Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Manusia
Dosen Pengampu:
1. Drs. Pudjo Suharso, M.Si
2. Lisana Oktavisanti Mardiyana, S.Pd., M.Pd.
Disusun Oleh:
1. M. Rifqi Yusuf / NIM 180210301076
2. Churrotul Ainia / NIM 180210301063
3. Bella Eka Tyana / NIM 180210301071
4. Dewi Fatimah / NIM 180210301081
5. Sulviatul Husna / NIM 180210301087
Kelas B
2019
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
Studi Kasus................................................................................................. 10
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 11
3.2 Saran..................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu perusahaan tidak pernah lepas dari pengusaha/produsen/atasan
dengan para pekerjanya. Dalam ilmu Ekonomi Sumber Daya Manusia,
diperlukan suatu hubungan yang mengikat keduanya. Adapun hubungan
tersebut dikenal sebagai hubungan industrial. Penggunaan istilah hubungan
industrial sebenarnya merupakan kelanjutan dari istilah hubungan industrial
Pancasila.
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila
(HIP) Departemen Tenaga Kerja (Anonim, 1987:9) pengertian HIP ialah
suatu sistem yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang
atau jasa (pekerja, pengusaha, dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-
nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang tumbuh dan
berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.1
Namun, saat ini istilah hubungan industrial pancasila mengalami perubahan
nama menjadi hubungan industrial. Oleh sebab itu, sangat penting bagi
setiap individu khususnya pengusaha dan pekerja mengetahui hubungan
industrial.
1
Eko Wahyudi, dkk., Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), Cet. 1, hlm. 20.
1
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan makalah ini untuk menjelaskan, yakni:
1. Arti hubungan industrial.
2. Tujuan hubungan industrial.
3. Prinsip-prinsip hubungan industrial.
4. Jenis-jenis perselisihan dalam hubungan industrial.
5. Cara menyelesaikan perselisihan dalam hubungan industrial.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Pengertian Hubungan Industrial
Pengertian menurut para ahli:
Menurut Dr. Payaman J. Simanjuntak, hubungan industrial adalah hubungan
antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi
barang dan/atau jasa di suatu perusahaan.
Menurut Drs. Yunus Shamad, M.M., hubungan industrial dapat diartikan
sebagai suatu corak atau sistem pergaulan atau sikap dan perilaku yang
terbentuk diantara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa,
yaitu pekerja/buruh, pengusaha, pemerintah dan masyarakat.
Menurut Muzni Tambuzai, hubungan industrial pada intinya merupakan pola
hubungan interaktif yang terbentuk diantara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa (pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah)
dalam suatu hubungan kerja.
Penggunaan istilah hubungan indusrial sebenarnya merupakan
kelanjutan dari istilah Hubungan Industrial Pancasila (HIP).2 Berdasarkan
literatur istilah hubungan industrial pancasila merupakan terjemahan dari
labour relation atau hubungan perburuhan. Istilah ini pada awalnya
menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah
hubungan antara pekerja atau buruh dan pengusaha.
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila
(HIP) Departemen Tenaga Kerja (Anonim, 1987:9) pengertian HIP adalah
suatu sistem yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan
jasa (pekerja, pengusaha, dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang tumbuh dan berkembang di
atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu,
sebagai wujud pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja atau buruh,
pengusaha dan pemerintah harus sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam
sial-sila Pancasila. Artinya, segala bentuk perilaku semua objek yang terkait
dalam proses produksi harus mendasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila
secara utuh.
Pasal 1 ayat 16 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan pengertian istilah Hubungan Industrial yaitu suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja atau buruh, dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Ibid, 21
3
Jadi, pelaksanaan hubungan kerja ini harus senantiasa dijiwai oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan atau Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa hubungan industrial merupakan suatu
hubungan yang terbentuk antara pengusaha dengan pekerja atau buruh, serta
pemerintah setempa. Hubungan industrial juga dapat terjadi perselisihan antar
masing-masing pelaku, dimana perselisihan tersebut harus diselesaikan
dengan baik menggunakan cara yang sudah ditetapkan.
4
Menurut Payaman Simanjuntak, terdapat enam prinsip hubungan industrial:
5
perbedaan pendapat, persepsi dan kepentingan haruslah diselesaikan
secara bermusyawarah guna mencapai mufakat. Hal tersebut dikarenakan
setiap gangguan pada proses produksi akhirnya akan merugikan bukan
hanya bagi pengusaha, namun juga bagi para pekerja.
6
dan/atau perubahan syarat-syarat kerja dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Contoh:
Pekerja meminta fasilitas istirahat yang memadai yang tidak dapat
dipenuhi oleh pengusaha.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yaitu perselisihan
yang timbul apabila tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.
Contoh:
Pekerja tidak menerima diputuskan hubungan kerjanya oleh
pengusaha dikarenakan adanya efesiensi perusahaan.
1. Perundingan Bipartit
Menurut Pasal 3 ayat 1 angka 10 Undang Undang No 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Perundingan
Bipartit adalah perundingan dua belah pihak antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dan buruh atau serikat buruh untuk menyelesaikan
sebuah perselisihan dalam hubungan industrial yang telah terjadi.
Kedudukan hukum perundingan merupakan penyelesaian yang bersifat
wajib, yang memiliki beberapa ketentuan diantaranya:
1) Perselisihan hubungan industrial wajib diselasaikan secara
musyawarah untuk mufakat.
2) Diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan.
3) Dibuat perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak ,
sifatnya mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan
oleh para pihak mengadakan perjanjian bersama.
7
4) Wajib didaftarkan oleh para pihak kepada pengadilan hubungan
industrial pada pengadilan negeri di wilayah para pihak
mengadakan perjanjian bersama.
5) Diberikan akta pendaftaran perjanjian bersama dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan demi perjanjian bersama.
6) Salah satu pihak atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersma didaftarkan.
7) Permohonan eksekusi dapat dilakukan melalui PHI di panggilan
Negeri di Wilayah domisili pemohon untuk diteruskan ke PHI di
Pengandilan Negeri yang berkompeten melakukan eksekusi.
8) Perundingan dianggap gagal apabila salah satu pihak menolak
perundingan atau tidak tercapai kesepakatan.
9) Salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti upaya
penyelesaian melalui perundingan Bipartit telah dilakukan.
Berkas berkas yang harus disiapkan dalam proses bipartit :
Kronologis kejadian(dilampiri bukti bukti), Surat kuasa/mandat
(kedua belah pihak),nota pembelaan ,surat permohonan
bipartit,bicara acara bipartit ,risalah bipartit(kalah
gagal),perjanjian bersama(kalua sepakat) dan daftar hadir
perundingan.
Namun tidak semua perselisihan hubangan industrial dapat
diselesaikan melalui perundingan bipartit, apabila beberapa
ketentuan perundingan Bipatrit tersebut tidak dapat tercapai maka
perundingan Bipatrit dianggap gagal,maka tahap kedua yang perlu
dilakukan adalah dengan melakukan perundingan Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Perundingan Tripartit adalah perundingan antara para pihak yang
bersengkata dalam perselisihan hubungan industrial dengan difasilitasi
oleh pihak ketiga yang netral. Dalam perundingan Tripartit terdapat 3
cara sebagai berikut:
8
satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang
atau lebih mediator yang netral.
Namun bilamana tidak ditemukan kata sepakat, maka
mediator akan mengeluarkan anjuran secara tertulis. Jika anjuran
diterima, kemudian para pihak mendaftarkan anjuran tersebut ke
PHI. Di sisi lain apabila pihak atau salah satu pihak menolak
anjuran maka pihak yang menolak dapat mengajukan tuntutan
kepada pihak yang lain melalui PHI.
2) Konsiliasi Hubungan Industrial
Menurut pasal 3 ayat 1 angka 13 Undang Undang No. 2
Tahun 2004 merupakan penyelesaian perselisihan
kepentingan,perselisihan pemutusan hubungan kerja atau
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau
lebih konsiliator.
Seorang konsiliator berusaha mendamaikan para pihak,agar
tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai
kesepakatan ,Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa
anjuran.
3) Arbitrase Hubungan Industrial
Menurut pasal 3 ayat 1 angka 15 Undang Undang No 2
Tahun 2004 merupakan penyelesaian suatu perselisihan
kepentingan,dan perselisihan antar serikat pekerja /serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan
Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk meyerahkan penyelesaian perselisihan kepada
arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Keputusan arbitrase merupakan keputusan final dan
mengikat para pihak yang berselisih dari daftar yang ditetapkan
oleh Menteri Tenaga Kerja.
9
Studi Kasus Hubungan Industrial
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri
dari unsur pengusaha, pekerja atau buruh, dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Tujuan hubungan industrial yaitu mengemban cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di dalam
pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
berdasarkan Pancasila serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui
penciptaan ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan
usaha.
Ada 6 prinsip hubungan industrial, salah satunya yakni pengusaha dan
pekerja sama-sama memiliki kepentingan atas keberhasilan dan
keberlangsungan perusahaan. Adapun jenis-jenis hubungan industrial yaitu
meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan Pemutusan
Hubuungan Kerja (PHK) dan perselisihan antara serikat pekerja atau serikat
buruh dalam satu perusahaan. Penyelesaian perselisihan tersebut dapat
dilakukan dengan dua cara yakni penyelesaian bipartit dan tipartit.
Penyelesaian tripartit yaitu meliputi mediasi hubungan industrial, konsiliasi
hubungan industrial dan arbitrase hubungan industrial.
3.2 Saran
Faktanya, masih banyak perselisihan hubungan industrial yang terjadi
antara pengusaha dan pekerja. Oleh sebab itu, para pengusaha harus memiliki
kesadaran dan jiwa mengayomi atau memimpin yang baik terhadap para
pekerjanya. Sementara itu, para pekerja juga harus bekerja secara maksimal
guna mencapai tujuan perusahaan dengan baik.
11
DAFTAR PUSTAKA
12