Tuberkulosis
Tuberkulosis
TUBERKULOSIS (TB)
Kelompok 8:
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
BAB 1. PENDAHULUAN.................................................................................5
1.1 Definisi Tuberkulosis....................................................................................5
1.2 Tanda dan Gejala..........................................................................................5
1.3 Patogenesis....................................................................................................6
1.4 Patofisiologi..................................................................................................8
1.5 Etiologi........................................................................................................10
1.6 Faktor Resiko..............................................................................................10
1.7 Klasifikasi...................................................................................................12
1.8 Strategi Terapi.............................................................................................13
1.9 Terapi Farmakologi.......................................................................................2
1.10 Terapi Non Farmakologi...............................................................................8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB 1. DAFTAR
TABEL
iv
BAB 1. PENDAHULUAN
5
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening
yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai
sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu
saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini
akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan
kejang-kejang. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TB dapat terdeteksi kalau diketahui
adanya kontak dengan pasien TB dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TB
paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal
serumah dengan penderita TB paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi
berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.
1.3 Patogenesis
Pasien mendapatkan penyakit TBC akibat terinfeksi Micobacterium
Tuberculosis. Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil (bacilli) M.
Tuberculosis melalui udara ke paru-paru. Bakteri menyebar melalui jalan napas,
menempel pada bronkus atau alveolus untuk memperbanyak diri. Setelah infeksi
pertama, sel pertahanan tubuh orang sehat (makrofag) akan bergerak menuju tempat
infeksi dan memakan bacilli. Namun, tubercle bacilli sangatlah kuat karena struktur
dinding selnya. Perlindungan ini membuat tubercle bacilli dapat bertahan meskipun
makrofag memakannya. Setelah makrofag memakan tubercle bacilli, bacilli kemudian
menginfeksi makrofag. Bacilli hidup di dalam makrofag hidup yang tumbuh seperti
biasa. Setelah makrofag ditaklukkan oleh tubercle bacilli, sistem imun tubuh mencoba
strategi pertahanan lain. Sejumlah sel pertahanan sampai di kelenjar limfa dan
mengelilingi area infeksi. Sel-sel ini membentuk gumpalan sel keras dengan sebutan
tubercle. Sel ini membantu untuk membunuh bacilli melalui pembentukkan dinding
6
pencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Pada beberapa kasus, sel pertahanan dapat
merusak semua tubercle bacilli secara permanen (Irianti dkk., 2016).
Pada beberapa kasus, sel pertahanan tidak mampu untuk merusak semua
tubercle bacilli. Tubercle bacilli yang bertahan masuk ke dalam status dormant dan
dapat bertahan lama. Sepanjang waktu ini, bakteri tertidur. Pasien tidak
menunjukkan gejala dan tidak dapat menularkannya ke orang lain. Kondisi tersebut
dikenal dengan TB laten. Bakteri dormant dapat bangun kembali dan merusak
dinding sel pertahanan dalam suatu proses. Proses tersebut dikenal sebagai
Secondary TB infection. Secondary TB infection dapat terjadi ketika sistem imun tubuh
menjadi lemah dan tidak mampu melawan bakteri, atau ketika bakteri mulai untuk
memperbanyak diri dan melimpah. Secondary TB infection biasanya terjadi dalam 5
tahun dari primary infection. Secondary TB infection sering dianggap sebagai onset
penyakit TB aktif ( kondisi ketika bakteri mulai memenangkan perlawanan terhadap
sistem pertahanan tubuh dan mulai menyebabkan gejala) (WHO, 2004). Patogenesis
Latent Tuberculosis Infection (LTBI) dan penyakit TB dapat dilihat pada Gambar 1.1.
7
a Keterangan :
a. Droplet nuclei berisi tubercle
bacilli terhirup, masuk ke dalam
paru-paru dan bergerak ke
alveolus.
b. Tubercle bacilli memperbanyak
b diri di dalam alveolus
c. Sebagian kecil tubercle bacilli
masuk ke dalam aliran darah
kemudian menyebar ke seluruh
tubuh. Tubercle bacilli dapat
mencapai setiap bagian tubuh,
termasuk otak, laring, saluran
1.4 Patofisiologi
8
Basil M. Tuberculosis terhirup oleh pasien melalui udara kemudian masuk paru-paru. Bakteri
menyebar melalui jalan napas, menempel pada bronkus atau alveolus untuk memperbanyak diri.
Perkembangan M. Tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus
atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah kebagian tubuh lain (ginjal, tulang,
dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas). Selanjutnya, sistem kekebalan tubuh
memberikan respon dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi
fagositosis (menelan bakteri). Sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan)
basil dan jaringan normal. Reaksi ini mengakibatkan peningkatan metabolisme tubuh yang
menyebabkan suhu tubuh meningkat (demam), terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang
menyebabkan bronkopneumonia, dan produksi sputum yang menyebabkan akumulasi jalan napas
terganggu. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri (Knechel,
2009).
Interaksi antara M. Tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi
membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan
basil hidup dan mati yang dikekelingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah
bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle.
Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi
yang penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan
akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi non-aktif (Knechel, 2009).
Setelah infeksi awal, jika respon sistem imun tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih
parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak
aktif menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan
necrotizing caseosa di dalam bronkus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan
membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan timbulnya
bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil terus di fagosit atau berkembang biak di dalam sel.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel
tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami
nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respon
berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel
(Knechel, 2009). Patofisiologi terjadinya tuberkulosis ditunjukkan Gambar 1.2.
9
Gambar 1. 2 Patofisiologi penyakit TBC.
1.5 Etiologi
Penyebab dari penyakit TB adalah Mycobacterium tuberculosa, Mycobacterium bovis serta
mycobacterium avium, tetapi lebih sering disebabkan oleh Mycobactreium tuberculosa (Ikeu, 2007).
TB menular melalui udara yang dapat berupa ludah, bersin, dan batuk. Penyakit ini menyerang organ
paru, namun dapat juga menyerang organ tubuh yang lainnya (Aditama, 2002).
Mycobacterium tuberculosa berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora
dan tidak berkapsul. Lebarnya sekitar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1-4 µm. Dinding bakteri tersebut
sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak sekitar 60%. Penyusun utama dinding sel adalah asam
mikolat, lilin kompleks (waxes), trahelosa dimikolat dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri tersebut bersifat
tahan asam (anonim, 2004).
11
Pengkonsumsian alkohol secara kronik menyebabkan penurunan fungsi limfosit T dan B.
Funsgi makrofag dan sistem imun seta sel-sel yang berfungsi dalam proses inhibisi mengalami
gangguan, sehingga proses destruksi dari Mycobacterum tuberculosis menjadi terhambat (Lonnorth
dkk., 2008).
1.7 Klasifikasi
1. Tuberkulosis paru Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
a. Tuberkulosis paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
negatif b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis c) Tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan)
oleh dokter untuk diberi pengobatan
2. Tuberkulosis ekstra paru Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien,
yaitu:
1. Kasus Baru Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
12
3. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulangan.
13
Gambar 1. Algortima diagnosis awal untuk individu dengan gejala TB
paru yang konsisten (WHO, 2017)
14
INH, maka hal ini dapat menjadi acuan untuk diagnosis lebih lanjut dan perlu
dipertimbangkan untuk memberikan terapi.
5. Untuk dilakukan ketika FL-LPA tersedia dan belum dilakukan.
6. Dengan tidak adanya FL-LPA, maka terapi regimen FL disarankan untukdimulai dan
disesuaikan segera setelah hasil DST (drug-susceptibility testing) tambahan tersedia.
7. Dalam kasus dimana hasil SL-LPA (Second Line-LPA) tidak dapat tersedia dalam satu
minggu, maka pengobatan empiris MDR-TB dapat dimulai.
8. SL-LPA cocok untuk digunakan di tingkat laboratorium rujukan pusat atau nasional;
atau di tingkat regional dengan infrastruktur yang sesuai.
9. Mengikuti kriteria kelayakan.
Gambar 2. Algoritma untuk memantau tindak lanjut pasien dengan TB paru yang
peka terhadap obat (WHO, 2017)
15
1. Melakukan rapid molecular test (seperti: Xpert atau LPA) untuk resistensi obat pada
sampel primer mengurangi keterlambatan untuk hasil resistensi fenotipik yang sesuai.
2. SL-LPA cocok untuk digunakan di tingkat laboratorium rujukan pusat atau nasional;
atau di tingkat regional dengan infrastruktur yang sesuai.
3. Jika hasil sampel secara mikroskopis dan/atau kultur positif setelah dua bulan terapi,
maka disarankan untuk melakukan molecular diagnostic test yang disetujui WHO dan
DST untuk mengkonfirmasi ada atau tidaknya MTB serta untuk menentukan pola
resistensi.
4. Sebelum memulai molecular test yang disetujui WHO, hasil molecular test yang
dilakukan pada isolat harus diperiksa untuk memastikan bahwa molecular test pilihan
dapat mendeteksi resistensi tambahan.
Gambar 3. Algoritma untuk pemantauan tindak lanjut pasien MDR-TB dan RIF-
resistant (WHO, 2017)
Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai algoritma pada Gambar 3, yaitu:
1. Harus dilakukan hanya jika tidak ada resistensi terhadap obat lini kedua
(FLQ/fluoroquinolone dan SLID/second-line injectable drug) yang terdeteksi
sebelumnya.
2. Tidak perlu mengulangi test resistensi rifampicin awal, karena ini akan tetap resisten.
16
1.6.2. Algoritma Diagnosis dan Interpretasi
2
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan. Dalam pengobatan TB, OAT lini pertama merupakan jenis
obat utama yang digunakan. OAT lini pertama di antaranya adalah isoniazid
(INH), rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Kemasan obat-obat
tersebut merupakan obat tunggal, disajikan secara terpisah, masing-masing
isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol atau bisa juga sebagai obat
kombinasi dosis tetap (KDT). KDT ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan (PDPI, 2006).
2. Evaluasi pengobatan TB
Rifampisin
larut dalam pelarut organik, dan air yang pH-nya asam. Derivat rifampisin lainnya
adalah rifabutin dan rifapentin (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya
menghambat DNA (Deoxyribonucleic Acid)-dependent RNA (Ribonucleic Acid)
polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula
terbentuknya rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA Polymerase dari berbagai sel
eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNA-nya tidak dipengaruhi.
Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi
diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan pada kuman
(Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik adalah sindrom flu (berupa demam, menggigil, dan nyeri
tulang), sindrom perut (berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, dan
kadang-kadang diare), sindrom kulit (seperti gatal-gatal dan kemerahan). Selain
itu, efek samping rifampisin juga dapat berat meskipun jarang terjadi. Efek
samping tersebut adalah hepatitis imbas obat atau ikterik, purpura, anemia
hemolitik akut, syok, gagal ginjal, dan sindrom respirasi (sesak napas). Bila
terjadi efek samping tersebut (baik yang ringan maupun yang berat), rifampisin
dihentikan dan pengobatan dilakukan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan
khusus. Selain itu, rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada
penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir (PDPI, 2006).
Etambutol
Pirazinamid
Streptomisin
Efek samping utama obat ini adalah kerusakan saraf ke-VIII (nervus
vestibulokoklear) yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko
efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang
digunakan dan umur penderita. Efek samping yang terlihat adalah telinga
berdenging (tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat
dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 g. Jika
pengobatan diteruskan, maka kerusakan alat keseimbangan semakin parah dan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitivitas
kadangkadang dapat terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah, dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan
seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang berdenging dapat terjadi segera
setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 g.
Obat ini dapat menembus sawar plasenta sehingga obat ini tidak boleh diberikan
kepada ibu hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin (PDPI, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Aziza, G Icksan dan Reny, Luhur. 2008. Radilologi Toraks Tuberkulosis Paru.
Jakarta: CV. Sagugn Seto
Ducati, R.G., Netto A.R., Basso L.A. 2006. The resumption of consumption ñ A
review on tuberculosis. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, 101 (7): 697-714
Rani, A., Soegondo, S., Nasir, A., Wijaya, I., dan Nafrialdi, Mansjoer, A., 2006,
Panduan Pelayanan Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Saputra, L., 2010, Intisari Ilmu Penyakit Dalam, Binarupa Aksara Publisher,
Jakarta.
Hull, D., Johnston, D.I. 2008. Dasar-Dasar Pediatri, Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta on Tuberculosis. Mem Inst Oswaldo Curz.101:7. 607-714
Simbolon E. 2011. Pola kelainan kulit pada pasien hiv/aids di rsup Haji Adam
Malik. Jurnal Kesehatan Andalas. 2(1):23.
12
Aditama TY. 2002. Tuberculosis Diagnosa, Terapi dan Masalahnya Edisi IV.
Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.