bukanlah negara yang berdasarkan suatu agama dan bukan pula negara yang
yang kuat sebagai mana termaktub dalam dasar negara maupun Undang- Undang Dasar 1945. Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
atau bukan negara yang berdasarkan agama tertentu dan bukan pula suatu
sumber dari segala sumber hukum, maka apapun aturan atau hukum yang
atau kepercayaan itu, merupakan ciri negara berketuhanan Yang Maha Esa,
perlindungan pada semua agama dan aliran kepercayaan. ini berarti bahwa
Penulis ingin menggarisbawahi sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai sila pertama,
ia memberikan napas sekaligus roh bagi keseluruhan sila-sila Pancasila. Menurut Jimly Asshiddiqie, ia
merupakan sila pertama dan utama yang menerangi keempat sila lainnya (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Para founding fathers menginginkan Indonesia menjadi negara yang ber-Tuhan, negara yang rakyatnya
juga ber-Tuhan. Jelas dikatakan oleh Sukarno pada pidato 1 Juni 1945, "Bukan saja bangsa Indonesia
ber-Tuhan, tapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Dan hendaknya negara Indonesia
satu negara yang ber-Tuhan."
Dengan sila ketuhanan ini, tampak kuat kehendak para pendiri bangsa menjadikan Negara Pancasila
sebagai negara yang religius (religious nation state). Dengan paham ini, kita tidak menganut paham
sekuler yang ekstrem, yang memisahkan "agama" dan "negara" dan berpretensi menyudutkan peran
agama ke ruang-ruang privat/komunitas. Meski kita juga bukan negara agama, dalam arti hanya satu
agama yang diakui menjadi dasar negara Indonesia.
Menjadi religious nation state maknanya adalah negara melindungi dan mengembangkan kehidupan
beragama. Lebih dari itu, agama didorong untuk memainkan peran publik yang berkaitan dengan
penguatan norma dan etika sosial.
Paham ketuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai watak
kebangsaan Indonesia. Dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu
menentukan kualitas dan derajat kemanusiaan seseorang di antara sesama manusia sehingga
perikehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil
sehingga kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa
(Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai ketuhanan (nilai-nilai agama/religiusitas)
harus dijadikan sumber etika dan spiritualitas. Nilai-nilai yang bersifat vertikal-transendental ini menjadi
fundamen etik kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga sangat jelas kebangsaan kita adalah
kebangsaan yang berketuhanan.
Konstitusi, UUD 1945, secara tegas menyatakan, negara ini berdiri di atas dasar ketuhanan. Hal itu
dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (1), "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa." Lalu Ayat (2),
"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Di negara ini tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti-Ketuhanan dan antikeagamaan. Tidak boleh
ada sikap dan perbuatan yang menghina dan menistakan agama. Sama halnya tidak boleh ada sikap dan
perbuatan yang mengerdilkan peran agama. Aktualisasi keagamaan bukan saja diberikan ruang, tetapi
didorong terus untuk menjadi basis moralitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala upaya
sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (memisahkan agama dan negara) tidak memiliki
tempat dan bertentangan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Amanat UUD 1945 ini dijabarkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 1 Ayat (1) menjabarkan substansi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Inilah visi
sekaligus semangat baru yang mengarahkan pada pembentukan watak dan peradaban bangsa. Visi dan
semangat ini menjadi rujukan utama pelaksanaan fungsi pendidikan di Indonesia, dan tentu saja, harus
termanifestasi dalam kurikulum pendidikan.
Saatnya kita kembali mengokohkan kepribadian dan karakter sebagai bangsa ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa sejalan dengan falsafah Pancasila. Ada anasir yang hendak mengarahkan Indonesia menjadi negara
atau bangsa yang liberal dan sekuler, dan itu perlu diwaspadai sebagai ancaman serius bagi kebangsaan
kita. Kita adalah bangsa besar yang dibangun di atas konsepsi besar bernama Pancasila. Pancasila
menginginkan kita menjadi bangsa yang ber-Ketuhanan, bangsa yang religius, bukan bangsa sekuler
apalagi tak ber-Tuhan. Inilah karakteristik kita, inilah kepribadian kita. Dan, ini jualah yang dipesankan
Bung Karno dan para pendiri bangsa sebagai warisan untuk kita rawat.