Anda di halaman 1dari 5

Pendidikan di Indonesia saat ini sedang mencari bentuk esensi pendidikan yang idela bagi rakyat

yang sangat multikultural, baik budaya, bahasa, dan agama. Keberagaman rakyat indonesia
menuntut adanya proses pendidikan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sutau
daerah. Sebagai sebuah usaha kecil untuk bisa mewujudkannya, seiring dengan diberlakukannya
sistem pemerintahan yang baru dalam era reformasi, terbentuklah undang-udang sistem
pemerintahan No. 22 tahun 1999 dan disempurnakan pada UU No. 25 tahun 1999 kemudian
disempurnakan lagi pada UU No. 25 tahun 2004 tentang pelimpahan kekuasan dan perimbangan
kekuasan antara pemerintah pusat dan daerah. Yang mana dinyatakan bahwa pemerintah daerah
diberikan wewennag untuk mengurus berapa sektor di nataranya adalah pendidikan.

Otonomi pendiidkan dimaksudkan agar potensi yang ada dalam daerah dapat dimaksimalkan
dengan lebih baik. karena daerah lah yang tahu persis akan maju atau tidaknya pendidikan di
daerah tersebut. walapun selama ini otonomi dalam pendidikan tersebut belum secara maksimal
dan masih ada campur tangan pemerintah.
Pendidikan di indonesia sendiri selama ini masih mencari esensi dan model yang tepat untuk
mengembangkan pendidikan guna pemerataan pendidikan. Kelihatan jelas bagaimana
ketimpangan pendidikan antara kota dan desa, dari segi fasilitas, pembiayaan, informasi, dan
teknologi jauh tertinggal. Dan mahal adalah alasan satu-satunya membuat pendidikan di daerah-
daerah terpencil tidak mampu bangkit bersaing dengan pendidikan di kota-kota besar.
Memang pendidikan adalah sebuah aktivitas universal yang tidak hanya memandang satu segi
saja, ia adalah sebuah rangkaian perencanaan, sumber daya, samapai dengan evaluasi. Tapi yang
paling sederhana dalam pendidikan adalah proses pembelajaran di kelas. Di mana proses
interaksi antara guru dan murid menjadi hal utama dalam proses tranfer ilmu, di luar masalah
kebijakan pendidikan pusat maupun daerah, atau bangunan, fasilitas lainya, dan pembiayaan.
Proses interaksi guru dan murid inilah yang dapat menjadikan pendidikan terus dapat
bertahan,tidak bangunan maupun biaya dan lain sebagainya.
Namun berkembang atau tidaknya keilmuan dalam proses pembelajaran tergantung dari seorang
guru dalam transfer keilmuan. Ada yang prosesnya lamban dan biasa-biasa saja, tapi ada juga
yang berkembang lebih cepat. Hal tersebut ditentukan sejauh mana seorang guru
mempergunakan bahan, teknik, media, dan bahan dalam proses transfer ilmu. Bahan adalah
bagaimana materi dieprsiapkan, sedangkan tekhnik bagaimana ilmu disampaikan, dan media
bagaimana membuat alat bantu agar proses transfer lebih cepat dan dapat dipahami dengan lebih
baik.
Di sini media menjadi salah satu bentuk yang sangat penting dalam proses pendidikan, karena ia
merupakan bentuk usaha memanfaatkan apa yang ada untuk kepentingan ilmu itu sendiri. dalam
proses pendidkan klasik, media adalah apa yang ada di sekeliling guru untuk dimanfaatkan
semaksimal mungkin untuk proses pembelajaran di dalam kelas, baik berupa papan tulis,
gambar, koran, majalah, radio, televisi, benda bergerak maupun mati, dan lain sebagainya. Tapi
dalam perkembangan selanjutnya media-media tersebut masih terus digunakan, tapi dengan
perkembangan teknologi informasi menjadikanan media pembelajaran lebih canggih dari semula.
Perkembangan teknlogi menjadikan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas semakin lebih
variatif dan menjadi alternatif dalam memberikan pemahaman yang lebih baik kepada peserta
didik. Sehingga tuntutan sumber daya manusia yang lebih cepat dapat tercapai dengan target-
target tertentu.
SEJARAH AWAL PERKEMBANGAN  PEMANFAATAN TEKNOLOGI
PEMBELAJARAN
Ilmu yang dipelajari manusia saat ini tidak terlepas dari usaha orang-orang terdahulu
memberikan sebuah konsep tentang ilmu. Dan dalam sejarah telah tercatat, manusia sejak dahulu
di Yunani telah mampu menrasionalisasikan hal-hal yang sebelumnya abstrak. Walapun
sebenarnya semenjak keberadaan mansuia di dunia, mereka telah mempunyai potensi logis
dalam memandang kehidupan dan apa yang ada di sekelilingnya, tapi karena tidak diketahu
dengan jelas kapan mulainya, sehingga belum dapat dikatakan mereka telah mampu
merasinalisasikan apa yang ada di sekitarnya. Karenanya sebagian orang menganggap bahwa
manusia berasal dari klan monyet yang mengalami evolusi sampai menjadi manusia saat ini,
walaupun tentunya kita tidak setuju manusia berasal dari nenek moyang monyet/kera.
Yunani memang menjadi titik awal perjalanan keilmuan di dunia saat ini, karena merekalah yang
telah mampu merasionalisasikan apa yang sebelumnya abstrak dalam pandangan orang. Dengan
usaha mereka, orang kemudian mampu mempelajari berbagai banyak hal dalam kehdupan dunia
ini.
Ada tiga hal yang mempunyai pengaruh besar dalam proses berpikir manusia sehingga mereka
dapat mempelajari sesuatu apa saja di dunia ini, disebut juga sebagai kerangka berpikir untuk
dapat menentuakan sesutau dapat menjadi ilmu atau tidak, yaitu; ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.
Setiap pengetahuan yang dimiliki manusia selalu dipertanyakan dan dikritisi oleh diri  sendiri
maupun  orang lain.  Bahwa pengetahuan yang dimilikinya  adalah pengetahuan tentang “apa” ?
atau apanya yang perlu diketahui maka jawabannya ada pada ontologi pengetahuan itu sendiri.
Sedangkan pertanyaan bagaimana cara menemukannya atau metode apa yang dipergunakan oleh
kita dalam menemukan dan memperoleh pengetahuan itu adalah kajian Epistemologi.
Selanjutnya pertanyaan apa kegunaan pengetahuan itu bagi manusia, dan makhluk lainnya,
termasuk lingkungan dimana manusia berada, disebut kajian aksiologi.
Bangsa yunani sebagai peletak ilmu pengetahuan, membuat tokoh-tokoh pendidikan pun banyak
dari mereka, terutama para pemikir. Tapi berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam proses
pembelajaran dan pengajaran ada sekelompok orang yang tergabung dalam kelompok sofi di
Yunani, mereka adalah sekelompok orang yang secara sukarela berbicara tentang ilmu dan
semua apa yang ada dalam benar mereka dari hasil renungan dan pemikiran. Teknologi
pemebelajaran sebenarnya muncul dari berbagai metode pengajaran yang telah dilakukan oleh
golongan Sofi. Dalam proses belajar mengajar mereka menyadari berbagai macam masalah yang
muncur dari setiap individu, misalnya masalah persepsi, motivasi, perbedaan individual di dalam
belajar, dan masalah evaluasi untuk tiap-tiap individu. Berbagai masalah yang muncul tersebut
diperlukan perbedaan strategi pengajaran agar dapat menghasilkan tingkah laku yang berbeda-
beda.
Para ahli menduga bahwa golongan sofi ini ada semenjak pertengahan kedua abad ke -50
sebelum masehi, mereka datang dari berbagai wilayah yanga ada di Yunani kuno (Hellas) dan
mengembara ke Athena, dan mereka adalah kaum teknologi pengajaran pertama yang ada,
semenjak manusia mengenal ilmu di dunia.
Pada masa keberadaan mereka, belum ada lembaga pendidikan formal seperti sekarang ini, di
mana ada gedung sekolah, guru, dan murid. Kebayakan dari mereka tidak menetap dalam
memberikan ilmu mereka. Hidup mereka berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain.
Mereka mengajarkan ilmu pengetahuan dengan sukarela dan tidak mengambil upah dari apa
yang mereka ajarkan. Cara menyampaikan ilmu pada awalnya hanya sebatas menyampaikan apa
yang mereka ketahui, tapi setelah mereka lihat hasilnya, banyak kekurangan yang didapatkan.
Mereka pun berkreasi menyampaikan pengetahuan mereka dengan berbagai macam metode dan
tekhnik. Mula-mula mereka menjelaskan bahan pelajaran yang telah disipakan secara matang
mengenai suatu bahan pelajaran yang disarankan oleh pengikutnya. Sesudah pengajaran selesai,
lalu dilanjutkan dengan perdebatan yang dilakukan secara bebas dengan seseorang atau
sekelompok orang. Pada saat itulah proses atau kegiatan mengajar itu berlangsung. Selanjutnya
kalau ada peminat yang ingin memperdalam dan menuntut ilmu yang lain mereka langsung
berhadapan dengan salah seorang guru, kemudian mereka mengadakan kontrak belajar, sehingga
satu orang guru kemudian mempunyai halaqah masing-masing. Cara seperti ini kemudia
berkembang menjadi sistem tutor dalam proses belajar mengajar.
Sistem tutor pada masa itu terjadi antara seorang tutor dan beberapa siswa sehingga hal itu
dipandang sebagai bentuk pengajaran massal pertama. Pandangan golongan sofi didsaarkan
pada:
1.      Bahwa manusia itu berkembang secara evolusi. Seorang dapat berkembang dengan teratur tahap
demi tahap menuju ke arah peradaban yang lebih tinggi, melalui teknologi dan organiasi sosial,
di mana orang dapat belajar mengarahkan permasalahnnya secara efektif.
2.      Bahwa proses evolusi itu berlangsung terus, terutama aspek-aspek moral dan hukum. Kedua
aspek itu berkembang serta diterima masyarakat karena mengandung nilai hidup, dan sanksinya
bersumber dari hasil kesepakatan masyarakat bukan berasal dari prinsip-prinsip yang mutlak,
bersifat a priori atau sebagai kekuasan yang berasal dari para dewa Yunani.
3.      Demokrasi dan persamaan sebagai sikap masyarakat merupakan kaidah umum.
4.      Bahwa asas-asas teori pengetahuan bersifat progresif, pragmatis, empiris, dan behavioristik.
Selanjutnya golongan Sofi ini memandang mansuia sebagai makhluk yang memiliki potensi
intelegensi, potensi tanggung jawab sosial, potensi mengatur diri dan menaklukkan alam.
Pengembangan potensi tersebut memerlukan pendidikan dan pengajaran. Mereka percaya akan
nilai-nilai positif yang dikandung oleh pendidikan dan pengajaran. Golongan Sofi menghargai
semua bentuk teknologi yang dalam bahasa Yunani disebut dengan techne, yang meliputi paham
tentang kenegaraan berdasarkan rumus yang diciptakan oleh Pytagoras, bahwa manusia adalah
ukuran dari segala-galanya.
AWAL MUNCUL TEKNOLOGI PENDIDIKAN/PEMBELAJARAN
Secara detail kapan waktu pastinya mulai muncul teknologi dalam pembelajaran sebagai sebuah
disiplin keilmuan tidak ada yang dapat memastikan, hanya saja proses pembelajaran yang
dilakukan oleh orang-orang terdahulu menjadi refrensi bahwa orang pasti membuat sebuah
terknologi dalam proses belajar mengajar untuk mempermudah transfer keilmuan. Dan
perkembangannya sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia, mulai dari yang sederhana
sampai yang modern zaman sekarang ini.
Pada tahun 1901 William James dalam bukunya “Talks to Teacher on psychology”
mengungkapkan perbedaan antara seni mengajar dan ilmu mengajar. Kemudian pada tahun yang
sama John Dewey menyatakan bahwa metode ilmu pengetahuan empirislah yang merupakan
asas dalam pendidikan sehingga membawa implikasi terhadap fungsi ruang kelas sebagai
laboratorium. Selanjutnya pada tahun 1902, Edward Thorndike untuk pertama kalinya
memperkenalkan metode kuantitatif untuk masalah-masalah pengajaran. Kemudian pada tahun
1904, G. Stanley Hall melakukan pengujian dengan cara kuantitatif, melakukan pengukuran
intelegensi anak yang tertuang dalam buku hasil penelitiannya yang berjudul ‘Adolescence’.
Banyak ahli yang bermunculan pada tahun ini, namun ada dua orang yang mendominasi
pemikiran dan praktek pendidikan di Amerika saat itu, yaitu Edward Thorndike dan John
Dewey. Mereka mengemukakan teori dan metode yang menghasilkan teknologi pengajaran.
Metode Pengajaran Thorndike
Edward Thorndike dikenal sebagai seorang psikolog dan telah menyumbangkan banyak hal
tentang konsep-konsep ilmu jiwa dalam perkembangan teknologi pengajaran di Amerika.
Hukum belajarnnya melahirkan prinsip-prinsip dasar yang menjurus kepada teknologi
pengajaran yakni antara lain:
1.      Hukum latihan atau pengulangan, bahwa semakin sering suatu stimulus respons diulang-ulang,
ia akan semakin diingat oleh siswa.
2.      Hukum efek, bahwa respons akan menjadi kuat bilaman diikuti oleh rasa gembira atau susah.
3.      Hukum respons berganda, bahawa dalam situasi rumit, ketika respons yang tepat belum ada,
upaya coba-coba dilakukan sampai berhasil.
Hukum-hukum tersebut berlandaskan hubungan stimulus-respons, di mana suatu ikatan saraf
akan terjadi di antara stimulus dan respons jika stimulus itu menghasilkan respons yang
memuaskan dalam situasi yang diciptakan dengan sengaja. Peristiwa belajar terjadi dari
pembentukan ikatan-ikatan stimulus-respons tersebut menjadi pola-pola tingkah laku individu.
Dari pola hubungan yang terjadi tersebut, maka prinsip-prinsip dasar teknologi pengajaran
menurut Thorndike adalah:
1.      Aktivitas sendiri
2.      Minat sebagai motivasi
3.      Persiapan dan suasana mental
4.      Individualisasi, dan
5.      Sosialisasi.
Dalam mempraktikkan prinsip-prinsip dasar tersebut, guru hendaklah selalu mengontrol kegiatan
siswa ke arah yang dikehendaki tanpa mengabaikan minat siswa dan respons individual. Respons
belajar bergantung pada pegalaman-pengalaman pada masa lampau, dan juga bergantung pada
suasana mental siswa itu sendiri. itulah sebabnya guru perlu menyesuaikan stimulus yang
disajikan dengan latar belakang pengalaman masa lampau siswa, dengan suasana mental siswa
serta memperhitungkan perbedaan individual dalam merancang pendayagunaan media
pengajaran guna memperoleh hasil belajar yang optimal.
Metode Pengajaran John Dewey
Konsep belajar menurut John Dewey berbeda jauh dengan konsep yang dikembangkan oleh
Edward Thorndike. Menurut John Dewey belajar adalah proses interaksi antara sitmulus dan
respon, ia merupakan hubungan dua arah antara belajar dan lingkungan. Lingkungan
memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak
berfungsi menafsirkan bantuan itu seefektif mungkin sehingga masalah yang dihadapi dapat
diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik.Pengalaman siswa yang
diperoleh dari lingkungan luar menjadi sebuah bahan dan materi guna ia pelajari dan
memahaminya dan dijadikan landasan  serta tujuan belajarnya.
Metode John Dewey ini juga dikenal dengan metode berpikir reflektif, di mana seseorang
berusaha untuk melakukan pemecahan masalah dalam proses berpikir aktif, hati-hati, yang
dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang defenitif melalui lima langkah
yaitu:
1.      Pertama siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar dirinya sendiri.
2.      Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisis kesulitan-kesulitan dan menentukan
masalah yang dihadapinya.
3.      Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisinya itu sendiri sayu sama lain, dan
mengumpulkan berbagai kemungknan guna memecahkan masalah tersebut. dalam bertindak ia
dipimpin oleh pengalamannya.
4.      Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-
masing.
5.      Selanjutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang
dipandangnya terbaik. Hasilnya akan  membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu.
Bilamana pemecahan masalah itu salah satu kurang tepat, maka akan dicobanya kemungkinan
yang lain, sampai ditemukan pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah yang tepat
itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup dan sebagai asas pragmatisme.
Namun langkah-langkah ini tidak dipandang terlalu pragmatisme atau kaku, artinya tidak mutlak
harus mengikuti urutan seperti itu. Siswa begerak bolak balik, antara masalah dan hipotesis ke
arah pembuktian, ke arah kesimpulan dalam batas-batas aturan yang bervariasi.
Metode khusus yang dapat diperoleh dari metode John dewey ini adalah metode pemecahan
masalah. Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan
menyajikan tugas-tugas pelajaran. Obyek pelajaran tidak dipelajari dari buku, tetapi dari
masalah-masalah yang ada di sekitar. Dengan membantu siswa dalam memecahkan sebuah
masalah, maka perlu sebuah media atau cara agar dapat berpikir lebih sistematis, dan ini dapat
masuk sebagai teknologi dalam pembelajaran.
Sedangkan perkembangan teknologi pembelajaran di Indonesia berkembang sebagai sebuah
disiplin keilmuan yang dipelajari di tingkat perguruan tinggi, yang dulu dikenal dengan nama
Didaktik-Metodik. Di mana masalah-masalah pembelajaran di sekolah-sekolah dianalisis dan
dijadikan kajian dalam ruang akademik dan bukan guru yang mengembangkan sebagai sebuah
usaha untuk efektivitas proses belajar-mengajar.
Tapi teknologi pembelajaran sebagai sebuah aplikasi dalam pembelajaran, perkembangannya
sesuai dengan perkembangan teknologi di Indonesia, mulai dari audio, visual, sampai pada
informatika sendiri. dan sampai sekarang berkembang sesuai dengan perkembangan zamann dan
lingkungan yang terus berubah.
Epilog
Teknolgi pembelajaran muncul sebagai sebuah usaha untuk menyelesaikan masalah individu-
individu dalam proses tranfer ilmu. Karena setiap individu mempunyai problematika yang
berbeda saat ada stimulus yang datang dari luar mereka, sehingga beberapa cara perlu ditempuh
untuk dapat menjembatani seluruh kebutuhan individu yang berbeda.
Pada awal perkembangannya, golongan Sofi yang ada di Yunani dianggap sebagai orang-orang
yang pertama mempraktekkan telknologi pembelajaran dan proses belajar mengajar. Di mana
mereka meganggap bahwa setiap individu mempunyai permasalahan yang berbeda dalam respon
dari stimulus yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu, seorang guru harus dapat
mempergunakan segala bentuk peralatan dan media agar dapat tercapai transfer ilmu kepada
anak didik.
Dari golongan Sofi inilah kemudian, teknologi mengalami perkembangan sehingga sampai saat
ini, walaupun teknologi pada masa lalu tidak sekomplit saat ini, dengan berbagai bentuk dan tipe.
Ridak terkecuali di Indonesia perkembangannya juga sesuai dengan perkembangan kemampuan
peserta didik dan teknologi dari luar.
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Anda mungkin juga menyukai