Anda di halaman 1dari 8

TUGAS 7 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TENTANG KONSEP SYARIAH

RANTI JULIA (21129290)

1. Bagaimana konsep syariah dalam ruang lingkup ajaran islam?


 Syari`ah Secara bahasa kata syari`ah merupakan kata yang berasal dari
bahasa Arab yang asal katanya adalah syara`a yang berarti metode
atau jalan.
Secara istilah adalah segala sesuatu yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw berupa hukum yang dapat memperbaiki kehidupan
manusia di dunia dan akhirat. Hukum-hukum tersebut mencakup aspek
keyakinan, perbuatan dan tingkah laku.
Namun dalam pembahasan ini, syari`ah maknanya lebih mengerucut kepada
hukum yang mengatur tentang perbuatan manusia. Perbuatan manusia yang
ditujukan kepada Allah Swt sebagai Sang Pencipta yang dinamakan dengan
hablumminallah dan kepada sesama manusia yang dinamakan dengan
hablumminannas.
Kedudukan syariah
Syariah memiliki peran penting dalam agama islam.ia sebagai penyangga
bangunan agama agar tetap berdiri kokoh.penyangga tersebut terbagi 2,yaitu
hukum yang mengatur tentang hubungan manusia dengan sesama
manusia.namun,jika seandainya hukum yang mengatur hubungan antar
manusia dengan manusia tidak bisa terlaksana.hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan allah swt harus tetap terlaksana.

2. Kemukakan dasar- dasar hukum islam sehubungan dengan hukum,hakim,mahkum


fihdan mahkum alaihi.
 Dasar-dasar hukum Islam (hakim, mahkum alaih, mahkum bih)
1) Hakim
Al-Hakim maksudnya adalah penetap hukum, maka yang dimaksud dengan
al-Hakim adalah Allah Swt. Sebab Allah Swt yang telah menciptakan
segala-galanya, termasuk menciptakan hukum bagi manusia. Wewenang
Allah Swt sebagai al-Hakim adalah sebagai penetap atau penafi sebuah
hukum. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt: Al-Ra`du: 41 Yusuf: 40.
Meyakini Allah Swt sebagai al-Hakim merupakan bagian dari keimanan
seorang muslim. Jika seseorang berkeyakinan bahwa Allah Swt bukanlah
penetap hukum dan bahkan menentang setiap hukum disyariatkan, maka
orang tersebut dinyatakan kafir.
2) Hukum
Kata hukum berasal dari kata al-Hukmu yang secara bahasa berarti alMan`u
yaitu menahan atau melarang. Secara istilah, ulama Fikih dengan
ulama Ushul Fikih berbeda pendapat. Ulama fikih mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan hukum adalah pengaruh yang muncul dari khitab al-Syari
yang berkaitan dengan perbuatan seperti, wajib, haram, mubah, makruh dan
mubah. Sedangkan ulama Ushul Fikih berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan hukum adalah khitab Allah Swt yang bersinggungan dengan
perbuatan mukallaf bebentuk tuntutan, pilihan atau ketentuan.
Maka dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukum menurut ulama
Ushul Fikih dapat dibagi kepada dua bentuk, yaitu: Hukum Taklifi dan
Hukum Wadh`i.
Hukum Taklifi adalah tuntutan bagi mukallaf melakukan sebuah perbuatan
atau tuntutan untuk meninggalakan sebuah perbuatan atau tuntutan untuk
memilih antara melakukan atau meninggalkan.
Hukum Wadh`i adalah sebuah ketentuan yang menjadi sebab atau syarat
yang melahirkan hukum, atau penghalang yang menghambat sehingga tidak
berlakunya sebuah hukum.
Hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk, yaitu:
Wajib yaitu Tuntutan dari al-syari (Allah Swt) bagi mukallaf untuk
melakukan perbuatan tersebut secara tegas. Bisa jadi tentutan tersebut
berbentuk shigat yang jelas atau melalui karenah yang menyatakan bahwa
perbuatan tersebut wajib untuk dilakukan. Karenah tersebut bisa berbentuk
dosa atau ancaman bagi setiap orang yang meninggalkan perbuatan tersebut.
Seperti ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat, ancaman bagi orang
yang tidak berzakat atau ancaman bagi orang yang enggan melaksakan
ibadah haji padahal ia telah memiliki kemampuan.
Sunnah yaitu Sesuatu yang dituntut oleh al-Syari bagi mukallaf untuk
melakukannya dengan tuntutan yang tidak tegas.
Haram yaitu Haram adalah sebuh tuntutan dari al-Syari` kepada mukallaf
untuk meninggalkan sebuah perbuatan secara tegas. Atau dalam bahasa
lainnya, sesuatu yang apabila dilakukan oleh mukallaf secara sengaja maka
ia berdosa tapi kalau ia tinggalkan maka ia berpahala.
Makruh yaitu sesuatu yang dituntut oleh al-Syari` untuk meninggalkannya
tapi tidak dengan cara tegas. Perbuatan makruh sebaiknya ditinggalkan atau
tidak dilakukan, dan jika seseorang meninggalkan sesuatu yang makruh
maka ia mendapatkan pujian, tapi jika dilaksanakan maka ia tidak
mendapatkan hukuman atau celaan.
Mubah yaitu sesuatu yang diberikan kesempatan oleh al-Syari` kepada
mukallaf untuk dikerjakan atau ditinggalkan.
Sedangkan hukum wadh`i terbagi kepada beberapa bentuk, yaitu:
Sabab secara bahasa berarti tali yang menyambungkan antara satu dengan
lainnya. Menurut ulama Ushul, sabab adalah sebuah sifat yang jelas dan
terukur yang dijelaskan oleh dalil sam`i bahwa yang demikian merupakan
tanda bagi hukum syar`i.
Syarat yaitu sesuatu yang menjadi penentu sebuah hukum dan adanya syarat
tidak mesti mewajibkan sebuah hukum.
Mani` yaitu sesuatu yang jika dia ada maka hukum tidak ada dan sebab
menjadi batal.
Shahih yaitu terpenuhinya rukun dan syarat yang ditetapkan secara syara`
sehingga menimbulkan pengaruh yang sah secara syara`.
Buthlan yaitu terdapatnya cacat atau kekurangan pada akad yang bisa saja
kecacatan tersebut kembali kepada shighat, dua orang yang berakad atau
barang yang diakadkan.
Azimah yaitu pensyariatan sesuatu seseuai dengan ketentuan asalnya. Dan
rukhsah yaitu sebuah ketentuan yang disyariatkan oleh al-Syari karena
ketentuan tertentu, yaitu dalam rangka menjaga kemashlahatan bagi
manusia di saat manusia mengalami kesulitan dalam menjalakan perintah
sesuai dengan ketentuan awalnya.
3) Mahkum Fihi
Mahkum fihi adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan khitab
alSyari` yang bersifat tuntutan, pilihan atau wada`. Seperti firman Allah Swt:
al-Baqrah 43 terdapat tuntutan melaksanakan yang bersifat tegas dalam
shalat sehingga shalat menjadi wajib untuk dilaksanakan bagi mukallaf.
Begitu juga dalam firman Allah Swt, al-An`am 151 ada tuntutan untuk
meninggalkan pembunuhan secara tegas maka membunuh menjadi terlarang
atau haram.
Dalam hukum taklifi, mahkum fihi mesti perbuatan yang mampu dilakukan
oleh mukallaf. Maka perbuatan tersebut bisa berbentuk wajib, mandub,
haram, makruh atau mubah. Oleh sebab itu lahirlah ketetapan bahwa tidak
ada taklif kecuali pada perbuatan. Artinya adalah hukum syara’ yang
berbentuk taklif hanya pada perbuatan mukallaf. Sedangkan pada hukum
wadh`i, mahkum fihi bisa saja bersumber dari perbuatan mukallaf atau
diluar kemampuan mukallaf. Pada perbuaan yang bersumber dari mukallaf
seperti mmbunuh secara sengaja merupakan sabab diberlakukannya
qishahs.

4) Mahkum Alaih
Mahkum alaih adalah manusia yang memiliki perbuatan yang
bersinggungan dengan khitab al-Syari` atau hukum al-Syari`. Selain
mahkum alaih, istilah ini juga dikenal dengan mukallaf atau yang dibebani
hukum.
Syarat Mahkum Alaih
a) Mampu memahami dalil
Taklif berdasarkan kepada khitab, atau wahyu yang diturunkan oleh
Allah Swt kepada manusia. Sebab dalam taklif akal tidak memiliki
peran kecuali hanya untuk memahami khitab. Jika khitab dipahami,
maka akal menuntun mukallaf untuk melakukan perbuatan sesuai
dengan apa yang dijelaskan dalam khitab. Oleh sebab itu, seorang
mukallaf mesti balig dan berakal. Balig artnya sampai pada usia
kematangan dalam berfikir dan berakal berarti memili kemampuan yang
normal dalam berfikir. Maksudnya tidak boleh mentaklif anak-anak
yang bearadai di bawah usia balig atau mentaiklif orang gila yang
pemikirannya tidak normal.
b) Mampu bertindak dengan baik
Mampu bertindak atau berbuat dengan baik dikenal dengan istilah
ahliyah. Secara bahasa ahliyah diartikan dengan kecapan. Secara istilah,
ulama ushul menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ahliyah adalah
kecekapan seseorang dalam menerima hak dan kecakapan seseorang
dalam menunaikan perintah. Oleh sebab itu, ahliyah dibagi kepada dua
bentuk, yaitu:
Pembagian Ahliyah
1) Ahliyatu al-Wujub
Pengertian
Ahliyatu wujub adalah kecakapan seseorang untuk ditetapkan
hak-haknya dan penetapan atasnya beberapa kewajiban.
Seseorang dianggap memiliki kecakapan dalam ahliyatu alwujub adalah
selama ada kehidupan pada dirinya. Jika
seseorang telah meninggal maka dia tidak lagi memiliki
ahliyatu al-wujub. Ulama fikih mengenalnya dengan istilah
dzimmah yaitu sebuah sifat yang berbentuk syar`i yang dimiliki
ole manusia seihingga ia menjadi cakap dalam menerima
haknya atau menunaikan kwajibannya.
Ahliyatu al-wujub telah ada pada diri seseorang sejak pertama
kali penciptaannya dan itu terus berlangsung sampai ia
meninggal. Sebab ahiliyatu al-wujub merupakan seseuatu yang
lahir dari fitrah manusia yang tidak mungkin dipisahkan dari
manusia tersebut.
Pembagian
Ulama menjelaskan bahwa ahliyatu al-wujub terbagi kepad dua
bentuk, yaitu ahliyatu wujub yang naqishah dan ahliyatu
alwujub al-kamilah. Penjelasannya sebagai berikut:
Ahliyatu al-wujub Naqishah yaitu kondisi seseorang yang
belum memiliki kehidupan secara sempurna sehigga harus
ditunggu sampai menjadi sempurna. Maka janin dalam rahim
telah memiliki ahliyatu al wujub akan tetapi belum sepurna atau
dalam bahasa lainnya masih kurang. Maka sebahagian hak telah
menjadi ketentuannya seperti warisan washiat dan lain
sebagainya.
Disebut kondisi ini dengan ahliyatu al-wujub naqshah karena
dua hal, yaitu pertama kondisinya yang belum terpisah dari
ibunya dalam artian masih menyatu dan bergantung kepada
ibunya. Kedua, karena satu sisi ia telah bisa dikatakan sebagai
seseoang yang manusia karena penciptaannya telah sempurna
hanya menunggu waktu untuk lahir ke dunia.
Ahliyatu al-wujub kamilah yaitu ketika seseorang telah
dialahirkan ke dunia dalam keadaan hidup sampai dia
meninggal. Maka sejak dinyatakan demikian maka ia berhak
menerima apa yang menjadi haknya dalam hidup. Maka setiap
harta yang ia peroleh maka diampu oleh walinya dan jika pada
hart tersebut ada kewajiban yang harus ditunaikan seperti zakat
fitrah, sedekah dan lain sebagainya maka walinyalah yang
bertanggungjawab untuk menunaikan dengan harta yang
dimiliki oleh anak tersebut.
2) Ahliyatu al-Ada`
Pengertian
Ahliyatu al ada` adalah kecakapan seorang mukallaf dalam
bertindak hukum. Melakukan sebuah perintah atau
meninggalkan sebuah larangan sesuai dengan ketentuan yang
telah dijelaskan oleh al-Syari` dalam khitab-Nya. Oleh sebab itu,
seseorang dikatakan memiliki ahliyatu al-ada` setelah ia
menginjak usia balig dan memiliki pemikiran yang sehat.
Pembagian
Ahliyatu al-Ada memililki dua bentuk yaitu, ahliyatu ada` alnaqishah dan
ahliyatu al-ada al-kamilah
Ahliyatu al-Ada` Naqishsah yaitu kondisi seseorang yang belum
memiliki kematantang dari segi usia dalam bertindak hukum.
Berkisar dari seseorang mulai menginjak usia mumayyiz sampai
baligh. Sebab pada usia mumayyiz seseorang telah mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
membedakan antara yang mendatangkan kebaikan atau
mendatangkan kerusakan. Namun pada usia ini, seseorang belum
dianggap matang dari segi usia oleh sebab itu ia dikatakan
naqishah sampai ia menginjak usia baligh.
Maka bagi seorang yang telah menginjak usia mumayyiz maka
keimanannya diterima, amalannya berupa shalat, puasa dan haji
juga merupakan ibadah yang shah. Tapi yang demikian bukanlah
sebuah kewajiban bagi mereka. Sebab hal yang demikian
menjadi kewajiban ketika seseorang menginjak usia balig.
Ahliyatu al-Ada Kamilah yaitu ketika seseorang telah menginjak
usia balig yang ditandai dengan mimpi basah bagi laki-laki dan
haidh pada perempuan. Jika dua hal ini tidak ada maka ulama
menyatakan umur lima belas tahun ke atas sudah dinyatakan
balig. Usia balig merupakan tanda kematangan seseorang dalam
berfikir dan menentukan sikap dalam kehidupan. Oleh sebab itu,
seorang yang balig harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya, baik dimata manusia dan terutama di hadapan
Allah Swt.
3) `Awaridh Ahliyah
Awaridh secara bahasa merupakan bentuk jamak dari kata aridhah
yang berarti penghalang. Maksud awaridh disini adalah sesuatu
yang menghalangi mukallaf untuk melakukan sebuah tindakan atau
perbuatan. Bisa saja halangan tersebut menutup kemungkinan bagi
mukallaf untuk melakukan perbuatan atau hanya menguranginya
saja atau mungkin merubah hukum yang ada ke hukum yang lain.
Ulama membagi bahwa awaridh terbagi kepada dua bentuk, yaitu:
Awaridh Samawiyah yaitu awaridh yang tidak ada daya dan upaya
manusia di dalamnya sebab munculnya awaridh tersebut atas kuasa
Allah Swt terhadap manusia. Awaridh samawiyah ada sebelas
bentuk, yaitu: gila, kanak-kanak, dungu, lupa, tidur, pingsan,
perbudakan, sakit, haidh, nifas dan kematian.
Awaridh muktasabah adalah awaridh yang dibawah kuasa manusia,
ada peluang bagi manusia memunculkannya atau
menghilangkannya. Adapun bentuk dari awaridh muktasabah adalah
bodoh, mabuk, lalai, salah dan terpaksa.
Oleh karena itu, ulama Ushul membagi awaridh dalam bertindak
hukum itu dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk;
Pertama, Halangan bisa menyebabkan kecakapan seseorang
bertindak hukum secara sempurna hilang sama sekali, seperti gila,
tidur, lupa dan pingsan .Hal itu didasarkan pada sabda Nabi
Muhammad SAW :
“diangkatkan (pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah,
terlupa, dan terpaksa”.
HR.Ibnu Majah dan Tabrani)
Bagi orang yang gila, tidur, pingsan tidak memiliki ahliyatu al-ada`
maka apapun tindakan mereka tidak dikenai hukum selama awaridh
itu melekat pada dirinya. Namun bagi orang yang lupa dan tidur
maka mesti melakukan kewajiban setelah mereka kembali sadar dan
ingat. Adapun kewajiban harta, bagi orang yang gila ditunaikan oleh
pengampu atau walinya.
Kedua, Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti
orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang
sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam
bertindak hukum. Maka tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat
untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya
dianggap batal.
Ketiga, Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum
seseorang, seperti orang yang berhutang, pailit, dibawah
pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat tersebut,
sebenarnya tidak mengubah ahliyah al-ada’ seseorang, tetapi
beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan masalah harta
dibatasi. Hal itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan hakhak orang
yang membayar hutang.

3. Bagaimana fungsi syariah dalam kehidupan manusia dalam hubungan dengan allah
dengan sesama manusia dan makhluk lainnya
 Fungsi syari’ah adalah sebagai jalan atau jembatan untuk semua manusia
dalam berpijak dan berpedoman. Selain itu ia menjadi media berpola hidup di
dunia agar sampai ke kampong tujuan terakhir (akhirat) dan tidak sesat.
Dengan kata lain agar manusia dapat membawa dirinya di atas jalur syari’at
sehingga pada gilirannya dia akan hidup teratur, tertib dan tentram dalam
menjalin hubungannya baik dengan Khalik (pencipta) yang disebut hablum
minallah, hubungan dengan sesama manusia yang disebut hablum minannas,
serta hubungan dengan alam lingkungan lainnya yang disebut hablum minal
alam. Hubungan yang baik ini akan mempunyai nilai ibadah, dan tentu dengan
menjalankan ibadah yang baik berupa ibadah
langsung (mahdzah) ini akan membuahkan predikat baik dari Allah dan pada
akhirnya akan hasanah fi dunya dan hasanah fil akhirat sehingga dia selamat
di dunia dan di akhirat itulah
yang menjadi tujuan semua manusia yang beriman.
Manusia dalam hidupnya terkait dengan fungsi syari’ah pada garis besarnya
ada dua macam yaitu:
a. Manusia sebagai hamba di mana harus menghambakan dirinya di hadapan
Khaliq (Allah
SWT).
b. Manusia sebagai khalifah di muka bumi (mengurus dan mengatur tatanan
hidup dan
kehidupan).

4. Bagaimana cara anda mengimplementasikan ibadah dalam setiap perbuatan sesuai


dengan QS.Al- zariyat/51:56
 Dengan cara selalu melakukan atau melaksanakan segala hal berdasarkan
kesadaran diri bahwa kita adalah seorang makhluk dari allah swt.dan apa yang
kita lakukan selalu karena allah swt.

Anda mungkin juga menyukai