Seperti apa juga penglihatan, indera pendengaran, atau audisi, memberikan ikatan yang amat
penting dengan dunia sekitar kita. Karena hubungan sosial bergatung pada kemampuan
mendengarkan, ketika seseorang kehilangan pendengarannya, orang itu akan merasa terisolasi
secara sosial. Itu sebabnya banyak orang dengan gangguan pendengaran mendukung penuh ide
mengajarkan anak anak tuli American Sign Languange (ASL) atau system gerak tubuh laiinya,
yang memungkinkan mereka berkomunikasi dan memiliki hubungan dekat dengan orang lain
yang menguasai system bahasa ini.
Apa Yang Kita Dengar
Stimulus suara adalah gelombang tekanan yang tercipta ketika sebuah objek bergetar atau
bervibrasi (atau pelepasan udara) menyebabkan molekul molekul dalam zat penghantar bergerak
mengempul dan merenggang.Gerakan ini menghasilkan banyak variasi pada tekanan yang
menyebar ke seluruh penjuru.Zat yang menyebar ini umumnya adalah udara, tetapi gelombang
suara sebetulnya dapat juga berjalan melalui benda padat maupun cair, seperti yang mungkin
anda ketahui ketika anda meletakkan telinga anda pada tembok untuk mendengar suara di ruang
sebelah.
Seperti juga penglihatan, karakteristk fisik dari stimulus dalam hal ini, gelombang suara
berhubungan, dalam cara yang terprediksi, dengan aspek psikologis dari pengalaman auditori
kita:
1. Loudness(keras lembut suara) adalah dimensi psikologis dari pengalaman auditori yang terkait
intensitas tekanan gelombang.Semakin banyak energi yang terkandung dalam gelombang,
semakin tinggi pula puncak sebuah gelombang.Persepsi kita tentang keras lembutnya suara di
pengaruhi juga oleh tinggi atau rendahnya sebuah suara. Bila suara rendah dan tinggi memiliki
gelombang dengan amplitude yang sama besar, mungkin suara yang rendah akan terkesan lebih
lembut dan sunyi.
Intensitas suara diukur dalam unit yang disebut desibel (dB). Satu desibel sama dengan satu per
sepuluh bel, sebuah nama unit pengukuran yang di ambil dari nama Alexander Graham Bell
penemu telepon. Batas ambang mutlak rata rata pada manusia adalah nol desibel. Desibel tidak
memiliki jarak yang sama dan seimbang, seperti inci pada penggaris. Suara 60 desibel (seperti
dihasilkan oleh mesin penjahit) tidak berarti 50 persen lebih keras dari 40 desibel ( yang
dihasilkan pada saat berisik melainkan 100 kali lebih keras.
2. Pitch (tinggi rendah suara) adalah dimensi pengalaman auditori yang terkait dengan frekuensi
dari gelombang suara dan pada batasan tertentu, intensitasnya. Frekuensi mengacu pada seberapa
cepat udara (atau media perantara lain) bervibrasi yaitu, jumlah gelombang penuh, melalui satu
titik tertinggi dan terendah dari gelombang, yang dihasilkan dalam satu detik. Satu siklus per
detik di kenal dengan dengan 1 hertz (Hz). Telinga yang sehat biasanya mendeteksi frekuensi
pada jangkauan 16 Hz (nada terendah pada sebuah organ pipa) Hingga 20.000 Hz (suara yang
dihsilkan garukan kaki belalang)
3. Timbre (warna suara) adalah kualitas suara yang membedakan suara satu dengan yang lainnya.
Ini adalah dimensi pengalaman auditori yang terkait dengan kompleksitas gelombang suara yaitu
luas rentang frekuensi yang menyusun suatu glombang.Satu nada murni biasanya terdiri hanya
dari satu frekuensi, tetapi pada kenyataannya nada yang murni sangat jarang ditemukan.
Biasanya apa yang kita dengar merupakan kombinasi dari berbagai frekuensi yang menghasilkan
suatu warna suara yang khas. Timbre (warna suara) adalah apa yang membuat nada dimainkan
disebuah flute (yang menghasilkan nada yang relatife murni). Ketika ada banyak frekuensi
gelombang suatu yang hadir tetapi tidak hadir, kita akan mendengar noise. Ketika semua
frekuensi dari frektum suara muncul, mucul suara noise yang berdesis yang dikenal dengan white
noise. Beberapa orang terkadang menggunakan alat mesin penghasil white noise ini untuk
menutupi suara lain ketika mereka tidur.
Indera Peraba
Kegunaan kulit tidaklah sedangkal kulit itu sendiri. Selain melindungi bagian dalam tubuh, kulit
juga membantu kita mengenali objek-objek dan membangun keakraban dengan orang lain.
Dengan memberikan batasan antara diri kita dan hal lain yang ada di luar kita, kulit juga
memberikan kita perasaan mengenai diri kita sendiri sebagai sesuatu yang berbeda dari
lingkungan.
Indera dasar yang ada dalam kulit meliputi sentuhan (atau tekanan), panas, dingin, dan rasa
sakit. Dalam keempat tipe ini terdapat variasi seperti gatal, geli, dan rasa sakit terbakar.
Meskipun titik-titik tertentu pada kulit biasanya sangat peka pada empat sensasi dasar kulit
tersebut, untuk sekian lama para peneliti mengalami kesulitan menemukan reseptor-reseptoryang
berbeda untuk sensasi-sensasi ini, kecuali untuk tekanan. Kemudian peneliti dari Swedia
menemukan sebuah serabut saraf baru yang tampaknya memainkan peranan untuk jenis rasa
gatal tertentu (Schmelz dkk ; 1997). Para peneliti juga telah mengidentifikasikan kemungkinan
adanya reseptor dingin (McKemy, Neuhausser, & Julius ; 2002, Peier dkk ; 2002)
Mungkin juga akan ada serabut saraf khusus untuk sensasi kulit lainnya. Tetapi saat ini banyak
aspek dari sentuhan yang terus dipertanyakan secara ilmiah-misalnya mengapa menyentuh secara
lembut pada titik-titik yang merespons tekanan menghasilkan rasa geli, dan mengapa menggaruk
tubuh terasa melegakan (atau terkadang memperparah) rasa gatal, dan mengapa rangsangan titik
panas dan digin pada saat bersamaan tidak menghasilkan rasa hangat, tetapi memberi kita sensari
rasa panas. Menerjamahkan pesan dari indera di kulit pada akhirnya akan membuat kita mampu
membedakan kertas ampelas dari beludru, dan lem dari pelumas.
Misteri rasa sakit
Rasa sakit, yang tidak hanya meupakan indera peraba, tatpi juga indera internal. Telah diteliti
secara mendalam, Rasa sakit berbeda dari indera lainnya dalam cara yang sangat penting: Ketika
stimulus yang menghasilkanya dihilangkan, sensasinya mungkin akan tetap bertahan- terkadang
hingga tahunan. Raasa sakit kronis mengganggu kehidupan kita, memberikan tekanan terhadap
tubuh, den menyebabkan depresi dan keputusasaan.
Teori Gate-Control (Kontrol Gerbang) dan Rasa Sakit, yang pertama kali diajukan oleh
Psikolog Kanada Ronald Melzack dan ahli fisiologi dari Inggris, Patrick Wall (1965). Menurut
teori ini, impuls rasa sakit harus melewati sebuah “gerbang” pada tulang belakang. Gerbangini
bukanlah struktur yang nyata, namun sebuah pola aktivitas saraf yang dapat menghalangi atau
membiarkan pesan rasa sakit ini datang dari kulit, otot, dan organ organ internal. Biasanya,
gerbang ini tertutup, baik oleh impuls, menuju ke tulang belakang dari serabut besar yang
menanggapi tekanan dan rangsangan lainnya atau oleh sinyal yang turun dari otak itu sendiri.
Tetapi ketika jaringan tubuh terluka, serabut besar rusak dan serabut serabut kecil itupun
membuka gerbang ini, sehingga memungkinkan pesan rasa sakit mencapai otak kita. Karena
teori gate-control menekankan peran otak dalam mengatur pintu gerbang tadi, teori ini dengan
tepat memprediksikan bahwa pikiran dan perasaan dapat mempengaruhi reaksi kita terhadap rasa
sakit. Ketika kita memikirkan rasa sakit kita, memfokuskan perhatian pada rasa sakit tersebut,
menceritakannya pada orang lain alih-alih mengabaikannya.
Memperbarui Teori Gate-Control.Teori gate-control telah dianggap sangat bermanfaat, tetapi teori
ini tidak menjelaskan mengenai timbulnya rasa sakit yang kronis dan parah yang terjadi tanpa adanya
gejala cedera atau penyakit apapun. Dalam sebuah fenomena phantom pain contohnya ; seseorang
terus merasakan sakit yang tampaknya datang dari organ yang diamputasi atau dari organ yang sudah
diambil melalui sebuah operasi. Seorang yang diamputasi mungkin merasakan sakit, rasa terbakar,
atau pedih yang sama dari luka, kram betis, kaki gemetar, atau bahkan kuku jari yang tumbuh ke
dalam yang telah terjadi sebelum dilakukannya operasi. Bahkan ketika sumsum tulang belakang telah
terlukai dengan parah, orang yang diamputasi tetap melaporkan adanya phantom paindari area
dibawah kerusakan tersebut.
Untuk saat ini, belum ada teori yang dapat dengan lengkap menjelaskan mengenai phantom pai,atau
dalam hal ini rasa sakit biasa, yang ternyata dianggap sangat rumit, baik dari sisi psikologis maupun
fisiologis. Rasa sakit yang berbeda (tertusuk duri, memar, atau terkena panas setrika) melibatkan
perubahan kimia yang berbeda dan perubahan aktivitas sel saraf yang berbeda dilokasi rasa sakit atau
cedera, juga dalam sumsum tulang belakang dan otak. Perubahan-perubahan ini dapat menekankan
rasa sakit atau memperkuat rasa sakit dengan membuat neuron-neuron menjadi sangat aktif. Bukti
baru-baru ini menunjukkan bahwa sakit yang kronis dan patologis juga melibatkan glia, yaitu sel yang
mendukung sel-sel saraf. Serangan terhadap sistem kekebalan tubuh selama terinfeksi virus dan
bakteri, dan zat yang dilepaskan oleh neuron-neuron sepanjang jalur rasa sakit sesudah cedera,
mengaktifkan sel-sel glia dalam sumsum tulang belakang. Sel-sel glia kemudian melepaskan zat
pemicu yang dapat memperburuk rasa sakit dan mempertahankannya (Watkins & Maier ; 2003). Zat
kimia ini dapat menyebar hingga sumsum tulang belakang yang berada jauh dari lokasi dilepaskannya
senyawa ini. Hal ini dapat membantu menjelaskan mengapa orang yang cedera terkadang melaporkan
rasa sakit di bagian tlubuh yang lainnya yang sebetulnya tidak terlukai.
Kemampuan alami
Pada manusia, Kemampuan pengindraan paling mendasar dan kemampuan persepsi adalah sesuatu
yang sifatnya bawaan dan berkembang pada masa yang sangat dini. Bayi dapat membedakan rasa asin
dan rasa manis dan dapat membedakan aroma yang bergam . Mereka dapat membedakan suara
manusia dari suara lainnya. Mereka akan terkejut pada suara bising serta memutarkan kepala mereka
menghadap sumber bising tersebut, menunjukkan bahwa mereka mempersepsikan suara sebagai
sesuatu yang berasal dari satu tempat dalam suatu ruang. Banyak kemampuan visual yang muncul
pada saat kita lahir, atau berkembang langsung sesudah lahiran. Bayi manusia dapat membedakan
ukuran dan warna pada usia dini, bahkan mungkin segera setelah merek lahir. Mereka dapat
membedakan kontras, bayangan-bayangan, dan pola kompleks hanya sesudah beberapa minggu
pertama sejak mereka lahir. Persepsi kedalaman berkembang pada beberapa bulan pertama.
Menguji persepsi bayi mengenai kedalaman membutuhkan ketrampilan yang cukup. Salah satu
prosedur cerdas yang digunakan selama beberapa dekade adalah meletakan bayi pada sebuah alat
yang disebut visual cliff (Gibson & Walk ;1960). “Tebing” ini berupa sebuah kaca yang menutupi
permukaan yang dangkal dan yang dalam.
Periode Kritis
Meskipun kebanyakan kemampuan persepsi bersifat bawaan, pengalaman juga memainkan
peranan penting. Bila seorang bayi kehilangan pengalaman tertentu pada periode waktu yang
penting -periode kritis- maka kemampuan persepsi mereka juga akan rusak. Kemampuan bawaan
tidak akan bertahan lama karena sel-sel dalam sistem saraf mengalami kemunduran, berubah,
atau gagal membentuk jalur saraf yang layak.
Salah satu cara untuk mempelajari periode penting ini adalah dengan melihat apa yang terjadi
ketika pengalaman persepsi di awal kehidupan gagl muncul. Untuk melakukan hal ini, para
peneliti biasanya mempelajari hewan yang kemampuan indera dan persepsinya serupa dengan
manusia. Contohnya, seperti bayi manusia , anak-anak kucing juga dilahirkan dengan
kemampuan visual untuk mendeteksi garis horizontal dan vertical. Serta orientasi ruang lainnya.
Pada saat lahir, anak kucing memiliki otak yang dilengkapi dengan sel-sel detector dengan fitur
yang sama seperti kucing dewasa. Tetapi bila mereka kekurangan pengalaman visual, sel-sel ini
akan mengalami kemunduran atau berubah dan persepsi mereka terganggu (Crair, Gillespie, &
stryker, 1998 ; Hirsch&Spinelli, 1970).
Dalam salah satu penelitian terkenal, anak kucing dihadapkan pada garis-garis vertical atau
garis-garis horizontal berwarna hitam dan putih. Kalung khusus membuat mereka tidak dapat
melihat yang lain, bahkan tubuh mereka sendiri. Setelah beberapa bulan, anak-anak kucing yang
hanya dihadapkan pada garis vertical tampak tidak dapat melihat, atau buta, pada semua kontur
horizontal; mereka menabrak semua penghalang horizontal, dan mereka lari untuk bermain
dengan tongkat yang dipegang secara vertical oleh eksperimenter tetapi tidak dengan tongkat
yang dipegang secara horizontal. sebaliknya, mereka yang dihadapkan terhadap garis-garis
horizontal menabrak benda benda yang vertical dan hanya bermain dengan tongkat horizontal
dan bukan yang vertical (Blackmore & Cooper, 1970)
Periode kritis untuk perkembangan indera juga terjadi pada manusia. Ketika orang dewasa yang
buta sejak bayi kembali dapat melihat, mereka dapat saja melihat, tetapi sering kali mereka tidak
dapat melihat dengan baik. Area-area di otak yang biasanya digunakan untuk pengelihatan
mungkin saja mengembangkan fungsi lain ketika individu ini buta. Sebagai hasilnya, persepsi
kedalaman mereka mungkin tidak terlalu baik, sehinga mereka selalu jatuh. Mereka tidak dapat
selalu menyesuaikan apa yang mereka lihat ; untuk mengenali benda, mereka mungkin harus
menyentuh atau membaui benda tersebut. Mereka mungkin sulit mengenali wajah maupun
ekspresi berbagai emosi. Mereka mungkin bahkan tidak mempunyai konstansi ukuran dan
mungkin mereka harus mengingatkan diri mereka sendiri bahwa orang yang berjalan menjauh
tidak mengecil ukurannya (Fine dkk, 2003). Tetapi bila kebutaan sejak lahir yang diderita oleh
bayi diperbaiki pada masa sedini mungkin selama terjadinya masa penting pada 9 bulan pertama
maka prognosis yang dihasilkan akan lebih baik (meskipun kemampuan membedakan stimulus
visual tidak akan pernah seratus persen normal). Dalam salah satu penelitian mengenai bayi yang
mendapatkan operasi untuk memperbaiki kemampuan visualnya ketika berada pada usia 9 bulan
kurang 1 minggu, perubahan dalam kemampuan visual mulai muncul hanya dalam satu jam
sesudah berlangsungnya operasi (Maurer dkk, 1999)
Temuan serupa juga berlaku untuk pendengaran ketika seorang dewasa yang terlahir tuli, atau
kehilangan kemampuannya mendengar sebelum dapat mulai belajar berbicara, setelah mereka
menerima implementasi koklea (alat yang merangsang saraf-saraf pendengaran dan
memungkinkan sinyal auditoris berjalan menuju otak), mereka cenderung mengalami
kebingungan akan suara yang masuk. mereka tidak dapat belajar berbicara dengan normal, dan
terkadang mereka meminta agar alat yang telah ditanam disingkirkan
2. Kepercayaan. Apa yang kita anggap sebagai benar dapat mempengaruhi interpretasi kita
terhadap sinyal sensorik yang ambigu. Sebagai contoh, bila anda percaya akan adanya makhluk
luar angkasa yang secara berkala dating mengunjungi bumi, dan Anda melihat bundar di
langit , di mana terdapat beberapa titik referansiyang membantu Anda menilai jarak benda
tersebut, Anda mungkin telah “melihat” pesawat luar angkasa. (Sebagian penilitan tentang
melihat UFO menunjukkan bahwa benda yang dilihat sebenarnya adalah balon cuaca, roket
gas, armada militer, atau benda langit bias seperti planet dan meteor).
3. Emosi. Emosi dapat mempengaruhi interpretasi kita mengenai suatu informasi sensorik.
Seorang anak yang takut gelap dapat saja melihat hantu dan bukan sebuah juabbah yang
tergantung pada pintu, atau sesosok monster dan bukan boneka kesayangan. Rasa sakit, secara
khusus , juga dipengaruhi juga oleh emosi yang kita rasakan