Anda di halaman 1dari 4

KOMUNIKASI KELUARGA DI

MASA PANDEMI

Oleh :

NAMA : FAKHRI MAULANA

NIM : 19240741

PRODI : S1 Ilmu Komunikasi

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO


Pemerintah Indonesia telah menghimbau untuk melakukan pembatasan aktifitas
masyarakat dan mengeluarkan kebijakan work from home (WFH), study from home, dan pray at
home. Strategi jarak sosial ini dilakukan untuk mengurangi kontak orang yang terinfeksi dengan
kelompok besar dan memutus mata rantai penyebaran virus. Cara yang dapat dilakukan seperti
belajar jarak jauh, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah, membatasi perjalanan dan
menunda segala hal yang berkaitan dengan pengumpulan orang secara massal. Setiap warga
diharuskan melakukan karantina mandiri di rumah dan mengurangi aktifitas di luar rumah.
Sebelum terjadi pandemi Covid-19 tak banyak pasangan suami istri atau orang tua pada
saat di rumah mampu menyediakan waktu luang bersama anaknya. Rumah menjadi tempat
menumpang bagi sebagian besar keluarga yang ada di perkotaan. Numpang tidur, numpang
mandi, tanpa adanya interaksi humanis penghuninya demi alasan pekerjaan. Ayah dan ibu yang
harus berangkat kerja dari pagi hingga sore bahkan kalau mengalami kemacetan di jalanan
bahkan sampai tengah malam. Sesampainya di rumah ayah dan ibu sudah mengalami kelelahan.
Anak juga setiap hari beraktivitas berangkat sekolah dari pagi dan melanjutkan aktivitas dengan
les/bimbel hingga sore. Begitu juga sesampainya di rumah tidak sedikit anak ikut merasakan
kecapekan. Itulah rutinitas yang dilakukan sebagian besar keluarga yang ada di perkotaan.

Pandemi Covid-19 akhirnya memaksa kita untuk menjalankan semua aktivitas dari
rumah. Tidak sedikit yang mengaku bahwa beraktivitas dari rumah menjadi momen untuk
memperkuat kualitas hubungan dengan pasangan maupun anak. Masa karantina mandiri yang
dilakukan sekaligus menjadi kesempatan untuk mengganti masa-masa bersama keluarga yang
terlewatkan saat sebelumnya harus bekerja. Namun, ternyata tidak semua keluarga merasa
kebersamaan ini adalah sebuah anugerah. Rupanya, masa pandemi Covid-19 juga ikut
menyumbangkan dampak negatif terhadap kerukunan keluarga dan bahkan mengakibatkan
meningkatnya konflik dalam rumah tangga. Mengapa demikian? salah satu penyebab utama
adalah komunikasi keluarga tidak dapat berjalan efektif.

*Membangun Komunikasi Keluarga di saat Pandemi*


Pakar komunikasi, Hafied Cangara (2002), menjelaskan unsur komunikasi dalam sebuah
keluarga memiliki kesamaan dengan komunikasi pada umumnya. Sumber dan penerimanya tentu
berasal dari anggota keluarga yaitu ayah, ibu, dan anak. Pesan yang disampaikan secara tatap
muka maupun dengan menggunakan media atau saluran komunikasi. Isi pesan menyangkut
informasi, ilmu pengetahuan, nasehat, instruksi (himbauan) bahkan dapat dengan contoh dan
teladan (perilaku).

Karantina dan isolasi diri di rumah masing-masing tentu membuat segala aktivitas
sebelumnya menjadi berbeda. Segala aktivitas fokus dilakukan di dalam rumah, mulai dari
bekerja, sekolah, ibadah dan aktifitas lainnya selama 24 jam dalam sehari. Termasuk interaksi
dan komunikasi antar anggota keluarga satu dengan yang lainnya.

Meski terdengar sepele, komunikasi adalah kunci utama untuk menentukan kelanjutan
interaksi setiap pasangan. Komunikasi yang buruk akan menyebabkan kesalahpahaman yang
berujung pada perdebatan yang tidak ada habisnya. Selama pandemi Covid-19 ini, masalah
komunikasi yang sering ditemui sering kali berhubungan dengan pembagian pekerjaan rumah
tangga, memasak, membersikan rumah, mendampingi anak belajar, mengasuh anak, bahkan
hingga persoalan sepele seperti hal-hal kecil tentang perbedaan cara meletakkan barang di tempat
tertentu. Seolah-olah ayah dan ibu mengulang kembali proses beradaptasi dengan kebiasaan
pasangan, padahal sudah menjalani pernikahan selama belasan bahkan puluhan tahun.

Komunikasi yang buruk akan lebih mudah mengaduk-aduk emosi tanpa menghasilkan
solusi untuk menyelesaikan masalah perbedaan pendapat. Inilah yang mengakibatkan banyak
pasangan akhirnya saling menyalahkan, berbicara dengan nada tinggi atau membentak, adu
mulut, hingga berakhir dengan kekerasan fisik maupun verbal.

Untuk meminimalisir terjadinya konflik keluarga dan mendukung terciptanya keluarga


harmonis, maka perlu dibangun komunikasi keluarga yang lebih efektif. Momen di rumah saja
yang dikampanyekan oleh pemerintah seharusnya menjadi ajang untuk mempererat ikatan antar
anggota keluarga. Stay at Home sebagai bagian dari gerakan pencegahan Covid-19, merupakan
waktu yang tepat untuk merajut komunikasi keluarga yang baik.

Sebagai kunci utama di masa pandemi, komunikasi yang efektif harus diterapkan.
Berbicara dengan nada keras atau membentak tidak hanya memblokir percakapan, tapi juga
membuat lawan bicara cenderung merespons dengan cara yang sama. Oleh karena itu, Ayah dan
ibu harus benar-benar memperhatikan cara agar komunikasi menjadi efektif dan tidak menuai
pertengkaran. Hal ini tentu tidak mudah, karena bentuk komunikasi yang dibutuhkan bukan
hanya soal apa yang disampaikan, namun juga mengetahui apa saja hal yang dapat mendukung
komunikasi keluarga dapat berjalan efektif.

*Tips yang dapat Mendukung Komunikasi Keluarga di Masa Pandemi*


1. Keterbukaan (self disclosure), yakni bersikap terbuka dan jujur mengenai perasaan/pemikiran
anggota keluarga tanpa adanya rasa takut dan khawatir untuk menegungkapkannya. Seorang
suami bersikap jujur dan terbuka kepada istri, istri tidak menyembunyikan apapun kepada suami,
orang tua yang harus berkata jujur kepada anaknya, dan juga sebaliknya, anak yang harus selalu
diajarkan untuk jujur dan tidak menyembunyikan apapun kepada orang tuanya.
2. Peluang kesetaraan berbicara, yakni memberikan kesempatan berbicara, mendengarkan,
bersama menyelesaikan konflik, bahkan dengan mengajarkan anak untuk berkomunikasi dan
menjadi pendengar yang baik.
3. Menciptakan perasaan positif, yakni dilakukan dengan memulai berpikir positif terhadap diri
kita sendiri sehingga kita pun akan mulai belajar berpikir positif terhadap orang lain.
Meminimalisir kecurigaan kepada pasangan, tidak menuduh anggota melakukan hal negatif
tanpa adanya bukti, dan apabila ada bukti lakukan dengan komunikasi yang humanis.
4. Kesamaan pemahaman, communication and similiarity are positively related. Meski tidak
dipungkiri bahwa setiap individu pasti memiliki perbedaan satu sama lain, namun hal tersebut
sangat mungkin untuk diminimalisir. Mulai berfokus pada penyelesaian masalah dan bukan pada
perbedaan ataupun mengungkit kesalahan masing-masing. Dengan adanya komunikasi,
permasalahan yang ada dalam sebuah keluarga dapat dibicarakan dengan menentukan solusi
terbaik.
5. Kemitraan seimbang, yakni suami dan istri membagi waktu dan aktivitas dengan saling
mendukung/membantu pekerjaan rumah tangga, termasuk dalam mendampingi anak
menjalankan aktivitas belajar dari rumah.
6. Sering memuji dan menenangkan pasangan, yakni perbanyaklah saling ucapan sayang dan
segera minta maaf apabila ada keselahan atau pasangan kurang berkenan.
7. Mengubah gaya hidup keluarga, yakni menjalankan kehidupan yang lebih sederhana dengan
cara melakukan penghematan semua pengeluaran dan hindari pemborosan.
8. Jangan abaikan keluarga, yakni jangan abaikan kepentingan anak dan pasangan. Apabila anak
menangis dan butuh pertolongan berhenti sebentar aktivitas pekerjaan anda dan segera tolong
anak, dan kemudian kalau anak sudah nyaman anda dapat melanjutkan pekerjaan, atau bisa juga
bekerja di dekat anak. Atur jadwal bersama anggota keluarga.
9. Mengola waktu dan aktivitas, yakni atur waktu dan aktivitas sebaik mungkin. Ada kegiatan
individu dan ada kegiatan Bersama keluarga. Untuk menghilangkan kejenuhan, maka ciptakan
waktu pribadi untuk kegiatan individu yang disukai dan disepakati bersama.

Anda mungkin juga menyukai