Anda di halaman 1dari 7

Teori-teori Masuknya Islam ke 

Indonesia
24 April 2013jagoips Media Pembelajaran & Komentar

Sejarah Islam di Indonesia.

Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll.
Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya
Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk
memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan
waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan
pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia
dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad.
Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran.
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima
agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai.
Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H /
1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu
Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H /
1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i.

Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di
Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah
makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka
tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini
bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara
secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam
secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara
secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki
kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak
Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate.

Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam
bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia
Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik.
Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan
lil’alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-


pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin
dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga
semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam
Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah
Hadramaut.

Islam datang ke Indonesia ketika pengaruh Hindu dan Buddha masih kuat. Kala itu,
Majapahit masih menguasai sebagian besar wilayah yang kini termasuk wilayah Indonesia.
Masyarakat Indonesia berkenalan dengan agama dan kebudayaan Islam melalui jalur
perdagangan, sama seperti ketika berkenalan dengan agama Hindu dan Buddha. Melalui
aktifitas niaga, masyarakat Indonesia yang sudah mengenal Hindu-Buddha lambat laun
mengenal ajaran Islam. Persebaran Islam ini pertama kali terjadi pada masyarakat pesisir laut
yang lebih terbuka terhadap budaya asing. Setelah itu, barulah Islam menyebar ke daerah
pedalaman dan pegunungan melalui aktifitas ekonomi, pendidikan, dan politik.

Proses masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan
tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut para sejarawan,
teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi:

a. Teori Mekah

Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari
Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M.
Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA,
salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan pendapatnya ini
pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis Perguruan Tinggi Islam
Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan para sarjana Barat yang
mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab. Bahan
argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan
sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai
nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam
pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh
sebelum tarikh masehi.

Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak
kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang
cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA, melakukan upaya
yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang
hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam
di Indonesia dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di
Indonesia mendapatkan Islam dari orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya
sekadar perdagangan. Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang
diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara)
yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari
satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.

b. Teori Gujarat

Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat
pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran
dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari
Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas
Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di
Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke

7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari
orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang
ke dunia timur, termasuk Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini
diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje.
Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India.
Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia
dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab
terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah
keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan
namanya.

Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan
argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17
Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam
Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk
yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya
berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh
orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya
adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.

c. Teori Persia

Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah
Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat,
sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan
analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan
Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai
hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang
berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda)
diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi. Tradisi lain adalah ajaran
mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah
dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh
penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam
(murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan
Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada
batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah
bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di
Iran.

d. Teori Cina

Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa)
berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia
jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau
Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak dagang.
Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru
berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan,
menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam
pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam.

Teori Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan
hikayat), dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja
Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina.
Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam).
Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak
beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”,
“Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel”
ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan
dengan Rusia.

Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang
didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting
sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki
pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina. Semua teori di atas masing-masing
memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas
dalam masing-masing teori tersebut.

5 cara penyebaran agama Islam di


Indonesia
Seperti telah kita bahas pada artikel-artikel sebelumnya, bahwa pembawa agama Islam ke
Indonesia ialah para pedagang Gujarat, Persia dan Arab, Merekalah yang mula-mula
menyebarkan agama Islam di tanah air kita melalui hubungan dagang.

Apakah penyebaran agama Islam di Indonesia hanya melalui hubungan dagang saja? Tidak.
Ada beberapa macam cara lain yang digunakan. Berikut akan saya coba bahas satu persatu :

1. Melalui perdagangan
Para pedagang Islam dari Gujarat, Persia dan Arab tinggal selama berbulan-bulan di Malaka
(lihat artikel Cara penyebaran agama Islam di Malaka) dan pelabuhan-pelabuhan di
Indonesia. Mereka menunggu angin musim yang baik untuk kembali berlayar. Maka
terjadilah interaksi atau pergaualan antara para pedagang tersebut dengan raja-raja, para
bangsawan dan masyarakat setempat. Kesempatan ini digunakan oleh para pedagang untuk
menyebarkan agama Islam.

2. Melalui perkawinan
Di antara para pedagang Islam ada yang menetap di Indonesia. Hingga sekarang di beberapa
kota di Indonesia terdapat kampung Pekojan. Kampung tersebut dahulu merupakan tempat
tinggal para pedagang Gujarat. Koja artinya pedagang Gujarat.

Sebagian dari para pedagang ini menikah dengan wanita Indonesia. Terutama putri raja atau
bangsawan. Karena pernikahan itulah, maka banyak keluarga raja atau bangsawan masuk
Islam. Kemudian diikuti oleh rakyatnya. Dengan demikian Islam cepat berkembang.
3. Melalui pendidikan
Para ulama atau mubaliq mendirikan pondok-pondok pesantern di beberapa tempat di
Indonesia. Di situlah para pemuda dari berbagai daerah dan berbagai kalangan masyarakat
menerima pendidikan agama Islam. Setelah tamat mereka pun menjadi mubaliq dan
mendirikan pondok pesantern di daerah masing-masing.

4. Melalui dakwah di kalangan masyarakat


Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri terdapat juru-juru dakwah yang menyebarkan
Islam di lingkungannya, antara lain :
- Dato'ri Bandang menyebarkan agama Islam di daerah Gowa (Sulawesi Selatan).
- Tua Tanggang Parang menyebarkan Islam di daerah Kutai (Kalimantan Timur).
- Seorang penghulu dari Demak menyebarkan agama Islam di kalangan para bangsawan
Banjar (Kalimantan Selatan).
- Para Wali menyebarkan agama Islam di Jawa. Wali yang terkenal ada 9 wali, yaitu :

1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)


2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
3. Sunan Bonang (Makdum Ibrahim)
4. Sunan Giri (Raden Paku)
5. Sunan Derajat (Syarifuddin)
6. Sunan Kalijaga (Jaka Sahid)
7. Sunan Kudus (Jafar Sodiq)
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
9. Sunan Gunung Jati (Faletehan)

Para wali tersebut adalah orang Indonesia asli, kecuali Sunan Gresik. Mereka memegang
beberapa peran di kalangan masyarakat sebagai :

1. penyebar agama Islam


2. pendukung kerajaan-kerajaan Islam
3. penasihat raja-raja Islam
4. pengembang kebudayaan daerah yang telah disesuaikan dengan budaya Islam.

Karena peran mereka itulah, maka para wali sangat terkenal di kalangan masyarakat.

5. Menggunakan kesenian yang disesuaikan dengan keadaan


Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, kebudayaan Hindu masih berakar kuat. Para
penyebar agama Islam tidak mengubah kesenian tersebut. Bahkan menggunakan seni budaya
Hindu sebagai sarana menyebarkan agama Islam.

Seni dan budaya yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam adalah sebagai berikut:
1. Seni wayang kulit
Cerita wayang kulit diambil dari kitab Mahabharata dan Ramayana. Perubahan diadakan,
tetapi sedikit sekali. Misalnya, perubahan nama-nama tokoh-tokoh pahlawan Islam. Sunan
Kalijaga adalah seorang wali yang sangat mahir mempertunjukkan kesenian wayang kulit.

2. Seni tari dan musik gamelan


Pada upacara-upacara keagamaan dipertunjukkan tari-tarian tradisional. Tarian itu diiringi
musik atau gamelan Jawa. Misalnya gamelan Sekaten pada waktu upacara peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW.
3. Seni bangunan
Coba anda amati wujud desain masjid-masjid kuno yang ada di tanah air ini. Misalnya,
menara masjid kuno di Kudus, masjid kuno di dekat tuban, gapuranya mirip Candi Bentar,
Masjid Sunan Kalijaga di Demak yang atapnya bertingkat-tingkat mirip pura Hindu.

Masjid-masjid tersebut adalah bangunan Islam, tetapi dibangun mirip bangunan Hindu.
Memang para penyebar agama Islam berudaha menyesuaikan bangunan-bangunan Islam
dengan bangunan Hindu. Apakah tujuannya? Agar rakyat tidak mengalami perubahan secara
mendadak. Bila seorang beragama Hindu masuk Islam dan bersembahyang di masjid, merasa
seolah-olah masuk ke sebuah pura.

4. Seni hias dan seni ukir


Kecuali bentuknya mirip candi, masjid-masjid kuno pun dihias dengan ukir-ukiran yang
mirip ukir-ukiran khas Hindu.

5. Seni sastra
Kitab-kitab ajaran Islam diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Dengan
demikian, isinya mudah dipahami oleh rakyat.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam di Indonesia berjalan secara
damai.

Negeri Aceh pada abad ke 15 M pernah mendapat gelar yang sangat terhormat dari umat
Islam nusantara. Negeri ini dijuluki “Serambi Makkah” sebuah gelar yang penuh bernuansa
keagamaan, keimanan, dan ketaqwaan. Menurut analisis pakar sejarawan, ada 5 sebab
mengapa Aceh menyandang gelar mulia itu.

 Pertama, Aceh merupakan daerah perdana masuk Islam di Nusantara, tepatnya di kawasan
pantai Timur, Peureulak, dan Pasai. Dari Aceh Islam berkembang sangat cepat ke seluruh
nusantara sampai ke Philipina. Mubaligh-mubaligh Aceh meninggalkan kampung halaman
untuk menyebarkan agama Allah kepada manusia. Empat orang diantara Wali Songo yang
membawa Islam ke Jawa berasal dari Aceh, yakni Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ngampel,
Syarif Hidayatullah, dan Syeikh Siti Jenar.

Kedua, daerah Aceh pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan di Nusantara dengan hadirnya
Jami’ah Baiturrahman (Universitas Baiturrahman) lengkap dengan berbagai fakultas. Para
mahasiswa yang menuntut ilmu di Aceh datang dari berbagai penjuru dunia, dari Turki,
Palestina, India, Bangladesh, Pattani, Mindanau, Malaya, Brunei Darussalam, dan Makassar.

Ketiga, Kerajaan Aceh Darussalam pernah mendapat pengakuan dari Syarif Makkah atas
nama Khalifah Islam di Turki bahwa Kerajaan Aceh adalah “pelindung” kerajaan-kerajaan
Islam lainnya di Nusantara. Karena itu seluruh sultan-sultan nusantara mengakui Sulatan
Aceh sebagai “payung” mereka dalam menjalankan tugas kerajaan.

Keempat, daerah Aceh pernah menjadi pangkalan/pelabuhan Haji untuk seluruh nusantara.
Orang-orang muslim nusantara yang naik haji ke Makkah dengan kapal laut, sebelum
mengarungi Samudra Hindia menghabiskan waktu sampai enam bulan di Bandar Aceh
Darussalam. Kampung-kampung sekitar Pelanggahan sekarang menjadi tempat persinggahan
jamaah haji dulunya.

Kelima, banyak persamaan antara Aceh (saat itu) dengan Makkah, sama-sama Islam,
bermazhab Syafi’i, berbudaya Islam, berpakaian Islam, berhiburan Islam, dan berhukum
dengan hukum Islam. Seluruh penduduk Makkah beragama Islam dan seluruh penduduk
Aceh juga Islam. Orang Aceh masuk dalam agama Islam secara kaffah (totalitas), tidak ada
campur aduk antara adat kebiasaan dengan ajaran Islam, tetapi kalau sekarang sudah mulai
memudar.

 Teori Cina

Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di


Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan
masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-
Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia—
terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada
abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby
dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti
Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian
selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam.
Teori Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal
(babad dan hikayat), dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokat
tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro
Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina
bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan
Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis
dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”,
“Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan
merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan
dengan Rusia.
Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang
didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa.
Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut
catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina.
Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri.
Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing-masing teori tersebut.
Meminjam istilah Azyumardi Azra, sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia
datang dalam kompleksitas; artinya tidak berasal dari satu tempat, peran kelompok
tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan.

Anda mungkin juga menyukai