan bagi
kesembuhan pasien (Suharsono, 2013)
10
11

DAFTAR PUSTAKA

Aziza, G Icksan dan Reny, Luhur. 2008. Radilologi Toraks Tuberkulosis Paru.
Jakarta: CV. Sagugn Seto

Depkes RI, 2007, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2


Cetakan Pertama, Jakarta

Depkes RI., 2011. TBC Masalah Kesehatan Dunia. Jakarta: BPPSDMK

Ducati, R.G., Netto A.R., Basso L.A. 2006. The resumption of consumption ñ A
review on tuberculosis. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, 101 (7): 697-714

Rani, A., Soegondo, S., Nasir, A., Wijaya, I., dan Nafrialdi, Mansjoer, A., 2006,
Panduan Pelayanan Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Saputra, L., 2010, Intisari Ilmu Penyakit Dalam, Binarupa Aksara Publisher,
Jakarta.

Todar, K. 2012. Mycobacterium Tuberculosis And Tuberculosis. USA.


http://textbookofbacteriology.net/tuberculosis_2.html [7 September 2019]

Hull, D., Johnston, D.I. 2008. Dasar-Dasar Pediatri, Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta on Tuberculosis. Mem Inst Oswaldo Curz.101:7. 607-714

CDC. 2016. Transmission and Pathogenesis of Tuberculosis.


https://www.cdc.gov. Diakses pada tanggal 5 September
2019.

Muchtar, N. H. Dan D. Herman. 2018. Ganbaran faktor risiko timbulnya


tuberkulosis paru pada pasien yang berkunjung ke unit drops rsup dr.
M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas. 7(1):80-87.

Simbolon E. 2011. Pola kelainan kulit pada pasien hiv/aids di rsup Haji Adam
Malik. Jurnal Kesehatan Andalas. 2(1):23.
12

Martiastutik D. 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Airlangga


University Press.

Manaf, A. 2008. “Genetical abnormality and glucotoxicity in DM”. Skripsi.


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

Siagan A. 2010. “Gizi, imunitas, dan penyakit infeksi”. Skripsi. Fakultas


Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Lonnorth K, Williams BG, Stadin S, Jaramillo E, Dye C. Alcohol use as a risk


factor for tuberculosis a systematic review. 2008. BMC Public Health.
20(8):289

Aditama TY. 2002. Tuberculosis Diagnosa, Terapi dan Masalahnya Edisi IV.
Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.

Ikeu, N. 2007. “Hubungan antara karakteristik lingkungan rumah dengan kejadian


tuberkulosis (TB) pada anak di kecamatan paseh kabupaten sumedang”.
Makalah. Universitas Padjajaran Bandung.

Anonim. 2004. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan tuberkulosis di indonesia.


World Health Organization. 1–55.
Istiantoro, Y. H. dan R. Setiabudy. 2007. Farmakologi Dan Terapi :
Tuberkulostatik Dan Leprostatik. Edisi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
PDPI. 2006. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di
Indonesia. Edisi Edisi 1. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Tostmann, A., J. M. Boeree, dan R. Aarnoutse. 2008. Antituberculosis drug
induced hepatotoxicity : concise up-to-date review. Journal of
Gastroenterology and Hepatology
13
14

Anda mungkin juga menyukai